Tuesday, August 9, 2016

The Forbidden Romance

Pagi pagi benar, rombongan telah siap berangkat dari penginapan. Pihak kedutaan yang diwakili oleh Susan, terlihat telah siap di depan penginapan, ditemani Kangmas Andi dan Laras. Sejenak kemudian, semua anggota rombongan telah memasuki bis, dan siap berangkat. Rejo yang datang paling akhir, terlihat berlari lari mengejar ketertinggalannya. Untung Kangmas Andi sangat memperhatikan adiknya yang bengal itu.

 Saat bis telah mulai berjalan, Rejo yang duduk tepat di pinggir jendela, tersita pandangan matanya, oleh saorang wanita yang ternyata telah menunggu, untuk menyaksikan keberangkatannya. Wanita itu, dengan baju yang sama seperti saat pertama dijumpainya, dengan bunga mawar merah yang terselip di telingan kanannya, melambaikan tangannya disertai dengan senyumnya yang manis merekah. Rejo tak mampu berkata kata. Dia sama sekali tak menyangka jika Sandra akan berbuat sedemikian rupa. Rejo pun melambaiakan tangannya. Rejo sangat tersentuh melihatnya.

Di dalam perjalanan, tak henti hentinya dia berpikir tentang Sandra. Dia tak habis pikir. Sampai demikian jauhkah dan dalamkah rasa itu, hingga sesuatu yang tak masuk akal menjadi masuk akal, dan sesuatu yang seharusnya tak terjadi, kini bisa terjadi????? Pikirannya kalut berputar putar.
“Sodara sodara, dengarkan baik baik!!!” tiba tiba Kangmas Andi berdiri di depan berbicara keras keras. Semua yang ada disitu, diam mendengarkan.

“Persiapkan mental dan fisik baik baik!!!! Kita telah mengunjungi Canberra dan Melbourne. Sekarang kita mengunjungi Adelaide, Perth, Broome, Darwin, Caims, Brisbane, Gold Coast dan kembali lagi ke Sydney. Berarti kita akan keliling Benua Australia ini. Ayo semangat!!!!  Tampilkan seni budaya kita sebaik baiknya!!!!” kata Kangmas Andi berapi api.
“Siaaaaaaapppp!!!!” rombongan bersorak sorai.
“Terimakasih juga sama Mbak Susan, kalau nggak ada dia, kita sudah pulang dari kemaren kemaren, nggak bisa keliling Australia. Hahahahaha, betul Mbak Susan??” tanya Kangmas Andi. Susan hanya mengangguk dan tertawa.

Suasana perjalanan kali ini sangatlah meriah. Semuanya senang dan gembira melaksanakan program ini. Namun dalam dalam kemeriahan suasana itu, Rejo merasa sangat kesepian. Hatinya seolah tertinggal di taman, dan menanti kedatangan sang dewi, Sandra.
Dia hanya melewati semuanya ini dengan setengah hati. Senyumnya tak selepas dulu, tawanya tak serenyah dulu. Angannya selalu melayang jauh. Hari demi hari dia jalani dengan keadaan seperti itu. namun, dia sama sekali tak mengorbankan program ini. Rejo selalu tampil maksimal dengan baik. hanya saja, dia kini jadi jarang berkumpul dengan teman temannya satu rombongan. Rejo lebih banyak menyendiri, dan asyik dengan lamunan lamunannya.

Ada sebuah pemandangan yang sangat mengejutkan bagi Rejo dan kawan kawan saat mereka berkunjung ke Sekolah Dasar Marlborough, yang terletak di pinggiran Kota Melbourne, dimana siswa siswa sekolah itu, diajarkan Bahasa Indonesia yang masuk dalam kurikulum mereka, serta permainan khas Indonesia yang cukup digemari siswa siswa disana, yaitu congklak. Rejo dan rombongan cukup bangga melihat hal tersebut.

