Wednesday, February 29, 2012

MERAPI ANAK NAKAL, SO.....


Merapi dan sekitarnya, nampaknya seperti sebuah ensiklopedi, gudang ilmu kemasyarakatan yang tak kan pernah lekang oleh waktu. Disana terdapat banyak sekali kisah legenda yang hidup hingga sekarang, dan layak untuk dipertahankan dan dipelihara, demi kelestarian alam dan kearifan lokal yang tetap terpelihara dan menjadi pedoman bagi perikehiduan.

Kisah legenda yang masih cukup kental itu hidup di daerah kaki Gunung Merapi, baik yang diwilayah Sleman, Klaten, Boyolali, maupun Magelang. Seprti yang terjadi di wilayah Boyolali paling barat. Di sebuah dusun kecil, yang masih cukup rapat pepohonan dan tanaman tanaman keras lainnya, masyarakat sekitar masih sangat percaya akan kisah kisah itu, dan mereka yakin akan dapat terlindungi oleh amukan dari Merapi.

Mereka mengisahkan apabila terjadi erupsi, walaupun tetap waspada, namun mereka yakin bahwa aka nada kekeuatan lain yang tak kalah besarnya dengan kekuatan Merapi yang dapat melindugi mereka. Sebuah gumpalan awan panas yang datangpun, bila telah sampai ke dusun mereka, dalam waktu tertentu mereka mendengar bunyi letusan yang tak begitu keras, namun cukup terdengar oleh seluruh warga. Letusan itu hamper mirip dengan suara cemeti yang di lecutkan sebanyak tiga kali.

Dari mana asal suara letusan itu? Suara itu membahana di angkasa, dan sejenak kemudian gumpalan awan panas di angkasa itupun pecah, terbelah, hingga tak sampai turun ke dusun mereka. Apa yang terjadi, hingga begitu hebatnya sebuah letusan dapat menyibakkan awan panas Merapi?
“Kui Biyunge mbenakake setagen Le…..” kata orang tua itu.
“Itu Bibinya mbenerin tali pinggangya Nak…”.

Biyunge disini yang dimaksud adalah Gunung Bibi, yang berada di sebelah tenggara dari Gunung Merapi. Sebuah gunung kecil, yang konon katanya adalah penghasuhnya Merapi. Bisa dipersonifikasikan bahwa Merapi adalah seorang anak yang nakal, sehingga perlu pengasuh yang handal.

Hal ini juga dapat dibuktikan dari pengalaman beberapa pendaki gunung,apabila mereka tersesat atau hilang di wilayah Merapi sebagai anak yang nakal, mereka sering kali ditemukan di Gunung Bibi. Konon pula, penunggu Gunung Merapi kalah “awu”, kalah tua ataupun masih kalah ilmu di banding dengan penunggu Gunung Bibi.

So, berwisatalah ke desa desa, disana masih cukup banyak kisah legenda yang dapat memuat kita berkaca dan intropeksi, dan betapa alam kian hari kian merana……

Tuesday, February 28, 2012

THAT BAD LADY HAS NAME "RARA JONGGRANG"


Kadang, akal manusia tak dapat mencerna berbagai macam hal yang terjadi di dunia. Semua tak terlepas dari keterbatasan yang dimilikinya, demikian juga dengan kelebihan yang dimiliki pula, sebagai anugerah dari Yang Maha Kuasa. Kelebihan dan keterbatasan yang dimiliki oleh manusia adalah anugerah. Dapat dibayangkan betapa repotnya bila pendengraan kita ini tak terbatas kemampuannya, maka dapat dipastikan kita tak akan dapat tidur karenanya, karena semua hiruk pikuk umat yang ada di dunia ini dapat kita dengarkan. Subhanallah….

Pun demikian dengan logika dan nalar seseorang. Dan bila saat nalar tak dapat berjalan dengan baik, kita masih dapat mencari jawabnya. Apabila telah stagnan, kita dapat bertanya apada orang yang lebih tahu, atau lebih berpengalaman. Hal itu, dapat membuat nalar yang terbatas, kembali menjadi segar, karena simpul simpul telah terbuka, dan ditemukannya hal hal baru yang kadang sama sekali tak kita duga.

Dalam keterbatasan nalarku, ku mengunjungi seorang yang telah sangat berpengalaman, banyak makan asam garam kehidupan, dan secara keilmuan spiritual, beliau termasuk seseorang yang dapat diunggulkan.
Bermula dari beberapa candi kecil yang kulewati, dengan bangunan yang sangat sederhana, tak terkenal, dan informasi yang ada pun sangat minim. Dan lokasi candi candi tersebut, jarak satu dengan yang lain, tak begitu jauh, dan seolah membuat sebuah pola, yang tersentralkan pada sebuah candi agung yang sangat megah, Candi Prambanan.

Rupanya, candi candi kecil tersebut adalah peninggalan sebuah kisah dari terjadinya Candi Sewu, permintaan Rara Jonggrang kepada Bandung Bondowoso. Sebagian dari kita tentu telah mengetahui sejarah terjadinya patung Rara Jonggrang di komplek Candi Prambanan. Namun kisah yang aku dengar, adalah sama sekali berbeda.

Dikisahkan bahwa Rara Jonggrang adalah puteri dari Raja Baka. Sebuah keraton yang berada di atas pegunungan. Rakyatnya hidup sejahtera, dan rajanya sangat dihormati oleh raktyatnya. Beberapa sejarawan menyebutnya Kerajaan Di Atas Awan. Hal ini karena letaknya yang memang di atas pegunungan, dan peninggalan sejarah Keraton Baka itupun, hingga sekarang relative masih cukup lengkap.

