Friday, October 20, 2017

Sendang Kamulyan dan Makam/Petilasan Jaka Tarub di Kulon Progo


Terletak di Dusun Taruban, Tuksono, Sentolo, Kulonprogo. Tak jauh dari sendang, terdapat makam tua yang konon adalah makam/petilasan dari Jaka Tarub. Itulah kenapa dusun itu bernama Taruban.

Mnrt kuncen, Sudiwiyono, Sendang Kamulyan konon adalah belik kecil, peninggalan siapa tidak diketahui. Menurut saya,  kemungkinan merupakan peninggalan Jaka Tarub dalam pengembaraannya. Hal ini ditegaskan dari cerita beliau kemudian bahwa sendang itu mnrt nenek moyangnya yang merupakan  “belik” yang cukup dalam yang dikhususkan untuk istrinya, Nawangwulan.  Ilustrasinya begini :

“Kulonuwun.... Daleme Pak Sudi?”  saya sowan.
“Leres Mas.... panjenengan?” Pak Sudi balik bertnya sambil menjabat erat tangan saya.
“Kulo Raden Mas Haryo Pawiro Rejo.” Jawabku. (ben rodo dramatis)
“Oh...monggo Den Mas...katuran lenggah pinarak...” Beliau tergopoh gopoh menyambutku.
“Critane pripun Pak babakan sendang meniko?” co bloko, ben cepet.

“Sendang Kamulyan  meniko minongko papan pinuwunan. Sinten ingkang ngrekso? Injih meniko Eyang Kertoyudo. Lha sinten Eyang Kertoyudo meniko? Miturut simbah simbah rumiyin, criyose injih tiyang ingkang lelaku lelono broto, dugi sendang meniko, pinanggih kaliyan tiyang ingkang sami sami sekti lan kagungan tujuan ingkang sami. Lajeng kekalehipun sami sederekan, sami lang winulang ing sedaya babagan gesang.” Pak Sudi menghela nafasnya.

“Lajeng Joko Tarub?” tanyaku kemudian.
“Lha...Joko Tarub meniko petilasanipun wonten ing makam nginggil meniko, sak leripun sendang.” Jawabnya.
“Makam?” aku gak sabar.
“Sanes..... meniko namung petilasan. Wonten uwit ageng, uwit Sambi, wonten jero beteng. Lha njih niku petilasaniun Joko Tarub. Milo dusun mriki katelah dusun Taruban, amargi Eyang Joko Tarub meniko. Lhajeng menawi Eyang Kertoyudo meniko, njih namung criyose simbah rumiyin, njih manung tiyang sekti ingkang pengin urip migunane dumateng liyan.”

“Makamipun?”
“Eyang Kertoyudo mukso..... mboten ninggal papan makamipun. Mboten krama lan mboten peputra. Namung pesene sakderenge muksa, “sak sapa wae sing duwe pinuwunan, minuwuno ing sendang iki” .
“Sendange kok toyane sekedik sanget Pak? Meh asat!” selidikku. Pak Sudi tertawa kecil.
“Lhooooo.....sampeyan mesti mboten percoyo Den Bagus... Mangsa panas kados sakmenika, pancen toyane sekedik. Nanging  mbok di”sanyo” 2, mboten bakal telas”
 “Wonten mriku rak wonten belik ingkang dipun damel kaliyan Joko Tarub khusus kagem Nawangwulan.”
“Ingkang pundi Pak? Sing rodo jero meniko?” tanyaku.
“Leres!” jawabnya mantap.
“Nopo enjih?” rodo ngeyel aku.
“Lha dusun niki rak tegalan to Mas, angel banyu. Menawi pas wonten ewuh manten, 2  sanyo murup sedoyo, 3 dino, banyune mboten telas dugi sakmeniko...” jawabnya mantap. Aku manggut manggut.

“Lha terus tayubanipun kapan?”
“Tayubanipun biasane sak wise Januari Mas. Merti dusun. Menopo kok tayub? Amargi meniko nglestarekaken budaya lan pesene Eyang Kertayudo. Eyang remen kaliyan tayub. Mekaten sejarahipun Mas. Leres menopo mboten wong kulo njih namung neruske crita saking simbah simbah rumiyin...” Pak Sudi menutup ceritanya.


