Sunday, December 25, 2016

SENSASI KULINER DI PASAR HEWAN

Dulu, di masa kanak kanakku, aku sering sekali melihat bapak bapak yang mungkin seusia dengan kakekku, pada hari tertentu, pagi pagi benar sudah bersiap siap untuk berangkat bepergian. Aku yang waktu itu liburan sekolah dan menginap di rumah nenek, hanya bisa terheran heran. Mengapa orang orang tua di desa desa ini begitu semangat hari itu.

“Pada mau ke mana to Mbah, kok Mbah Manto, Mbah Ponco pada berjalan “ngulon”? tanyaku setelah kutemui Mbah Putri sedang merebus air di depan dingkel. Duduk di atas dingklik. Sedangkan di sebelahnya masih ada dingklik kecil punyaku, permintaanku dahulu pada pamanku. Aku minta Paman untuk membuatkan dingklik kecil untukku. Hehehehe.....

“Sekarang kan Wage to Le.....” jawab Mbah Putri pendek. Seolah aku sudah tau apa itu wage.
“Wage itu apa Mbah?” tanyaku sama sekali tak mengerti.
“Wage itu nama hari Le....”jawabnya kemudian. Aku semakin bingung. Bukankah nama hari itu hanya ada senin, selasa, rabu, kamis, jumat, sabtu dan minggu? Mengapa ada hari bernama “wage”? kapan hari wage itu?
“Hari wage itu kapan Mbah?” tanyaku polos.
“Yo hari ini Le.....” jawabnya sambil memenahi letak susur nya.
“Hari ini kan Minggu, Mbah....” aku semakin bingung. Mbah Putri meletakkan susurnya ke kinangan.
“Le.... orang orang jaman biyen, itu hari harinya pake hari jawa. Ada Pahing, Pon, Wage, Kliwon, dan Legi.... tidak seperti kamu sekarang ini, senin selasa rabu dan seterusnya....” katanya.

“Lah, terus Mbah Manto dan Mbah Ponco kok hari wage begini pada bepergian Mbah?” aku berusaha merangkaikan kejadian.
“Mereka biasanya ke pasar Jangkang Le. Pasar Jangkang itu hari pasarannya wage, pasti sangat ramai disana Le, apalagi pasar hewannya. Selain hari wage, tidak ada pasar hewan disana.”
“Pasar hewan? Hewan apa aja Mbah? Pada dijual gitu?” tanyaku lebih lanjut.
“Iya Le. Disana, tempatnya orang orang berjual beli hewan ternak. Sapi, kambing, bebek, ayam, dan lain lain. Yang paling ramai adalah pasar sapi dan kambing. Bukankah Mbah Manto dan Mbah Ponco memelihara sapi dan kambing juga?” kata Mbah Putri.

“Iya Mbah. Tapi mereka tidak membawa sapi maupun kambing Mbah.... Cuma membawa arit dan cenngkrong sabit rumput....”jawabku sambil meraih ketelah rebus dari soblok.
“Di pasar hewan itu Le, tidak hanya melulu berjualan hewan. Tapi juga jual semua alat alat pertanian. Tidak hanya jual beli, tetapi juga ada tukang yang menerima pesanan bahkan memperbaiki alat alat ternak dan pertanian...” lanjut Mbah Putri.

“Mbah Kakungmu dulu juga seperti itu.... kalau wage, ke pasar Jangkang, bareng bareng dengan Mbah Ponco, Mbah Manto dan lain lain...” lanjutnya dan segaris senyum melintas diwajahnya.
“Kok senyum Mbah?” tanyaku.
“Hehehehe...dulu Mbah Kakungmu dan yang lain lain itu, kalo ke pasar hewan, seperti orang lebaran jaman sekarang. Mereka sangat senang pada hari hari pasaran itu. Mereka bisa berkumpul sesama peternak, petani, di pasar hewan. Bisa saling bertukar pikiran dan menjalin paseduluran.”

“Kadang mereka tidak mempunyai keperluan apa apa di pasar hewan, namun hanya ingin sekedar ketemu, kumpul, ngobrol, dan menikmati hidangan khas di pasar hewan. Bakmi, sate, dan tongseng..” Mbah Putri mengakhiri ceritanya sambil tersenyum.
“Makan di pasar hewan Mbah? Apa tidak bau? Apakah bersih? Apakah enak??? Tanyaku penuh heran.


“Hehehehe....besok kalo sudah besar, cobalah Le.... lebih enak dari yang lain lain. Suasananya sangat khas.....” jawab Mbah Putri dan kemudian bangkit mengangkat ceret untuk membuat teh panas untuk paman.


Ternyata, setelah sekian puluh tahun, aku benar benar mencoba apa yang diceritakan Mbah Putri. Aku ke Pasar Jangkang pada hari Minggu Wage, mencoba menikmati hidangan bakmi goreng dan godhog di pasar hewan, dekat dengan sapi dan kambing, serta teh panas gula batu. Luar biasa....

Minggu Wage yang akan datang, aku pengin makan tongseng!!! Hahahaha.... 

Tuesday, December 20, 2016

Temon, sekeping kisah di Serangan Fajar

Pencarianku selama ini membuahkan hasil. Sebuah kenangan saat masa kecilku, nonton bareng bersama Kangmas ku, televisi hitam putih, di rumahku di dusun di lereng Merapi. Waktu itu aku tak tahu judul dari film ini. 
Yang sangat aku ingat dan membekas di ingatanku adalah, seorang anak laki laki di dalam film itu yang mungkin seusia denganku, selalu menunggu kereta api lewat yang kebetulan berdekatan dengan rumahnya. Dan setiap kali kereta api lewat, tidak pernah menurunkan seorang penumpangpun, bahkan berhentipun tidak. Dan setiap kali kereta lewat, dia selalu berteriak memanggil ayahnya.

“Pak’eeeeeeee............ “ seperti itu tanpa lelah menunggu ayahnya pulang. Mengapa demikian? 
Diceritakan, bahwa Temon adalah seorang anak desa lugu, yang hidup di jaman perjuangan kemerdekaan, dengan keadaan ekonomi yang sangat minim sebagai orang desa, apalagi dalam keadaan negara sedang berperang, dimana ayahnya pergi meninggalkannya sejak masih bayi, untuk bergabung dengan laskar perjuangan demi melawan penjajah dan menegakkan Negara Republik Indonesia.

Sebagai anak yang kemudian hidup bersama ibu dan neneknya, Temon berkembang seperti layaknya anak anak desa biasa. Namun kekagumannya pada pesawat yang sering dia lihat terbang di angkasa dekat rumahnya, serta cerita dari ibu dan neneknya tentang ayahnya yang pejuang, menimbulkan semangat juang yang menyala nyala dalam dirinya.
Namun sebagai anak yang masih berusia sangat muda, ibu dan neneknya tak mampu menceritakan kejadian sebenarnya tentang kematian ayahnya saat berjuang melawan penjajah. Neneknya selalu mengatakan bahwa ayahnya pasti akan pulang, dengan naik kereta api.

Itualah sebabnya Temon selalu menunggu kereta api lewat dan selalu memanggil manggil ayahnya.
Film Serangan Fajar ini adalah film dokumenter drama perang Indonesia pada tahun 1982 dengan disutradarai oleh Arifin C. Noer.
Masih banyak lagi pernik pernik film ini yang sangat menggugah emosi dan air mataku. Cukup sekian dulu, sebelum air mataku tumpah memenuhi meja komputer. Hiks.....

