Saturday, March 31, 2012

BUTA LOCAYA VS KANJENG SUNAN

Pagi yang cukup cerah, namun tak secerah pikiranku. Sudah agak lama pikiranku berkutat pada hal hal yang mungkin buat orang lain tak ada gunanya, tak tak ada sangkut pautnya dengan apa yang terjadi pada negeri kita ini, terutama tentang kemasyarakatan, budaya, kepercayaan dan keyakinan.

Ada banyak hal yang mengganggu pikiran, terutama tentang bergesernay nilai nilai yang hidup dalam tata pergaulan baik antara manusia dengan Tuhan, maupun sesame manusia. Teringat aku akan sesorang yang mungkin dapat memberikan sekedar pencerahan, atau mungkin akan menjadika aku orang yang paling bodoh di dunia. Tanpa pikir panjang, ku raih telepon genggamku, dan ku telpon seseorang di seberang sana. Alhamdulillah, dengan serta merta, langsung tersambung, dan saat itu pula aku disuruh datang kerumahnya. 

Selang tak lebih dari 30 menit, aku telah sampai rumahnya. Rumah yang terletak di pusat kota lama Yogyakarta, dengan halaman yang terkesan “dibiarkan” dengan tumbuh tumbuhan yang cukup lebat, layaknya kebun kebun di tengah desa. Di sudut kebun Nampak kolam kecil dengan tumbuhan air yang cukup rapat pula, dan air kolam yang bening, membuat suasana walaupun di tengah kota, terasa lebih sejuk.
Seseorang berdiri di beranda, hanya dengan kaos sederhana dan sarung yang masih dikenakannya, dan kacamata yang lumayan tebal masih menempel di batang hidungnya. Dengan sapa yang hangat dan ramah, mempersilakan aku tuk duduk dan tanpa basa basi lagi, kami langsung ke inti permasalahan.

Semua berawal dari sebuah kitab kuno, milik bangsa ini, yang mungkin bagi banyak orang tak begitu menarik, namun bagi kami berdua, sangat menarik. Dan kami berdua, berpegang pada dua buah kitab kuno yang berbeda. Dari sinilah debat argumentasi kami mulai.

Ada sebuah rasa sesal tentang apa yang aku alami saat membaca tentang kitab yang berisi tentang Serat Sabdo Palon Naya Genggong/ Babad Tanah Jawa. Yang sangat menarik perhatianku adalah jejak perjalanan Sunan Bonang (yang kemudian mereprensentasikan sebuah aliran/keyakinan/kebudayaan tertentu) menuju Kediri, dimana dalam kisah perjalanan itu melewati rintangan, bukan rintangan menurutku, karena rintangan rintangan itu di buat sendiri, sehingga bertemulah Sunan Bonang dengan seorang raja dari dunia alam lain di tanah Jawa ini yang bernama Buta Locaya (yang kemudian mereprensentasikan sebuah aliran/keyakinan/kebudayaan Jawa)  .

Dalam perjalanan itu, Sunan Bonang memindahkan aliran Sungai Brantas, menyumaphi sebuah daerah hingga menjadi kering, susah dalam mendapatkan air, dan perjaka maupun perawan desa itu akan kesulitan dalam hal perjodohan, lantas mengahncur  patung patung peninggalan sejarah dari kerajaan kerajaan dahulu. Sebenarnya apa hak dari, walaupun seorang sunan pun, untuk menyumpah terhadap sesuatu, hingga hanya menimbulkan kesusahan semata, hanya karena perasaan “tidak terima” telah mendapat perlakuan yang dinilai tidak mengenakkan?

Hal inilah yang membuat Buta Locaya tidak terima dan murka. Namun walau sifatnya seorang buta (buto/raksasa), namun dia adalah raja, maka sikapnya pun lebih bersahaja dbandingkan dengan Sunan Bonang. Maka terjadilah adu argumentasi dengan Sunan Bonang. 

Sunan Bonang setelah mendengar nasehat dari Buta Locaya, menyadari kesalahannya karena telah menyebabkan kesengsaraan banyak orang, maka berkatalah “Buta Locaya, saya ini seorang Sunan, tak dapat menarik ucapanku yang sudah keluar. Besok jika telah genap limaratus tahun, maka sungai ini (Sungai Brantas) akan kembali seperti semula”

Nyata nampak didepanku, bahwa apa yang aku temukan dalam kitab itu menunjukkan betapa Buta Locaya, walaupun dia adalah seorang raksasa, namun dengan ilmu tanah Jawa yang dilakukan dan diamalkannya itu, mendapat pengakuan dari Sunan Bonang atas kebenarannya.