“Njih benjang menawi tayuban kulo sowan malih njih Pak. Badhe ngibing....” jawabku sambil pamit.












Sunday, October 15, 2017

Makam Bondan Kejawan Di Gamping Sleman


Adalah anak dari Prabu Brawijaya V (Bhre Kertabumi), Raja Majapahit pada era 1468-1478. Cukup singkat dalam tampuk kekuasaan.
Bondan Kejawan adalah anak ke 14 dari Brawijaya V. Adapun saudara saudara se-ayah dari Bondan Kejawan antara lain adalah Raden Patah, Arya Damar (bupati Palembang) , Ki Ageng Pemanahan, Ki Ageng Mangir, Ki Demang Tangkil ( Jaka Selambar), Batara Katong bupati Ponorogo.

Bondan Kejawan yang dilahirkan dari ibu Wandan Sari, seorang dayang , yang berkulit hitam, saat lahir dia segera disingkirkan dari istana, karena menurut ramalan ahli nujum istana, bayi ini kelak akan membawa keburukan bagi Majapahit. Wandan Sari, tentu saja tak berdaya menerima keputusan Sang Maharaja ini. Dia bukanlah permaisuri, hanya seorang selir, dari jabatannya yang hanya sebagai dayang istana yang mampu menyembuhkan penyakit yang diderita Sang Raja. Karena lahir dari selir, bukan dari permaisuri.

Untuk menyingkirkan Bondan Kejawan kecil, tentu saja tak sembarangan orang yang akan dititipkannya. Bagaimanapun, Brawijaya V sebagai ayah kandungnya tak sampe hati untuk melenyapkannya dari muka bumi. Dipilihlah sahabat dari Sang Raja, yaitu  Ki Buyut Mesahat. Suatu saat, Ki Buyut Meahar mendapat perintah dari Brawijaya V untuk mengirimkan sebilah pusaka berbentuk keris kepada Ki Ageng Tarub di  daerah Tarub. Yang juga terkenal dengan nama Ki Agung Tarub Sepuh. Dengan membawa Bondan Kejawan , Ki Buyut Mesahar pergi  ke desa Tarub.

“Ki Ageng....  aku kesini mengantarkan Keris Mahesa Nularm pusaka Prabu Brawijaya agar dapat dirawat oleh Ki Ageng....” begitulah kira kira kata Ki Buyut Mesahar pada Ki Ageng Tarub.
 “Siapakah anak muda ini Ki Buyut?” tanya Ki Ageng.
“Eh... anu.... ini Bondan Kejawan. Anak angkatku...” buru buru dijawabnya sebelum menimbulkan pertanyaan lain dari Ki Ageng.

Ki Ageng Tarub yang waskita, tentu saja melihat hal ini bukan hanya sebagai yang termaksud.
“Anakmu sangat tampan. Kebetulan aku mempunyai anak gadis pula. Biarlah dia disini menemaniku dan sebagai kawan bermain anakku, Genduk Nawangasih.” Kata Ki Ageng.
“Tapi Ki....” kata Ki Buyut terputus.
“Sudahlah Ki..... Ki Buyut sudah cukup sibuk dengan urusan di istana. Biarlah aku mengurangi bebanmu, justru anak itu akan sangat berguna disini.” kata Ki Ageng Tarub mantap.
Ki Buyut Mesahar tak mampu menolak permintaan sahabatnya itu. Lalu, ditinggallah Bondan Kejawan di rumah Ki Ageng Tarub.


Hiduplah Bondan kejawan sebagai anak angkat Ki Ageng Tarub. Agar tidak terlacak oleh istana, nama Bondan Kejawan oleh ki Ageng diganti menjadi Lembu Peteng. Disana, Bondan Kejawan dididik berbagai macam ilmu pengetahuan dan ilmu kebatinan.

Setelah Bondan Kejawan dan Nawangasih dewasa, mereka kemudian menikah. Setelah Ki Ageng Tarub meninggal, Bondan kejawan yang menggantikannya, sebagai Ki Ageng Tarub Muda.
Dari hasil perkawinan dengan Nawangasih, lahirlah Getas Pendawa, yang kemudian menurunkan Ki Ageng Sela, berputra Ki Ageng Selo Muda ( Ki Ageng Enis), dalam buku Nagasasra Sabuk Inten disebut sebagai Nis Selo, kawan bermain Mahesa jenar (imaginasi bebasku).