Monday, December 12, 2016

Raksasa Di Dunia Wayang, Mungkin Memang Ada / Pernah Ada





Diceritakan dari sebuah buku Kumpulan Kisah Klasik Dinasti Ming, pada masa setelah Tiga Raja dan Lima Kaisar menyerahkan tahta pada keturunan mereka,
Melihat dari kisah tersebut, saya teringat oleh cerita cerita dunia pewayangan tentang tokoh tokoh raksasa yang selalu hadir dalam setiap cerita.
Jika di negeri sana pernah ada manusia dengan ukuran tubuh seperti itu, dan di dunia wayang juga ada cerita cerita seperti itu, bukankah besar kemungkinan bahwa tokoh tokoh wayang tersebut juga kemungkinan besar memang ada, ataupun pernah ada?
Sebuah pertanyaan yang layak dicari jawabnya.






Tuesday, November 29, 2016

MISTERI DEGAN GAGAK EMPRIT (mystery of coconut crow sparrow)

Musim hujan di hari ke dua puluh delapan bulan sebelas tahun dua ribu enam belas, seorang lelaki tampan, gagah perkasa, bernama Wiro, berjalan jalan melewati Sungai Oya, di perbatasan Kabupaten Bantul dan Gunungkidul. Perjalanannya sampai ke sebuah dusun di pinggir hutan milik pemerintah.

Dia melihat seorang tua yang sedang duduk di balai balai depan rumahnya, menatap jauh kedepan, dengan tatapan kosong. Wajahnya berubah cerah seketika setelah mengetahui kedatangan laki laki tampan itu.

Dengan wajah cerah dan senyum mengembang di bibirnya, dia sambut laki laki itu dengan sangat ramah. Setelah saling salam dan hormat dari laki laki itu, mereka duduk berhadap hadapan. Tak lama kemudian, seorang wanita tua datang membawa sebuah nampan, dengan hidangan teh hangat serta makanan sekedarnya.

Mereka berbincang bincang tentang banyak hal, dari pertanian, pemerintahan, budaya hingga sebua cerita cerita yang kadang orang anggap sebagai dongeng belaka. Hingga sebuah cerita lama yang cukup menarik, mengalir deras dari orang tua itu.
“Saking dhuwure uwit kambil iku, nganti manuk gagak wae yen mencok ono ing dhuwure uwoh kambil, katon cilik kadyo manuk emprit. Mulo diarani “DEGAN GAGAK EMPRIT”.
“Menopo niku Mbah?” tanya Wiro sambil menyulut rokoknya.

“Dek jaman semono, jaman Kerajaan Pajang, Ki Giring kang jeneng cilikane Raden Mas Kertonadi, lan Ki Pemahanahan kang aran cilikane Ki Bagus Kacung, diutus Kanjeng Sunan Kalijaga supaya nggoleki wahyu kraton kang wis oncat. Ki Giring mandeg mapan ono ing Sodo, Paliyan, dene Ki Pemanahan manggon ono ing Kembanglampir, Panggang.”
“Ki Giring kaliyan Ki Pemanahan niku sinten Mbah?” Wiro semakin tertarik.
“Ki Giring kang jeneng cilikane Raden Mas Kertonadi, lan Ki Pemahanahan kang aran cilikane Ki Bagus Kacung iku miturut carito, putra Brawijaya IV, lan Brawijaya V. Dadi yen cara carane wong desa ngarani “awu” ne tua Ki Giring”
Wiro manggut manggut.

“Lha ono ing Sodo, Ki Giring urip tetanen, nderes legen klopo ono ing alas,  lan Ki Pemanahan urip ono ing Kembanglampir. Ketoke uripe Ki Giring prasaja nanging sejatine ngalokoni tapa brata, nggoleki wahyu kraton.”
“Sawijining dina, Ki Giring oleh wisik seko Kanjeng Sunan supaya nandur uwit kelopo. Kelopo banjur ditandur, suwening suwe dadi wit kelopo sing apik. Mergo perintahe ming kon nandur, yo wit klopo iku dinengke wae karo Ki Giring, senadyan ora metu uwohe. Saking suwene nganti dhuwur banget, lan metu uwohe kelopo, ananging yo ming siji, nganti manuk gagak wae katon koyo manuk emprit, mula diarani degan gagak emprit.”
Wiro menyulut sebatang rokok lagi, dan semakin khusuk mendengarkan cerita. Kadang dia memicingkan matanya, mengerinyatkan dahinya, karena kadang dia harus mencerna dan mengartikan beberapa kata bahasa jawa dari orang tua itu. (nasib bahasa jawa....sudah mulai terpinggirkan, bahkan oleh seorang Wiro yang orang jawa tulen!!!! Laki laki macam apa kau Wirooo???)
Wiro terperanjat, seolah ada orang yang mengata-ngatainya dengan kasar, sampe jatuh batang rokok dari mulutnya.

“Kengin menopo Mas?” orang tua itu sampe menghentikan ceritanya.
“Eh....udude tibo....”jawab Wiro sambil memungut rokoknya.
“Lajeng Mbah?” Wiro ingin orang tua itu melanjutkan ceritanya.
“Sawijining wengi, Ki Giring oleh wangsit maneh menowo sapa sing isa ngomber banyu degan iku entek sak ombenan, mulo anak turune bakal dadi raja ing tanah Jawa....”
Ghllaaaaaaaaaaarrrr...............guntur menggelegar di siang bolong, tanpa hujan dan angin.
“Berarti, keturunan Ki Giring dadi raja Mbah? Tanya Wiro.
“Mboten Mas......” jawabnya.
“Lho??????” Wiro melongo.

“Esuk esuk, uwit  kelopo dipenek karo Ki Giring, kelopone di gawa mudhun, didelehne ono ing paga pawon. Banjur pesen marang Nyai Giring, kelopo iku ojo diowah owah, Ki Giring arep menyang alas, mengko yen wis bali seko alas arep diombe.”
“Lha...ndilalahe Ki Pemanahan kang wis suwe ora ketemu Ki Giring, rumangsa kangen, lan esuk kui ugo mangat menyang Sodo saperlu tilik sedulure lanang kui. Tekan omahe Ki Giring, mergo kesel anggone mlaku, sayah ngelak, mergo wis kaya kadang dewe, Ki Pemanahan banjur mlebu omah.”
“Kakang aneng endi Yu?” Pitakone Ki Pemanahan marang Nyai Giring.
“Lagi neng alas Di, dilit maneh rak wis mulih...” jawabe Nyai Giring.
“Aku ngelak banget je Yu, iki ono klopo neng pawon....”Ki Pemanahan.
“Ojo Di, kui kelopone Kakangmu, pesen marang aku ojo diowah owah....” Nyai Giring.
“Ora opo opo Yu, aku ro Kakang ki mesti oleh kok....” Ki Pemanahan banjur mlathok degane. Saking ngelake, banye degan diombe sak ombenan entek.”