Beliau, tuan rumah, kemudian hanya manggut manggut, dan kemudian bercerita tentang kitab kuno yang beliau pegang, Gatholoco. Nama yang cukup familiar di telingaku walaupun aku sama sekali belum pernah mengetahuinya. Timbul penasaranku untuk mengetahui sekilas tentang kitab Gatholoco itu.

Dari beliau, sang tuan rumah, mengatakan bahwa inti dari Gatholoco adalah sama dengan Sabdo Palon, yang berisi tentang perdebatan antara seeorang yang merepresentasikan sebuah aliran/kepercayaan/kebudayaan tertentu, dengan seorang yang merepresentasikan sebuah kultur Jawa. Dan hasil akhir dari kesimpulannya adalah sama dengan Sabdo Palon, yaitu dimana keutamaan dari tanah Jawa adalah lebih utama.

“Namun bagaimanapun Mas, kitab kitab itu kan berasal dari bahasa tutur, yang kemudian ditulis. Nah permasalahannya adalah, tulisan tulisan yang kit abaca ini kan tergantung penulisnya dulu waktu menuliskannya bagaimana. Sebab, kitab kitab seperti ini kan membahas tentang sebuah peristiwa yang ada pada ratusan bahkan ribuan tahun yang lalu. Jadi, benar salahnya, tak seorang pun yang tahu, hanya bias yakin dan tidak, dan itupun tak dapat dibuktikan.”

“Terus gimana Om?” tanyaku pendek

“Menurut saya, yang berpeganglah pada sebuah kitab yang bukan dibuat oleh manusia, tapi berasal dari Tuhan. Itu yang mutlak benar, dan dapat dipertanggungjawabkan….”

Hmmmm…….makin ruwet…….

Thursday, March 29, 2012

DEWI NASIONAL TIBET ADALAH DEWI TARA DARI INDONESIA


Panas dan penat hari ini, di ruas jalan utama yang mengubungkan Yogyakarta dengan Klaten. Begitu menyengat. Dalam perjalanan yang sengaja ku pacu sedikit kecang, mendadak perhatianku tersita oleh plang papan nama kecil, yang jarang diperhatikan orang. Plang nama itu menunjuk pada sebuah candi kecil yang bila dilihat dari ruas jalan itu, Nampak cukup sejuk, dengan pohon besar yang membuat suasana agak sejuk.
Tanpa piker panjang, ku belokkan arah, menuju tempat candi itu, sekedar untuk menyejukkan badan dibawah rimbunnya pohon tua. Rupanya aku tak sendiri di tempat itu. Ada beberapa orang yang juga mengalami hal yang sama denganku. Sejenak ku rehat, ku ambil minuman dingin kesukaanku, dan sebatang rokok kegemaranku. Cis……….enaknya…………..

Seorang yang agak tua duduk sendirian di ujung taman. Menilik pakaian dan perlaatan yang ada padanya, nampaknya orang itu adalah petugas atau setidaknya orang yang berwenang atas candi kecil yang asri itu.
Orang tua tersebut bercerita bahwa candi kecil ini sering disebut sebgai Candi Kalasan, dan beberapa orang lagi meneybutnya dengan Candi Tara. Candi kalasan, karena letaknya yang berada di dekat kantor kecamatan Kalasan, sedangkan Candi Tara, karena tokoh utama yang menjadi sentral dari candi tresebut adalah Dewi Tara. Namun sayang sekali, patung dari Candi tara itu sendiri tidak berada di komplek candi, namun hilang entah kemana. Ada sebagian orang yang menyebutkan bahwa patung Candi Tara itu hingga kini masih berada di Negara Inggris. Entah mengapa dan bagaimana bias terjadi seperti itu.

Konon, candi ini dibuat pada masa Raja Panangkaran dari kerajaan Sriwijaya, dan dibuat oleh puteranya yang bergelar Balaputeradewa, yang menggantikan kedudukan ayahnya. Candi ini dibuat sebagai tempat suci, kuil yang dipersmbahkan kepada Dewi Tara, serta kemudian dibuatlah arca Dewi Tara.