Negeri subur makmur itu, mendadak diserang oleh Kerajaan Pengging (sekarang Boyolali bagian barat), yang dipimpin oleh putra mahkota yang gagah perkasa lagi sakti mandraguna, yang bergelar Bandung Bondowoso. Kerajaan Baka pun hancur, takluk oleh Bandung Bondowoso, bahkan sang raja, ikut terbunuh, dan meninggalkan puteri yang cantik jelita, yang bernama Rara Jonggrang.

Karena kecantikannya, Bandung Bondowoso ingin mengambilnya sebaga permaisuri. Sang putri, tak dapat menolak, namun dia tak dapat memungkiri nuraninya bahwa dia tak mau diperistri oleh Bandung Bondowoso. Kemudian dicarilah berbagai alasan agar Bandung Bondowoso tak dapat memperisitrinya, yaitu dengan syarat bahwa dia mau diperistri, asalkan Bandung Bondowoso dapat membuat seribu candi, dalam waktu satu malam saja.

Bandung Bondowoso adalah seorang laki laki, raja, yang sakti, dengan pengikut berbagai macam makhluk halus. Dan semua pengikutnya, tak satupun yang berani membantah perintah Bandung Bondodwoso. Persyaaratan disanggupi, dan kemudian dia mengheningkan cipta, memohon kekuatan dan mengumpulkan semua pengikut pengikutnya. Semua makhluk halus yang bermukim di gunung, lembah, hutan, semuanya dikerahkan.

Pada malam berikutnya, dimulailah perkerjaan maha besar itu. Masing masing dari pengikutnya, harus membuat candi, dengan bentuk tertentu, dan sebelum pagi menjelang, sudah harus tertata  di sebuah tanah lapang di samping candi Prambanan.  


Dari segala penjuru, pekerjaan membangun candi di mulai, namun di segala penjuru pula, Rara Jonggrang menyebarkan dayang dan pembantu pembantunya, dengan tujuan untuk menggagalkan usah tersebut. Dengan berbekal jerami kering, gejog lesung, pembantu Rara Jonggrang menggagalkan usaha pembuatan candi itu. Namun setiap kali mereka gagal, setiap kali pula mereka membuat candi baru, dengan arah yang mendekati Candi Prambanan. Demikian seterusnya.

Hingga pada saat saat terakhir malam itu, di pusat penempatan candi candi itu ke daerah Prambanan, tak ada pilihan lain. Kali ini, Rara Jonggrang sendiri yang harus beraksi. Dibakarlah jerami disisi timur, sehingga nampak seolah olah fajar telah menyingsing, dan lesung yang ditabuh bertalu talu, yang menandakan penduduk desa telah bangun dan menumbuk padi, sehingga ayam ayam pun berkokok. Lengkap sudah suasana pagi yang dia ciptakan.

Bandung Bondowoso yang masih sibuk mengawasi para pengikutnya, tiba tiba terkejut mendapati anak buahnya telah lari tunggang langgang meninggalkan pekerjaanya, karena mereka takut akan sinar matahari. Candi candi yang telah tertata rapi, baru 999 buah. Kurang satu. Yah, kurang satu lagi. Namun bagaimanapun, seribu adalah seribu. Bukan sembilan ratus sembilan puluh sembilan. 

Fajar menyingsing, Bandung Bondowoso tak dapat berkilah, walau dia menyimpan amarah yang sangat, karena dia tahu bahwa Rara Jonggrang  telah menggagalkan usahanya dengan cara yang licik. Diajaknya Jonggrang untuk memeriksa dan menghitung jumlah candi. Yah, kurang satu!

Jonggrang Nampak kegirangan. Walau dengan raut muka yang disembunyikan, namun Nampak sekali bahwa dia gembira, bahwa kerja keras Bandung Bondowoso telah dapat dia gagalkan.
Bagaimanpun, bandung Bondowoso adalah laki laki, yang tak sudi kerja kerasnya telah di curangi, walau oleh orang yang sangat dicintai. Harga dirinya tak dapat menerima hal itu. Maka dengan kata kata yang penuh amarah dan mengeluarkan kesakstiannya, dia berkata lantang;

“Rara Jonggrang, aku memang telah gagal memenuhi permintaanmu untuk menciptkan seribu candi dalam satu malam. Namun kegagalanku bukan karena ulahku, tapi karena kamu telah berlaku pengecut! Maka, akan aku tuntaskan pekerjaan ini hingga menjadi seribu candi, dan yang satu candi itu adalah, ENGKAU!!!!!”

Kata kata lantang itu diucapkan dengan dilandasi  kesaktian, dan dengan jari menunjukk ke Rara Jonggrang untuk mengutuknya. Dan halilintar menggelegar, langit gelap, naga naga petir bersahutan di udara, sebagai tanda menyaksikan bahwa seorang dara cantik jelita, karena kelakuannya, telah dikutuk menjadi batu.

Dan patung Rara Jonggrang itu, sampai sekarang masih tetap ada, demikian juga dengan candi candi keacil lainnya. Maka, cukup masuk akal bila kita berjalan jalan di sekitar wilayah Candi Prambanan, dengan ditarik garis lurus ke arah timur laut (kea rah Pengging), disitu akan dijumpai beberapa  candi kecil, bekas candi, candi rusak tak berbentuk, tak sempurna, bahkan ada beberapa bagian candi yang terpisah pisah dengan candi candi induknya. Itulah ulah perbuatan para pembantu Rara Jonggrang.

