Sunday, May 20, 2012

BUTO CAKIL, PRAJURIT SEJATI TAAT MENGABDI

Sebagai seorang dari bangsa raksasa, laki laki ini sama sekali tak menunjukkan sifat sifatnya sebagai bangsa raksasa. Tubuhnya yang kecil, seukuran dengan tubuh manusia biasa, dengan cara pakaian yang walaupun sederhana, namun sama persis dengan manusia biasa, demikian juga dengan senjata yang selalu menemaninya, yang terselip di punggungya, sebilah keris  kecil berlekuk, layaknya senjata dari para ksatria biasa.

Namun sebagai seorang yang terlahir dari bangsa raksasa, tetap saja mempunyai ciri khusus yang membedakan antara bangsa manusia dengan bangsa raksasa, yaitu adanya sepasang taring di mulutnya. Dan anehnya, taring ini tidak tumbuh di deretan gigi bagian atas, namun justru di bagian bawah. Demikian juga dengan sifatnya. Sifat sifatnya sama sekali tak berbeda dengan bangsa raksasa. Angkuh, congkak, sombong, dan tak  mempunyai aturan dalam pergaulan.

Hidupnya yang selalu di hutan belantara, dengan mengais kehidupan dari merampas dan merampok orang. Namun karena kehidupan seperti  ituah yang membentuk dan membesarkannya, maka keahlian dan kepiawaiannya pun menjadikan dia sebagai seorang prajurit  pilih tanding, yang selalu berada di ujung garis pertempuran. Apapun yang diperintahkan oleh rajanya, dengan tanpa berpikir panjang, laki laki ini akan melaksanakannya, walaupun nyawa taruhannya. Laki laki ini terkenal sebagai prajurit sejati yang tak pernah menolak perintah, dan selalu menjaga kehormatannya sebagai seorang ksatria, yaitu bertempur dengan cara ksatria, tanding, satu lawan satu.

Hutan yang sangat lebat, adalah tempat tinggalnya, dan siapapun yang melewatinya, sesuai dengan perintah rajanya, akan dia hadang dan di bunuhnya. Saat sedang beristirat di atas sebuah dahan pohon besar yang tinggi menjulang, di melihta seorang yang berjalan sendirian, memasuki wilayah keuasaanya. Dengan serta merta dia meloncat terbang turun ke bawah dan menghadang orang itu.

“Siapakah kau dan apa maksudmu datang ke tempat ini?” katanya tegas saat dia mendarat tepat di depan orang itu, hingga terhenti langkahnya. Suaranya melengking tinggi. Memang seperti itulah suaranya.
“Siapakah kau dan apa maksudmu mengentikan langkahku?” jawab orang itu.

“E…e…e….e..ba…bo….ba…..bo……. ditanya malah ganti bertanya! Aku adalah Cakil, ksatria dari kerajaan Gondomayit! Hentikan langkahmu dan kembalilah! Ini perintah dari rajaku!” kata laki laki yang mengaku bernama Cakil.
“Aku adalah Arjuna, dan aku tetap akan meneruskan perjalananku, apapun yang terjadi, hei Buto Cakil!” jawab orang itu.
“Ba…bo….ba…bo…. Arjunaaaa…….. pulanglah, tak ada gunanya kau meneruskan perjalananmu, karena kau harus kembali, atau mati di tanganku!” Buto Cakil mulai bersiap, karena dia melihat bahwa Arjuna pun juga bersikap yang sama.
“Dengan berat hati, aku tak kan kembali Buto Cakil…” jawabnya.

Maka, seketika Arjuna berhenti berkata kata, Buto Cakil telah meloncat menyerangnya dengan beringas. Arjuna yang telah bersiap sebelumnya, dengan tenang dapat menghindar serangan Buto Cakil, dang anti menyerang balik. Dan yang terjadi kemudian adalah, sebuah medan pertempuran yang mengerikan, saling serang, asling sikut, berloncatan, dan sesekali terbang di antara pepohonan.

Debu debu beterbangan, teriakan mengaduh, suara benturan, dan kilat kilat saling menyambar dari kedua laki laki itu, menunjukkan bahwa pertempuran semakin meningkat, hingga masing masing telah mengeluarkan senjatanya.
Saat Cakil menyerang dengan beringas, hingga lupa akan pengamatan dirinya, dengan sekali gerak, Arjuna berhasil meraih tangan yang menjulurkan kerisnya. Dengan gerakan yang sangat cepat, hal ini tak diduga sama sekali oleh Cakil. Maka, dengan sekali gerak tangan cakil berhasil diputar dan menancaplah keris itu ke tubuh tuannya sendiri.

Cakil terhuyung huyung jatuh dengan dada tertembus keris oleh tangannya sendiri. Darah mengalir deras dari dadanya, dan robohlah tubuh itu meyentuh tanah. Dan Buto Cakil pun mati sebagai seorang ksatria, yang bertempur satu melawan satu, dan tanpa sikap sikap curang di dalamnya.

Buto Cakil, walau dia adalah bangsa raksasa dan ditakdirkan selalu kalah dalam peperangan, namun dia adalah prajurit sejati, pantang mundur dari laga, dan melaksanakan segala perintah dari ajanya dengan sebaik baiknya. Buto Cakil adalah gambaran dari rakyat biasa, rakyat kecil, yang selalu berada di garis paling depan, selalu tunduk pada penguasa, walaupun menjadi korban, demi penguasa juga.

