Sunday, December 25, 2016

SENSASI KULINER DI PASAR HEWAN

Dulu, di masa kanak kanakku, aku sering sekali melihat bapak bapak yang mungkin seusia dengan kakekku, pada hari tertentu, pagi pagi benar sudah bersiap siap untuk berangkat bepergian. Aku yang waktu itu liburan sekolah dan menginap di rumah nenek, hanya bisa terheran heran. Mengapa orang orang tua di desa desa ini begitu semangat hari itu.

“Pada mau ke mana to Mbah, kok Mbah Manto, Mbah Ponco pada berjalan “ngulon”? tanyaku setelah kutemui Mbah Putri sedang merebus air di depan dingkel. Duduk di atas dingklik. Sedangkan di sebelahnya masih ada dingklik kecil punyaku, permintaanku dahulu pada pamanku. Aku minta Paman untuk membuatkan dingklik kecil untukku. Hehehehe.....

“Sekarang kan Wage to Le.....” jawab Mbah Putri pendek. Seolah aku sudah tau apa itu wage.
“Wage itu apa Mbah?” tanyaku sama sekali tak mengerti.
“Wage itu nama hari Le....”jawabnya kemudian. Aku semakin bingung. Bukankah nama hari itu hanya ada senin, selasa, rabu, kamis, jumat, sabtu dan minggu? Mengapa ada hari bernama “wage”? kapan hari wage itu?
“Hari wage itu kapan Mbah?” tanyaku polos.
“Yo hari ini Le.....” jawabnya sambil memenahi letak susur nya.
“Hari ini kan Minggu, Mbah....” aku semakin bingung. Mbah Putri meletakkan susurnya ke kinangan.
“Le.... orang orang jaman biyen, itu hari harinya pake hari jawa. Ada Pahing, Pon, Wage, Kliwon, dan Legi.... tidak seperti kamu sekarang ini, senin selasa rabu dan seterusnya....” katanya.

“Lah, terus Mbah Manto dan Mbah Ponco kok hari wage begini pada bepergian Mbah?” aku berusaha merangkaikan kejadian.
“Mereka biasanya ke pasar Jangkang Le. Pasar Jangkang itu hari pasarannya wage, pasti sangat ramai disana Le, apalagi pasar hewannya. Selain hari wage, tidak ada pasar hewan disana.”
“Pasar hewan? Hewan apa aja Mbah? Pada dijual gitu?” tanyaku lebih lanjut.
“Iya Le. Disana, tempatnya orang orang berjual beli hewan ternak. Sapi, kambing, bebek, ayam, dan lain lain. Yang paling ramai adalah pasar sapi dan kambing. Bukankah Mbah Manto dan Mbah Ponco memelihara sapi dan kambing juga?” kata Mbah Putri.

“Iya Mbah. Tapi mereka tidak membawa sapi maupun kambing Mbah.... Cuma membawa arit dan cenngkrong sabit rumput....”jawabku sambil meraih ketelah rebus dari soblok.
“Di pasar hewan itu Le, tidak hanya melulu berjualan hewan. Tapi juga jual semua alat alat pertanian. Tidak hanya jual beli, tetapi juga ada tukang yang menerima pesanan bahkan memperbaiki alat alat ternak dan pertanian...” lanjut Mbah Putri.

“Mbah Kakungmu dulu juga seperti itu.... kalau wage, ke pasar Jangkang, bareng bareng dengan Mbah Ponco, Mbah Manto dan lain lain...” lanjutnya dan segaris senyum melintas diwajahnya.
“Kok senyum Mbah?” tanyaku.
“Hehehehe...dulu Mbah Kakungmu dan yang lain lain itu, kalo ke pasar hewan, seperti orang lebaran jaman sekarang. Mereka sangat senang pada hari hari pasaran itu. Mereka bisa berkumpul sesama peternak, petani, di pasar hewan. Bisa saling bertukar pikiran dan menjalin paseduluran.”

“Kadang mereka tidak mempunyai keperluan apa apa di pasar hewan, namun hanya ingin sekedar ketemu, kumpul, ngobrol, dan menikmati hidangan khas di pasar hewan. Bakmi, sate, dan tongseng..” Mbah Putri mengakhiri ceritanya sambil tersenyum.
“Makan di pasar hewan Mbah? Apa tidak bau? Apakah bersih? Apakah enak??? Tanyaku penuh heran.


