Friday, February 24, 2012

BERBUDHI BISA JADI ADALAH SOLUSI


Cukup menggelitik angan dan pikiran bila ingat akan Sabda Palon. Dalam Kitab Ramalan Sabdo Palon dan Dharmagandhul, diceritakan bahwa Sang Sabdo Palon, sosok pemomong raja raja tanah jawa itu, murca, mokswa, menghilang dari kewajibannya karena pada saat itu, Sang Raja, Prabu Brawijaya, yang tengah lari  ke Blambangan,untuk mencari bala bantuan dari Cina dan Bali untuk memukul mundur serangan dari anaknya sendiri, Raden Patah yang memimpin Demak,  dihentikan oleh Sunan Kalijaga. 

Dalam pertemuan itu, Sunan Kalijaga berhasil meng-islam-kan Prabu Brawijaya, namun Sang Pemomong, yaitu Sabdo Palon, tak bersedia mengikuti jejak Rajanya untu menganut agama Islam. Maka Sang Sabdo Palon memutuskan untuk memisahkan diri, dan ditanya akan pergi kemana, beliau menjawab bahwa beliau tak akan pergi, namun hanya menjelma dalam berbagai wujud dan menetapkan  bahwa dia bernama Semar,  dan dalam wujud yang samar.

Dalam naskah ramalan Sabdo Palon disebutkan bahwa beliau berkata :
Sabdo Palon menjawab kasar :
“Hamba tak bersedia masuk Islam Sang Parbu, karena saya ini raja serta pembesar Dang Hyang tanah Jawa yang membantu cucu serta para raja Tanah Jawa. Sudah diagriskan, bahwa kita harus pisah sang Prabu…”
“Berpisah dengan Sang Prabu, dan kembali ke asal mula saya. Namun perlu Sang Prabu Catat, bahwa kelak setelah 500tahun, saya akan dating dan mengganti agama Budha lagi (agama budhi, kawruh budhi), dan saya sebar ke seluruh tanah Jawa.”
“Bila ada yang tak mau memakai agama Budha, akan saya hancurkan. Menajdi makanan jin setan dan lain lainnya. Belum lega hati saya bila belum saya hancur leburkan. Dan saya akan memebuat tanda akan datangnya kata kata saya ini. Kelak bila Gunung Merapi meletus dan memuntahkan laharnya”
“Lahar itu mengalir ke barat daya, baunya tak sedap. Itulah pertanda kedatangan saya. Sudah mulai menyebarkan agama Budha (kawruh budhi). Kelak Merapi akan menggelegar. Itu sudah takdir Hyang Widi, tak dapat diubah lagi.”

Yang cukup menarik pikiranku adalah, “Hamba tak bersedia masuk Islam Sang Parbu..”. Adalah wajar dan merupakan hak setiap umat, bahwa tak seorangpun berhak untuk memaksakan kehendak untuk mengikuti agama maupun keyakinan tertentu terhadap orang lain. Karena setiap umat memepunyai hak azasi, pola pikir dan pilihan sendir sendiri. Dan yang tidak bersedia mengikuti agama maupun keyakinan tertentu, seharusnya tak perlu sakit hati karena seseorang telah menuntukan pilihannya sendiri, apalagi kemudian mengancam dan lain sebagainya.

Yang menarik pula adalah tentang apa yang disebut sebagai agama Budha (kawruh Budhi). Apabila yang dimaksud adalah benar benar agama Budha, rasanya seperti yang tertulis diatas, tak perlu ancaman dan tekanan. Bukankah kita semua tahu bahwa semua agama adalah baik, semuanya mengajarkan tentang cinta kasih sesame, untuk kemuliaan umat masing masing dan semesta.

Namun bila yang dimaksud agama Budha adalah kawruh budhi, memang seharusnya kita harus berkaca dan membelalakkan mata. Boleh kita melihat ke diri kita masing masing, dan bertanya, bahwa apakah kita sekarang ini masih termasuk ke dalam golongan manusia yang “berbudhi”???

Yang mencintai tanah kelahirannya, sejarah dan kebudayaannya, kearifan local yang hidup abadi di dalamnya. Rasanya, tak berlebihan bila dikatakan bahwa kita, telah sedikit bergeser, dan meninggalkan apa yang di masuk sebagai “budhi” tersebut. Arus dunia barat begitu ganas menggempur kita, dalam segala segi kehidupan. Dan kita, seperti yang pernah dikatakan oleh Guruh Sukarno Putra, bahwa kita telah kehilangan karakter sebagai bangsa. Dan hal inilah yang menyebabkan begitu lemahnya sendi sendi kita bangsa Indonesia untuk dapat bertahan dari gempuran arus barat.

Apakah arus dari barat itu buruk? Tidak!! Semuanya tergantung dari kita untuk menyikapinya, dan itu diperlukan karkater yang kuat. Pernah  diberitakan bahwa seorang ibu muda, telah kehilangan bayi mungilnya, meninggal dunia, karena sang ibu asyik bermain BB. Apakah ini salah BB? Tentu tidak! 

Ini hanyalah sekedar contoh kecil bahwa kita, telah meninggalkan apa yang seharusnya menjadi esensi, namun lebih mementingkan gengsi dan hal hal remeh temeh lainya. Mungkin seperti itulah yang dimaksud dalam Ramalan Sabdo Palon tersebut, bahwa beliau akan menyebarkan kawruh budhi  lagi, karena diakui maupun tidak, “berbudhi” itu sekarang tak lebih dari sekedar wacana, slogan, dan campaign campaign lainnya.

Rasanya, belum terlambat bagi kita untuk kembali “berbudhi”. Dan dengan “berbudhi” rasanya segala macam perkembangan dan kemajuna jaman, dapat dimanfaatkan lebih optimal dan arif.

No comments:

Post a Comment