“Banjur Ki Giring bali seko alas, ketemu Ki Pemanahan, bungah atine ketemu sedulur lanang. Nanging sak wise weruh degan neng pawon wis entek lan ngerti yen Ki Pemanahan sing ngombe, Ki Giring banjur ngejak Ki Pemanahan rembugan.”
“Sejatine Di, kelopo iku sing tak arani degan gagak emprit, mergo degan iku mowo wahyu kraton, kang dhuwure ra karuan, nganti manuk gagak wae katon koyo manuk emprit. Sing sok sapa wae iso ngombe banyu degan ike nganti entek, anak turune bakal dadi raja tanaj jawa. Dene wahyu sing ono sing degan kui sejatine kanggo aku, mulo saiki kene pie dirembug. Turun sepisan jatahmu, turun kepindo jatahku.” Ki Giring.

“Nanging Ki Pemanahan malah banjur menyat arep mulih neng Kembang Lampir. Ki Giring sing rumangsa durung oleh jawaban ngetutake lakune Ki Pemanahan. Ki Giring baleni rembuge kanti mlaku ngetutake Ki Pemanahan, nganti bola bali anggone mbaleni rembug. Rembug sing kaping pitu, Ki Pemanahan lagi wangsulan.
“Sak becike Di....sak becike......”
Wiro bingung akan arti dan makna “sak becike” itu gimana........

(cerita yang menggantung........)

photo photo Gunung Pasar, saksi sejarah Ki Ageng Giring dan Ki Ageng Pemanahan.





Thursday, September 1, 2016

Candi di Jawa Tengah dan Keanekaragaman Posisi Dalam Bentang

Kapan hari, ada sebuah janji di daerah Prambanan, Sleman, Yogyakarta.  Aku esimasikan bahwa pertemuan akan berlangsung cukup lama. Akan tetapi yang terjadi adalah sangat singkat. Kebetulan beliau sedang ada di tempat, dan semua telah dipersiapkan. Bingung setelah itu mau ngapain. Matahari yang terik, jalanan yang padat, membuat aku malas bergerak. Otakku berputar putar mencari  ide. Thuing!!!!!!! Ada sebuah tempat yang tenang, dingin, nyaman, dan bisa memuaskan nafsuku untuk membaca. Yap!!!!! Perpustakaan Kantor Dinas Purnbakala.
Segera ku meluncur ke sana. Masuk pintu gerbang, lapor satpam, dan diantar sampai tempat tujuan.  Seorang petugas dengan ramah menyambutku, dan menawarkan apa yang bisa beliau bantu. Sata jawab tegas, “Candi di Jawa Tengah!”.
Beliau dengan ramah mengiyakan, dan segera beranjak dan mencari beberapa literatur yang aku inginkan. Duduk dengan nyaman, udara yang dingin karena ac, ruangan yang tenang, sangat nyaman. Sayang sekali, tak boleh merokok! Hehehehe.....
Dari literatur aku hanya ingin menyampaikan sesuatu yang menarik, yaitu adanya keanekaragaman posisi dalam bentang candi, ada yang di lereng gunung, dataran teratas, dataran rendah, tepi sungai, atau bahkan di tepi pantai. Untuk candi yang terdapat di pinggir pantai, di Jawa Tengah, dalam literatur ini, belum tercantum. Mungkin situs di Pantai Ngobaran bisa dimasukkan kategori  ini, menurut aku sih.......
Mari  kita mulai dari yang pertama.
11. Candi di lereng gunung, misalnya adalah :
a.       Candi  Selogriyo di Lereng Gunung Sumbing.
Sesuai namanya, Candi Selogriyo ini letaknya di Dusun Selogriyo, Desa Candisari, Kecamatan Windusari, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Sebuah daerah di Lereng Gunung Sumbing.
Candi Selogriyo berada di lereng timur kumpulan tiga bukit, yakni Bukit Condong, Giyanti, dan Malang, dengan ketinggian 740 mdpl. Secara administratif, candi ini berada di Desa Candisari, Kecamatan Windusari, Kabupaten Magelang.
Candi ini diperkirakan dibangun pada abad ke-9 M, pada masa Kerajaan Mataram Kuna.


b.      Candi Sukuh di Lereng Gunung Lawu
Lokasi candi Sukuh terletak di lereng kaki Gunung Lawu pada ketinggian kurang lebih 1.186 meter di atas permukaan laut pada koordinat 07o37, 38’ 85’’ Lintang Selatan dan 111o07,. 52’65’’ Bujur Barat. Candi ini terletak di Dukuh Sukuh, Desa Berjo, Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Candi ini berjarak kurang lebih 20 kilometer dari kota Karanganyar dan 36 kilometer dari Surakarta.
Situs candi Sukuh dilaporkan pertama kali pada masa pemerintahan Britania Raya di tanah Jawa pada tahun 1815 oleh Johnson, Residen Surakarta. Johnson kala itu ditugasi oleh Thomas Stanford Raffles untuk mengumpulkan data-data guna menulis bukunya The History of Java. Setelah masa pemerintahan Britania Raya berlalu, pada tahun 1842, Van der Vlis, arkeolog Belanda, melakukan penelitian. Pemugaran pertama dimulai pada tahun 1928.
Menurut sejarah, Candi Sukuh yang berada di Desa Berjo, Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar, itu dibangun pada sekitar abad ke-15 oleh masyarakat Hindu Tantrayana. Dalam catatan sejarah, candi ini merupakan candi termuda dalam sejarah pembangunan candi di Bumi Nusantara. Candi ini dibangun pada masa akhir runtuhnya Kerajaan Majapahit. Kompleks situs purbakala Candi Sukuh berada di ketinggian 910 meter diatas permukaan laut.

c.       Candi Cetho di Lereng Gunung Lawu
Candi Ceto merupakan candi bercorak agama Hindu yang diduga kuat dibangun pada masa-masa akhir era Majapahit (abad ke-15 Masehi). Lokasi candi berada di lereng Gunung Lawu pada ketinggian 1496 m di atas permukaan laut, dan secara administratif berada di Dusun Ceto, Desa Gumeng, Kecamatan Jenawi, Kabupaten Karanganyar.


d.      Candi Gedong Songo di Lereng Gunung Ungaran
Candi Gedong Songo adalah nama sebuah komplek bangunan candi peninggalan budaya Hindu yang terletak di desa Candi, Kecamatan Bandungan, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, Indonesia tepatnya di lereng Gunung Ungaran. Di kompleks candi ini terdapat sembilan buah candi.
Candi ini diketemukan oleh Raffles pada tahun 1804 dan merupakan peninggalan budaya Hindu dari zaman Wangsa Syailendra abad ke-9 (tahun 927 masehi).
Candi ini memiliki persamaan dengan kompleks Candi Dieng di Wonosobo. Candi ini terletak pada ketinggian sekitar 1.200 m di atas permukaan laut sehingga suhu udara disini cukup dingin (berkisar antara 19-27 °C)
Lokasi 9 candi yang tersebar di lereng Gunung Ungaran ini memiliki pemandangan alam yang indah. Selain itu, objek wisata ini juga dilengkapi dengan pemandian air panas dari mata air yang mengandung belerang, area perkemahan, dan wisata berkuda.