Dalam kisah pewayangan, Dewi Tara adalah bidadari, putrid sulung dari Batara Indra, yang kemudian oleh Batara Guru diberikan kepada Sugriwa, putra Resi Gotama, sebagai hadiah atas jasanya kepada Subali, saudara kandungnya sendiri, atas jasanya telah berhasil membunuh Prabu Maesasura dan Jatasura dari kerajaan Gua Kiskenda. Tak lama menjadi istri Sugriwa, Dewi Tara berhasil di8rebut oleh Subali atas hasutan Prabu Dasamuka, raja Alengka.

Setelah Subali tewas terbunuh oleh panah Gowawijaya milik Ramawijaya, Dewi Tara kembali menjadi istri Sugriwa. Dan setelah Sugriwa meninggal, Dewi Tara kembali ke asalnya, yaitu menjadi bidadari di kerajaan Kaindran, kerajaan dewa ayahnya, Batara Indra.

Bila kemudian dihubungkan dengan Dewi Tara yang di arcakan di negeri Tibet, hal ini karena  waktu abad 11, yaitu 3 abad setelah berdirinya Candi Kalasan tersebut, datanglah Yang Mulia Atisa dari hindia Timur Laut, dan tinggal di kerajaan Sriwijaya utnuk berguru pada Guru Darmakirti, dan menjadikan Dewi Tara sebagai objek meditasi, dan keduanya pun kemudian “berhasil “ melihat wajah dari Sang Dewi Tara. 

Maka setelah ilmu yang didapat dirasa telah emmadai, pulanglah Atisa ke negerinya untuk member spirit baru Budhisme di negerinya, dan kemudian memberikan dorongan untuk penghormatan kepada Dewi Tara, hingga saat ini, Dewi Tara menjadi Dewi Nasional Tibet.

So, siapa sangka Dewi Nasional negeri Tibet itu berasal dari Indonesia?




)dari berbagai sumber

Monday, March 26, 2012

KALARAU, KORBAN KESERAKAHAN PARA DEWA


Lautan menjadi bergemuruh, dengan air yang berputar putar dan meluap luap, sedangakn langit pun mendadak menjadi gelap, halilintar menyambar nyambar, menjadi saksis sebuah kejadian  yang akan tercatat dalam sejarah kehiduapan dunia, bahwa bahkan dea pun mempunyai nafsu, yang kladang tak lebih baik dari makhluk lainnya.

Saat para dewa  bekerja sama untuk menemukan air kehidupan, mereka gunakan segala macam cara dengan kesaktiannya untuk mendapatkannya, bahkan melibatkan para raksasa dan gandarwa, yang terkenal mempunyai tenaga yang luar biasa besar.

Lautan Ksiranarwa yang menjadi pusat tempat mendapatkan air kehidupan itu, menggelegak, akibta dari sebuah Gunung Mandara yang diputar oleh para dewa untuk mengaduk Lautan Ksiranarwa, lautan susu tersebut.

Dewa Wisnu dengan kesaktiannya, menjelma menjadi seekor kura kura raksasa yang bertugas menyangga Gunung Mandara agar tek tenggelam, sedangkan Naga Basuki dengan panjang tubuhnya dan kesaktiannya, melingkari gunung tersebut dan berfungsi sebagai tali pengikat yang ditarik oleh para dewa, gandarwa dan para raksasa lainnya. Para dewa memegang ekor Naga Basuki, sedangkan para raksasa dan gandrwa memegang kepalanya. Dan Dewa Indra yang bertugas memegang puncak gunung agar tak terbang karena putarannya begitu cepat.

Dengan penuh semangat, mereka bekerja sama memutar gunung itu untuk mengaduk lautan Ksiranarwa. Setelah beberapa lama, setelah air lautan meluap luap dan gunung itu menyala nyala, muncullah berbagai dewi dari dalamnya, binatang binatang, dan harta karun yang melimpah ruah dan bertuah. Dan yang terakhir keluar adalah Dewi Dhanwantari, dengan membawa sebuah kendi yang berisi tirta amerta, air kehidupan, dimana siapapun yang meminumnya, akan kekal dan abadi hidupnya.

Karena harta karun yang melimpah ruah lagi bertuah itu kemudian diambil oleh para dewa untuk dimiliknya, maka para gandarwa dan raksasa pun kemudian menginginkan tirta amerta tersebut, dan kemudian tirta amerta itupun menjadi milik para raksasa dan gandarwa. Sebuah bagian yang cukup adil, dimana para dewa telah mengambil harta karun terlebih dahulu, sehoingga wajarlah kiranya biula para raksasa kemudian menginginkan tirta amerta, karena hanya tingal itu bagian untuk mereka.