“Hehehehe....besok kalo sudah besar, cobalah Le.... lebih enak dari yang lain lain. Suasananya sangat khas.....” jawab Mbah Putri dan kemudian bangkit mengangkat ceret untuk membuat teh panas untuk paman.


Ternyata, setelah sekian puluh tahun, aku benar benar mencoba apa yang diceritakan Mbah Putri. Aku ke Pasar Jangkang pada hari Minggu Wage, mencoba menikmati hidangan bakmi goreng dan godhog di pasar hewan, dekat dengan sapi dan kambing, serta teh panas gula batu. Luar biasa....

Minggu Wage yang akan datang, aku pengin makan tongseng!!! Hahahaha.... 

Tuesday, December 20, 2016

Temon, sekeping kisah di Serangan Fajar

Pencarianku selama ini membuahkan hasil. Sebuah kenangan saat masa kecilku, nonton bareng bersama Kangmas ku, televisi hitam putih, di rumahku di dusun di lereng Merapi. Waktu itu aku tak tahu judul dari film ini. 
Yang sangat aku ingat dan membekas di ingatanku adalah, seorang anak laki laki di dalam film itu yang mungkin seusia denganku, selalu menunggu kereta api lewat yang kebetulan berdekatan dengan rumahnya. Dan setiap kali kereta api lewat, tidak pernah menurunkan seorang penumpangpun, bahkan berhentipun tidak. Dan setiap kali kereta lewat, dia selalu berteriak memanggil ayahnya.

“Pak’eeeeeeee............ “ seperti itu tanpa lelah menunggu ayahnya pulang. Mengapa demikian? 
Diceritakan, bahwa Temon adalah seorang anak desa lugu, yang hidup di jaman perjuangan kemerdekaan, dengan keadaan ekonomi yang sangat minim sebagai orang desa, apalagi dalam keadaan negara sedang berperang, dimana ayahnya pergi meninggalkannya sejak masih bayi, untuk bergabung dengan laskar perjuangan demi melawan penjajah dan menegakkan Negara Republik Indonesia.

Sebagai anak yang kemudian hidup bersama ibu dan neneknya, Temon berkembang seperti layaknya anak anak desa biasa. Namun kekagumannya pada pesawat yang sering dia lihat terbang di angkasa dekat rumahnya, serta cerita dari ibu dan neneknya tentang ayahnya yang pejuang, menimbulkan semangat juang yang menyala nyala dalam dirinya.
Namun sebagai anak yang masih berusia sangat muda, ibu dan neneknya tak mampu menceritakan kejadian sebenarnya tentang kematian ayahnya saat berjuang melawan penjajah. Neneknya selalu mengatakan bahwa ayahnya pasti akan pulang, dengan naik kereta api.

Itualah sebabnya Temon selalu menunggu kereta api lewat dan selalu memanggil manggil ayahnya.
Film Serangan Fajar ini adalah film dokumenter drama perang Indonesia pada tahun 1982 dengan disutradarai oleh Arifin C. Noer.
Masih banyak lagi pernik pernik film ini yang sangat menggugah emosi dan air mataku. Cukup sekian dulu, sebelum air mataku tumpah memenuhi meja komputer. Hiks.....

Monday, December 12, 2016

Raksasa Di Dunia Wayang, Mungkin Memang Ada / Pernah Ada





Diceritakan dari sebuah buku Kumpulan Kisah Klasik Dinasti Ming, pada masa setelah Tiga Raja dan Lima Kaisar menyerahkan tahta pada keturunan mereka,
Melihat dari kisah tersebut, saya teringat oleh cerita cerita dunia pewayangan tentang tokoh tokoh raksasa yang selalu hadir dalam setiap cerita.
Jika di negeri sana pernah ada manusia dengan ukuran tubuh seperti itu, dan di dunia wayang juga ada cerita cerita seperti itu, bukankah besar kemungkinan bahwa tokoh tokoh wayang tersebut juga kemungkinan besar memang ada, ataupun pernah ada?
Sebuah pertanyaan yang layak dicari jawabnya.