  
22.   Candi  di puncak gunung, misalnya adalah :
a.       Komplek Candi Dieng
Candi Dieng merupakan kumpulan candi yang terletak di kaki pegunungan Dieng, Wonosobo, Jawa tengah. Kawasan Candi Dieng menempati dataran pada ketinggian 2000 m di atas permukaan laut, memanjang arah utara-selatan sekitar 1900 m dengan lebar sepanjang 800 m.
Kumpulan candi Hindu beraliran Syiwa yang diperkirakan dibangun antara akhir abad ke-8 sampai awal abad ke-9 ini diduga merupakan candi tertua di Jawa.
Candi-candi di kawasan Candi Dieng terbagi dalam 3 kelompok dan 1 candi yang berdiri sendiri yang dinamakan berdasarkan nama tokoh dalam cerita wayang yang diadopsi dari Kitab Mahabarata. Ketiga kelompok candi tersebut adalah Kelompok Arjuna, Kelompok Gatutkaca, Kelompok Dwarawati dan satu candi yang berdiri sendiri adalah Candi Bima.
a.1. Kelompok Arjuna
Kelompok Arjuna terletak di tengah kawasan Candi Dieng, terdiri atas 4 candi yang berderet memanjang arah utara-selatan. Candi Arjuna berada di ujung selatan, kemudian berturut-turut ke arah utara adalah Candi Srikandi, Candi Sembadra dan Candi Puntadewa. Tepat di depan Candi Arjuna, terdapat Candi Semar. Keempat candi di komples ini menghadap ke barat, kecuali Candi Semar yang menghadap ke Candi Arjuna. Kelompok candi ini dapat dikatakan yang paling utuh dibandingkan kelompok candi lainnya di kawasan Dieng.


a.2. Kelompok Gatutkaca
Kelompok Gatutkaca juga terdiri atas 5 candi, yaitu Candi Gatutkaca, Candi Setyaki, Candi Nakula, Candi Sadewa, Candi Petruk dan Candi Gareng, namun saat ini yang masih dapat dilihat bangunannya hanya Candi Gatutkaca. Keempat candi lainnya hanya tersisa tinggal reruntuhannya saja.


a.3. Kelompok Dwarawati
Kelompok Dwarawati terdiri atas 4 candi, yaitu Candi Dwarawati, Candi Abiyasa, Candi Pandu, dan Candi Margasari. Akan tetapi, saat ini yang berada dalam kondisi relatif utuh hanya satu candi, yaitu Candi Dwarawati.


a.4. Candi Bima
Candi Bima terletak menyendiri di atas bukit. Candi ini merupakan bangunan terbesar di antara kumpulan Candi Dieng. Bentuknya berbeda dari candi-candi di Jawa tengah pada umumnya. Kaki candi mempunyai denah dasar bujur sangkar, namun karena di setiap sisi terdapat penampil yang agak menonjol keluar, maka seolah-olah denah dasar Candi Bima berbentuk segi delapan.


b.      Komplek Situs Ratu Boko di puncak perbukitan Ratu Boko
Situs Ratu Baka atau Candi Boko adalah situs purbakala yang merupakan kompleks sejumlah sisa bangunan yang berada kira-kira 3 km di sebelah selatan dari kompleks Candi Prambanan, 18 km sebelah timur Kota Yogyakarta atau 50 km barat daya Kota Surakarta, Jawa Tengah, Indonesia. Situs Ratu Baka terletak di sebuah bukit pada ketinggian 196 meter dari permukaan laut. Luas keseluruhan kompleks adalah sekitar 25 ha.
Nama "Ratu Baka" berasal dari legenda masyarakat setempat. Ratu adalah ayah dari Loro Jonggrang, yang juga menjadi nama candi utama pada kompleks Candi Prambanan. Kompleks bangunan ini dikaitkan dengan legenda rakyat setempat Loro Jonggrang.

Situs Ratu Boko pertama kali dilaporkan oleh Van Boeckholzt pada tahun 1790, yang menyatakan terdapat reruntuhan kepurbakalaan di atas bukit Ratu Boko. Bukit ini sendiri merupakan cabang dari sistem Pegunungan Sewu, yang membentang dari selatan Yogyakarta hingga daerah Tulungagung. Seratus tahun kemudian baru dilakukan penelitian yang dipimpin oleh FDK Bosch, yang dilaporkan dalam Keraton van Ratoe Boko. Dari sinilah disimpulkan bahwa reruntuhan itu merupakan sisa-sisa keraton.

Prasasti Abhayagiri Wihara yang berangka tahun 792 M merupakan bukti tertulis yang ditemukan di situs Ratu Baka. Dalam prasasti ini menyebut seorang tokoh bernama Tejahpurnapane Panamkarana atau Rakai Panangkaran (746-784 M), serta menyebut suatu kawasan wihara di atas bukit yang dinamakan Abhyagiri Wihara ("wihara di bukit yang bebas dari bahaya"). Rakai Panangkaran mengundurkan diri sebagai Raja karena menginginkan ketenangan rohani dan memusatkan pikiran pada masalah keagamaan, salah satunya dengan mendirikan wihara yang bernama Abhayagiri Wihara pada tahun 792 M. Rakai Panangkaran menganut agama Buddha demikian juga bangunan tersebut disebut Abhayagiri Wihara adalah berlatar belakang agama Buddha, sebagai buktinya adalah adanya Arca Dyani Buddha. Namun ditemukan pula unsur–unsur agama Hindu di situs Ratu Boko Seperti adanya Arca Durga, Ganesha dan Yoni.

33.  Candi di dataran rendah.
Terdapat sangat banyak candi di datarn rendah di wilayah Jawa Tengah. Antara lain :
a.       Komplek Candi Prambanan.
b.      Candi Plaosan
c.       Candi Kalasan
d.      Candi Sojiwan
e.      Candi  Merak, dll







Seperti  itulah temuan dari literatur di kantor Dinas Purbakala. Tentu saja masih sangat banyak yang belum tercantum di literatur tersebut, karena perkembangan penemuan yang cukup pesat, dan belum terupdate dengan segera.
Silahkan jika ada yang ingin menambahkan.      


Sumber :
Dinas Purbakala Yogyakarta

Wikipedia

Tuesday, August 9, 2016

The Forbidden Romance

Pagi pagi benar, rombongan telah siap berangkat dari penginapan. Pihak kedutaan yang diwakili oleh Susan, terlihat telah siap di depan penginapan, ditemani Kangmas Andi dan Laras. Sejenak kemudian, semua anggota rombongan telah memasuki bis, dan siap berangkat. Rejo yang datang paling akhir, terlihat berlari lari mengejar ketertinggalannya. Untung Kangmas Andi sangat memperhatikan adiknya yang bengal itu.

 Saat bis telah mulai berjalan, Rejo yang duduk tepat di pinggir jendela, tersita pandangan matanya, oleh saorang wanita yang ternyata telah menunggu, untuk menyaksikan keberangkatannya. Wanita itu, dengan baju yang sama seperti saat pertama dijumpainya, dengan bunga mawar merah yang terselip di telingan kanannya, melambaikan tangannya disertai dengan senyumnya yang manis merekah. Rejo tak mampu berkata kata. Dia sama sekali tak menyangka jika Sandra akan berbuat sedemikian rupa. Rejo pun melambaiakan tangannya. Rejo sangat tersentuh melihatnya.

Di dalam perjalanan, tak henti hentinya dia berpikir tentang Sandra. Dia tak habis pikir. Sampai demikian jauhkah dan dalamkah rasa itu, hingga sesuatu yang tak masuk akal menjadi masuk akal, dan sesuatu yang seharusnya tak terjadi, kini bisa terjadi????? Pikirannya kalut berputar putar.
“Sodara sodara, dengarkan baik baik!!!” tiba tiba Kangmas Andi berdiri di depan berbicara keras keras. Semua yang ada disitu, diam mendengarkan.