Melihat para raksasa menguasai tirta amerta, Dewa Wisnu menajdi khawatir, dan kemudian ingin merebutnya. Kemudian dengan kesaktiannya, Dewa Wisnu merubah dirinya menajdi seorang dewi yang cantik jelita, yang bergelar Dewi Mohini, untuk memikat para gandarwa dan raksasa. Siasat itu berhasil dengan cemerlang. Para raksasa terpikat dan lengah oleh bujuk rayu Dewi Mohini, dan tak lama kemudian, tirta merta pun berpindah tangan, menjadi milik Dewi Mohini.

Setelah mendapatkan tirta merta, serta merta Dewi Mohini melarikan sambil merubah wujudnya menjadi wujud aslinya, Dewa Wisnu. Melihat hal ini, para raksasa naik pitam, dan serta merta berlari mengejarnya hingga kahyangan. Maka pertempuran sengit pun tak dapat dihindarkan, antara para dewa melawan para raksasa. Dua buah kekuatan yang seimbang, sama besarnya dan sama sama sakti. Pertempuran semakin lama semakin bergeser, dan paar dewa pun semakin terdesak.

Melihat hal ini, sermakin khawatir Dewa Wisnu akan keselamatan para dewa. Maka dengan senjata pamungkasnya, senjata cakra, Dewa Wisnu ikut bertempur dan denga senjatanya yang terbang menyambar nyambar kepala dari para raksasa. Kesaktian yang tak dapat ditandingi oleh siapapun. Maka, para raksasa pun kemudian lari tunggang langgang menyelamtakan diri dan meninggalkan arena pertempuran. Sehingga kemudian, tirta merta itu jatuh ke tangan para dewa.

Di istana Dewa Wisnu, tirta amerta itupun kemudian dibagi bagikan kepada para dewa, sehingga merekapun hidup abadi. Mengethaui hal tersebut, seorang rakasasa yang tak kalah sakti dan pemberani, putra  dari Sang Wipracitti dan Singhika, rajanya para raksasa, yang bernama Kala Rau  tak mau tinggal diam. Dengan kesaktiannya, dia merubah wujudnya menjelma menjadi seorang dewa, dan turut serta berkumpul di wisnuloka tersebut untuk mendapatkan bagian dari tirta amerta.

Namun sayang sekali, hal itu diketahui oleh Dewa Aditya dan Dewa Candra, dan langsung memberitahukannya kepada Dewa Wisnu. Dewa Wisnu diam sejenak, menunggu saat Kala Rau lengah. Maka, disaat Kala Rau tengah meminum tirta amerta, dan saat air itu baru membasahi bagian tenggorokannya, tiba tiba senjata cakra melayang dan menebas lehernya. Seketika, tubuh Kala Rau jatuh, tanpa kepala, dan tewas karenanya.

Namun karena tirta merta telah menyentuh tenggorokannya, maka kepala itupun masih tetap hidup, dak tak satupun dewa yang mampu membunuhnya. Tubuhnya saja yang mati terpenggal oleh senjata cakra dari Dewa Wisnu.

Kepala Kala Rau itu pun sangat marah kepada Dewa Candra (dewa bulan), karena ulah Dewa Candralah, dia menjadi terbunuh. Maka dengan sumpahnya, Kala Rau akan tetap memburu Dewa Candra, saat pertengahan bulan, yaitu disaat dewa indra muncul sebagai bulan.

Hingga sekarang, bila terjadi gerhana bulan ataupun  matahari, itulah ulah Kala Rau dalam menuntut balas kepada kedua dewa tersebut.







based on Adhi Parwa

Thursday, March 22, 2012

JAYADRATA, SALAH PERGAULAN YANG BERAKIBAT KEMATIAN

Angin berhembus kencang, membawa sebuah benda terbang, hingga sampai di tepi samudera, dan kemudian disambut oleh angin laut yang mengantarkannya ketepian, di sebuah pohon besar yang rindang, dimana dibawah pohon itu duduk dengan anggun seorang tua dengan alis dan janggut yang telah memutih rambutnya. Duduk tepekur, dengan memusatkan segala panca indera, dan mata yang tertutup rapat, dengan nafas yang teratur sempurna.