Konon, petilasan dari Rara Jonggrang berada di Dusun Semoyo, Wonosari, Patuk, Gunung Kidul. tempat Rara Jonggrang beristirahat dengan ditemani oleh dua orang pengawal. Saat dua pengawal itu mencarikan sumber air untuk minum, Rara Jonggrang menunggunya di bawah pohon duduk diatas batu, sambil menyisir rambutnya yang hitam ikal dan panjang. Tanpa terasa saat selesai, Rara Jonggrang mendapati helai helai rambutnya yang jatuh.

Dipungutilah helai helai rambut itu dan kemudian dibungkus dengan kainnya, dan lalu dipendamnya di dalam tanah di tempat itu. Tempat yang sekarang kita kenal sebagai Dususn Semoyo tersebut. ada cerita tutyur yang mengatakan terjadinya dusun Semoyo, yang berarti menunda waktu. Bahwa di tempat itulah Rara Jonggrang menunda nunda wakttunya untuk berpikir tentang niat Bandung Bondowoso yang ingin menyuntingnya. Entahlah.... 

Friday, February 24, 2012

BERBUDHI BISA JADI ADALAH SOLUSI


Cukup menggelitik angan dan pikiran bila ingat akan Sabda Palon. Dalam Kitab Ramalan Sabdo Palon dan Dharmagandhul, diceritakan bahwa Sang Sabdo Palon, sosok pemomong raja raja tanah jawa itu, murca, mokswa, menghilang dari kewajibannya karena pada saat itu, Sang Raja, Prabu Brawijaya, yang tengah lari  ke Blambangan,untuk mencari bala bantuan dari Cina dan Bali untuk memukul mundur serangan dari anaknya sendiri, Raden Patah yang memimpin Demak,  dihentikan oleh Sunan Kalijaga. 

Dalam pertemuan itu, Sunan Kalijaga berhasil meng-islam-kan Prabu Brawijaya, namun Sang Pemomong, yaitu Sabdo Palon, tak bersedia mengikuti jejak Rajanya untu menganut agama Islam. Maka Sang Sabdo Palon memutuskan untuk memisahkan diri, dan ditanya akan pergi kemana, beliau menjawab bahwa beliau tak akan pergi, namun hanya menjelma dalam berbagai wujud dan menetapkan  bahwa dia bernama Semar,  dan dalam wujud yang samar.

Dalam naskah ramalan Sabdo Palon disebutkan bahwa beliau berkata :
Sabdo Palon menjawab kasar :
“Hamba tak bersedia masuk Islam Sang Parbu, karena saya ini raja serta pembesar Dang Hyang tanah Jawa yang membantu cucu serta para raja Tanah Jawa. Sudah diagriskan, bahwa kita harus pisah sang Prabu…”
“Berpisah dengan Sang Prabu, dan kembali ke asal mula saya. Namun perlu Sang Prabu Catat, bahwa kelak setelah 500tahun, saya akan dating dan mengganti agama Budha lagi (agama budhi, kawruh budhi), dan saya sebar ke seluruh tanah Jawa.”
“Bila ada yang tak mau memakai agama Budha, akan saya hancurkan. Menajdi makanan jin setan dan lain lainnya. Belum lega hati saya bila belum saya hancur leburkan. Dan saya akan memebuat tanda akan datangnya kata kata saya ini. Kelak bila Gunung Merapi meletus dan memuntahkan laharnya”
“Lahar itu mengalir ke barat daya, baunya tak sedap. Itulah pertanda kedatangan saya. Sudah mulai menyebarkan agama Budha (kawruh budhi). Kelak Merapi akan menggelegar. Itu sudah takdir Hyang Widi, tak dapat diubah lagi.”

Yang cukup menarik pikiranku adalah, “Hamba tak bersedia masuk Islam Sang Parbu..”. Adalah wajar dan merupakan hak setiap umat, bahwa tak seorangpun berhak untuk memaksakan kehendak untuk mengikuti agama maupun keyakinan tertentu terhadap orang lain. Karena setiap umat memepunyai hak azasi, pola pikir dan pilihan sendir sendiri. Dan yang tidak bersedia mengikuti agama maupun keyakinan tertentu, seharusnya tak perlu sakit hati karena seseorang telah menuntukan pilihannya sendiri, apalagi kemudian mengancam dan lain sebagainya.

Yang menarik pula adalah tentang apa yang disebut sebagai agama Budha (kawruh Budhi). Apabila yang dimaksud adalah benar benar agama Budha, rasanya seperti yang tertulis diatas, tak perlu ancaman dan tekanan. Bukankah kita semua tahu bahwa semua agama adalah baik, semuanya mengajarkan tentang cinta kasih sesame, untuk kemuliaan umat masing masing dan semesta.

Namun bila yang dimaksud agama Budha adalah kawruh budhi, memang seharusnya kita harus berkaca dan membelalakkan mata. Boleh kita melihat ke diri kita masing masing, dan bertanya, bahwa apakah kita sekarang ini masih termasuk ke dalam golongan manusia yang “berbudhi”???

Yang mencintai tanah kelahirannya, sejarah dan kebudayaannya, kearifan local yang hidup abadi di dalamnya. Rasanya, tak berlebihan bila dikatakan bahwa kita, telah sedikit bergeser, dan meninggalkan apa yang di masuk sebagai “budhi” tersebut. Arus dunia barat begitu ganas menggempur kita, dalam segala segi kehidupan. Dan kita, seperti yang pernah dikatakan oleh Guruh Sukarno Putra, bahwa kita telah kehilangan karakter sebagai bangsa. Dan hal inilah yang menyebabkan begitu lemahnya sendi sendi kita bangsa Indonesia untuk dapat bertahan dari gempuran arus barat.