Thursday, May 10, 2012

SURJAKUSUMA, "KOK NASIBKU SELALU SIAL???"

Dilahirkan dari darah raja, dalam kerajaan besar, dimana sejak lahir telah terbiasa dengan segala keinginan yang telah siap sedia, menjadikan laki laki ini cenderung  tak mempunyai keahlian dan kemampuan apa apa.

Ayahnya adalah seorang raja, yang bergelar Arya Duryudana, orang nomer satu di kerajaan besar pula, Astinapura. Setiap Negara kecil, bergidik bila mendengar nama negara itu disebut. Sebuah Negara penakluk, dengan keluarga yang berjumlah seratus, walau mereka tak dapat berbuat apa apa, namun beberapa orang dibelakangnya, adalah orang orang yang mempunyai kemampuan luar biasa, yang hanya mampu ditandingi oleh Negara Amarta, dengan rajanya Prabu Yudisttira, induk dari negara negara kecil lainnya yang dipimpin oleh empat orang  saudara lainnya.

Lingkungan kerajaan yang serba ada, membuat laki laki itu tumbuh menjadi seorang yang manja, malas, dan gemar berfoya foya, serta membuaskan nafsu badaniah lainnya. Tubuhnya yang tidak begitu besar, dengan raut muka putih pucat, demikian pula dengan kulitnya, perut sedikit buncit, tatapan mata sayu, semakin menunjukkan kebiasaannya yang tak mau bekerja keras seprti halnya saudara saudaranya dari Amarta, putra dari keturunan Pandu yang masih bertalian darah dengannya.

“Surjakusuma……..” seorang kakek kakek memanggil namanya saat laki laki itu sedang duduk berpangku tangan di taman istana.
“Iya Paman……” jawabnya malas, karena dia tahu siapa paman yang memanggilnya itu juga pemalas.
“Kamu dari tadi duduk dibangku itu, memandang langi, sesekali menarik nafas panjang, dan tak kau sentuh makanan di sebelahmua. Apa yang kamu pikirkan?” Tanya kakek kakek itu sambil berjalan menghampirinya duduk.
“Paman Sengkuni, nasibku kok selalu sial……” katanya pendek tanpa melihat ke arah kakek kakek yang dipanggilnya Sengkuni itu.
“Apakah aku kurang tampan? Kurang kaya? Kurang sakti? Aku kan anak raja Astinapura, tentunya aku kaya. Aku kan juga murid Paman Durna, tentunya aku juga sakti. Wajahku kan juga tampan Paman….” Katanya kali ini sambil berdiri dan beretriak teriak.
Sengkuni hanya berdiri sambil menahan tawa. Dan celakanya, Surjakususma mengetahuinya.
“Mengapa Paman malah menterawakan aku? Paman mengejek ya? Tidak percaya kalau aku tampan, kaya dan sakti?” Surjakusuma semakin keras.
“Percaya Ngger, percaya. Siapa to yang bisa mengalahkan cucuku yang paling tampan dan sakti ini?” kata Sengkuni meyakinkan.
“Lalu mengapa Paman? Mengapa tak seorang wanita pun mau menjadi istriku?” Surjakusuma berteriak sambil menengadah, seolah mengharap jawabn tidak hanya dari pamannya, namun juga dari langit.
Belum lagi Sengkuni menjawab, bagai banjir, Surjakusuma telah mulai berkata kata lagi.

“Bukankah Paman ingat, Wahyu Cakrangingrat? Wahyu itu telah masuk ke tubuhku Paman. Wahyu itu telah memilihku sebagai seorang yang pinunjul, sakti, yang kuat menerima anugerah dari dewata itu. Namun apa yang terjadi? Tiba tiba wahyu itu cabut, keluar dan meninggalkan tubuhku. Apakah ini bukan sial namanya?” katanya sambil bertanya tanpa mebutuhkan jawaban.
“Ngger, siapapun yang menerima wahyu, dia harus bersyukur, dan kemudian melaksanakan kewajibannya sebagai sesorang yang telah mendapatkan kehormatan, dengan laku prihatin, arif dan bijak. Tapi apa yang Angger lakukan kemudian? Angger malah berfoya foya, mabuk mabukan dengan gadis gadis, berlaku maksiat, panataslah kiranya wahyu itu pergi meninggalkan Angger, yang masih berkubang dengan nafsu badaniah keduniawian….” Kata Sengkuni menjelaskan.
“Aaaahhh…Paman bohong! Paman ingat juga Diajeng Siti Sendari? Pergiwa? Diajeng Titisari? Mengapa mereka lebih memilih Abimanyu, Gatotkaca, dan Bambang Irawan?” katanya sambil membusungkan dadanya dan mengepalkan tangannya.

Sengkuni semakin sakit perutnya menahan tawa. Dada yang dibusungkannya, malah semakin memperlihatkan tulang tulang iganya, sedangkan kepalan tangannya, bagai sekepal tangan anak anak yang lemah dan tanpa kekuatan sama sekali. Namun bagaimanapun, Sengkuni tak mungkin menyakiti hatinya, maka dengan segala pujian dia lontarkan untuk membesarkan hati keponakannya yang dia kasihi.

