Thursday, May 10, 2012

SURJAKUSUMA, "KOK NASIBKU SELALU SIAL???"

Dilahirkan dari darah raja, dalam kerajaan besar, dimana sejak lahir telah terbiasa dengan segala keinginan yang telah siap sedia, menjadikan laki laki ini cenderung  tak mempunyai keahlian dan kemampuan apa apa.

Ayahnya adalah seorang raja, yang bergelar Arya Duryudana, orang nomer satu di kerajaan besar pula, Astinapura. Setiap Negara kecil, bergidik bila mendengar nama negara itu disebut. Sebuah Negara penakluk, dengan keluarga yang berjumlah seratus, walau mereka tak dapat berbuat apa apa, namun beberapa orang dibelakangnya, adalah orang orang yang mempunyai kemampuan luar biasa, yang hanya mampu ditandingi oleh Negara Amarta, dengan rajanya Prabu Yudisttira, induk dari negara negara kecil lainnya yang dipimpin oleh empat orang  saudara lainnya.

Lingkungan kerajaan yang serba ada, membuat laki laki itu tumbuh menjadi seorang yang manja, malas, dan gemar berfoya foya, serta membuaskan nafsu badaniah lainnya. Tubuhnya yang tidak begitu besar, dengan raut muka putih pucat, demikian pula dengan kulitnya, perut sedikit buncit, tatapan mata sayu, semakin menunjukkan kebiasaannya yang tak mau bekerja keras seprti halnya saudara saudaranya dari Amarta, putra dari keturunan Pandu yang masih bertalian darah dengannya.

“Surjakusuma……..” seorang kakek kakek memanggil namanya saat laki laki itu sedang duduk berpangku tangan di taman istana.
“Iya Paman……” jawabnya malas, karena dia tahu siapa paman yang memanggilnya itu juga pemalas.
“Kamu dari tadi duduk dibangku itu, memandang langi, sesekali menarik nafas panjang, dan tak kau sentuh makanan di sebelahmua. Apa yang kamu pikirkan?” Tanya kakek kakek itu sambil berjalan menghampirinya duduk.
“Paman Sengkuni, nasibku kok selalu sial……” katanya pendek tanpa melihat ke arah kakek kakek yang dipanggilnya Sengkuni itu.
“Apakah aku kurang tampan? Kurang kaya? Kurang sakti? Aku kan anak raja Astinapura, tentunya aku kaya. Aku kan juga murid Paman Durna, tentunya aku juga sakti. Wajahku kan juga tampan Paman….” Katanya kali ini sambil berdiri dan beretriak teriak.
Sengkuni hanya berdiri sambil menahan tawa. Dan celakanya, Surjakususma mengetahuinya.
“Mengapa Paman malah menterawakan aku? Paman mengejek ya? Tidak percaya kalau aku tampan, kaya dan sakti?” Surjakusuma semakin keras.
“Percaya Ngger, percaya. Siapa to yang bisa mengalahkan cucuku yang paling tampan dan sakti ini?” kata Sengkuni meyakinkan.
“Lalu mengapa Paman? Mengapa tak seorang wanita pun mau menjadi istriku?” Surjakusuma berteriak sambil menengadah, seolah mengharap jawabn tidak hanya dari pamannya, namun juga dari langit.
Belum lagi Sengkuni menjawab, bagai banjir, Surjakusuma telah mulai berkata kata lagi.

“Bukankah Paman ingat, Wahyu Cakrangingrat? Wahyu itu telah masuk ke tubuhku Paman. Wahyu itu telah memilihku sebagai seorang yang pinunjul, sakti, yang kuat menerima anugerah dari dewata itu. Namun apa yang terjadi? Tiba tiba wahyu itu cabut, keluar dan meninggalkan tubuhku. Apakah ini bukan sial namanya?” katanya sambil bertanya tanpa mebutuhkan jawaban.
“Ngger, siapapun yang menerima wahyu, dia harus bersyukur, dan kemudian melaksanakan kewajibannya sebagai sesorang yang telah mendapatkan kehormatan, dengan laku prihatin, arif dan bijak. Tapi apa yang Angger lakukan kemudian? Angger malah berfoya foya, mabuk mabukan dengan gadis gadis, berlaku maksiat, panataslah kiranya wahyu itu pergi meninggalkan Angger, yang masih berkubang dengan nafsu badaniah keduniawian….” Kata Sengkuni menjelaskan.
“Aaaahhh…Paman bohong! Paman ingat juga Diajeng Siti Sendari? Pergiwa? Diajeng Titisari? Mengapa mereka lebih memilih Abimanyu, Gatotkaca, dan Bambang Irawan?” katanya sambil membusungkan dadanya dan mengepalkan tangannya.