Terlebih lagi saat mereka sampai di sebuah universitas, yaitu Deakin University,mereka justru berdecak kagum melihat mahasiswa disana yang telah mahir memainkan alat music gamelan. Sungguh diluar dugaan. Orang orang luar negeri, para mahasiswa yang masih muda muda, telah berhasil memainkan music gamelan dengan baik.  Sedangkan pemuda pemuda Indonesia???? Sebuah pekerjaan rumah yang tak mudah tentu saja.

Perjalanan dilanjutkan dan tibalah di kota Adelaide. Kota pelabuhan yang sangat tenang, dengan jalan jalan yang sangat lebar, serta penuh dengan pepohonan di tenga tengahnya sebagai jantung kota. Kota ini bahkan mirip dengan kebun raya, dimana disana sini dengan mudah ditemukan taman taman, pepohonan, bahkan semak belukar, serta pegunungan yang menghiasi guratan kota ini. Rejo semakin rindu akan kampung halamannya. Di kota ini, mereka bermalam untuk pertunjukan di balai kota.  Kota yang tenang ini, untuk sementara menjadi sibuk dan riuh rendah oleh kerumunan orang yang ingin menyaksikan pertunjukan dari tanah Jawa.

Sukses dengan pertunjukan dan pembelajaran di Adelaide, mereka segera menuju ke arah barat, menuyusuri sisiselatan benua Australia, untuk menuju kota berikutnya, Perth. Kota di sisi barat daya Benua Australia ini adalah benar benar kota wisata, dimana penduduknya menikmati suasana seperti tamasya di kampong halamanya sendiri. Kota yang dilewati Sungai Swan, yang memberikan ruang yang leluasa bagi warganya untuk tamsya, jogging, ataupun sekedar jalan jalan. Kota yang terksesan terpencil ini, justru memberikan nuansa yang benar benar alami. Rejo dan rombongan pun tak melewatkan kesempatan ini.  Rombongan Rejo diterma dengan ramah oleh pemerintah setempat, dan segera melakukan kunjungan ke beberapa sekolah dan mengadakan pertunjukan di kota kecil itu.

Kota berikutnya salah Darwin. Kota yang terletak di sisi paling utara dari Australia. Karena letaknya yang telah hampir sangat dekat dengan daratan Asia, maka iklim dan udaranyapun telah hampir mirip dengan Asia. Penduduknya sangat gemar mengenakan pakaian santai seperti di Indonesia, dengan celana pendek dan sandal mereka berjalan jalan. Rejo bagai kembali ke kampung halaman. Semakin lekat di ingatannya pada Dewi, saat dia berada di kota ini. Walau Sandra juga selalu hadir dan menari nari diatas kepalanya.

Sebelum mereka mengakhiri tournya di kota Sydney seperti saat mereka berangkat, mereka masih menyisakan satu kota lagi, yaitu Brisbane. Kota besar yang berada di sebelah utara Sydney. Kota ini cukup besar, mapan dan kesenian mendapat tempat yang cukup baik. Karena masyarakatnya telah menempatkan seni dan budaya sebagai bagian dari kehiduan mereka, maka pertunjukan oleh rombongan Rejo dilakukan di luar, dan semua masyarakat bisa menyaksikannya, bahkan ada beberapa yang ingin mencoba memainkan alat music gamelan dan mereka tak segan segan mengajarkannya pada penduduk local. Suasana hangat dan ramah, saling canda dan tawa mewarnai keakraban mereka. Adalah Susan dan Laras yang dapat mengubungkan kedua bahasa yang berbeda itu pada mereka semua. Hal ini membuat Rejo dan rombongan benar benar merasa bangga.