“Persiapkan mental dan fisik baik baik!!!! Kita telah mengunjungi Canberra dan Melbourne. Sekarang kita mengunjungi Adelaide, Perth, Broome, Darwin, Caims, Brisbane, Gold Coast dan kembali lagi ke Sydney. Berarti kita akan keliling Benua Australia ini. Ayo semangat!!!!  Tampilkan seni budaya kita sebaik baiknya!!!!” kata Kangmas Andi berapi api.
“Siaaaaaaapppp!!!!” rombongan bersorak sorai.
“Terimakasih juga sama Mbak Susan, kalau nggak ada dia, kita sudah pulang dari kemaren kemaren, nggak bisa keliling Australia. Hahahahaha, betul Mbak Susan??” tanya Kangmas Andi. Susan hanya mengangguk dan tertawa.

Suasana perjalanan kali ini sangatlah meriah. Semuanya senang dan gembira melaksanakan program ini. Namun dalam dalam kemeriahan suasana itu, Rejo merasa sangat kesepian. Hatinya seolah tertinggal di taman, dan menanti kedatangan sang dewi, Sandra.
Dia hanya melewati semuanya ini dengan setengah hati. Senyumnya tak selepas dulu, tawanya tak serenyah dulu. Angannya selalu melayang jauh. Hari demi hari dia jalani dengan keadaan seperti itu. namun, dia sama sekali tak mengorbankan program ini. Rejo selalu tampil maksimal dengan baik. hanya saja, dia kini jadi jarang berkumpul dengan teman temannya satu rombongan. Rejo lebih banyak menyendiri, dan asyik dengan lamunan lamunannya.

Ada sebuah pemandangan yang sangat mengejutkan bagi Rejo dan kawan kawan saat mereka berkunjung ke Sekolah Dasar Marlborough, yang terletak di pinggiran Kota Melbourne, dimana siswa siswa sekolah itu, diajarkan Bahasa Indonesia yang masuk dalam kurikulum mereka, serta permainan khas Indonesia yang cukup digemari siswa siswa disana, yaitu congklak. Rejo dan rombongan cukup bangga melihat hal tersebut.

Terlebih lagi saat mereka sampai di sebuah universitas, yaitu Deakin University,mereka justru berdecak kagum melihat mahasiswa disana yang telah mahir memainkan alat music gamelan. Sungguh diluar dugaan. Orang orang luar negeri, para mahasiswa yang masih muda muda, telah berhasil memainkan music gamelan dengan baik.  Sedangkan pemuda pemuda Indonesia???? Sebuah pekerjaan rumah yang tak mudah tentu saja.

Perjalanan dilanjutkan dan tibalah di kota Adelaide. Kota pelabuhan yang sangat tenang, dengan jalan jalan yang sangat lebar, serta penuh dengan pepohonan di tenga tengahnya sebagai jantung kota. Kota ini bahkan mirip dengan kebun raya, dimana disana sini dengan mudah ditemukan taman taman, pepohonan, bahkan semak belukar, serta pegunungan yang menghiasi guratan kota ini. Rejo semakin rindu akan kampung halamannya. Di kota ini, mereka bermalam untuk pertunjukan di balai kota.  Kota yang tenang ini, untuk sementara menjadi sibuk dan riuh rendah oleh kerumunan orang yang ingin menyaksikan pertunjukan dari tanah Jawa.

Sukses dengan pertunjukan dan pembelajaran di Adelaide, mereka segera menuju ke arah barat, menuyusuri sisiselatan benua Australia, untuk menuju kota berikutnya, Perth. Kota di sisi barat daya Benua Australia ini adalah benar benar kota wisata, dimana penduduknya menikmati suasana seperti tamasya di kampong halamanya sendiri. Kota yang dilewati Sungai Swan, yang memberikan ruang yang leluasa bagi warganya untuk tamsya, jogging, ataupun sekedar jalan jalan. Kota yang terksesan terpencil ini, justru memberikan nuansa yang benar benar alami. Rejo dan rombongan pun tak melewatkan kesempatan ini.  Rombongan Rejo diterma dengan ramah oleh pemerintah setempat, dan segera melakukan kunjungan ke beberapa sekolah dan mengadakan pertunjukan di kota kecil itu.

Kota berikutnya salah Darwin. Kota yang terletak di sisi paling utara dari Australia. Karena letaknya yang telah hampir sangat dekat dengan daratan Asia, maka iklim dan udaranyapun telah hampir mirip dengan Asia. Penduduknya sangat gemar mengenakan pakaian santai seperti di Indonesia, dengan celana pendek dan sandal mereka berjalan jalan. Rejo bagai kembali ke kampung halaman. Semakin lekat di ingatannya pada Dewi, saat dia berada di kota ini. Walau Sandra juga selalu hadir dan menari nari diatas kepalanya.

Sebelum mereka mengakhiri tournya di kota Sydney seperti saat mereka berangkat, mereka masih menyisakan satu kota lagi, yaitu Brisbane. Kota besar yang berada di sebelah utara Sydney. Kota ini cukup besar, mapan dan kesenian mendapat tempat yang cukup baik. Karena masyarakatnya telah menempatkan seni dan budaya sebagai bagian dari kehiduan mereka, maka pertunjukan oleh rombongan Rejo dilakukan di luar, dan semua masyarakat bisa menyaksikannya, bahkan ada beberapa yang ingin mencoba memainkan alat music gamelan dan mereka tak segan segan mengajarkannya pada penduduk local. Suasana hangat dan ramah, saling canda dan tawa mewarnai keakraban mereka. Adalah Susan dan Laras yang dapat mengubungkan kedua bahasa yang berbeda itu pada mereka semua. Hal ini membuat Rejo dan rombongan benar benar merasa bangga.

Pagi hari, saat rombongan itu berangkat untuk menuju Sydney, mereka dilepas oleh penduduk sekitarnya yang cukup antusias dengan pertunjukan semalam. Mereka melepas kepergian mereka seperti layaknya melepas tamu tamu kehormatan. Rejo yang selama dalam perjalanan merasakan betapa sunyinya hidupnya, kini dia bias sedikit tersenyum. Dalam waktu dekat, dia akan segera sampai di kota Sydney, dan Rejo dapat segera bersua dengan Sandra, yang telah menunggunya entah berapa lama. Acara tour ini memang menjadi sedikti leabih lama dari yang direncanakan, karena sambutan dan permintaan dari kota kota setempat yang dikunjunginya, menahan mereka untuk tinggal beberapa hari. Sedangkan Rejo, tentu saja tak dapat memberitahukannya pada Sandra.

Dia tak tahu apakah Sandra akan marah saat dia datang, ataukah senang, ataukah dia memang telah meninggalkannya dan hidup kembali bersama komunitasnya, yang jelas jelas menentang hubungannya dengan orang diluar komunitasnya, sedangkan Diego, yang telah dengan terus terang mengungkapakn isi hatinya, telah mendapat dukungan dari sebagian besar dari keluarganya.
Rejo tak tahu yang sebenarnya menggelayuti hatinya kini. Yang sangat dia tahu adalah dia sangat merindukan Sandra, saat ini. Ingin  rasanya dia berlari cepat cepat untuk samapi ke penginapannya, dan mengabarkan kedatangannya. Namun apa daya, semua berjalan sama seperti rombongan yang lainnya. Bis berjalan menyusuri kota kota kecil, melewati pegunungan dan pemandangan yang menghampar luas.