Perhatiannya pecah, konsentrasinya buyar, dan sedikit demi sedikit  terbuka matanya, saat sebuah benda yang lunak, halus dan masih basah, tiba tiba telah mendarat di pangkuannya. Sebuah benda yang tak tahu dari mana rimbanya. Dengan ketajaman pikir dan panca indera, sejenak kemudian didapatnya sebuah jawaban, bahwa benda tersebut adalah sebuah bungkus dari lahirnya seorang ksatria yang kelak akan menggemparkan dunia dengan kesaktiannya. Arya Werkudara.

Dan adalah Batara Bayu yang rupanya telah mengabulkan  pemujaannya yang telah dia lakukan beberapa warsa. Dengan kesaktian dan kepasrahannya kepada dewata, benda di pangkuannya itupun kemudian dia haturkan kepada dewa, sesuai dengan keinginannya, dan kemudian berubahlah benda tersebut menjadi seorang bayi laki laki yang tampan. Dari sinar matanya, Nampak sebuah kewibawaan yang cukup tinggi nantinya, dan dari tubuhnya, telah Nampak betapa gagah dan perkasa bila telah dewasa kelak.

Sang pertapa, yang terkenal dengan nama Begawan Sapwaniwijawastra dari padepokan Kalingga, sangat gembira atas karunia yang diberikan padanya, yaitu mendapatkan seorang putra yang selama ini di idam idamkannya. Bayi tersebut kemudian diberinya nama Arya Tirtanata, karena bayi ini dia dapat saat bertapa di tepi samudera.

Setelah dewasa, karena di bawah bimbingan Sang Begawan Sapwani tersebut, berubahlah Arya Tirnata menajdi seorang pemuda yang gagah perkasa lagi tampan, dan wajahnya sangat mirip dengan Arya Werkudara, seorang ksatria yang dilahirkan dari satu gua garba dengannya.  walau hal ini sama sekali tak pernah diketahuinya. Dan karena kesaktian dan kegagahannya tersebut, Arya Tirtanata kemudian dinobatkan sebagai raja di kerajaan Sinduraja. Sebuah kerajaan kecil yang berdiri sendiri, lepas dari kerajaan besar, Hastinapura.

Karena ilmu ketatanegaraannya masih belum cukup, dan terdorong oleh keingintahuannya tentang saudara kembarnya, atas petunjuk Sang Begawan, berangkatlah Arya Tirtanata menuju Hastinapura, dan berguru kepada Prabu Pandu Dewanata, sekaligus ingin bertemu dengan saudara kembarnya, Arya Werkudara. Untuk menjaga citra dirinya, di ubahlah namanya, menggunakan nama patihnya, yaitu Jayadrata.

Perjalanan panjang yang dia tempuh, nampaknya tak membuahkan hasil seperti yang diinginkan. Saat kakinya melangkah menuju istana Hastinapura, disana tak dijumpainya Prabu pandu Dewanata, atau bahkan Arya Werkudara.  Mereka semua tengah mengasingkan diri ke hutan, karena kalah bermain judi dengan kerabat istana lainnya.

Dalam kebingungannya, datanglah seorang tua yang berbadan agak kurus dengan berjalan agak membungkuk, berhidung mancung berkumis tipis, dan tatap matanya agak aneh, namun berpakaian bangsawan pula. Rupanya orang ini termasuk orang yang di tuakan di istana Hastinapura. Dialah yang terkenal dengan nama Arya Sangkuni. Melihat kegagahan dari Jayadrata, timbullah pikirannya untuk mengambilnya sebagai salah satu punggawa kerajaan, dalam mempersiapkan perang Barat Yuda yang telah digariskan akan terjadi. 

Dengan janji manis akan dijadikan panglima perang, diberinya istri cantik dari adik sang raja, yaitu Dursilawati, dan dinobatkan menjadi Raja di Buanakeling, nampaknya tawaran itu tak dapat di tolak oleh Jayadrata. Maka, tak berselang lama, jadilah dia raja di Buanakeling, dengan beristrikan adik dari Sang Raja Hastinapura, Arya Duryudana, yang bernama Dursilawati, dan sekaligus menjadi panglima perang Baratayudha.

Seiring waktu, pergaulan yang dilakukan terus menerus dengan kerabat Hastinapura dari keluarga Arya Duryudana yang terkenal dengan sebutan kaum kurawa, maka sifat sifat ksatria dan budi luhur lainnya, telah berangsur surut.