Pagi hari, saat rombongan itu berangkat untuk menuju Sydney, mereka dilepas oleh penduduk sekitarnya yang cukup antusias dengan pertunjukan semalam. Mereka melepas kepergian mereka seperti layaknya melepas tamu tamu kehormatan. Rejo yang selama dalam perjalanan merasakan betapa sunyinya hidupnya, kini dia bias sedikit tersenyum. Dalam waktu dekat, dia akan segera sampai di kota Sydney, dan Rejo dapat segera bersua dengan Sandra, yang telah menunggunya entah berapa lama. Acara tour ini memang menjadi sedikti leabih lama dari yang direncanakan, karena sambutan dan permintaan dari kota kota setempat yang dikunjunginya, menahan mereka untuk tinggal beberapa hari. Sedangkan Rejo, tentu saja tak dapat memberitahukannya pada Sandra.

Dia tak tahu apakah Sandra akan marah saat dia datang, ataukah senang, ataukah dia memang telah meninggalkannya dan hidup kembali bersama komunitasnya, yang jelas jelas menentang hubungannya dengan orang diluar komunitasnya, sedangkan Diego, yang telah dengan terus terang mengungkapakn isi hatinya, telah mendapat dukungan dari sebagian besar dari keluarganya.
Rejo tak tahu yang sebenarnya menggelayuti hatinya kini. Yang sangat dia tahu adalah dia sangat merindukan Sandra, saat ini. Ingin  rasanya dia berlari cepat cepat untuk samapi ke penginapannya, dan mengabarkan kedatangannya. Namun apa daya, semua berjalan sama seperti rombongan yang lainnya. Bis berjalan menyusuri kota kota kecil, melewati pegunungan dan pemandangan yang menghampar luas.

Bis memasuki kota Sydney dengan pelan pelan. Hujan mulai turun rintik rintik membasahi jalan. Laju bis menjadi semakin pelan, dan lebih hati hati. Dingin segera merambati tubuh Rejo dan kawan kawa. Sedingin hati Rejo saat itu. Melewati  jalan jalan yang pernah mereka lewati sebelumnya. Dan saat bi situ melaju melwati taman kota, hati Rejo berdesir. Rejo sengaja melongok keluar dan melihat kursi yang biasa dia pakai duduk berdua dengan Sandra. Namun kuris itu terlihat kosong, dan tak seorangpun terlihat duduk menantinya di tempat itu. Rejo menjatuhkan dirinya dan duduk terkulai lemas.

Rejo sadar, kepergiannya kali ini terlalu lama dari yang direncanakan, dan dia sama sekali tak dapat mengirimkan kabar berita ini. Bis berhenti di penginapan saat hujan turun deras. Semua anggota rombongan segera turun dan berlari lari menuju ke penginapan. Rejo, yang dari tadi tengok kanan dan ke kiri mencari sosok wanita gipsi itu dan tak menemukan sesutau, segera turun mengikuti teman temannya. Sejenak beristirahat di loby, untuk selanjutnya pergi menuju kamarnya. 

Tubuhnya yang basah oleh air hujan, segera membuka pintu dan masuk ke kamarnya untuk membersihkan diri. Namun sesuatu membuatnya terhenyak. Saat kakinya melangkah memasuki kamarnya dan menutup pintu, kakinya terasa menyentuh sesutau yang lembut, dan dia melihat ke arah sesuatu itu.

Matanya terbelalak, dan berdiri mematung tak percaya. Dalam kamarnya, di hampir setiap ruang dan sisi, terutama di ranjangnya, terdapat berpuluih puluh bunga mawar merah yang telah layu dan mongering. Rejo kebingungan dan segera mencari di setiap ruangan, adakah sesuatu disana. Dan yang dia temui hanyalah bunga dan bunga lagi. Rejo berpikir keras dan menebak nebak.
Dia menduga bahwa Sandra telah terlalu lama menunggu kedatangannya, hingga bunga bunga yang seharusnya dipersiapkan untuk menyambutnya, yang seharusnya masih segar dan wangi saat kedatangannya, kini telah layu dan mongering, karena terlalu lama Rejo tak kunjung datang. Hati dan pikiraany kalut. Rejo menutupi wajahnya dengan  kedua tangannya, dan jatuh terduduk bersandarkan dinding kamarnya.  Sejuta sesal merambati dirinya, dan kian lama kian menyiksanya. Maka, tanpa piker panjang, dia segera bangkit dan berdiri, bergegas pergi untuk menenui Sandra,  wanita gipsi itu, entah kemana. Yang dia tahu hanyalah kursi taman yang tadi telah dilihatnya dan tiada seorangpun disana.