Bis memasuki kota Sydney dengan pelan pelan. Hujan mulai turun rintik rintik membasahi jalan. Laju bis menjadi semakin pelan, dan lebih hati hati. Dingin segera merambati tubuh Rejo dan kawan kawa. Sedingin hati Rejo saat itu. Melewati  jalan jalan yang pernah mereka lewati sebelumnya. Dan saat bi situ melaju melwati taman kota, hati Rejo berdesir. Rejo sengaja melongok keluar dan melihat kursi yang biasa dia pakai duduk berdua dengan Sandra. Namun kuris itu terlihat kosong, dan tak seorangpun terlihat duduk menantinya di tempat itu. Rejo menjatuhkan dirinya dan duduk terkulai lemas.

Rejo sadar, kepergiannya kali ini terlalu lama dari yang direncanakan, dan dia sama sekali tak dapat mengirimkan kabar berita ini. Bis berhenti di penginapan saat hujan turun deras. Semua anggota rombongan segera turun dan berlari lari menuju ke penginapan. Rejo, yang dari tadi tengok kanan dan ke kiri mencari sosok wanita gipsi itu dan tak menemukan sesutau, segera turun mengikuti teman temannya. Sejenak beristirahat di loby, untuk selanjutnya pergi menuju kamarnya. 

Tubuhnya yang basah oleh air hujan, segera membuka pintu dan masuk ke kamarnya untuk membersihkan diri. Namun sesuatu membuatnya terhenyak. Saat kakinya melangkah memasuki kamarnya dan menutup pintu, kakinya terasa menyentuh sesutau yang lembut, dan dia melihat ke arah sesuatu itu.

Matanya terbelalak, dan berdiri mematung tak percaya. Dalam kamarnya, di hampir setiap ruang dan sisi, terutama di ranjangnya, terdapat berpuluih puluh bunga mawar merah yang telah layu dan mongering. Rejo kebingungan dan segera mencari di setiap ruangan, adakah sesuatu disana. Dan yang dia temui hanyalah bunga dan bunga lagi. Rejo berpikir keras dan menebak nebak.
Dia menduga bahwa Sandra telah terlalu lama menunggu kedatangannya, hingga bunga bunga yang seharusnya dipersiapkan untuk menyambutnya, yang seharusnya masih segar dan wangi saat kedatangannya, kini telah layu dan mongering, karena terlalu lama Rejo tak kunjung datang. Hati dan pikiraany kalut. Rejo menutupi wajahnya dengan  kedua tangannya, dan jatuh terduduk bersandarkan dinding kamarnya.  Sejuta sesal merambati dirinya, dan kian lama kian menyiksanya. Maka, tanpa piker panjang, dia segera bangkit dan berdiri, bergegas pergi untuk menenui Sandra,  wanita gipsi itu, entah kemana. Yang dia tahu hanyalah kursi taman yang tadi telah dilihatnya dan tiada seorangpun disana.

Rejo nekat. Dalam hujan, dia berjalan menuju taman dan duduk di kursi yang sama. Hanya itulah satu satunya tempat yang dia tahu untuk menemui Sandra. Dia tak peduli lagi apa kata orang yang melihatnya. Dia tetap duduk di kuris itu, walaupun air hujan mengguyur tubuhnya. Lampu lampu taman mulai menyala, dan orang orang telah mulai berjalan meninggalkan taman itu untuk kembali pulang, pertanda hari telah mulai gelap. Namun Rejo sama sekali tak bergeming dari tempat duduknya.

Semakin lama semakin sepi, namun Rejo masih tetap menanti. Dia tak tahu sampai kapan, tapi dia akan tetap menantinya di tempat itu. Saat hari hampir gelap, Rejo melihat seorang wanita berjalan ke arahnya, dengan sebuah payung melindunginya dari air hujan, hingga menutupi wajahnya. Bajunya yang panjang dan berwarna warni, membuat Rejo semakin berdebar debar dalam menduga duga siapakah dia. Dia ingin berteriak memanggil namanya, namun dia tak yakin. Yang dilakukannya hanyalah menunggu hingga wanita berpayung itu datang mendekat.

Namun rejo harus menahan nafas lagi, saat wanita itu kemudian berhenti. Sama sekali tak terlihat wajahnya, karena terhalang oleh payung yang dibawanya. Yang dia tahu adalah wanita itu berjalan menunduk, melihat satu persatu langkahnya sebelum dia berhenti. Rejo menatap tajam wanita itu, benar benar berusaha untuk mengenalinya. Dan saat wanita itu membalikkan badannya, terlihat sekuntum bunga mawar merah terselip di telinga kanannya, Rejo yakin bahwa dialah wanita yang dicarinya. Rejo berteriak kencang memanggilnya.

“Sandra!!!!!” teriaknya dengan sekuat tenaga. Hasrat didadanya telah mendorong dia berteriak keras keras. Wanita itu menoleh ke arahnya. Rejo melambaikan tangannya. Wanita itu terlihat sepertiu terhenyak, dan menatap tajam Rejo. Setelah sekian lama kemudian, dia dapat mengenali Rejo, laki laki yang ditunggunya dan baru sekarang muncul batang hidungnya.
Dengan serta merta, dia berlari dan membuang payung yang dibawanya, dan menghambur berlari menuju Rejo. Hujan lebat sama sekali tak menghentikan dua manusia ini untuk saling berlari mendekat dan melepaskan semua kerinduan yang tertahan.

Wanita itu, rupanya terlalu terbawa oleh perasaannya yang tak karuan terhadap Rejo. Antara senang dan benci yang bersatu padu, bergulung gulung di dalam dadanya, hingga pecahlah tangisnya. Wanita itu berlari sambil berurai air mata, merentangkan kedua tangannya dengan penuh kepasrahan,  menjatuhkan dirinya dalam pelukan Rejo yang telah siap merengkuh tubuhnya. Tubuhnya yang basah, sama sekali tak menghalangi mereka berdua untuk saling berdekapan dan mengungkapkan rasa.

Dua orang laki laki dan perempuan, saling berpelukan dalam hujan, basah tubuh seolah juga membasahi hati mereka yang gersang. Sandra, hanya mampu terisak isak di pelukan  Rejo. Dia sama sekali tak mampu mengeluarkan kata kata. Perasaannya begitu kuat, hingga hampir menyumbat mulutnya untuk berkata kata. Dia hanya melepaskan semuanya melalui bahasa tubuhnya. Dipeluknya erat erat laki laki dari tanah Jawa itu, seolah tak ingin melepaskannya lagi.

Aroma wangi dan segar segera menyelemuti kedua tubuh manusia itu. Air telah menyegarkan tubuh mereka, dan membersihkan mereka dari keringat dan debu, serta aroma mawar telah merasuki mereka berdua. Sandra tersenyum, duduk berhadapan dengan Rejo di dalam air yang menghangatkan tubuhnya.mereka berdua puas dengan mandi bersama. Hujan di luar sana, sama sekali tak terdengar oleh telinge mereka. Yang mereka dengar adalah bunyi irama air yang lambat laun membawa hasrat mereka yang semakin lama semakin berjalan ke puncak.