Dari Ki Ageng Enis, berputra Ki Ageng Pemanahan, yang kemudian menurunkan Sutawijaya (Panembahan Senopati,  raja pertama Mataram.)


Nb: letak makam di desa Gejawan, Balecatur, Gamping, Sleman.  Di tengah kebun jati. Dari desa Gejawan ke arah selatan 500m, melewati persawahan. Adapun makam istrinya, ada di persis selatan desa Gejawan Wetan. Orang sekitar lebih mengenal sebagai Makam Bondan.













































Wednesday, October 11, 2017

terjadinya Sendang Kasihan Bantul Yogyakarta


Udara panas dan gersang. Pohon pohon kering. Seorang laki laki duduk bersandar dibawah pohon rindang. Dia melihat sekeliling yang walaupun banyak juga pepohonan, namun sumber air yang ada cukup jauh. Ada sebatang sungai mengalir yang jauh dari tempat itu.

Dalam lelah dan termenung, tiba tiba laki laki itu melihat seorang wanita tua, dengan kain jarik menutupi tubuhnya, berjalan sambil membawa sebuah tempayan kecil (klenting) di pinggangnya. Dia terlihat susah payah menuruni lereng, melewati jalan setapak di dekat laki laki itu.

“Permisi Nini..... hendak kemanakah Nini  dengan klenting itu?” sapa laki laki itu sambil berdiri.
“Ah...Ki Sanak.... Nini akan pergi ke sungai untuk mengambil air.” Jawab wanita tua itu. Nini adalah sebutan bagi wanita jawa yang telah lanjut usia. Jika laki laki, biasa disebutnya Kaki. Atau Aki.
“Dimanakah sungai yang Nini maksud?” tanya laki laki itu lagi.

“Disana Ki Sanak....” Nini itu sambil menunjukkan jarinya ke arah dataran yang lebih rendah. Laki laki itu menghela nafas panjang. Sebagai seorang pengembara, tentu saja dia telah melewati sungai yang dimaksud. Cukup jauh. Bahkan untuknya. Apalagi untuk Nini yang sudah tua. Tentu sangatlah berat.
Timbul rasa kasihannya. Bukankah tujuan pengambaraannya adalah salah satunya untuk meringankan beban kehidupan umatNya?

“Nini....istirahatlah. Duduklah dibawah pohon rindang itu.” Tanpa membantah, Nini itu menurut saja.
Laki laki itu lalu mengambil tongkatnya, dan berdiri di tempat yang tidak jauh dari tempat Nini istirahat. Sejenak dia berdiri dengan tenang, memejamkan kedua matanya dan berdoa dengan khusyuk.  Tak lama kemudian, dia pegang tongkat itu dengan kedua tangannya, diletakannya didepan dadanya,. Dengan satu gerakan sederhana dan mantap, diangkatnya tongkat itu tinggi tinggi, dan dihunjamkannya ke dalam tanah.

Keajaiban terjadi. Tak lama setelah tongkat itu tertanam dalam tanah, sedikit demi sedikit keluarlah air dari tempat tongkat itu. Semakin lama semakin besar. Air yang sangat jernih. Lalu dicabutlah tongkat itu dari situ. Air semakin banyak dan menimbulkan genangan, membentuk semacam belik (kolam kecil), yang bisa diambil airnya dengan mudah oleh siapa saja.
“Nini....kemarilah. ambillah air ini untuk Nini dan beritahukan tetangga tetangga ini tentang air ini. Tak perlu jauh jauh lagi ke sunagi untuk mengambil air. Insya Allah cukup.” Kata laki laki memanggil Nini.

Nini bangkit dari duduknya dan datang menghampiri laki laki itu yang masih berdiri di pinggir belik. Lalu diambillah air memenuhi klentingnya.Dengan wajah tuanya yang sudah penuh dengan gurat gurat usianya, Nini itu membungkuk hormat mengucapkan banyak terimakasih.

“Ki Sanak, terimakasih telah memudahkan hidup kami dengan adanya sumber air ini. Rupanya, Ki Sanak ini adalah seorang pinunjul, sekti mandraguna, kinasihe Gusti...” kata Nini.
“Bukan Nini, saya adalah hamba Allah seperti halnya Nini. Mungkin Gusti Allah sedang berkenan mengabulkan permohonan saya.” Jawabnya.