Rejo nekat. Dalam hujan, dia berjalan menuju taman dan duduk di kursi yang sama. Hanya itulah satu satunya tempat yang dia tahu untuk menemui Sandra. Dia tak peduli lagi apa kata orang yang melihatnya. Dia tetap duduk di kuris itu, walaupun air hujan mengguyur tubuhnya. Lampu lampu taman mulai menyala, dan orang orang telah mulai berjalan meninggalkan taman itu untuk kembali pulang, pertanda hari telah mulai gelap. Namun Rejo sama sekali tak bergeming dari tempat duduknya.

Semakin lama semakin sepi, namun Rejo masih tetap menanti. Dia tak tahu sampai kapan, tapi dia akan tetap menantinya di tempat itu. Saat hari hampir gelap, Rejo melihat seorang wanita berjalan ke arahnya, dengan sebuah payung melindunginya dari air hujan, hingga menutupi wajahnya. Bajunya yang panjang dan berwarna warni, membuat Rejo semakin berdebar debar dalam menduga duga siapakah dia. Dia ingin berteriak memanggil namanya, namun dia tak yakin. Yang dilakukannya hanyalah menunggu hingga wanita berpayung itu datang mendekat.

Namun rejo harus menahan nafas lagi, saat wanita itu kemudian berhenti. Sama sekali tak terlihat wajahnya, karena terhalang oleh payung yang dibawanya. Yang dia tahu adalah wanita itu berjalan menunduk, melihat satu persatu langkahnya sebelum dia berhenti. Rejo menatap tajam wanita itu, benar benar berusaha untuk mengenalinya. Dan saat wanita itu membalikkan badannya, terlihat sekuntum bunga mawar merah terselip di telinga kanannya, Rejo yakin bahwa dialah wanita yang dicarinya. Rejo berteriak kencang memanggilnya.

“Sandra!!!!!” teriaknya dengan sekuat tenaga. Hasrat didadanya telah mendorong dia berteriak keras keras. Wanita itu menoleh ke arahnya. Rejo melambaikan tangannya. Wanita itu terlihat sepertiu terhenyak, dan menatap tajam Rejo. Setelah sekian lama kemudian, dia dapat mengenali Rejo, laki laki yang ditunggunya dan baru sekarang muncul batang hidungnya.
Dengan serta merta, dia berlari dan membuang payung yang dibawanya, dan menghambur berlari menuju Rejo. Hujan lebat sama sekali tak menghentikan dua manusia ini untuk saling berlari mendekat dan melepaskan semua kerinduan yang tertahan.

Wanita itu, rupanya terlalu terbawa oleh perasaannya yang tak karuan terhadap Rejo. Antara senang dan benci yang bersatu padu, bergulung gulung di dalam dadanya, hingga pecahlah tangisnya. Wanita itu berlari sambil berurai air mata, merentangkan kedua tangannya dengan penuh kepasrahan,  menjatuhkan dirinya dalam pelukan Rejo yang telah siap merengkuh tubuhnya. Tubuhnya yang basah, sama sekali tak menghalangi mereka berdua untuk saling berdekapan dan mengungkapkan rasa.

Dua orang laki laki dan perempuan, saling berpelukan dalam hujan, basah tubuh seolah juga membasahi hati mereka yang gersang. Sandra, hanya mampu terisak isak di pelukan  Rejo. Dia sama sekali tak mampu mengeluarkan kata kata. Perasaannya begitu kuat, hingga hampir menyumbat mulutnya untuk berkata kata. Dia hanya melepaskan semuanya melalui bahasa tubuhnya. Dipeluknya erat erat laki laki dari tanah Jawa itu, seolah tak ingin melepaskannya lagi.