Apakah arus dari barat itu buruk? Tidak!! Semuanya tergantung dari kita untuk menyikapinya, dan itu diperlukan karkater yang kuat. Pernah  diberitakan bahwa seorang ibu muda, telah kehilangan bayi mungilnya, meninggal dunia, karena sang ibu asyik bermain BB. Apakah ini salah BB? Tentu tidak! 

Ini hanyalah sekedar contoh kecil bahwa kita, telah meninggalkan apa yang seharusnya menjadi esensi, namun lebih mementingkan gengsi dan hal hal remeh temeh lainya. Mungkin seperti itulah yang dimaksud dalam Ramalan Sabdo Palon tersebut, bahwa beliau akan menyebarkan kawruh budhi  lagi, karena diakui maupun tidak, “berbudhi” itu sekarang tak lebih dari sekedar wacana, slogan, dan campaign campaign lainnya.

Rasanya, belum terlambat bagi kita untuk kembali “berbudhi”. Dan dengan “berbudhi” rasanya segala macam perkembangan dan kemajuna jaman, dapat dimanfaatkan lebih optimal dan arif.

Tuesday, February 21, 2012

SANG RAJA DENGAN TUNGGANGAN SINGA


Sebuah tugas yang cukup menarik, pergi ke timur, di kota kecil perbatasan wonogiri bagian timur. Sebuah kota berbukit bukit, dengan deretan pegunungan di kiri kanan jalan. Cukup jauh memang bila di tempuh dengan sepeda motor dari kotaku. Namun rasa penasaran dan keingintahuanku tentang kota itu, tak menyurutkan tekadku. Setidaknya, tinggal semalam di kota itu, cukuplah.

Dari kota solo, ku menuju ke selatan, kea rah kota wonogiri, untuk selanjutnya menembus jantung kota wonogiri dan terus melaju ke kota tujuanku. Jalan antar kota yang tidak terlalu lebar, berkelok kelok dan di kiri kanan menghampar sawah dan ladang, dengan pegunungan yang berdiri kokoh di ujung sebelah sana.
Pemandangan seperti ini,mengingatkanku akan kota kota lain yang mempunyai karakter hampir sama, yaitu sebenarnya mereka adalah kota kota tua, sisa sisa peradaban masa lampau. Dan setelah cukup laam ku berkendara, hari telah ahmpuir sore, tibalah aku di pintu gerbang kota. Sangat khas, dan unik. Begitu jelas karakter kota kecil ini, dolihat dari pintu gerbang, dan nama nama daerah yang ku lalui.

Masuk ke jantung kota, matahari telah condong ke barat. Sejenak ku berkeliling, untuk melihat lihat suasana dan penginapan. Namun perjalananku terhenti, oleh sebuah monument yang cukup besar, dan terasa aneh di mataku. Patung seorang yang gagah perkasa, dengan cemethi yang cukup besar di tangan kanannya, dan tangan kirinya memegang kendali sebuah kereta yang dikendarainya. Dan lebih aneh lagi, kereta tersebut tidak ditarik oleh kuda, akan tetapi oleh binatang buas, raja hutan, yang sama sekali tak masuk akal untuk menarik sebuah kereta.

Ku hentikan perjalananku dan sejenak ku melepas lelah dipatung yang berada di sudut alun alun kota itu. Beberapa lama aku mengamati patung itu, dan bertanya tanya, siapakah gerangan beliau ini, hingga yang menarik keretanyapun, adalah sang raja hutan.

Ku sulut rokok dan duduk dibawahnya, sambil mengorek ngorek otakku untuk mencari jejak tentang sapakah yang di patungkan itu. Sebuah patung yang cukup besar dan nampaknya merupakan kebanggan pula bagi kota kecil itu.

Belum juga habis rokokku, dan belum juga otakku jernih, tiba tiba lewat di depanku seorang bapak bapak.  Dari gurat gurat di wajahnya, Nampak dia adalah orang yang telah banyak makan asam dan garam kehidupan ini. Dan diapun kemudian duduk tak jauh dari tempatku. Tak piker panjang, aku hampiri dia, dan bertanya tentang patung yang megah itu.

Diceritakan tentang patung tersebut. Sosok itu adalah Batara Katong, cikal bakal dari kota Ponorogo, yang pada jaman dulu merupakan kerajaan kecil bagian dari Majapahit, yaitu kerajaan Wengker.
Batoro Katong, memiliki nama asli Lembu Kanigoro, tidak lain adalah salah seorang putra Prabu Brawijaya V dari selir yakni Putri Campa yang beragama Islam. Mulai redupnya kekuasaan Majapahit, saat kakak tertuanya, Lembu Kenongo yang berganti nama sebagai Raden Fatah, mendirikan kesultanan Demak Bintoro. Lembu Kanigoro mengikut jejaknya, untuk berguru di bawah bimbingan Wali Songo di Demak. Prabu Brawijaya V yang pada masa hidupnya berusaha di-Islamkan oleh Wali Songo, para Wali Islam tersebut membujuk Prabu Brawijaya V dengan menawarkan seorang Putri Campa yang beragama Islam untuk menjadi Istrinya.

Hal seperti ini rupanya menimbulkan konflik di antara para bangsawan, Sebagaimana dilakukan oleh seorang punggawanya bernama Pujangga Anom Ketut Suryongalam. Seorang penganut Hindu, yang berasal dari Bali.