Hal ini nampak sekali saat berkecamuknya perang Baratayuda, dimana pada saat itu, pada hari ketiga belas, Jayadrata  berhasil menghentikan gerakan dari para Pandawa untuk membantu Abimanyu yang tengah dikepung oleh bala kurawa, hingga Abimanyu bertempur mati matian, sendirian, dengan dikeroyok oleh puluhan bala kurawa. Dan adalah sifat dari kurawa yang senang berlaku licik dan culas, akhirnya Abimanyu pun berhasil ditusuk dari belakang, dan selanjutnya menjadi bulan bulanan senjata para bala kurawa yang membabi buta, hingga Abimanyu pun meninggal dengan mengenaskan.

Berita kematian Abimamnyu pun kemudian tersebar dengan cepat, hingga sampai ke telinga sang ayah, Arjuna. Mendengar anak keyangannya mati dengan cara yang mengenaskan, mendidihlah darahnya. Arjuna yang terkenal sangat halus dan santun, bak air danau yang tenang, kali ini menjadi seperti samudera api yang menggelegak menyala nyala, hingga hilanglah akal sehatnya. Dan muncullah sumpah dari mulutnya, bahwa dia akan membakar dirinya pada akhir hari ke empat belas, bila tak berhasil membunuh Jayadrata.

Sumpah itupun kemudian diketahui oleh pihak kurawa, dan Jayadrata sendiri. Maka, pada hari ke empatbelas itu, Jayadrata kemudian disembunyikan oleh para kurawa, dan oleh sang ayah, Begawan Sapwani, hingga haril telah hampir sore hari, Arjuna sama sekali tak dapat menyentuh tubuhnya.
Melihat Arjuna yang semakin kalap, Kresna tak sampai hati, hingga dengan kesaktiannya, dibuatlah gerhana matahari, sehingga orang mengira bahwa hari telah sore, dan pertempuran pada hari itu harus dihentikan. Maka, dengan serta merta, para kurawa yang melindungi  Jayadrata pergi ke kemah masing masing. Dan melihat hari telah mulai gelap, legalah hati Jayadrata, dan kemudian ingin melihat sendiri bagaimana Arjuna akan membakar diri.

Melihat Jayadrata keluar dari persembuyiannya, dan tak ada satu pun kurawa yang menutupinya, dengan bahasa isyarat, Kresna memberitahu Arjuna tentang keadaan itu. Seketika Arjuna membalikkan badannya, sambil mencabut anak panah dari punggungnya dengan tangan kirinya, dan secepat kilat dipasangkan di busur panah yang dari tadi telah dipersiapkan dengan tangan kanannya, dan sekilas kemudian…….wuussshhhh……. anak panah dari busur Arjuna melesat secepat kilat menuju tempat dimana Jayadrata berdiri. 

Bagai kilat menyambar di siang hari, semua orang tak tahu apa yang terjadi, namun yang mereka lihat saat itu adalah, jatuhnya kepala Jayadrata, terpisah dari tubuhnya. Dan Jayadrata pun mati di tangan Arjuna, pada hari ke empat belas perang Baratayuda, seperti yang telah digariskan oleh dewata.

Sang Begawan Sapwani yang melihat peristiwa itu, hanya dapat menangis, meratapi kematian anak yang sangat disayanginya, walau anak tersebut bukan anak aslinya. Namun cintanya melebihi dari segala galanya. Sang Begawan bangkit dan mengambil tubuh anaknya yang telah mati itu, dan membawanya pulang untuk dimakamkan sebagai seorang pahlawan. Sebelum meninggalkan tempat itu, sempat pula Sang Begawan menghaturkan sembah pada Arya Werkudara yang berdiri pula di samping Arjuna.

“Terimakasih Nakmas…… Nakmas telah menghentikan sebuah tindak tak terpuji dari Jayadrata. Maafkanlah semua kesalahan  Adimas……” dan tak lebih dari kedipan mata, Sang Begawan telah hilang dari pandangan mata, sekaligus tubuh dan kepala Jayadrata, Arya Tirtanata, saudara kembar dari Arya Werkudara.

Wednesday, March 21, 2012

DAN YAMADIPATI PUN TERSENYUM DALAM TANGIS...