Aroma wangi dan segar segera menyelemuti kedua tubuh manusia itu. Air telah menyegarkan tubuh mereka, dan membersihkan mereka dari keringat dan debu, serta aroma mawar telah merasuki mereka berdua. Sandra tersenyum, duduk berhadapan dengan Rejo di dalam air yang menghangatkan tubuhnya.mereka berdua puas dengan mandi bersama. Hujan di luar sana, sama sekali tak terdengar oleh telinge mereka. Yang mereka dengar adalah bunyi irama air yang lambat laun membawa hasrat mereka yang semakin lama semakin berjalan ke puncak.

Kecup kecup nakal telah terjadi. Tawa tawa kecil dan renyah telah terdengar. Suasana dingin berubah perlahan menjadi hangat. Dan sentuhan sentuhan nakal di antara keduanya, telah menimbulkan  geliat geliat di kamar mandi itu. Sandra menarik keluar Rejo dari bejana itu, dan mengambil dua handuk yang cukup besar yang tergantung disana, dan segera memberikannya pada Rejo. Rejo menerimanya dengan tersenyum, dan dia segera mengeringkan tubuh Sandra yang berdiri di hadapannya, dan Sandra pun mengeringkan tubuh Rejo yang sibuk membelai belai tubuhnya.

Bagai seoarng yang gagah perkasa, dililitkannya handuk itu ke tubuh Sandra, dan tubuh itu diangkatnya dengan kedua tangannya. Sandra tertawa kecil.
“Hei, what are you doing Honey?” tanyanya sambil tertawa nakal. Rejo tersenyum memandang wajahnya, dan berjalan membawanya menuju sofa di depan perapian. Api yang telah mereka nyalakan sebelum mandi, kini telah menjadi besar dan menghangatkan ruangan. Rejo menjatuhkan tubuh Sandra di atas sofa, dan menarik handuk yang melilit tubuhnya, dan dilemparkannya entah kemana. Kini, seorang wanita gipsi, tergolek telanjang di atas sofa, tepat di didepan mata Rejo. Dan wanita itu, tanpa rasa malu apalagi jengah, memandangi wajah Rejo dengan tersenyum nakal. Darah laki laki Rejo bergolak.

Naluri laki lakinya bergerak, menggerakkan seluruh bagian tubuhnya, dan segera merengkuh tubuh telanjang itu dengan oenuh hasrat.semuanya telah terlepas, tanpa sehelai benag, dua manusia itu bergumul dengan dahsyat. Masing masing berusaha melepaskan hasrat yang telah lama tertahan dan terpendam, terutama Sandra. Teras begitu lama dia menunggu laki laki yang kini mendekap erat tubuhnya, dan dengan bulat bulat, Sandra meyerahkan semuanya pada laki laki itu.

Desah desah nafas semakin jelas, lenguhan lenguhan panjang semakinkeras keluar dari mulut mereka. Sandra beberapa kali menahan nafas, menikmati keindahan yang dia dapatkan.

“Please be mine.......” katanya lirih di sela sela nafasnya yang tertahan. Rejo semakin gila. Ingin dia telah bulat bulat Sandra saat itu. Hasrat dan nafsu semakin memuncak, dan gerakan tubuhnya semakin dahsyat. Sandra yang telah menyerahkan semuanya, benar benar merasa memiliki semuanya walau dia tahu ini hanya untuk sementara. Namun rasa dan hasrat telah benar benar menguasainya.

“Please be mine..... please be mine, at least  this night......” bisiknya di telinga Rejo saat dia peluk erat tubuh Rejo dan menciumi telinga Rejo yang sedang memberikan kepuasan yang tiada tara padanya. 