Pujangga ini, kemudian  pergi meninggalkan Majapahit, dan membangun peradaban baru di tenggara Gunung Lawu sampai lereng barat Gunung Wilis, yang kemudian dikenal dengan nama Wengker (atau Ponorogo saat ini). Ki Ageng Ketut Suryangalam ini kemudian di kenal sebagai Ki Ageng Kutu atau Demang Kutu. Dan daerah yang menjadi tempat tinggal Ki Ageng Kutu ini dinamakan Kutu, kini merupakan daerah yang terdiri dari beberapa desa di wilayah Kecamatan Jetis

Ki Ageng Kutu-lah yang kemudian menciptakan sebuah seni Barongan, yang kemudian disebut Reog. Dan reog tidak lain merupakan artikulasi kritik simbolik Ki Ageng Kutu terhadap raja Majapahit (disimbolkan dengan kepala harimau), yang ditundukkan dengan rayuan seorang perempuan/Putri Campa (disimbolkan dengan dadak merak). Dan Ki Ageng Kutu sendiri disimbolkan sebagai Pujangga Anom atau sering di sebut sebagai Bujang Ganong, yang bijaksana walaupun berwajah buruk.

Pada akhirnya, upaya Ki Ageng Kutu untuk memperkuat basis di Ponorogo inilah yang pada masa selanjutnya dianggap sebagai ancaman oleh kekuasaan Majapahit. Dan selanjutnya pandangan yang sama dimiliki juga dengan kasultanan Demak, yang nota bene sebagai penerus kejayaan Majapahit walaupun dengan warna Islamnya. Sunan Kalijaga, bersama muridnya Kiai Muslim (atau Ki Ageng Mirah) mencoba melakukan investigasi terhadap keadaan Ponorogo, dan mencermati kekuatan-kekuatan yang paling berpengaruh di Ponorogo. Dan mereka menemukan Demang Kutu sebagai penguasa paling berpengaruh saat itu.

Demi Islamisasi, penguasa Demak mengirimkan seorang putra terbaiknya yakni yang kemudian dikenal luas dengan Batoro Katong dengan salah seorang santrinya bernama Selo Aji. Raden Katong akhirnya sampai di wilayah Wengker, lalu kemudian memilih tempat yang memenuhi syarat untuk pemukiman, yaitu di Dusun Plampitan, Kelurahan Setono, Kecamatan Jenangan. Saat Batoro Katong datang memasuki Ponorogo, kebanyakan masyarakat Ponorogo adalah penganut Budha, animisme dan dinamisme.

Singkat cerita, terjadilah pertarungan antara Batoro Katong dengan Ki Ageng Kutu. Ditengah kondisi yang sama sama kuat, Batoro Katong kehabisan akal untuk menundukkan Ki Ageng Kutu. Kemudian Batoro Katong berusaha mendekati putri Ki Ageng Kutu yang bernama Niken Gandini.
kemudian melakukan Islamisasi Ponorogo secara perlahan namun pasti.

Pada tahun 1486, hutan dibabat atas perintah Batara Katong, tentu bukannya tanpa rintangan. Banyak gangguan dari berbagai pihak, termasuk makhluk halus yang datang. Namun, karena bantuan warok dan para prajurit Wengker, akhirnya pekerjaan membabat hutan itu lancar.

Lantas, bangunan-bangunan didirikan sehingga kemudian penduduk pun berdatangan. Setelah menjadi sebuah Istana kadipaten, Batara Katong kemudian memboyong permaisurinya, yakni Niken Sulastri, sedang adiknya, Suromenggolo, tetap di tempatnya yakni di Dusun Ngampel. Oleh Katong, daerah yang baru saja dibangun itu diberi nama Prana Raga yang berasal atau diambil dari sebuah babad legenda “Pramana Raga”. Menurut cerita rakyat yang berkembang secara lisan, Pono berarti Wasis, Pinter, Mumpuni dan Raga artinya Jasmani. sehingga kemudian dikenal dengan nama Ponorogo.

Adapun tentang patung kereta yang ditarik oleh singa di sudut alun alun itu, menurut beliau adalah karena untuk menunjukkan betapa saktinya Batara Katong yang telah mampu menaklukan sang pujangga, dan membangun wilayah yang penuh dengan hutan liar dan pegunungan pegunungan. Dan untuk mematahkan pendapat pengikut sang pujangga bahwa singa tak akan kalah oleh burung merak.

Aku manggut manggut, dan senja telah menjelang. Aku mohon diri untuk mencari penginapan. Hmmm….. sebuah kisah yang menarik!  


Sunday, February 19, 2012

NYAI GADUNG MELATI, SANG PENJAGA MERAPI


Entah sebuah kebetulan, atau memang  saling bertautan. Dalam sebuah kisah legenda tentang Ki Ageng Tunggul Wulung, disebutkan dalam pelariannya dari isatana Majapahit ke arah barat hingga sampai ke sebuah desa kecil di pinggir Sungai Progo. Dalam pelarian tersebut, Ki Ageng Tunggul Wulung beserta dengan pengikut pengikutnya, dan juga isteri tercintanya, yang bernama Nyai Gadung Melati, yang konon beliau ikut juga mokswa bersama suami tercinta Ki Ageng Tunggul Wulung.