“Bambang Surjakusuma, Lesmana Mandrakumara anakku……..” kata Sengkuni dengan nada asih.Yang dipanggil dengan nama lengkap itupun tersenyum senyum bangga.
“Mereka adalah puteri puteri bodoh yang tak dapat melihat kemewahan dunia, baju bagus, muka tampan dan tubuh gagah. Tak mengapa anakku, suatu saat kamu harus buktikan bahwa kamu adalah yang paling hebat di antara mereka…” kata Sengkuni membesarkan hati.
“Kapan “saat” itu Paman?” katanya dengan tergesa gesa seolah ingin cepat tiba waktunya.
“Pada saat Perang Baratayuda, Abimanyu akan menjadi senopati perang. Buktikan jika kamu bisa mengalahkannya…..” kata Sengkuni lagi. Bagai matahari tengah hari, Surjakusuma seperti mendapatkan gambaran yang jelas tentang apa yang akan dia lakukan.

Dan benar, saat perang Baratayuda berkecamuk, dilihatnya Abimanyu menjadi senopati perang di sayap selatan dari medan pertempuran. Bagaimanapun, dia tetap bisa mengukur bahwa kemampuannya masih jauh di bawah Abimanyu, Putra Arjuna, yang telah memenangkan Siti Sendari darinya, yang gemar melakukan tapa prihatin dan memperdalam ilmunya, sedangkan dia masih tetap dalam dunia foya foya dan berpersta dengan gadis gadis.

Maka, saat Abimanyu telah terkepung oleh saudara saudaranya, Bala Kurawa, berjalanlah dia dengan penuh percaya diri. Tubuh Abimanyu yang telah penuh luka, dengan sribu panah menancap di tubunya, pasti akan mudah baginya untuk mengalahkannya. 

Disibakkanya kerumunan Bala Kurawa yang mengepung Abimanyu, dan dengan sombongnya, dia menyerang Abimanyu sejadi jadinya, dengan kemapuan yang dimilikinya. Namun lawannya adalah Abimanyu, seorang ksatria yang pantang menyerah, dengan kemampuan diatas manusia biasa, sekaligus merupakan titisan Dewa Bulan, maka walau dengan keadaan yang menyedihkan, masih pula mampu meladeni serangan Surjakusuma yang semakin membabi buta.

Terjadilah perang tanding di dalam lingkaran itu. Surjakusuma dengan congkak dan percaya diri, menyerang dengan penuh kebengisa, karena dendam yang luar biasa. Sedangkan Abimanyu, lebih memilih bertahan dan sesekali menyerang balik saat Surjakusuma lengah. Dan benar, saat merasa Surjakusuma berada di atas angin, lengahlah seluruh perhatiannya. Maka dengan serangan yang menentukan, dikerahkannya segenap tenaga Abimanyu mengunjamnkan kerisnya ke dada Surjakusuma.

Semua mata terbelalak, seolah tak percaya apa yag dilihatnya. Putra Mahkota Astinapura, jatuh roboh di tanah, dan mati terbunuh oleh Abimanyu yang telah sekarat menahan sakit sekujur tubuhnya. Sedangakn Surjakusuma pun jatuh di tanah, dengan darah mengalir didadanya. Suasan heing, dan sejenak kemudian mereka tersadar apa yang terjadi. 

Tubuh Surjakusuma kemudian di angkat, di panggul dan kemudian dibawa meninggalkan medan tempur untuk dihaturkan kepada ayahnya, Arya Duryudana.  Surjakusuma, betapa sial dan malangnya, namun diakhir hidupnya, dia berusaha untuk menjadi ksatria, walau hanya sekedar “ksatria”.

Wednesday, May 9, 2012

SEPENGGAL KASIH JAYADRATA


Matahari telah tergelincir ke arah barat, seolah telah lelah mengiringi perseteruan dua keluarfa besar yang tengah menyabung nyawa demi kuasa di Hastinapura. Satu pihak berjuang mati matian untuk mempertahankan kekuasaan, sedangkan pihak lain berjuang untuk menegakkan kebenaran dan keadilan sekaligus memperjuangkan hak haknya, sedangkan beberapa pihak lain, tak dapat mengindar dan harus memilih berpihak ke salah satu, karena alas an hutang budi, keluarga dan lain sebagainya.

Disana sini terjadi pertempuran, nyawa nyawa melayang, darah tumpah membasahi pertiwi, nafas nafas memburu, senjata beradu, ksatria melawan ksatria, panglima melawan panglima. Namun di beberapa tempat, Nampak pula pertempuran yang tak berimbang, dimana satu orang melawan beberapa, bahkan puluhan orang, sedangkan seorang ksatria hanya melawan prajurit prajurit biasa.

Perang, bagaimanapun telah di atur dalam segenap perjanjian dan peraturan, adalah tetap perang. Yang mempunyai sifat asli saling bunuh untuk memenangkan pertempuran, bagaimanapuin caranya.

Adalah Abimanyu, seorang ksatria muda yang berwajah tampan, mirip sekali dengan sang ayah, Raden Arjuna dari pihak Pandawa, yang kala itu turut serta bertempur menyabung nyawa demi keluarga besarnya, darah pandawa.

Dengan kesaktian dan kanuragan yang dimilikinya, tak sulit untuk untuk menggempur sayap selatan dari medan pertempuran yang telah dipsrahkan kepadanya sebagai Senopati perang, oleh uwaknya, Sri Kresna.
Namun tanpa sepengetahuan Abimanyu, rupanya pihak lawan, mempersiapkan siasat busuk. Semakin Abimanyu menggempur musuh musuhnya, semakin banyak pula musuhnya dating dan mengepungya, sedang bala bantuan prajurit Abimanyu, seolah tertahan oleh suatu garus batas lautanb manusia, hingga tak dapat menjangkaunya. Kini tinggallah Abimanyu bertempur, sendirian!