Seorang yang bertubuh tinggi besar, dengan tatapan mata tajam dan jarang berkedip. Seorang yang dilahirkan dari keturunan para dewa, yang telah digariskan bahwa dia terlahir sebagai sosok yang sangat dingin, tanpa hati dan perasaan. Dan karena sifat asli itulah, maka Sang Batara Guru menganugerahinya dengan seorang istri bidadari yang cantik cantik jelita, keturunan para dewa pula. Dewi Mumpuni, itulah nama sang bidadari yang kini menjadi istri tercintanya.

Namun hati tak dapat dipaksakan, dan anggukan di kepala hanya sebuah ungkapan tanda bakti dan hormat kepada orang tua, sehingga Dewi Mumupuni bersedia menjadi istri sang lelaki gagah perkasa itu. Dalamnya laut dapat diduga, namun dalamnya hati, siapa yang kira. Dewi Mumpuni  sama sekali tak menyintai laki laki yang kini menjadi suaminya. Hatinya kosong,dan gersang bagai sebuah taman tanpa bunga, tanpa air kehidupan.

Suatu saat, berkunjunglah Bambang Nagatamala, putra dari Sanghyang Antaboga, dewa penguasa alam dalam bumi. Dan secara tak sengaja, Nagatamala bersua dengan Dewi Mumpuni. Masing masing tertesona akan keindahannya, dan jatuhlah kedua hati makhluk tersebut dalam sebuah bejana cinta. Hmmmmmm…….
Perasaan mereka semakin kuat, hingga suatu saat mereka mengatur rencana untuk pergi meninggalkan Kahyangan Hargodumilah untuk hidup bersama, di luar sepengetahuan lelaki perkasa itu. Dan rencana yang telah matang segera dilaksanakan. Namun rencana itu tak semulus yang dipikirkan. Seorang abdi mengetahuinya dan segera berlari untuk menyampaikan peristiwa memalukan tersebut, kepada yang berhak, yaitu seorang dewa, raja, dan sekaligus sang suami dari Dewi Mumpuni.

Raut mukanya, sang raja itu,  mendadak berubah menjadi merah padam, matanya menatap tajam seseorang yang duduk bersimpuh dihadapannya dengan muka tertiunduk mohon ampun, belas kasihan. Seorang abdi istana telah melaporkan kejadian minggatnya istri tercinta, dengan sorang laki laki bernama Nagatamala. Bagaimaan ini bisa terjadi? Mendadak sontak tubuhnya yang tinggi besar itu terangkat ke angkasa dan melesat terbang, meninggalkan Kahyangan Hargodumilah, dan memburu seorang yang dianggapnya seorang durjana. Menuju istana Saptapratala, tempat kediaman Nagatamala.

Disana, dijumpainya sang istri sedang berdua dengan Nagatamala, maka perkelahian antara dua dewa pun tak terelakkan. Pertempuran yang dahsyat di atas langit itu, hingga membawa perbawa hingga ke bumi. Samudera menggelegak, angin topan mengamuk, hingga pohon pohon pohon tumbang, dan air hujan tiba dengan begitu derasnya.

Melihat peristiwa itu, Sang Batara Narada turun tangan dan melerai pertikaian. Dilihatnya Dewi Mumpuni tak bergeming, masih duduk di dekat singgasana Nagatamala. Maka, dapat dipastikan bahwa disitulah hatinya tertambat, tidak dengan suaminya. Batara Narada pun kemudian menjelaskan bahwa sudah merupakan takdir, bahwa Dewi Mumpuni merupakan pasangan dari Nagatamala. Maka, laki laki itu, suami dari Dewi Mumpuni, yang bergelar Sanghyang Yamadipati, harus merelakannya.

Dengan muka tertunduk, dan hancurnya segenap bahagian dari hatinya, Sanghyang Yamadipati pun mundur, terbang meninggalkan Kahyangan Saptapratala. Sedangkan sang istri, Dewi Mumpuni, tetap singgah di Saptapratala dan menjadi istri Nagatamala.

Betapa hancur perasaan Sanghyang Yamadipati. Istri yang sangat dicintainya, ternyata selama ini sama sekali tak menaruh hati padanya. Pergilah dia melalang buana, hingga beberapa warsa, Istana Hargodumilah kosong ditinggalkannya.

