Thursday, February 2, 2012

HERBAL INDONESIA, MAU DIBAWA KEMANA?


Perkembangan penggunaan herbal medicine dalam praktek kedokteran selalu menarik perhatian. Disatu sisi beberapa kalangan yang pro selalu menekankan bahwa herbal medicine aman dikonsumsi karena telah digunakan selama berabad-abad lamanya oleh nenek moyang sehingga bukti empiris memang telah ada sejak dahulu. Disisi lain kalangan akademis dan praktisi senantiasa menekankan pada aspek bukti ilmiah yang harus menyertai setiap bahan yang digunakan untuk proses pengobatan.

Terlepas dari perbedaan pandangan tersebut, realita yang ada menunjukkan bahwa praktek penggunaan herbal medicine telah menjadi bagian dari kehidupan manusia sejak dulu kala. Ketika yang ada hanya kekayaan alam termasuk tumbuhan disekitarnya, maka pemanfaatan kekayaan alam ini dalam proses penyembuhan penyakit menjadi paling utama. Perkembangan menjadi berbeda ketika teknologi mampu mengolah dan mensintesis bahan alam secara kimiawi dan biologik menjadi obat yang memiliki khasiat pasti bagi manusia. Namun tidak dipungkiri pula, bahwa teknologi modern untuk terapetik., tidak pernah mampu menggeser peran herbal medicine dalam pengobatan manusia di dunia. Fakta menunjukan bahwa herbal medicine masih menjadi andalan sekitar 75% hingga 80% penduduk dunia, untuk mengatasi masalah kesehatan, terutama di negara-negara sedang berkembang. Hal ini juga berkaitan dengan tingkat penerimaan secara kultural dan keyakinan bahwa baham alam memang disediakan dan cocok untuk manusia, termasuk aman untuk dikonsumsi.

Di China herbal medicine memegang peran penting dalam terapi berbagai penyakit, bahkan digunakan juga untuk mengatasi yang mengancam jiwa, seperti SARS (severe acute resspiratory syndrome). Sekitar 80% penduduk Afrika juga menggunakan herbal medicine untuk mengatasi penyakit, pasar herbal medicine di dunia setiap tahunnya juga sangat besar, sekitar US$ 60 milyar. Maka,  tidaklah mengherankan jika muncul optimisme baru bahwa herbal medicine akan memiliki peran dalam mengatasi masalah kesehatan global.

Tren penggunaan herbal medicine ternyata cukup mengejutkan. Di negara maju seperti Jerman dan Perancis penjualan produk herbal meningkat dari sekitar US$ 6 juta pada tahun 1991 menjadi lebih dari US$20 juta di tahun 2006. Di Amerika Serikat, obat-obatan herbal banyak dijual di toko-toko health food dengan tingkat penjualan hingga US$ 4 milyar pada tahun 1996 dan perkiraan meningkat hingga 2 kali lipat pada tahun 2012. Pasar nutraceutical (health food) yang juga berbasis pada herbal medicine ternyata juga sangat tinggi di AS dan Eropa, yaitu masing-masing mecapai 80 hingga 250 milyar dollar US.

Bukti tingginya penggunaan herbal medicine di negara maju diwakili oleh penelitian yang dilakukan oleh Kelly et al (2005). Dari 10.470 laki-laki dan wanita dengan usia di atas 18 tahun yang disampling dari data sensus di AS, lebih dari 15,9% subyek menyatakan pernah menggunakan bahan alam sebagai herbal medicine. Hampir sebagian besar menggunakan untuk vitamin, penambah energi, suplemen diet, dan kebugaran. Sedangkan sisanya untuk kondisi-kondisi spesifik, misalnya gangguan kardiovaskuler, saluran cerna, neurologik, dan pelangsing. Yang menarik ada sekitar 5% yang mengkonsumsi herbal medicine atas rekomendasi dokter.

Perkembangan yang menarik akhir-akhir ini adalah timbulnya tren untuk mengkonsumsi bahan alam sebagai food supplement bagi kaum metropolis, dan tren ini menjadi salah satu upaya menaikkan gengsi di kalangan metroseksual. Oleh sebab itu tidak heran apabila banyak bermunculan MLM (multi level marketing) yang menjajakan food supplement ini secara efektif melalui jalur yang sangat bergengsi dalam suatu kelompok elitis dan eksklusif. Masuk ke dalam kelompok ini saja sudah merupakan suatu kebanggaan, apalagi bila mengkonsumsinya. Tidaklah mengherankan apabila kemudian obat bahan alam memiliki gradasi ekonomi yang sangat bervariasi, mulai dari yang sangat mudah dan umumnya dikonsumsi masyarakat kelas bawah dalam bentuk jamu, hingga yang harganya mencapai jutaan rupiah dan dikonsumsi secara intens dan eksklusif oleh kalangan menengah ke atas.

Hal ini mungkin disebabkan oleh karena penerimaan terhadap herbal medicine sendiri di Indonesia, masih kalah jauh dibanding dengan negara negara tersebut diatas, yang notabene adalah negara negara yang besar dan maju baik dalam teknologi, maupun dalam hal kedokteran, dan tidak mempunyai sumber daya alam sebesar Indonesia.

Menurut data International Trade Center UNCTAD/WTO, Cina merupakan negara pengekspor tumbuhan obat terbesar, disusul oleh Amerika Serikat dan India. Indonesia dalam hal ini, menempati posisi ke-19. pada tahun 2003, justru turun di urutan ke-31. Indonesia justru tertinggal dengan negara tetangga, Singapura, yang bisa dikatakan tidak mempunyai sumber daya alam. Ironis, tapi fakta berbicara. Indonesia sebagai negara yang menapat gelar negara kedua terkaya dalam keaneka ragaman hayatinya, harus berbesar hati melihat ketertinggalannya dalam pengembangan herbal dan fitofarmaka.

Hal ini karena di Indonesia, produk produk herbal masih belum dapat diterima seperti layaknya masyarakat di negara negara Eropa, karena di akui maupun tidak, penelitian dan pengembangan dari produk produk herbal ini di Indonesia, masih tertinggal dibanding negara negara Eropa. Semestinya, hal seperti ini mampu memotivasi kita sebagai penduduk Indonesia, untuk lebih memperhatikan produk herbal dalam negeri, hingga dapat diterima oleh negara negara lain.Sungguh ironis bila dilihat bahwa Indonesia adalah negara terbesar kedua dalam hal keaneka ragaman hayati, namun kalah dengan negara yang kecil yang tidak punya apa apa (Singapura).
Bahkan di beberapa journal menyebutkan, bahwa beberapa negara Eropa telah mengimport  beberapa jenis herbal asli Indonesia dari Indonesia, untuk pengembangan obat obatan di negara mereka, dan justru oleh merekalah penelitian  klinis dan multicenter dilakukan, dan  hal ini akan terjadi dan terjadi lagi.

Masalah yang cukup komplek apabila akan diuraikan satu persatu. Sangat banyak pihak yang berkepentingan, baik dari kalangan birokrasi, praktisi, industri farmasi, bahkan dari pola pikir masyarakatnya sendiri. Mari menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Salam. (dari berbagai sumber)

No comments:

Post a Comment