Matahari kian condong ke barat menuju peraduannya. Sedangkan Abimanyu, kini benar benar telah sendirian.  Betapa kuatnya seoarng Abimanyu, namun kali ini musuh musuhnya adalah puluhan, dan setiap seorang roboh, datang lagi seorang, dua orang begitu seterusnya. Begitulah siasat dari Kurawa untuk melumpuhkan Abimanyu.

Dengan pertempuran yang tak seimbang, dalam saat Abimanyu lengah, meluncurlah sebuah panah dari belakang yang menembus dadanya. Kurawa memang menyerang Abimanyu dari berbagai arah. Tak cukup hanya satu jenis senjata, namun segala senjata mereka pergunakan, dan dari manapun serangan itu berasal. Sungguh licik.

Melihat keadaan Abimanyu yang semakin melemah, beramai ramai mereka menghunjamkan senjatanya kea rah tubuh lemah itu. Tubuhnya semakin lemas, dengan segenap kekutana yang tersisa, Abimanyu berusaha melawan dan mengelak segala serangan. Pandangan matanya telah menjadi agak kabur, tubuhnya penuh dengan luka, sedangkan batang panah masih beberapa yang menancao di tubuhnya.
Matahari kian kelam, sinarnya melemah, selemah keadaan tubuh dari Abimanyu. Namun musuh musuhnya masih juga menghajarnya beramai ramai.

“Hentikaaaaaaaannnn!!!!” teriak seseorang diantara mereka.
Seranganpun berhenti dan semuanya menoleh kearah datangnya suara itu. Terlihat seseorang yang tengah membawa senjata di tangan kanannya, mengangkatnya tinggi tinggi.
“Apa yang kau lakuakn Yuyutsu?” Tanya seseorang yang bertubuh gemuk dan pendek, dengan senjata golok di tangannya.
“Dia telah tak berdaya, dia telah kalah. Bukankah dia juga saudara kita? Mengapa kalian menganiayanya sedemikian rupa?” teriak orang yang dpanggilnya dengan naman Yuyutsu.
“Apa pedulimu? Di sini, dia adalah musuh yang harus dibinasakan….” Kata kata dari orang pendek gemuk itu berhenti disertai dengan serangan beramai ramai lagi terhadap Abimanyu yang telah berdiri tegak. Abimanyu semakin parah, digempur dari sana sini, sedangkang Yuyutsu hanya bisa berteriak teriak memperingatkannya. Lelah dengan teriakannya, Yuyutsu melemparkan pedangnya ke tanah, dan kemudian pergi meninggalkan kerumunan dari saudara saudaranya yang tengah menyiksa Abimanyu.

Seiring dengan kepergian Yuyutsu, di kerumunan itu hadirlah seekor gajah besar, dengan seorang ksatria duduk di atasnya. Sejenal mereka berhenti,namun setelah tahu siapa ksatria itu, mereka kembali menyiksa Abimanyu.

Melihat keadaan seperti itu, bagai terbang, meloncatlah ksatria itu dan langsung turun di tengah kerumunan.
“Hentikanlah Kakang, tak baik menyiksanya. Ingatlah akan karma……” katanya dengan tegas. Mereka kemudian surut dan menghentikan penyiksaannya. Mereka hafal sekali dengan tabiat ksatria yang menunggang gajah itu, yang terkenal dengan nama Jayadrata.

Suasana hening, matahari masih bersinar walau semakin lemah. Jayadrata berdiri tegak di depan Abimanyu, sedangkan bala kurawa telah berangsur surut ke belakang. Raut mukanya muram, nafasnya tertahan, dan tak terasa matanya telah panas menahan sebuah rasa haru menyaksikan Abimanyu, sang kemenakannya itu dengan tubuh lemah, penuh luka dan berdarah darah. Walaupun mereka berhadapan sebagai musuh, namun darah keluarga saat itu muncul tak dapat dicegah.

“Lukamu terlalu parah Nak…… ijinkan saya untuk menyudahi penderitaanmu…..” katanya dengan terbata bata sambil mengatur nafasnya.
Abimanyu diam. Keadaan tubuhnya telah tak memungkin untuk menjawab. Hanya dengan kekuatan yang tersisa, dia melemparkan kerisnya, satu satunya senjata yang masih ada ditangannya kea rah Jayadrata, pamannya, namun meleset, karena matanya telah mulai kabur dan tubuhnya telah sangat lemah.

Melihat keadaan Abimanyu yang semakin meyedihkan, tanpa menunggu lagi, kemudian Jayadrata melangkah menuju Abimanyu berdiri sambil mengeluarkan senjata Kyai Glinggang, sebuah gada yang berukuran kecil . maka dengan sekali kibasan, tubuh Abimanyu roboh bersimbah darah, dan tewas di medan pertempuran.
Jayadrata, seiring dengan robohnya tubuh Abimanyu, hatinyapun hancur berkeping keeping. Sebelum tubuh lemah itu jatuh kle tanah, ditangkapnya tubuh tak bernyawa itu, dan kemudian dibaringkannya dengan penuh kasih.