Kecup kecup nakal telah terjadi. Tawa tawa kecil dan renyah telah terdengar. Suasana dingin berubah perlahan menjadi hangat. Dan sentuhan sentuhan nakal di antara keduanya, telah menimbulkan  geliat geliat di kamar mandi itu. Sandra menarik keluar Rejo dari bejana itu, dan mengambil dua handuk yang cukup besar yang tergantung disana, dan segera memberikannya pada Rejo. Rejo menerimanya dengan tersenyum, dan dia segera mengeringkan tubuh Sandra yang berdiri di hadapannya, dan Sandra pun mengeringkan tubuh Rejo yang sibuk membelai belai tubuhnya.

Bagai seoarng yang gagah perkasa, dililitkannya handuk itu ke tubuh Sandra, dan tubuh itu diangkatnya dengan kedua tangannya. Sandra tertawa kecil.
“Hei, what are you doing Honey?” tanyanya sambil tertawa nakal. Rejo tersenyum memandang wajahnya, dan berjalan membawanya menuju sofa di depan perapian. Api yang telah mereka nyalakan sebelum mandi, kini telah menjadi besar dan menghangatkan ruangan. Rejo menjatuhkan tubuh Sandra di atas sofa, dan menarik handuk yang melilit tubuhnya, dan dilemparkannya entah kemana. Kini, seorang wanita gipsi, tergolek telanjang di atas sofa, tepat di didepan mata Rejo. Dan wanita itu, tanpa rasa malu apalagi jengah, memandangi wajah Rejo dengan tersenyum nakal. Darah laki laki Rejo bergolak.

Naluri laki lakinya bergerak, menggerakkan seluruh bagian tubuhnya, dan segera merengkuh tubuh telanjang itu dengan oenuh hasrat.semuanya telah terlepas, tanpa sehelai benag, dua manusia itu bergumul dengan dahsyat. Masing masing berusaha melepaskan hasrat yang telah lama tertahan dan terpendam, terutama Sandra. Teras begitu lama dia menunggu laki laki yang kini mendekap erat tubuhnya, dan dengan bulat bulat, Sandra meyerahkan semuanya pada laki laki itu.

Desah desah nafas semakin jelas, lenguhan lenguhan panjang semakinkeras keluar dari mulut mereka. Sandra beberapa kali menahan nafas, menikmati keindahan yang dia dapatkan.

“Please be mine.......” katanya lirih di sela sela nafasnya yang tertahan. Rejo semakin gila. Ingin dia telah bulat bulat Sandra saat itu. Hasrat dan nafsu semakin memuncak, dan gerakan tubuhnya semakin dahsyat. Sandra yang telah menyerahkan semuanya, benar benar merasa memiliki semuanya walau dia tahu ini hanya untuk sementara. Namun rasa dan hasrat telah benar benar menguasainya.

“Please be mine..... please be mine, at least  this night......” bisiknya di telinga Rejo saat dia peluk erat tubuh Rejo dan menciumi telinga Rejo yang sedang memberikan kepuasan yang tiada tara padanya. 

Namun di saat saat seperti itu, saat keduanya benar benar menyatu, Sandra, sebagai seorang wanita gipsi yang mempunyai kemampuan lebih dalam meraba dan merasakan sesuatu, mendapatkan sebuah pemandangan bagai kilat kilat yang melintas di benaknya. Dan kilat kilat itu menggambarkan sebuah kejadian yang seperti berurutan, dimana dalam setiap kilat gambaran di benaknya itu, terlihat laki laki yang kini sedang menikmati tubuhnya itu, juga terpagut pada seorang wanita, dengan rambut yang hitam legam, lurus, dengan kedua mata yang lebar mirip dirinya, namun wajahnya sangatlah mirip dengan Rejo. Wajah wajah khas Jawa. Semakin lama semakin jelas. Bahkan di setiap Sandra merengkuh dan benar benar menyatu dengan tubuh Rejo, kilat kilat bayanan itu semakin jelas.

Sandra semakin sadar tentang keadaan mereka berdua saat ini. Tak mungkin dia memiliki Rejo sutuhnya, selamanya. Namun rasa yang telah melilit di hatinya, sungguh tak dapat ditolaknya. Hingga akhirnya, Sandra ingin memiliki Rejo seutuhnya, dengan seutuh utuhnya, semampunya, walaupun hanya satu malam saja. Itulah mengapa, dengan penuh perasaan, Sandra berulang ulang mengatakannya pada Rejo.

“Please be mine Honey, please be mine at least to nite...” katanya berulang ulang. Sandra, tak ingin mengakhiri malam ini dengan biasa biasa saja. Dia ingin “menghabiskan” Rejo dan memilikinya dengan seutuhnya, karena dia berpikir mungkin inilah malam terkahir baginya untuk dapat bersama Rejo sebelum kepulangan laki laki itu ke Indonesia.

Entah berapa kali mereka “melakukan “ hubungan itu di malam itu. Rejo, walaupun tak satupun kata keluar dari mulutnya, namun rupanya apa yang menggelayuti hati dan pikirannya, sama persis dengan apa yang dirasakan Sandra. Apalagi Sandra, dia benar benar ingin mengahbiskan malam ini sepuas puasnya dengan Rejo. Semua cara dan gaya yang dia tahu, tanpa malu malu dilakukan pada Rejo. Keduanya benar benar menjadi gila malam itu. Kegilaan dua orang dewasa dalam rumah kayu di tengah hutan.

Malam telah bergulir, rintik hujan di luar telah reda, dan dua tubuh manusia itu telah lunglai, semua hasrat telah terlampiaskan dan terpuaskan. Masing masing saling terkulai berpelukan satu sama lain. Api di perapian pun semakin surut, dan gelas gelas anggur kini telah tercicip membasahi tenggorokan mereka yang kering oleh deru dan pacu hasrat yang bergelora. Mereka berdua menghabiskan mala mini penuh dengan kehangatan, dan tiada lagi satu keeping pun hasrat yang tersisa diantara mereka berdua. Semuanya telah mereka lepaskan. Semuanya, tak bersisa.

Mereka menikmati kebersamaan ini yang akan berakhir entah kapan, namun mereka berdua yakin bahwa kebersamaan mereka tentu akan berakhir, mengingat perbedaan keduanya teramat besar. Dalam lubuk hati yang paling dalam, mereka mengetahui hal itu, namun masing masing takut untuk mengucapkannya. Mereka tak ingin  ini berakhir. Sama sekali tak ingin.  Maka yang dapat dilakukan sekarang adalah menikmati semua keindahan yang masih dapat mereka lakukan bersama. Usaha, jelas mereka usahakan, namun semakin mereka berusaha, semakin terlihat jelas pula jurang pemisah di antara mereka.

Rejo semakin tak tahu lagi arah cerita ini. Dia biarkan semuanya mengalir. Dia tak bisa munafik, bahwa dia juga menyukai Sandra, namun dia juga tak mampu melupakan sama sekali Dewi, wanita jawa yang telah merenggut hatinya bulat bulat, walau tamparan tamparan keras yang di dapatnya menjelang keberangkannya. Namun tamparan itu, kini semakin lama semakin indah terasa di dirinya. Betapa Dewi sama sekali tak ingin jauh, apalagi kehilangan dirinya.
 “Honey, what will you do after this program?” Tanya Sandra tiba tiba. Rejo menggelengkan kepalanya tak yakin.
“Do you will go back home to Indonesia?” Tanya Sandra lagi. Rejo diam. Rejo bingung.
“Would you stay here?” pinta  Sandra setelah sekian lama Rejo diam.
Rejo diam. Tak mungkin dia akan diam dan menetap di sini, namun dia bingung untuk mengatakannya. Sedangkan Sandra, hanya mampu memandangi laki laki yang kini telah menawan hatinya itu dengan tatap mata penuh harap. Walaupun dia tahu, harapan itu terlalu egois baginya. Namun, itu semua adalah kata hatinya, yang tak mungkin dia pungkiri.

