Tuesday, May 23, 2017

Siapakah Humu Di.......

Ada sesuatu yang sangat menarik di cerita Humu Di Melantunkan Puisi dan Mengunjungi Akhirat, dalam buku Kumpulan Kisah Klasik Dinasti Ming: Zhang Shunmei Bertemu Gadis Kantik di Festival Lentera.

Humu Di, diceriatakan bahwa dia adalah seorang cendekiawan alim, yang mengisi seluruh waktunya untuk belajar, memperlajari berbagai macam kitab untuk mencapai tujuannya menjadi seorang cendekiawan yang bergelar akademis yang mendapat pengakuan legal dari negaranya. Dia hidup di sekitar abad XI, dalam masa pemerintahan Dinasti Yuan.

Cerita ini bermula saat Humu Di bermabuk mabukan karena frustasi selalu gagal dalam mengikuti ujian Negara. Padahal dia sudah belajar setiap waktu, dan menjauhi hal hal yang menjauhkannya dari sifat alim.

Saat bermabuk mabukan itulah dia melantunkan puisi yang berisi sumpah serapah tentang ketidak adilan akhirat dimana Humu Di mengeluhkan yang jahat tidak dihukum sedangkan yang alim tidak pula mendapatkan ganjaran.

Puisi tersebut sangatlah keras dilantunkan hingga menarik perhatian Dewa Yama (dewa kematian, penguasa alam akhirat), karena dalam puisi itu secara tidak langsung ditujukan untuknya. Dikirimlah pasukan yhaksa untuk menjemputnya dari dunia ini.

Singkat kata, Humu Di kemudian disuruh menjelaskan tentang puisinya itu. Namun karena ketakutan yang melanda begitu hebat, Humu Di tak dapat menjelaskan dengan baik. Sedangkan Dewa Yama, tanpa piker panjang, memberikan jawaban dari semua tanya dan penasaran Humu Di dengan mengutus pasukan yhaksa untuk memperlihatkan pada Humu Ditentang kehidupan di dunia akhirat.

Diperlihatkanlah padanya satu demi satu manusia yang pernah berbuat jahat dan bagaimana mereka menjalani hukumannya, serta bagaiman satu demi satu manusia yang berbuat baik mendapatkan pahalanya.
Demikianlah cerita dari seorang Humu Di yang tanpa sengaja dapat mengunjungi akhirat karena lantunan puisinya dalam kegalauannya.

Yang sangat menarik disini adalah :

1.      1. Siapakah Humu Di? Saya tidak mampu menemukan artikel yang lebih jelas lagi tentangnya.
2.     2.  Dewa Yama (dewa kematian). Di dalam cerita wayang jawa, Dewa =  Batara. Jadi, Dewa Yama bias saya artikan sebagai Betara Yama, Betara Yamadipati, yang ternyata adalah dewa pencabut nyawa (dewa kematian). Yhaksa  = Yakso, dalam wayang jawa berarti raksasa, buto. Kebetulankah ini????
3.  3.    “Diperlihatkanlah padanya satu demi satu manusia yang pernah berbuat jahat dan bagaimana mereka menjalani hukumannya, serta bagaiman satu demi satu manusia yang berbuat baik mendapatkan pahalanya.” Kisah ini sangat mirip dengan kisah Isra’ Mi’raj Nabi Besar Muhammad SAW.
4.   4.   Dari nomer 3 diatas, kembali ke nomer 1. Siapakah Humu Di sebenarnya? Sepanjang pengetahuan saya, hanya Nabi Muhammad SAW saja yang mengalami perjalanan spiritual hingga sedemikan tingginya, atas izin Allah.


Wallahu alam……

Thursday, May 11, 2017

Gedruk Buto


Ratusan Penari Meriahkan Festival Rawa PeningJudul yang sangat menarik. Sebuah seni, apapun jenisnya dan dimanapun dia berada, akan selalu mengalami sebuah perubahan, variasi, penyempurnaan yang diharapkan akan menjadi lebih menarik, dan lebih baik. Demikian juga dengan seni kuda lumping, jathilan dalan bahasa jawa.

Sebuah kesenian tradisional yang konon merupakan seni pertunjukan yang bertututur cerita  dari sempalan kisah Dewi Sekartaji dan Panji Asmorobangun di jaman keemasan Kerajaan Kediri. Menurut Pakdhe saya.

Kesenian kuda lumping yang menampilkan beberapa orang dengan mengendarai kuda kepang, dengan tarian yang sama dan iringan music tradisional yang dinamis, menampilkan adegan peperangan yang pada saat itu muncul juga para raksasa (buto) yang ikut serta dalam kancah pertempuran, dengan tari tarian yang lebih dinamis, hentakan kaki yang lebih mantap, menjadikan buto – buto (para raksasa) ini justru dapat menjadi daya tarik dari jathilan itu sendiri.

Dalam perkembangannya, dimana para raksasa yang tampil dalam kesenian itu justru sangat menarik perhatian penonton, maka justru disitulah kemudian lebih ditonjolkan kesenian yang berisikan para raksasa yang berjingkrak jingkrak dalam tariannya, menjadi sebuah semacam “cabang” dari kuda lumping, dan perkembangannya, gedruk buto, istilah yang kemudian muncul, dapat berdiri sendiri, tidak melulu mengikuti kesenian kuda lumping.

Menurut salah satu pengamat seni tradisional yang berhasil ditemui, Gedruk buto itu sendiri adalah merupakan penggambaran dari 7 Gunung di Jawa Tengah bagian barat. Gunung Slamet di Brebes, Sumbing di perbatasan Magelang dan Temanggung, Sindoro yang berdiri megah di berdampingan dengan  Gunung Sumbing, Merbabu, Ungaran, Ragajembangan di perbatasan Banjarnegara dan Pekalongan, Prau di dataran Dieng.


Adapun falsafah yang ada di dalamnya adalah, gedruk buto menggambarkan kemarahan para raksasa (dalam hal ini menggambarkan makhluk makhluk dari alam makrokosmos) dimana mereka murka akan ulah manusia yang semakin hari semakin merusak alam, bumi, dan ibu pertiwi.

Semoga menjadi refleksi agar semua kembali pada alam dan keseimbangannya. Sejuk, segar, tenang, aman, damai, sejahtera.