Sanghyang Yamadipati tetap melakukan kewajiban yang diembannya, sebagai dewa pencabut nyawa. Dalam perjalanan pengembaraannya, hatinya yang kosong dan hampa, menuntunnya pada sebuah perintah untuk mencabut nyawa seorang bernama Setyawan, seorang putra dari Brahmanaraja negeri Syalwa. Dia terbang mencari seorang yang bernama Setyawan, dan dengan kesaktiannya, tak sulit untuk segera menemukannya.  Seorang jujur dan lurus, namun karena kehendak dewata, usianya harus sampai disini.

Masih kurang empat hari, saat Yamadipati harus mencabut nyawanya. Dan selama itu pula, Yamadipati selalu memperhatikan gerak gerik Setyawan. Satu hal yang sangat menarik perhatian dan menggugah hatinya, dimana disisi Setyawan, selalu terdapat seorang yang cantik jelita, dan berbudi luhur, serta sangat saying dan setia kepada Setyawan. Putri  itu ternyata istrinya, yang bernama Sawitri.
Selama 3 hari menjelang kematian Setyawan, Sawitri melakukan puasa dengan berdiri tegak selama 3 hari 3 malam. Hari keempat, dimana hari itulah saat Setyawan harus mati, Sawitri mengikutinya kemanapun Setyawan pergi.

Pada saat mereka berdua pergi ke hutan, Sawitri mengikutinya dari belakang. Dan pada saat Sawitri mengumpulkan buah buahan sedangkan Setyawan membelah kayu kayu kering, mendadak dari wajah Setyawan mengalir deras peluhnya, dan tubuhnyapun terasa dingin. Setyawan berjalan pelan menghampiri Sawitri, untuk minta dipeluknya, hingga hangat tubuhnya.

Saat itu, teringatlah Sawitri akan pesan Batara Narada sewaktu dia menjatuhkan pilihannya untuk berusamikan Setyawan. Saat inilah rupanya kematian itu dating. Dan turunlah Sanghyang Yamadipati yang sejak dari 4 hari sebelumnya mengikuti dan mengamati. Dengan muka yang merah,mata menatap tajam,dan sebuah jerat melingkar di tangan kanannya, tahulah Sawitri bahwa yang dihadapinya adalah Sanghyang  Yamadipati, dewa pencabut nyawa.

Saat dibawanya tubuh Setyawan oleh Sanghyang Yamadipati, Sawitri pun mengikutinya. Beberapa kali Yamadipati menyuruhnya untuk pulang, namun Sawitri tak bergeming sedikitpun. Yamadipatipun kehabisan akal, dan bertanyalah ;

“apa yang kau inginkan sawitri? Katakana, asal jangan minta suamimu hidup kembali”
“kemanapun suami hamba pergi, disitulah hamba berada. hamba minta kekuasaan dan kesehatan ayah mertua hamba dikembalikan seperti semula.”
“baik, aku kabulkan. Sekarang pulanglah, sebelum payah”
“hamba tak akan payah selama hamba berdampingan dengan  suami  yang jujur dan berbudi luhur”
“apa lagi yang kamu ingin Sawitri?”
“hamba mohon diberi 100 orang putera dan hidup di suatu kerajaan yang sejahtera, bahagia dan sempurna”
“baik, akan ku kabulkan. Sekarang pulanglah…”
“bagaiamana hamba bisa berputera 100 orang bila hamba tak bersuami? Tak ada gunanya hidup panjang dan bahagia bila tak ada suami di sisi hamba. Maka, hidupkan suami hamba….”

Mendengar perkataan itu, Yamadipati tertegun sejenak. Sekilas pikiranya melayang ke belakang, kepada sebuah peristiwa beberapa warsa lalu, saat dia ditinggalkan oleh istri tercintanya, Dewi Mumpuni.

“Andai kesetiaan Dewi Mumpuni seperti ini……….” Hatinya berbisik.

Tak terasa pipinya basah, air bening keluar dari kedua kelopak matanya.nafasnya tersendat, tenggorokannya kering.

“Sawitri, kesetiaanmu tiada tara…..”bisiknya dalam hati.
“Baik Sawitri, ku lepaskan nyawa suamimu, dan hiduplah kembali. Berbahagialah dengan suamimu, Setyawan, dan akan kuberi usia 100 tahun…”

Dan Yamadipatipun kemudian menghilang, terbang ke angkasa, dengan meninggalkan aroma wangi di sekeliling tubuh Setyawan.

Dan mereka berdua pun akhirnya hidup dalam bahagia, dengan 100 orang putera yang gagah laghi tampan.

Sanghyang Yamadipati pun tersenyum dalam tangis…….