Satu persatu anak panah yang menancap ditubuh Abimnayu, dicabutinya dengan sangat hati hati. Bagai seorang tua tengah memandikan anak bayinya. Matanya semakin panas dan tak tanpa disadarinya, beberapa air mata telah jatuh menimpa tubuh kemenakannya yang penuhy dengan luka. Bala Kurawa yang menyaksikan peristiwa itu hanya tertegun, saling pandang dan kemudian satu persatu meinggalkan tempat itu.
Matahari semakin lemah, sinarnya semakin temaram, langit merah semburat. Telah bersih tubuh Abimanyu, tubuhnyapun kemudian diangkat di atas dengan kedua tangannya dan diletakkannya di depan dadanya. Dengan sekali loncatan, terbanglah Jayadrata yang tengah membawa tubuh Abimanyu itu ke atas gajah tunggangannya.

Lalu dengan secepat kilat, ditariknya tali kekang gajah dan menghelanya menuju arah utara, ke tempat para Pandawa. Apa yang Nampak memang sangat mentedihkan. Jayadrata dengan membawa tubuh Abimanyu yang tak bernyawa, dengan menunggang seekor gajah berlaria menuju kubu pasukan Pandawa.
Setelah sampai di kubu Pandawa, Jayadrata turun sambil membawa tubuh Abimanyu, dan kemudian diletakannya tubuh itu di atas tanah.  Dan untuk menghindari kejadian yang tak diinginkan, sejenak kemudian dia telah meloncat ke atas punggung gajahnya dan kemudian berbalik menuju kubu Kurawa, markas  besarnya.

Jayadrata tak memikirkan apa yang dipikirkan orang lain terhadap tindakannya. Yang dia yakini adalah dia berusaha meringakan beban  Abimanyu dalam menempuh jalan kematiannya yang telah digariskan oleh Sanghyang Wenang, dan sebagai paman, dia berusaha memberikan yang terbaik untuk kemenekannya hingga masa akhir hayatnya. 

Tuesday, May 8, 2012

CANTRIK JANALOKA, DUNIA MEMANG TAK PERNAH ADIL......


Tak banyak orang yang tahu tentang asal usul laki laki berperawakan sedang ini. Dengan pakaian yang sederhana, terkesan apa adanya, dengan cara bicara, tingkah laku yang tanpa dibuat buat, benar benar asli khas orang dari desa.

Tanpa banyak suara dan kata kata, yang ada hanya mengabdi, teguh pada janji, seperti yang dia ucapkan dulu waktu pertama kali datang untuk mengabdi dan sekaligus mempelajari  ilmu kehidupan kepada seorang yang bijaksana.

Adalah Begawan Sidiqwacana, yang bermukim di pertapaan Andhongsekar, tempat laki laki sederhana dari dusun ini mengabdi. Sebagai seorang yang mengabdi di sebuah pertapaan, laki laki itu dipanggilnya dengan nama Cantrik, yaitu seseorang yang mengabdikan hidupnya untuk melayani sekaligus belajar dan menitipkan seluruh jiwa raganya kepada gurunya, si empunya pertapaan.
Suatu pagi, Sang Begawan memanggilnya.

“Janaloka…….” Panggil Sang Begawan.
“Hamba Kanjeng Begawan….” Laki laki yang dipanggilnya Janaloka itu datang menghadap dengan tergopoh gopoh.  Janaloka, itulah nama aslinya, sedangakan sesuai dengan pekerjaannya, maka banyak yang menyebutnya Cantrik  Janaloka. Pengabdiannya begitu besarm hingga dia sangat menjaga segala perintah dari Sang Begawan dengan sebaik baiknya, termasuk dalam hal menghadap, dia tak mau berlama lama ataupun menunda.
“Hari ini, anak asuhmu berdua, akan menyusul ayahnya ke Amarta. Tolong kamu ikuti mereka berdua, dan jagalah mereka dengan baik, seperti yang selama ini telah kamu lakukan di pertapaan ini…..” kata Sang Begawan dengan nada tegas.
“Jangan sampai terjadi hal hal yang tidak kita inginkan bersama, apalagi hingga nyawa.” Pesannya lagi
“Baik Kanjeng Begawan, akan hamba laksanakan perintah dan pesan Kanjeng Begawan. Hamba bersumpah untuk menjaga putri  berdua dengan sebaik baiknya. Bila hamba berani kurang ajar terhadap mereka, biarlah hamba menemui celaka, kehilangan tempat tinggal, lapar dan dahaga, dan mati dalam keadaan mengenaskan karena dikeroyok oleh orang banyak.” Kata Cantrik Janaloka mantap.

Dan ketika matahari terbit esok pagi, berangkatlah mereka bertiga, Cantrik Janaloka, dan kedua putri anak dari Arjuna, dan Endang Manuhara, anak cari Sang Begawan, yang bernama Pergiwa dan Pergiwati. Pagi hari itu,dimana matahari telah menghamparkan sinarnya yang hangat di pelataran Pertapaan Andhongsekar, hangatnya tak sempat dinikmati oelh Cantrik Janaloka. Hal ini karena perhatiannya begitu tertancap dan tersita oleh kedua putrid, yang pada pagi hari itu terlihat begitu segar dan cantik jelita. Tak seperti hari hari biasanya.