Namun di saat saat seperti itu, saat keduanya benar benar menyatu, Sandra, sebagai seorang wanita gipsi yang mempunyai kemampuan lebih dalam meraba dan merasakan sesuatu, mendapatkan sebuah pemandangan bagai kilat kilat yang melintas di benaknya. Dan kilat kilat itu menggambarkan sebuah kejadian yang seperti berurutan, dimana dalam setiap kilat gambaran di benaknya itu, terlihat laki laki yang kini sedang menikmati tubuhnya itu, juga terpagut pada seorang wanita, dengan rambut yang hitam legam, lurus, dengan kedua mata yang lebar mirip dirinya, namun wajahnya sangatlah mirip dengan Rejo. Wajah wajah khas Jawa. Semakin lama semakin jelas. Bahkan di setiap Sandra merengkuh dan benar benar menyatu dengan tubuh Rejo, kilat kilat bayanan itu semakin jelas.

Sandra semakin sadar tentang keadaan mereka berdua saat ini. Tak mungkin dia memiliki Rejo sutuhnya, selamanya. Namun rasa yang telah melilit di hatinya, sungguh tak dapat ditolaknya. Hingga akhirnya, Sandra ingin memiliki Rejo seutuhnya, dengan seutuh utuhnya, semampunya, walaupun hanya satu malam saja. Itulah mengapa, dengan penuh perasaan, Sandra berulang ulang mengatakannya pada Rejo.

“Please be mine Honey, please be mine at least to nite...” katanya berulang ulang. Sandra, tak ingin mengakhiri malam ini dengan biasa biasa saja. Dia ingin “menghabiskan” Rejo dan memilikinya dengan seutuhnya, karena dia berpikir mungkin inilah malam terkahir baginya untuk dapat bersama Rejo sebelum kepulangan laki laki itu ke Indonesia.

Entah berapa kali mereka “melakukan “ hubungan itu di malam itu. Rejo, walaupun tak satupun kata keluar dari mulutnya, namun rupanya apa yang menggelayuti hati dan pikirannya, sama persis dengan apa yang dirasakan Sandra. Apalagi Sandra, dia benar benar ingin mengahbiskan malam ini sepuas puasnya dengan Rejo. Semua cara dan gaya yang dia tahu, tanpa malu malu dilakukan pada Rejo. Keduanya benar benar menjadi gila malam itu. Kegilaan dua orang dewasa dalam rumah kayu di tengah hutan.

Malam telah bergulir, rintik hujan di luar telah reda, dan dua tubuh manusia itu telah lunglai, semua hasrat telah terlampiaskan dan terpuaskan. Masing masing saling terkulai berpelukan satu sama lain. Api di perapian pun semakin surut, dan gelas gelas anggur kini telah tercicip membasahi tenggorokan mereka yang kering oleh deru dan pacu hasrat yang bergelora. Mereka berdua menghabiskan mala mini penuh dengan kehangatan, dan tiada lagi satu keeping pun hasrat yang tersisa diantara mereka berdua. Semuanya telah mereka lepaskan. Semuanya, tak bersisa.

Mereka menikmati kebersamaan ini yang akan berakhir entah kapan, namun mereka berdua yakin bahwa kebersamaan mereka tentu akan berakhir, mengingat perbedaan keduanya teramat besar. Dalam lubuk hati yang paling dalam, mereka mengetahui hal itu, namun masing masing takut untuk mengucapkannya. Mereka tak ingin  ini berakhir. Sama sekali tak ingin.  Maka yang dapat dilakukan sekarang adalah menikmati semua keindahan yang masih dapat mereka lakukan bersama. Usaha, jelas mereka usahakan, namun semakin mereka berusaha, semakin terlihat jelas pula jurang pemisah di antara mereka.