Sengkuni semakin sakit perutnya menahan tawa. Dada yang dibusungkannya, malah semakin memperlihatkan tulang tulang iganya, sedangkan kepalan tangannya, bagai sekepal tangan anak anak yang lemah dan tanpa kekuatan sama sekali. Namun bagaimanapun, Sengkuni tak mungkin menyakiti hatinya, maka dengan segala pujian dia lontarkan untuk membesarkan hati keponakannya yang dia kasihi.

“Bambang Surjakusuma, Lesmana Mandrakumara anakku……..” kata Sengkuni dengan nada asih.Yang dipanggil dengan nama lengkap itupun tersenyum senyum bangga.
“Mereka adalah puteri puteri bodoh yang tak dapat melihat kemewahan dunia, baju bagus, muka tampan dan tubuh gagah. Tak mengapa anakku, suatu saat kamu harus buktikan bahwa kamu adalah yang paling hebat di antara mereka…” kata Sengkuni membesarkan hati.
“Kapan “saat” itu Paman?” katanya dengan tergesa gesa seolah ingin cepat tiba waktunya.
“Pada saat Perang Baratayuda, Abimanyu akan menjadi senopati perang. Buktikan jika kamu bisa mengalahkannya…..” kata Sengkuni lagi. Bagai matahari tengah hari, Surjakusuma seperti mendapatkan gambaran yang jelas tentang apa yang akan dia lakukan.

Dan benar, saat perang Baratayuda berkecamuk, dilihatnya Abimanyu menjadi senopati perang di sayap selatan dari medan pertempuran. Bagaimanapun, dia tetap bisa mengukur bahwa kemampuannya masih jauh di bawah Abimanyu, Putra Arjuna, yang telah memenangkan Siti Sendari darinya, yang gemar melakukan tapa prihatin dan memperdalam ilmunya, sedangkan dia masih tetap dalam dunia foya foya dan berpersta dengan gadis gadis.

Maka, saat Abimanyu telah terkepung oleh saudara saudaranya, Bala Kurawa, berjalanlah dia dengan penuh percaya diri. Tubuh Abimanyu yang telah penuh luka, dengan sribu panah menancap di tubunya, pasti akan mudah baginya untuk mengalahkannya. 

Disibakkanya kerumunan Bala Kurawa yang mengepung Abimanyu, dan dengan sombongnya, dia menyerang Abimanyu sejadi jadinya, dengan kemapuan yang dimilikinya. Namun lawannya adalah Abimanyu, seorang ksatria yang pantang menyerah, dengan kemampuan diatas manusia biasa, sekaligus merupakan titisan Dewa Bulan, maka walau dengan keadaan yang menyedihkan, masih pula mampu meladeni serangan Surjakusuma yang semakin membabi buta.

Terjadilah perang tanding di dalam lingkaran itu. Surjakusuma dengan congkak dan percaya diri, menyerang dengan penuh kebengisa, karena dendam yang luar biasa. Sedangkan Abimanyu, lebih memilih bertahan dan sesekali menyerang balik saat Surjakusuma lengah. Dan benar, saat merasa Surjakusuma berada di atas angin, lengahlah seluruh perhatiannya. Maka dengan serangan yang menentukan, dikerahkannya segenap tenaga Abimanyu mengunjamnkan kerisnya ke dada Surjakusuma.

Semua mata terbelalak, seolah tak percaya apa yag dilihatnya. Putra Mahkota Astinapura, jatuh roboh di tanah, dan mati terbunuh oleh Abimanyu yang telah sekarat menahan sakit sekujur tubuhnya. Sedangakn Surjakusuma pun jatuh di tanah, dengan darah mengalir didadanya. Suasan heing, dan sejenak kemudian mereka tersadar apa yang terjadi. 

Tubuh Surjakusuma kemudian di angkat, di panggul dan kemudian dibawa meninggalkan medan tempur untuk dihaturkan kepada ayahnya, Arya Duryudana.  Surjakusuma, betapa sial dan malangnya, namun diakhir hidupnya, dia berusaha untuk menjadi ksatria, walau hanya sekedar “ksatria”.

No comments:

Post a Comment