Menyebut nama Nyai Gadung Melati ini, sekelebat anganku kembali ke belakang, akan sebuah kisah legenda tentang jaman di kala Kerajaan Majapahit mulai redup kejayaannya, dan banyak punggawa isatana dan bangsawan yang melarikan diri, menyisir sungai, pantai dan di gunung gunung di seantero Pulau Jawa.
Dalam kisah legenda tersebut diceritakan bahwa telah datang suatu masa, dimana Kerajaan Majapahit telah mengalami beberapa kali pergantian kekuasaan dan tak satupun yang dapat mengembalikan kejayaan seperti pada masa Sang Maha Patih Gajah Mada, dimana para bangsawan dan raja meyakini bahwa kejayaan mereka telah runtuh karena seorang sosok yang luar biasa telah lingsir meninggalkan mereka, karena perbuatan mereka sendiri yang saling rebut  kuasa, hingga rakyat jelata yang menjadi korban dan darah terbuang sia sia.

Sang sosok yang di kenal dengan sebutan Sabdo Palon, telah lingsir dan memilih menyepi di padepokan yang berada di Gunung Kelud. Maka, tak ada cara lain untuk membujuk Sang Sabdo Palon untuk kembali ke istana, bahkan sang raja sendiri, Prabu Kertawijaya yang berkunjung dan mohon kepadanya untuk turut serta mengayomi para raja Majapahit.

Di padepokan tersebut, tengah bercengkerama anatra Sabdo Palon, Petruk, salah seorang putranya yang berkewajiban menjaga Gunung Merapi di pusat Pulau Jawa, ditemani oleh Nyai Gadung Melati, Ki Megantara, Ki  Sapujagad, dan Ki Antaboga.

Dalam bercengkaram tersebut, Sang Petruk sempat menanyaka mengapa Sang Sabdo Palon meninggalakan Majapahit. Dan dijawab dengan bijak.

“Semenjak perang Bubat hingga perang Paregreg, Majapahit tidak memerlukan Sabdo  Palon. Majapahit sangat membutuhkan darah dari korban korban perebutan kekuasaan. Bukankah kamu  telah tahu, bahwa Sabdo Palon tak pernah menyatu dengan penguasa yang mementingkan nafsu kekuasaan, tidak memikirkan kepentingan  kawula yang masih hidup dalam penderitaan.”

Demikian percakapan singkat antara sabdo Palon, Petruk, Nyai Gadung Melati, Ki Megantara, Ki Sapujagad, dan Ki Antaboga, yang jauh jauh datang berkunjung dari Gunung Merapi ke padepokan sabdo Palon yang berada di lereng Gunung Kelud.

Dalam legenda yang hidup di sekitar Gunung Merapi, nama nama itu memang ada hingga sekarang. Ki Petruk yang dipercaya sebagai penjaga Gunung Merapi, Nyai Gadung Melati yang di percaya sebagai ratu dari para makhluk halus yang bermukim di gunung merapi yang bertugas untuk menjaga kelestarian alam dan penduduk sekitar. Sedangkan Ki Megantara, konon adalah penjaga angkasa di sekitar Gunung Merapi, yang betugas menjaga agar apabila Gunung Merapi mengamuk, maka udara di sekitar tak begitu membahayakan penduduk. Ki Sapujagad, yang konon terciptasebagai hadiah  karena “laku prihain” raja pulau jawa pertama, agar turut serta menjaga keselamatan penduduk sekitar Gunung Merapi, dan Ki Antaboga, yang bertugas mengelilingi kaki Gunung Merapi dan menjaganya agar tetap seimbang dan tak turun ke dasar bumi.

Apakah Nyai Gadung Melati yang tersebut dalam dua kisah legenda itu tokoh yang sama, atau bukan, atau satu tetapi dua, atau sama tapi beda, sulit memastikannya. Namun yang jelas, dua tokoh itu tetap hidup di alam pikir kita, sebagai tokoh yang masing masing punya karakter, fungis, tugas dan kewajiban yang harus dilakukannya.

Dalam kisah legenda yang terjadi akhir akhir ini adalah, munculnya Nyai Gadung Melati akan datang  menemui warga sekitar Gunung Merapi dalam mimpinya. Dan apabila hal itu terjadi, warga telah maklum dan dapat mengartikan mimpi tersebut sebagai sebuah peringatan bahwa bahaya dari Gunung Merapi akan datang. Harus waspada.

Pun demikian dengan waktu penulisan ini. Tulisan ini dibuat pada tengah malam, dengan jendela kamar yang terbuka lebar, angin malam bebas masuk ke ruangan. Setiap ku sebut nama Nyai Gadung Melati, seolah sosok itu hadir menemaniku. Sluman, slumun, slamet, doa pengestunipun. 

Friday, February 17, 2012

CANDI PAWON, JEJAK SEJARAH YANG TERPINGGIRKAN


Tugas di kota sendiri, memang menyenangkan, apalagi ada seseorang yang menyertainya. Hujan panas tak begitu di rasa, walau stamina menjadi agak turun juga karenanya.

Seharian puter puter kota, ingin juga rasanya pergi kea rah pinggiran kota, dimana sawah membentang luas, pohon pohon perkebunan rakyat yang rindang, batang hulu sungai elo yang menggelegak karena hujan yang tak kunjung henti. Serasa hilang penat, diganti dengan sejuknya hawa pegunungan desa. Sejuk, teduh.

Tak terasa perjalanan  mengarah ke sebuah candi yang megah. Sebuah mahakarya sejarah, yang rasanya tak mungkin bias ditandingi pada masa kini, dan mungkin entah di masa depan. Sebuah tonggak sejarah akan sebuah peradaban yang agung, dari nenek moyang kita, yang pada masa sekarang orang memandangnya kuno, apalagi teknologi tinggi. Rasanya tak mungkin terjadi pada kala itu. Candi Borobudur.

Namun ketertarikan kami bukan pada Candi Borobudur. Sekilas pikiranku mencari dan mengingat ingat, waktu pelajaran sekolah dasar dulu, berpuluh tahun yang lalu, rasanya di sekitar Candu Borobudur, ada pula sebuah candi yang tak begitu terkenal, disamping Candi Mendut. Yah, Candi Pawon.