Dengan disaksikan Sang Begawan serta beberapa orang yemng menguni pertapaan itu,mereka bertiga berangkat, berjalan melewati jalan setapak yang ada di tengah hutan. Mengingat itulah satu satunya jalan menuju Amarta, istana dari Arjuna, ayah dari kedua putri itu.
Saat mereka telah memasuki hutan yang lebat, hari tengah beranjak siang. Janaloka yang berjalan kadang di depan dan di belakang putrid putrid itu, hingga dapat leluasa memperhatikan dan menikmati keindahan yang dimiliki kedua putri  itu.

Janaloka, betapapun dia hanya seorang cantrik, dari dusun pula, namun dia juga adalah laki laki dewasa yang normal. Beberapa kali dihempaskannya hasrat ke laki-lakiannya, memandang bahwa kedua putrid itu adalah tuannya.

Namun keadaan ditengah hutan, dimana tak ada seorangpun kecuali mereka bertiga, seorang laki laki dewasa, dan dua orang putrid nan cantik jelita, syetan sangat meraja. Saat mereka tiba di sebuah jalanan yang agak lebar, dengan sebuah “amben” yang terbuat dari papan kayu di pinggir jalan, tempat para pejalan kaki beristirahat, mereka pun juga beristirahat untuk melepas lelah dan mengambil bekal yang dibawa dari pertapaan.

Janaloka sebagai abdi yang menyiapkan jamuan untuk kedua putrid, menjadi semakin tak ada jarak diantara mereka. Semakin meluaplah  ke”laki-laki”an Janaloka. Semakin dekat semakin meluap dan tak terbendung. Maka bagai seekor macan yang menemukan seekor kelinci, dengan beringas Janaloka berusaha untuk bertindak kurang ajar terhadapa kedua putrid itu, dengan melanggar sumpahnya sendiri.

Dengan segala daya upaya, Pergiwa dan Pergiwati berusaha menyadarkan Janaloka dari nafsu syetannya.  Diingatkan pula padanya akan sumpah dan janji setianya kepada ayahanda mereka, Sang Begawan Sidiqwacana. Dan entah ada angina apa yang meniup hutan itu, Janaloka bisa menyadari kesalhannya, dan seketika pula duduk bersimpuh dan memohon ampun pada tuan putrid. Namun bagaimanapun, sumpah telah dilanggar.

Dan benar, sejak peristiwa itu, selama dalam perjalanan, Janaloka merasakan lapar dan dahaga yang luar biasa, semua tempat yang dilaluinya menjadi kering, tak dapat dimakan olehnya.  Selama itu pula penderitaanya harus dia rasakan, sebagai buah dari sumpahnya sendiri yang telah dia langgar.
Sementara itu, di negeri  Astina dan Amarta, sedang terjadi sebuah perlombaan, dimana masing masing pihak berusah untuk mendapatkan Dewi Siti Sendari, putrid dari Sri kresna,  yang akan dijodohkan dengan Leksamanamandrakumara dari Astina, dan Abimanyu dari Amarta, anak Arjuna.

Kedua pihak saling berebut terlebih dahulu memenuhi persyaratan yang di minta oleh Siti Sendari, yaitu dengan menghadirkan sepasang “patah kembar” sebagai  abdi untuk acara pernikahannya. Bala Kurawa, saudara saudara dari Leksamana dari Astinapura, dengan bala tentara lengkap, berusaha mendapatkan “patah kembar” tersebut, dengan mencarinya ke hamper seluruh pelosok desa. Sedangkan dari Amarta, Abimanyu sendirilah yang berusaha mendapatkannya.

Alam perjalanan pencariannya itu, Bala Kurawa bertemu dengan mereka bertiga, Janaloka, Pergiwa dan Pergiwati. Melihat dua orang putrid cantik kembar jelita, yakinlah mereka bahwa inilah syarat yang diminta oleh Siti Sendari. Maka dengan serta merta, mereka ingin membawa kedua putrid tersebut ke Astinapura, untuk kemudian diserahkan pada Leksaman, sebagai syarat untuk meminang Siti Sendari.

Pergiwa dan pergiwati, yang melihat Bala Kurawa dengan polah tingkahnya, takut tak karuan, dan melarikan diri sekuat tenaga. Janaloka, sebagai seorang laki laki, yang merasa bertanggung jawab atas keselamtan kedua putri  itu, dengan gagah perkasa mengahadapi puluhan Bala Kurawa tersebut.

Sedangakan kedua putri itu, dalam pelariannya sekuat tenaga, dengan tanpa mengenal wilayah hutan tersebut, akhirnya jatuh terperosok ke dalam jurang. Abimanyu yang kebetulan sedang berjalan di sekitar jurang tersebut, mendengar jerit dua orang wanita yang mengaduh kesakitan, sontak bagai terbang, berlari menuruni jurang tersebut, dan menemukan kedua putri itu sedang terduduk dengan mengaduh menahan sakit di sekujur tubuh. Maka kemudian ditolongnya kedua putrid tersebut dan dibawanya ke Amarta.

Janaloka, yang tinggal sendirian di tengah hutan, dengan dikepung oleh puluhan Bala Kurawa, tak mengetahui peristiwa itu. Yang di tahu adalah dia harus melindungi kedua putir tuannya itu. Maka, tak ada jalan lain, kecuali menyabung nyawa, demi  kehormatan putri, sang Begawan dan dia sendiri.