Rejo hanya mampu menggeleng gelengkan kepalanya. Berkali kali dia menyusun kata, namun gagal lagi dan gagal lagi. Akhirnya, dengan hati hati yang bedebar debar, dia berusaha mengatakannya. Sementara, kilatan kilatan gamrbaran dari peristiwa yang didapati Sandra saat bergumul dengan Rejo, semakin jelas dan mengganggu alam pikirnya. Dia tahu, inilah pertanda itu. mengapa selama ini Rejo, selalu saja terdiam jika dia mengajaknya untuk membicarakan tentang mereka berdua. Dengan segala kemungkinan yang telah dia perhitungkan, akhirnya Sandra memberanikan diri untuk bertanya. Cepat ataupun lambat, hal seperti ini haruslah di ungkap. Dan menurutnya, saat inilah yang tepat, sebelum Rejo kembali pulang ke Indonesia, dan sebelum semuanya terlambat, dan sebelum sesal menyiksanya kelak.
“Honey, tell me honestly……..Who is she????” tanya Sandra dengan wajah serius, sambil memegangi wajah Rejo. Rejo tergagap. Dia merasa sama sekali tak pernah bercerita tentang apa yang terjadi padanya saat sebelum berangkat ke Australia.

“What do you mean?” Rejo balik bertanya.

Sandra kemudian bercerita, tentang dirinya, kemampuannya sebagai seorang keturunan gipsi, dan tentang  apa yang dia rasakan selama ini, serta apa saja yang dilihatnya dalam kilatan kilatan penglihatannya itu. Dengan yakin dia menjelaskan arti semuanya itu. Rejo, bagai ditelanjangi bulat bulat olehnya. Dan Rejo mengakui, apa yang dikatakan wanita gipsi itu, adalah benar adanya.

“But, you know me. You know what I am doing…..” katanya sambil menatap jauh menembus tirai jendela yang terbuka lebar.
Sandra paham akan  jawaban Rejo itu. Dia tahu, Rejo juga tak mempermainkan dirinya.  Namun rasa  yang telah muncul, terlalu besar untuknya. Akhirnya dia hanya diam tercenung. Dia pun tahu akan apa yang terjadi  pada Rejo. Rejo kemudian menoleh ke arahnya. Wanita itu masih duduk diam dan tercenung di sofa. Tatap matanya jauh entah kemana. Rejo mendekatinya.
Dilihatnya kedua mata wanita itu telah basah, dan air mata telah mengalir di kedua pipinya. Namun sama sekali tiada suara isak tangis yang keluar dari mulutnya. Rejo tahu betapa kuat wanita itu menahan rasa atas dirinya, dan betapa kuat dia menahan hatinya yang meronta, hingg hanya air mata yang menetes, yang mengungkapkan berjuta juta kata yang dia simpan.

Rejo segera duduk disampingnya, dan memeluk wanita itu. Namun wanita itu hanya diam. Diam dan sama sekali tak berreaksi atas pelukan Rejo. Rejo mempererat pulakannya. Semakin erat dia peluk tubuh wanita itu, semakin jelas terasa bahwa hatinya meronta. Maka pecahlah isak tangisnya. Rejo semakin mendekap erat tubuhnya. Namun, itu justru menambah tangisnya. Wanita itu, kini benar benar menangis di pelukan Rejo.
Keduanya kini diam dan saling berpelukan. Sandra masih dengan tangisnya yang menyayat, sedangkan Rejo masih dengan kekalutannya.
“I love you…..” bisik Sandra di telinga Rejo di sela sela tangisnya. Hati Rejo terasa semakin teriris. Dia tahu betul akan kata kata Sandra, dan dia yakin itu benar. Namun apa daya. Kadang Rejo berpikir apakah ini semua jalan yang  harus dilewatinya untuk menemukan cinta sejationya setelah dia bertualang dan melalang buana ke sekian banyak hati seorang wanita? Ataukah ini sebuah kutukan, betapa sakit hatinya seseorang jika harus ditinggal kekasih hatinya.

“I love you, but I have to let you go, and I will…. Cause I love you…….” Katanya lagi semakin menyayat hati. Rejo tertunduk pilu.
“Go get her. Your  heart is not belong here…….” Ucapnya sambil semakin erat memeluk tubuh laki laki Jawa itu. sebuah pertentangan batin yang amat dahsyat pada dirinya, namun sedikit demi sedikit, dia dapat menekan egonya.
Rejo berusaha melepaskan pelukan Sandra, untuk menatap wajahnya dan berbicara, namun hal itu ditahan oleh Sandra. Sandra semakin erat merengkuh tubuh Rejo. Rupanya Sandra belum puas dan belum selesai berkata kata.

“Just remember me Honey…. I let you go, cause I love you so much, from the deepest in my heart…… I just ask you one thing. Don ever forget me. If something happen to you, you know your way back, I am waiting…..” kata katanya semakin membuat hati Rejo teriris iris. Air matanya telah membasahi punggung Rejo, dan dia biarkan semuanya terjadi. Dia sama sekali tak pernah menemukan seorang wanita yang rasa cintanya begitu besar, hingga dia rela untuk kehilangan. “Manusia macam apa ini????” Rejo bertanya tanya dalam hati.
Seiring dengan redanya hujan di luar sana, reda pula semua hasrat dan emosi jiwa keduanya. Mereka kemudian dapat berpikir secara dewasa, dan dapat menerima segala keputusan yang telah mereka buat. Sandra, walaupun dengan sangat berat hati, harus merelakan kepergian Rejo dan mengikis habis egonya. Sedangkan Rejo, sungguh tak mampu berucap kata kata untuk mengungkapkan betapa dia memuja Sandra sedemikian rupa. Rejo semakin malu pada dirinya sendiri, dan dia merasa memang dirinya sungguh tak pantas dipersandingkan dengan Sandra yang memiliki hati yang sedemikian mulia itu.
Malam itu, kini menjadi semakin indah bagi keduanya, setelah mereka berhasil menempatkan diri mereka dalam kedewasaan, dan menempatkan masing masing menjadi sahabat, walaupun mereka berdua tak mampu mengingkari adanya hasrat yang terpendam diantara keduanya, yang tetap menyala nyala, menunggu sebuah percikan api walaupun sedemikian kecilnya, tentu akan segera “membakar” keduanya, mengingat apa yang mereka pendam, sedemikian besarnya.  Mereka masih tetap ingin bersatu padu hingga pagi menjelang, dan seiring dengan terbitnya matahari esok hari, mereka akan berubah menjadi dua orang sahabat. Entah apa namanya. Inilah malam terakhir bagi mereka sebagai sepasang kekasih, sepasang orang dewasa yang berlainan jenis, dan mereka sama sekali tak ingin melewatkan malam ini barang sedetikpun. Cinta memang gila. Memang sangat sulit dipercaya.