Rejo semakin tak tahu lagi arah cerita ini. Dia biarkan semuanya mengalir. Dia tak bisa munafik, bahwa dia juga menyukai Sandra, namun dia juga tak mampu melupakan sama sekali Dewi, wanita jawa yang telah merenggut hatinya bulat bulat, walau tamparan tamparan keras yang di dapatnya menjelang keberangkannya. Namun tamparan itu, kini semakin lama semakin indah terasa di dirinya. Betapa Dewi sama sekali tak ingin jauh, apalagi kehilangan dirinya.
 “Honey, what will you do after this program?” Tanya Sandra tiba tiba. Rejo menggelengkan kepalanya tak yakin.
“Do you will go back home to Indonesia?” Tanya Sandra lagi. Rejo diam. Rejo bingung.
“Would you stay here?” pinta  Sandra setelah sekian lama Rejo diam.
Rejo diam. Tak mungkin dia akan diam dan menetap di sini, namun dia bingung untuk mengatakannya. Sedangkan Sandra, hanya mampu memandangi laki laki yang kini telah menawan hatinya itu dengan tatap mata penuh harap. Walaupun dia tahu, harapan itu terlalu egois baginya. Namun, itu semua adalah kata hatinya, yang tak mungkin dia pungkiri.

Rejo hanya mampu menggeleng gelengkan kepalanya. Berkali kali dia menyusun kata, namun gagal lagi dan gagal lagi. Akhirnya, dengan hati hati yang bedebar debar, dia berusaha mengatakannya. Sementara, kilatan kilatan gamrbaran dari peristiwa yang didapati Sandra saat bergumul dengan Rejo, semakin jelas dan mengganggu alam pikirnya. Dia tahu, inilah pertanda itu. mengapa selama ini Rejo, selalu saja terdiam jika dia mengajaknya untuk membicarakan tentang mereka berdua. Dengan segala kemungkinan yang telah dia perhitungkan, akhirnya Sandra memberanikan diri untuk bertanya. Cepat ataupun lambat, hal seperti ini haruslah di ungkap. Dan menurutnya, saat inilah yang tepat, sebelum Rejo kembali pulang ke Indonesia, dan sebelum semuanya terlambat, dan sebelum sesal menyiksanya kelak.
“Honey, tell me honestly……..Who is she????” tanya Sandra dengan wajah serius, sambil memegangi wajah Rejo. Rejo tergagap. Dia merasa sama sekali tak pernah bercerita tentang apa yang terjadi padanya saat sebelum berangkat ke Australia.

“What do you mean?” Rejo balik bertanya.

Sandra kemudian bercerita, tentang dirinya, kemampuannya sebagai seorang keturunan gipsi, dan tentang  apa yang dia rasakan selama ini, serta apa saja yang dilihatnya dalam kilatan kilatan penglihatannya itu. Dengan yakin dia menjelaskan arti semuanya itu. Rejo, bagai ditelanjangi bulat bulat olehnya. Dan Rejo mengakui, apa yang dikatakan wanita gipsi itu, adalah benar adanya.

“But, you know me. You know what I am doing…..” katanya sambil menatap jauh menembus tirai jendela yang terbuka lebar.
Sandra paham akan  jawaban Rejo itu. Dia tahu, Rejo juga tak mempermainkan dirinya.  Namun rasa  yang telah muncul, terlalu besar untuknya. Akhirnya dia hanya diam tercenung. Dia pun tahu akan apa yang terjadi  pada Rejo. Rejo kemudian menoleh ke arahnya. Wanita itu masih duduk diam dan tercenung di sofa. Tatap matanya jauh entah kemana. Rejo mendekatinya.
Dilihatnya kedua mata wanita itu telah basah, dan air mata telah mengalir di kedua pipinya. Namun sama sekali tiada suara isak tangis yang keluar dari mulutnya. Rejo tahu betapa kuat wanita itu menahan rasa atas dirinya, dan betapa kuat dia menahan hatinya yang meronta, hingg hanya air mata yang menetes, yang mengungkapkan berjuta juta kata yang dia simpan.