Terjadilah pertempuran yang tak seimbang. Janaloka berdiri sendirian dengan senjata yang sangat sederhana, sedangkan musuhnya adalah Bala Kurawa yang bersenjata lengkap. Dan yang lebih mengerikan adalah, Bala Kurawa terkenal dengan perang yang tak mengenal aturan. Bahkan perlakuan terhadap musuh yang tak berdayapun, sangat menyedihkan.

Maka, betapapun kuat tenaga Janaloka, menghadapi puluhan Bala Kurawa bersenjata lengkap yang menyerang tak beraturan, lambat laun habislah tenaganya. Kejadiannya dapat diduga, Janaloka tewas dengan mengenaskan, tubuhnya hancur tercerai berai.

Cantrik Janaloka, bagamainapun telah  berlaku sebagai seorang ksatria, yang rela menyabung nyawa demi kehormatan kedua putrid yang dititipkannya, sang Begawan yang menjadi gurunya, yang dia sendir sebagai seorang laki laki sederhana.

Thursday, May 3, 2012

BRATASENA, SANG JAGAL ABILAWA....


Perjalanan panjang yang cukup berbahaya, karena sebuah perjanjian apabila dalam perjalanan sekaligus sebagai persembunyian itu dapat diketahui oleh seseorang, siapapun, maka perjalanan persembunyian itu gugur, dan harus diulang lagi dari awal.

Tak mudah memang, tapi kata telah terucap. Darah ksatria yang mengalir di kelima saudara ini itu menuntutnya untuk mematuhi apa yang telah mereka ucapkan. Walaupun kejadiannya adalh kecurangan yang terang benderang, namun kata telah terucap dan disaksikan segenap rakyat dan kerabat yang hadir pada saat itu.
Tak mungkin bagi kelima ksatria ini akan berperilaku seperti apa adanya, karena ciri ciri yang melekat pada kelimannya, tentu akan sangat mudah di kenali orang.

“Kalian sebaiknya berbaur di tengah masyarakat Adimas……” suatu senja, setelah menyantap makan malam alakadarnya, hasil masakan dari ibunda tercinta yang turut serta dalam pembuangan ini.
“Apa maksudmu Kakang……” jawab laki laki yang tadi dipanggilnya dengan kata “Adimas”.
“Bagaimanapun, perjalanan kita cukup panjang, dan persyaratannya adalah perjalanan itu tak boleh diketahui oleh seorangpun. Maka lebih baik kita berbaur dengan masyarakat, menyamar seperti mereka dan menanggalkan semua tanda tanda yang ada pada kita. Itu akan lebih mempermudah perjalanan kita.” kata laki laki yang dipanggilnya dengan “Kakang” tersebut.
“Maksud Kakang Samiaji?” laki laki berempat yang ada di depannya itu bertanya hampir bersamaan.
“Begitulah. Masing masing dari kalian pergilah ke masyarakat dan berbaur dengan mereka, menjalani hidup seperti mereka pula, dengan pekerjaan sesuai yang kalian bisa. Pikirkanlah mala mini baik baik, dan besok pagi  segera kalian turun berbaur dengan mereka.” Pintanya dengan nada asih terhadap keempat ksatria di depannya yang tak lain adalah adik adiknya. Sang ibu yang menyaksikan peristiwa itu, tak mampu mennyembunyikan rasa haru, dan tak terasa matanya telah basah oleh air mata, yang telah menetes membasahi kedua pipinya.

Fajar menyingsing, matahari masih merah di ujung timur, seorang bertubuh tinggi besar dan gagah, dengan kumis tebal melintang, telah datang menghampiri dua orang laki laki dan perempuan yang tengah berada di depan perapian. Nampak sebuah belanga tergantung di atas perapian itu. Yah, laki laki di depan perapian itu adalah Samiaji, sedangkan perempuan itu adalah ibunya, Dewi Kunti.

“Aku pamit Kakang, Ibunda…..” katanya dengan suara berat, berdiri di depan kedua orang itu.
“Akan kemana kamu Nak?” Tanya ibunya sambil bangkit dari duduknya, dengan penuh keheranan. Demikian juga dengan Samiaji.
“Aku akan turun ke dusun yang paling dekat dengan hutan ini. Disana nanti pasti akan kutemui pekerjaan yang sesuai dengan kemampuanku…..” jawabnya tegas.
“Berhati-hatilah Nak…… “ jawab ibunya sambil memegang tangan laki laki itu.
“Hati hati Dhimas, jangan sampai siapapun mengetahui siapa dirimu…” kata Samiaji sambil menepuk punggungnya.

Pagi itu pula, laki laki tinggi besar itu berangkat meninggalkan pondok di hutan tengah hutan, tempat mereka tinggal. Matahari telah mulai menampakkan sinarnya, telah mulai hangat hari itu, saat laki laki itu memasuki sebuah dusun, dimana rupanya penduduk dusun itu juga berjalan menuju sebuah tempat kerumunan.
Laki laki itu mengikuti para penduduk itu, ingin tahu apa yang terjadi di tempat kerumunan itu. Rupanya, kerumunan itu terletak di tengah sebuah tanah lapang, dengan berbagai macam orang berkumpul disitu dan berkativitas jual beli, berdagang segala macam barang.

Laki laki itu kemudian berjalan mengitari kerumunan yang di tanah lapang tersebut, yang disebut dengan pasar. Beberapa kali matanya melihat aktivitas orang orang yang ada di situ, namun dari sekian banyak, sama sekali tak menarik perhatiannya. Beberapa lama dia berputar putar ditempat itu.