“Sekali lagi terimakasih Ki Sanak. Jika berkenan, bolehkah Nini mengetaui siapakah Ki Sanak? Agar Nini dapat menceritakan peristiwa ini ke anak cucu, bahwa Nenek mereka pernah bertemu dengan seorang pinunjul, dan mendapatkan hadiah sebuah sumber mata air yang berguna untuk semua orang...” kata Nini sambil sekali lagi membungkuk hormat. Namun hal itu lekas lekas dicegah.
“Nini...tak usahlah memberiku pernghormatan yang sedemikan rupa. Namaku Said. Atau sering dipanggil Kalijaga.” Jawab laki laki itu.

“Kanjeng Sunan Kalijaga?”  Nini  itu terkesima. Tak mampu berkata kata. Rupanya benar, laki laki dihadapannya adalah seorang yang punya derajat luar biasa.
“Nah..Nini....siapakah nama Nini?” tanya Sunan Kalijaga. Wanita tua itu masih juga terdiam. Hingga di tepuk-tepuklah punggungya.
“Oh..eh.....anu...Nama Nini......Kasihan. karena Nini adalah seroang janda, orang sering memanggilnya Mbok Rondo Kasihan.” Jawab Mbok Rondo Kasihan terbata bata.
“Hmmmm...baiklah. kalau begitu, sumber mata air ini aku beri nama Sendang Kasihan” kata Sunan Kalijaga.

Mbok Rondo Kasihan sekali lagi mengucapkan terimakasih, dan mohon pamit pulang. Sedangkan Sunan Kalijaga masih berada di tempat itu untuk beberapa hari, untuk kemudian pergi meneruskan pengambaraannya.

(mungkin terus ke Tuk Sibedug......mungkin lho ya...wong wektu itu aku ra melu)

Nb. Ini Cuma reka2 saya aja lho Lur...mohon dimaafkan kalo ada salah. Dan mohon dikompliti dan dibenerkan. Ngapunten.

Candi Pringtali, Jejak Sejarah Kulon Progo Yang Tersembunyi

Sebenere meh ngajak temen2, tp do sibuk terus, yo wis....cuuussss.....  tekan
Sering riwa riwi jogja wates mosok siji wae candi ra nemu.  Bikin malu aja! Hehehe. Ndilalah pas ada urusan di dinas kebudayaan, ngobrol ngobrol, browsing, ketemu. Candi Pringtali. 

Awalnya sempat ragu karena tak pikir ini di wilayah Samigaluh utara, tempat ketinggian, yang konon kabar dari seorang teman disana, kadang ada macan yang seing lewat. Tp trnyata alhamdulillah, aman. Bukan di daerah yang itu. Tp di Samigaluh bagian selatan.

Dusun Pringtali, Kelurahan Kebonharjo, Kec. Samigaluh, Kulon Progo, Yogyakarta. Disitulah letaknya. Di pinggir jalan alternatif Nanggulan-Samigaluh. Jalanan sempit, berkelok kelok dan naik turun. Lokasi sangat terjangkau. Persis di depan SD. Kebonharjo.

Tak ada yang tau pasti kapan ditemukan dan dibangunnya candi ini. Kalo melihat bentuk bangunannyam candi ini adalah peninggalan jaman kerjaan hindu. Namun di abad berapa tepatnya, tidak diketahui.

Ku amati dari dekat, dekat sekali, tapi lekuk lekuk ukiran bebatuannya sama sekali samar. Satu persatu bagian susunan batu ku amati. Menurutku, ini lebih ke semacam punden. Tempat sesaji, berdoa pada Sanghyang Widi.

Yang sangat menarik dan membuatku penasaran (ora wani nrawang, wong jireh, hehehe) terdapat ratusan lebah madu di sela sela antara batu ke 7 dan 8 dari bawah.


Kui sing marai aku “mak jenggirat”!!! lha raono tawon blas neng kampung kono je.... alon alon mundur..... Bar.  Mungkin para pemirsa ada yg pernah kesini.  Bagi bagi kawruh gitu.