Seperti saling berjanji, kami sepakat untuk ke Candi Pawon. Relative tidak mudah menemukan candi ini, karena letaknya yang ada di perkampungan warga, lagi pula tak ada tanda atau penunjuk jalan yang memudahakn wisatawan menuju candi itu. Mungkin candi ini dipandang tak begitu menarik, atau hanya sebuah candi yang dibuat sebagai pelengkap dari Candi Borobudur yang megah. Beberapa kali kami meminta petunjuk pada warga sekitar, dan setelah beberapa kali bertanya, tibalah kami di Candi Pawon, walau hari telah menjelang gelap, dengan hujan rintik yang seolah masih ingin menyertai kami berdua.

Namun dari penduduk sekitar yang sempat kami ajak ngobrol, ternyata Candi ini juga punya peran yang tak kalah pentingnya dengan candi candi besar yang lain. Candi ini merupakan candi Budha, yang fungsi utamanya adalah sebagai tempat untuk menyimpan sejanta Raja Indra (Dewa Indera), yaitu Vajranala. Dalam bahasa sanksekerta, “vajhra” artinya halilintar, sedangkan “anala” adalah api. Dan menurut mitos India, Dewa Indera mempunyai senjata yang bernama Vajranala, dan senjata itulah yang di simpan di Candi Pawon ini. Bayangkan,  betapa menggelegar bila senjata itu bias lepas dari tempat penyimpamannya. Mungkin Candi Borobudurpun akan runtuh.

Lokasi Candi ini memang cukup sulit untuk diketahui karena tidak begitu terkenal.  Namun mungkin kita boleh berpikir tentang pentingya candi ini pula. Disamping sebagai tempat penyimpanan senata Dewa Indera, letak dari candi ini pun cukup spesifik bila dihubungkan dengan dua candi di sekitarnya, yaitu Borobudur dan Mendut, dimana bila ditarik garis lurus di antara kedua candi tersebut, Candi Pawon berada tepat di tengahnya, pun demikian dang relief yang terukir di dinding candi, diantara ketiganya, seolah ada kemiripan.

Perlu penelitian lebih lanjut untuk dapat menghubungkan antara ketiga candi ini, yang masing masing berjarak tak lebih dari 3 kilometer. Adalah sangat mungkin bahawa masing masing candi saling bertautan, dan memepunyai keistimewaan yang saling melengkapi. Namun dilihat dari wujudnya, Candi Pawon seolah terpinggirkan. Bahkan papan penunjuk jalan pun, kami susah sekali menemukannya.

Hari makin gelap, mendung kian menggantung, dan kami pun pulang.























FPI, BAK DUA MATA PISAU


Ormas, organisasi massa. Sebuah kekuatan yang luar biasa. Di negara manapa ndi belahan dunia ini, peran serta ormas dalam menentukan arah sebuah negara, tak dapat di anggap remeh. Ormas, mempunyai posisi yang sangat startegis, bisa bergerak dan beraktivitas sesuai dengan kehendakanya masing masing. Karena begitu besarnya manfaat, demikian juga sebaliknya, maka organisasi ini perlu di atur oleh pemerintah, dengan kata lain, pemerintah harus mengawasi dengan ketat aktivitas setiap ormas yang ada di negara ini.
Ibarat dua mata pisau, keberadaan ormas ini. Dengan massa yang sangat besar, apabila ditangani dan dan berdiri dengan tujuan baik, niscaya akan baik pula keadaan atau yang bersinggungan dengannya, pun demikian sebaliknya.

Sejarah mencatat, negara bisa tumbuh berkembang dalam karakter tertentu, a taupun jadi hancur lebur dan memunculkan kudeta, tak lepas dari peran serta ormas ormas yang hidup dan aktiv didalamnya. Tercatat, sekitar 65.577 ormas yang ada di Indonesia, dan terdaftar di Kemendagri, dan seharusnya, setiap keberadaan ormas, baik dalam sekala nasional maupun regional, adalah tanggung jawab pemerintah dalam hal pembinaan, sanksi dan pembekuan.

Namun kenyataan yang ada, kita bisa lihat bahwa keberadaan ormas ini, seperti anak tanpa bapak, dimana segala aktivitasnya, jarang sekali ada pembinaan yang serius, sehingga aktivitas yang dilakukan, bisa menunjang pembangungan maupun kemajuan daerah masing masing, bahkan hingga ke skala nasional.

Yang baru menjadi focus kali ini kebetulan adalah FPI, walaupun masih banyak ormas ormas lain yang tak kalah dengan FPI. Namun dari track record dan hystorical gerakan, rasanya FPI masih yang paling besar. Dan apabila pemerintah melakuakan pembinaan yang ketat terhadap ormas, rasanya apa yang terjadi pada FPI tak perlu hingga ada pembekuan dan sebagainya. Memang sangat sulit dan dilematis bila ormas tertentu, telah bersenggama dan menyatu sebagai alat kekuasaan suatau rezim penguasa.

Namun tak terlepas dari peran pemerintah, rasanya kita perlu pertanyakan lagi tentang kebveradaan FPI ini,pada awalnya didirikian untuk apa,aktivitas apa saja yang ingin dilakukan, visi dan misi nya seperti apa, dan control terhadap anggotanya seperti apa. Karena pada kejadian di lapangan, aktivitas FPI ini kladang  menyimpang dari aturan hukum, bahkan melawan hukum, namun dari pihak aparat nampaknya terjadi pembiaran.