Mendadak, di ujung sebelah selatan, dari jalan tempat masuk pasar itu, orang orang berlarian sambil berteriak teriak, membuat suasana pasar semakin rebut. Muka muka pucat dan nafas terngah engah Nampak dari beberapa orang yang berlarian itu. Demikina juga dengan penghuni pasar. Mereka ada juga yang ikut lari menyelamatkan diri.
Seorang laki laki yang lari terbirit birit ketakutan, semakin takut lagi saat tangannya digapit oleh seseorang yang tak dia kenal, bertubuh tinggi besar pula.

“Apa yang terjadi?” Tanya laki laki tinggi besar yang menggapit tangannya.
“Hewan Ki Jagal, lepas, menghancur apa saja yang ada di dekatnya. Bahkan rumah Ki Jagal hampir roboh dibuatnya. Hewan itu berlarian tak tentu arah, tadi hewwan itu berlari menuju kesini….” Jawabnya dengan gemetar dan wajahnya pucat pasi.

Dan benar, sebuah hewan yang berukuran sangat besar, lebih besar dari hewan biasanya, tengah berlari dan menghancur apa saja yang dilewatinya. Orang orang berhamburan menyelamatkan diri. Beberapa orang yang berusaha menghenrtikannya, justru terpental jauh dan menjadi korban.

Hewan itu semakin beringas, dan berlari hingga memasuki pasar. Maka dalam sekejap, pasar itu telah luluh lantak di terjang kemarahan hewan itu. Melihat telah tak ada seorangpun yang mampu menghentikannya, laki laki tinggi besar itu menghampiri hewan yang tengah mengamuk di tengah pasar itu.

Yang  terjadipun kemudian dapat ditebak. Terjadi perkelahian dahsyat antara hewan berukuran raksasa itu dengan laki laki tinggi besar. Debu bergulung gulung di tanah lapang itu, bekas dari pijakan pertempuran.  Keadaan pasar menjadi semakin luluh lantak. Orang orang justru seperti mendapat pertunjukan.  Semakin lama semakin sengit, karena melihat keadaan yang semakin hancur disana-sini, laki laki itu ingin segera menyudahi perlawanan hewan itu.   
Maka dengan kemampuan kanuragan yang dimilikinya saat hewan itu semakin membabi buta menyerangnya, laki laki itu berhasil meloncat dan duduk di punggung hewan itu. Maka dengan segenap kemampuannya, di pukullah punggung hewan itu dengan tangan kanannya, dengan sekuat tenaga. Dan yang terjadi adalah diluar dugaan semua orang yang menyaksikannya. Hewan itu menjerit keras dan sejenak kemudian, hewan itu jatuh tersungkur, diam dan mati.

Sedangkan laki laki itu berhasil meloncat sebelum hewan itu jatuh berguling guling di tanah. Melihat kejadian itu legalah orang orang yang menyaksikan. Belum juga reda lelahnya, belum kering keringatnya, dari ujung jalan, Nampak seorang setengah tua berlari larian mendatanagi laki laki yang berhasil membunuh hewannya. Dengan tergopoh gopoh, laki laki setengah tua itu memegang tangan laki laki tinggi besar yang masih penuh dengan peluh, dan mengucapkan terimakasih yang tak terhingga.

“Terimakasih Nakmas…..terimakasih. Nakmas telah berhasil mengentikan polah tingkah hewan in. namaku Ki Jagal Welakas. Pekerjaanku adalh tukang jagal, menyembelih hewan hewan seperti yang Nakmas bunuh ini. Entah mengapa hewan ini begitu sulit diatur, bahkan untuk menyembelihnyapun, aku tak mampu…..” katanya sambil dengan masih memegang erat tangan laki laki tingi besar itu.
“Hmmmmm…….” Laki laki tinggi besar itu hanya  menarik nafas panjang seraya membasuh peluhnya dengan tangannya.
“Apa yang kamu lakukan disini Nakmas…..?” bertanya kemudian Ki Jagal.
“Aku mencari pekerjaan Ki…. “ jawabnya pendek.
Bagai melihat terangnya sinar matahari, Ki Jagal tersenyum gembira. Pucuk dicinta, ulam tiba. Katanya dalam hati.
“Ikutlah aku Nakmas……. Aku membutuhkan orang semacam Nakmas……” pintanya.
“Hmmmmm……” laki laki tinggi besar itu mengangguk pelan.
“Siapakah namamu dan dari mana Nakmas berasal?” bertanya kemudian Ki Jagal.
Laki laki itu diam sejenak. Tak mungkin baginya untuk mengatakan yang sebenarnya. Dia teringat benar akan pesan ibu dan kakak sulungnya. Sementara ki Jagal masih menunggu jawaban darinya.
“Abilawa…….” Jawabnya pelan.
“Baiklah. Mulai hari ini, Nakmas bernama Jagal Abilawa…..!” kata Ki Jagal Welakas. 

Dan sejak hari itu, Abilawa bekerja padanya, sebagai seorang jagal, tukang menyembelih hewan. Dan tentang siapakah Abilawa, hingga kembalinya laki laki tinggi besar itu ke pondokan dan melanjutkan kehidupan ksatrianya, tak seorangpun di lingkungan dan pasar itu mengetahuinya.