Saturday, October 7, 2017

Ki Ageng Mangir. Kalau Bukan Cinta, Apalagi?

Kalau bukan karena cinta, lalu apalagi?
Itulah yang akhirnya dilakukan oleh Ki Ageng Mangir Wanabaya IV, yang kemudian lebih terkenal dengan sebutan Ki Ageng Mangir begitu saja. Memang Ki Ageng Mangir inilah yang paling fenomenal karena kisah cintanya denga Retno Pembayun.

Ki  Ageng Mangir IV adalah keturuan dari Ki Ageng Mangir III, dan seterusnya jika ditarik garis keatas adalah keturunan dari Prabu Brawijaya V.  Masih saudara muda dengan Ki Ageng Giring yang merupakan keturunan Brawijaya IV.

Sebuah strategi  yang akhirnya memunculkan banyak friksi. Penaklukan, kekuatan, kelembutan, romantisme, yang saling bertautan dan bersilangan, menjadi satu dalam kisah Ki Ageng Mangir dan Retno Pembayun.

Apabila strategi dari Ki Juru Mertani untuk memikat Ki Ageng Mangir dengan Retno Pembayun dikatakan berhasil menurut perhitungannya, memang. Tapi  jika dua hati kemudian saling berpadu dalam cinta dan telah membuahkan benih hidup  yang tak mungkin disingkirkan oleh semua pihak, harus diakui bahwa perhitungan itu meleset.

Disinilah perang lahir batin yang maha dahsyat terjadi. Bukan hanya di pihak Kraton Mangir yang dianggap “klilip” oleh Mataram, namun juga di pihak Mataram pun, pihak penakluk, juga terjadi perang lahir batin, terutama Panembahan Senopati terhadap anaknya, Retno Pembayun, dan calon cucunya yang sudah berada dalam kandungannya.

Sebenarnya, sikap Ki Ageng Mangir benar. Dia merasa Kraton Mangir berdiri lebih dahulu, lebih tua dari Mataram, sama sama keturunan Brawijaya V, seharusnya Mataramlah yang takluk terhadap Mangir. Walau pihak Mangir tak pernah ingin menaklukkan Mataram.

Namun dari sisi Mataram, sesuai dengan cita cita setiap penguasa yang ingin melebarkan sayap dan membuat kerajaan menjadi semakin besar, hal itupun  tiada salahnya.Setelah melalui beberapa kali upaya kontak fisik untuk penaklukan yang dilakukan oleh Matarm tak pernah membuahkan hasil, maka ditempuhlah strategi “rantai emas” atas anjuran dari Ki Juru Mertani.

Ki Ageng Mangir, setelah mengetahui bahwa istrinya adalah putri dari musuhnya, amarahnya meluap. Bahkan Retno Pembayun hampir saja dibunuhnya jika tak mengingat bahwa buah hatinya sudah tumbuh dikandungan. 

Akhirnya, setelah melalui bujuk rayu Retno Pembayun serta pertimbangan matang, Ki Ageng Mangir bersedia untuk “sowan” ke Mataram, menemui mertuanya, Panembahan Senopati. Dia datang sebagai menantu, bukan sebagai penaklukan. Bagaimanapun, setelah mengetahui bahwa dia telah berputera walau masih dalam kandungan, seorang laki laki akan muncul sifat kebapakannya, dan rela menanggalkan semuanya walau hanya sejenak.

Rupanya, niat baik itulah yang kemudian mengantarkannya kepada kematian. Sebuah kematian yang sangat disayangkan oleh semua pihak, baik Mangir maupun Mataram. Teriakan menyayat hati Retno Pembayun tak mampu menghantikan kematian suaminya. Tetes air mata ibu suri tak mampu menghindarkan kematian menantunya. Saat Ki Ageng Mangir “menanggalkan” semuanya, saat itulah semuanya berakhir.


Adalah Jaka Salembar yang menjabat sebagai Demang di wilayah Tangkilan, yang sama sekali tak merelakan saudaranya meninggal dengan cara seperti itu. Jaka Salembar, atau juga dikenal sebagai Ki Ageng Tangkilan, merupakan keturunan Brawijaya pula, kemudian membawa tubuh Ki Ageng Mangir dan dimakamkan di wilayahnya, di daerah Tangkilan, Godean, Sleman.





photo Mangiran