Dulu, di masa kanak kanakku, aku sering sekali melihat bapak
bapak yang mungkin seusia dengan kakekku, pada hari tertentu, pagi pagi benar
sudah bersiap siap untuk berangkat bepergian. Aku yang waktu itu liburan
sekolah dan menginap di rumah nenek, hanya bisa terheran heran. Mengapa orang
orang tua di desa desa ini begitu semangat hari itu.
“Pada mau ke mana to Mbah, kok Mbah Manto, Mbah Ponco pada
berjalan “ngulon”? tanyaku setelah kutemui Mbah Putri sedang merebus air di
depan dingkel. Duduk di atas dingklik. Sedangkan di sebelahnya masih ada
dingklik kecil punyaku, permintaanku dahulu pada pamanku. Aku minta Paman untuk
membuatkan dingklik kecil untukku. Hehehehe.....
“Sekarang kan Wage to Le.....” jawab Mbah Putri pendek. Seolah
aku sudah tau apa itu wage.
“Wage itu apa Mbah?” tanyaku sama sekali tak mengerti.
“Wage itu nama hari Le....”jawabnya kemudian. Aku semakin
bingung. Bukankah nama hari itu hanya ada senin, selasa, rabu, kamis, jumat,
sabtu dan minggu? Mengapa ada hari bernama “wage”? kapan hari wage itu?
“Hari wage itu kapan Mbah?” tanyaku polos.
“Yo hari ini Le.....” jawabnya sambil memenahi letak susur nya.
“Hari ini kan Minggu, Mbah....” aku semakin bingung. Mbah Putri
meletakkan susurnya ke kinangan.
“Le.... orang orang jaman biyen, itu hari harinya pake hari
jawa. Ada Pahing, Pon, Wage, Kliwon, dan Legi.... tidak seperti kamu sekarang
ini, senin selasa rabu dan seterusnya....” katanya.
“Lah, terus Mbah Manto dan Mbah Ponco kok hari wage begini
pada bepergian Mbah?” aku berusaha merangkaikan kejadian.
“Mereka biasanya ke pasar Jangkang Le. Pasar Jangkang itu
hari pasarannya wage, pasti sangat ramai disana Le, apalagi pasar hewannya. Selain
hari wage, tidak ada pasar hewan disana.”
“Pasar hewan? Hewan apa aja Mbah? Pada dijual gitu?” tanyaku
lebih lanjut.
“Iya Le. Disana, tempatnya orang orang berjual beli hewan
ternak. Sapi, kambing, bebek, ayam, dan lain lain. Yang paling ramai adalah
pasar sapi dan kambing. Bukankah Mbah Manto dan Mbah Ponco memelihara sapi dan
kambing juga?” kata Mbah Putri.
“Iya Mbah. Tapi mereka tidak membawa sapi maupun kambing
Mbah.... Cuma membawa arit dan cenngkrong sabit rumput....”jawabku sambil
meraih ketelah rebus dari soblok.
“Di pasar hewan itu Le, tidak hanya melulu berjualan hewan. Tapi
juga jual semua alat alat pertanian. Tidak hanya jual beli, tetapi juga ada
tukang yang menerima pesanan bahkan memperbaiki alat alat ternak dan
pertanian...” lanjut Mbah Putri.
“Mbah Kakungmu dulu juga seperti itu.... kalau wage, ke
pasar Jangkang, bareng bareng dengan Mbah Ponco, Mbah Manto dan lain lain...”
lanjutnya dan segaris senyum melintas diwajahnya.
“Kok senyum Mbah?” tanyaku.
“Hehehehe...dulu Mbah Kakungmu dan yang lain lain itu, kalo
ke pasar hewan, seperti orang lebaran jaman sekarang. Mereka sangat senang pada
hari hari pasaran itu. Mereka bisa berkumpul sesama peternak, petani, di pasar
hewan. Bisa saling bertukar pikiran dan menjalin paseduluran.”
“Kadang mereka tidak mempunyai keperluan apa apa di pasar
hewan, namun hanya ingin sekedar ketemu, kumpul, ngobrol, dan menikmati
hidangan khas di pasar hewan. Bakmi, sate, dan tongseng..” Mbah Putri
mengakhiri ceritanya sambil tersenyum.
“Makan di pasar hewan Mbah? Apa tidak bau? Apakah bersih? Apakah
enak??? Tanyaku penuh heran.
“Hehehehe....besok kalo sudah besar, cobalah Le.... lebih
enak dari yang lain lain. Suasananya sangat khas.....” jawab Mbah Putri dan
kemudian bangkit mengangkat ceret untuk membuat teh panas untuk paman.
Ternyata, setelah sekian puluh tahun, aku benar benar
mencoba apa yang diceritakan Mbah Putri. Aku ke Pasar Jangkang pada hari Minggu
Wage, mencoba menikmati hidangan bakmi goreng dan godhog di pasar hewan, dekat
dengan sapi dan kambing, serta teh panas gula batu. Luar biasa....
Minggu Wage yang akan datang, aku pengin makan tongseng!!! Hahahaha....
No comments:
Post a Comment