Pernah suatu saat saya kedatangan teman dari luar kota, kebetulan beliau non muslim. Karena bliau di kota saya hanya satu malam saja, bliau minta di antar jalan jalan dan sekedar beli oleh oleh buat keluarganya. Waktu itu bulan ramadhan. Waktu kami sedang di jalan, sebuah kawasan di kota, tiba tiba dari arah belakang telah muncul rombongan dengan berteriak menyebut nama Tuhan, dan dengan beringas memukul mukul mobil dan motor yang di parkir di jalanan, dengan alat pukul yang telah mereka bawa, hingga beberapa kaca kendaraan pecah berantakan, dan mereka terus berjalan sambil berteriak teriak menyebut nama Tuhan sambil mengacung-acungkan alat pemukulnya.

Mungkin dari hal hal seperti ini, namun terjadi di hampir setiap daerah, dan tak ada sanksi yang berlaku bagi mereka, maka wajarlah bila masyarkat berteriak untk membubarkan ormas tersebut . Sebenarnya, suara siapa yang mereka teriakkan? Rakyatkah? Pemerintahkah? Agamakah? Nafsukah? Arogansikah? Kekuatankah?

Bagaimanapun, ormas adalah asset yang cukup besar bagi sebuah bangsa. Namun karena begitu besar, seperti yang tertulis diatas, ibarat dua buah mata pisau. Dan sebenarnya siapakah yang bisa mengendalikan dua mata pisau itu? Ya penguasa, yang legitimate tentunya, dengan control dan pembinaan yang ketat, demi kemajuah rakyat dan negara, bukan suku,agama bahkan golongan teretntu.

Semoga semua pihak bisa berpikir dengan jernih, toh semuanya sepakat bahwa KITA CINTA NEGARA INI.

Thursday, February 16, 2012

MUJIANTO, "CUMA NGERJAIN KOK......"


Indonesia hehoh, lagi. Belum juga kasus Xenia nya Apriani, kita di kejutkan oleh berita yang tak kalah hebatnya, hingga menenggelamkan kasus Gayus dan kasus kasus lain sekelasnya.

Seorang pria muda, yang waras akalnya, setidaknya begitulah sebelum kejadian ini muncul, membunuh 15 orang, karena cemburu. Cemburu???? Cemmmburu??? Cemmmburuuuuuu????

Ya, wajarlah setiap orang punya rasa cemburu. Tak salah kan? Itu pertanyaan yang sangat umum, dan kita semua juga tahu bahwa tak ada yang salah dengan rasa cemburu, sebagai umat manusia. Negara juga tidak mengatur atau setidaknya, tak ada aturan hokum di dunia ini yang mengatur tentang cemburu. Indonesia kan sekarng ini hebat dalam berdebat tentang tak ada aturan hokum, sehingga seolah olah, sesuatu yang tak diatur oleh peraturan tertulis, semua orang boleh melakukan apa saja.

Cemburu memang sah, boleh dan merupakan hak dari semua orang. Permasalahannya adalah, cara pelampiasan dari cemburu inilah yang perlu diwaspadai. Beberapa orang yang mengalami cemburu, melampiaskannya dengan hanya menangis, menulis, atau melakukan sesuatu yang tak menyinggung orang atau kepentingan lain. Itu lebih bijak. Namun ada pula yang berkelakuan seperti jagoan kita ini. Cemburu, bunuh aja!!!

Sang jagoan ini, cemburu pada pasangannya, yang berjenis kelamin sama. Dalam beberapa literature, perilaku dari sang jagoan ini adalah karena dia mengidap menyakit (disease) atau gangguan (disorder) sexual. Dan orang orang yang menderita seperti itu, entah disease atau disorder, biasanya mempunyai kejiwaan yang lebih dari batas manusia manusia biasa. Demikian juga dalam hal kecemburuan. Namun apapun  itu, nampak nya apa yang diperbuat sama sekali tak ada hal hal yang membenarkan.

Tak seorang pun bisa memilih dia dilahirkan sebagai orang seperti apa, namun dalam perkembangan dan menuju kedewasaan, bukankah setiap orang bisa dan berhak memilih? Pun demikian dengan sang jagoan kita ini. Kita tentu sepakat, bahwa bliau, sang jagoan kita ini,  juga telah memilih jalan hidupnya, yang ternyata menyimpang dari kebiasaan dan norma perikehidupan yang ada di masyarakat.

Kalau kita lihat, sebenarnya alasan dia membunuh adalah sangat sepele. Karena cemburu, dan lalu memberinya minuman yang dicampur dengan racun tikus. “Hanya ngerjain saja, biar (mereka) kapok.” Itu kata kata yang terlempar dari mulutnya. Sangat sepele bukan? Dan tanpa beban, bahkan perasaan berdosa.

Mungkin, sang jagoan ini hanyalah sebagian kecil dari warga negara Indonesia yang mempunyai kelainan yang sama. Dan mereka seolah olah, dibiarkan dalam aktivitasnya. Di kota kota besar dan metropolitan, hal seperti itu adalah banyak sekali, hingga kadang kita menjadi me”lumrah”kan, walau kita semua tahu bahwa itu adalah tak lumrah.

Yang di khawatirkan adalah, bila hal seperti ini dibiarkan, dan dilumrahkan, kita semua tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Mudah mudahan sejarah kaum Nabi Luth AS, tak terulang lagi di belahan dunia manapun. 

NAUZUBILLAH MIN DZALIK! Mudah mudahan kami semua termasuk ke dalam golongan orang orang yang beruntung. Amin.