Rejo segera duduk disampingnya, dan memeluk wanita itu. Namun wanita itu hanya diam. Diam dan sama sekali tak berreaksi atas pelukan Rejo. Rejo mempererat pulakannya. Semakin erat dia peluk tubuh wanita itu, semakin jelas terasa bahwa hatinya meronta. Maka pecahlah isak tangisnya. Rejo semakin mendekap erat tubuhnya. Namun, itu justru menambah tangisnya. Wanita itu, kini benar benar menangis di pelukan Rejo.
Keduanya kini diam dan saling berpelukan. Sandra masih dengan tangisnya yang menyayat, sedangkan Rejo masih dengan kekalutannya.
“I love you…..” bisik Sandra di telinga Rejo di sela sela tangisnya. Hati Rejo terasa semakin teriris. Dia tahu betul akan kata kata Sandra, dan dia yakin itu benar. Namun apa daya. Kadang Rejo berpikir apakah ini semua jalan yang  harus dilewatinya untuk menemukan cinta sejationya setelah dia bertualang dan melalang buana ke sekian banyak hati seorang wanita? Ataukah ini sebuah kutukan, betapa sakit hatinya seseorang jika harus ditinggal kekasih hatinya.

“I love you, but I have to let you go, and I will…. Cause I love you…….” Katanya lagi semakin menyayat hati. Rejo tertunduk pilu.
“Go get her. Your  heart is not belong here…….” Ucapnya sambil semakin erat memeluk tubuh laki laki Jawa itu. sebuah pertentangan batin yang amat dahsyat pada dirinya, namun sedikit demi sedikit, dia dapat menekan egonya.
Rejo berusaha melepaskan pelukan Sandra, untuk menatap wajahnya dan berbicara, namun hal itu ditahan oleh Sandra. Sandra semakin erat merengkuh tubuh Rejo. Rupanya Sandra belum puas dan belum selesai berkata kata.

“Just remember me Honey…. I let you go, cause I love you so much, from the deepest in my heart…… I just ask you one thing. Don ever forget me. If something happen to you, you know your way back, I am waiting…..” kata katanya semakin membuat hati Rejo teriris iris. Air matanya telah membasahi punggung Rejo, dan dia biarkan semuanya terjadi. Dia sama sekali tak pernah menemukan seorang wanita yang rasa cintanya begitu besar, hingga dia rela untuk kehilangan. “Manusia macam apa ini????” Rejo bertanya tanya dalam hati.
Seiring dengan redanya hujan di luar sana, reda pula semua hasrat dan emosi jiwa keduanya. Mereka kemudian dapat berpikir secara dewasa, dan dapat menerima segala keputusan yang telah mereka buat. Sandra, walaupun dengan sangat berat hati, harus merelakan kepergian Rejo dan mengikis habis egonya. Sedangkan Rejo, sungguh tak mampu berucap kata kata untuk mengungkapkan betapa dia memuja Sandra sedemikian rupa. Rejo semakin malu pada dirinya sendiri, dan dia merasa memang dirinya sungguh tak pantas dipersandingkan dengan Sandra yang memiliki hati yang sedemikian mulia itu.
Malam itu, kini menjadi semakin indah bagi keduanya, setelah mereka berhasil menempatkan diri mereka dalam kedewasaan, dan menempatkan masing masing menjadi sahabat, walaupun mereka berdua tak mampu mengingkari adanya hasrat yang terpendam diantara keduanya, yang tetap menyala nyala, menunggu sebuah percikan api walaupun sedemikian kecilnya, tentu akan segera “membakar” keduanya, mengingat apa yang mereka pendam, sedemikian besarnya.  Mereka masih tetap ingin bersatu padu hingga pagi menjelang, dan seiring dengan terbitnya matahari esok hari, mereka akan berubah menjadi dua orang sahabat. Entah apa namanya. Inilah malam terakhir bagi mereka sebagai sepasang kekasih, sepasang orang dewasa yang berlainan jenis, dan mereka sama sekali tak ingin melewatkan malam ini barang sedetikpun. Cinta memang gila. Memang sangat sulit dipercaya.