Monday, January 22, 2018

Candi Selogriyo, Kesendirian dalam Keheningan


Waktu itu, aku harus ke rumah temanku di  daerah Temanggung untuk sebuah keperluan. Karena musim yang tak pasti, kadang hujan dan kadang terang, aku berangkat pagi, dari Jogja langsung menuju Temanggung. Karena menghindari keramaian dan kemacetan, selepas Magelang ku ambil jalur alternatif yang biasa ku lewati. Tiba di sebuah pasar, tak sengaja ku lihat papan penunjuk arah. Disana tertulis Candi Selogriyo. Hmmmm....baru perhatian sekarang. Oke. Mumpung masih agak pagi, aku harus selesaikan urusanku di Temanggung dan pulangnya mampir ke candi ini. Segera ku pacu kudaku, melewati gunung dan lembah.
Sebenarnya di Temanggung juga ada candi yang ingin ku kunjungi, Candi Pringapus. Tapi jika hari itu ku klunjungi Pringapus dulu baru kemudian Selogriyo, pasti sampe Jogja kemaleman. Itupun kalau tidak huja. Ya sudah......Pringapusnya entar sajalah. Kapan kapan. Walaupun sebenarnya tak begitu jauh dari rumah temanku itu.  
Selesai urusan di Temanggung, segera ku pacu kudaku menuju pasar tempat papan penunjuk arah Candi Selogriyo. Ku ikuti petunjuknya. Jalan berkelok kelok, sawah terhampar di kiri kanan jalan. Indahnya....

Sudah cukup jauh ku berjalan, namun belum ketemu juga papan penunjuk arah berikutnya. Terpaksa ku cari warung terdekat, beli rokok dan bertanya lokasi candi dimana.
“Lho.....sampeyan keliwatan Mas....itu di tikungan belakang itu kan arah candi.” Kata ibu ibu. Aku balik arah dan berhenti  di tempat yang ditunjukkan.
“Pantes.....tulisane njepit!” batinku. Kebetulan ada ibu ibu lagi di tempat itu.
“Bu, candine tebih?” tanyaku. (tebih, jawa alus. Adoh, jawa ngoko. Jauh, bahasa Indonesianya)
“Wo lha wonteng nginggil mriko. Gunung!” jawabnya sambil jarinya ditunjukkan ke atas.
“Wuh....adoh tenan iki berarti....” aku mengeluh dalam hati. Tapi, kepalang tanggung. Dah sampe sini!
“Ikuti dalan ini Mas, nanjak, nanti ketemu kampung, terus nanjak lagi, terus.....” Ibu ibu itu memberiku petunjuk.
“Sik...sik Bu......ngagem motor saget dugi candine?” aku berusaha meyakinkan bahwa jalan yang akan ku tempuh aman.
“Dalan setapak Mas.....bisa tapi sulit.” Jawab ibu ibu itu.
“Hah!!!! Sulit adalah nama depanku!” kataku dalam hati. Tak mau menunggu lama, aku segera pamit dan menuju lokasi. Dan benar.

Dari jalan utama, jalan menanjak dan berkelok kelok. Melewati kampung dan sawah sawah. Ku lihat di beberapa tempat tertulis “tempat parkir mobil/motor” di kampung kampung itu. Tapi aku tak mau menyerah. Harus sampai lokasi bersama dengan kudaku.
Jalanan makin sempit. Aku telah sampai di desa terakhir. Ada sebuah jalan berkonblok. Hanya bisa dilalui oleh kendaraan roda dua. Jalan menuju candi. Ku telusuri, dan..jreengg....gapura selamat datang di candi selogriyo sudah terlihat. Ku bayar retribusi dan melanjutkan perjalanan.
Jalan setapak, berkelok kelok, terjal, turunan dan tanjakan ku lalui. Tiba di sebuah perigaan kecil. Ki kiri menanjak menuju ke candi, ke kanan menurun menuju kampung (kok yo ono kampung neng kene, batinku).

Disitu aku harus berhenti. Karena dari atas, jalan menuju candi itu, beberapa orang sedang berusaha menurunkan kayu menggunakan gerobak kecil yang ditarik bersama sama. Mereka terperosok. Bila perhitungan mereka meleset sedikit saja, itu gerobak yang penuh dengan muatan kayu akan meluncur ke bawah, menabrak aku dan kudaku.  Aku pun ikut berdoa untuk keselamatan semuanya waktu itu.
Setelah semuanya selesai, kayu dan gerobak kembali dalam kendali, ku teruskan perjalanan. Masih naik dan jalan setapak. Konblok yang ada kini sudah mulai berlumut karena air dan teduhnya pepohonan. Harus lebih waspada. Terus ku berjalan, jalan konblok sudah habis, tinggal jalan tanah. Kiri dan kanan pegunungan. Cukup indah, karena ku lihat ada satu dua orang di sawah. Jika tak ada siapapun disana, tentu saja tidak menjadi indah. Terus ku berjalan dan akhirnya tiba di sebuah tempat, jalan buntu, sangat teduh karena pohon dan tebing gunung, dan disana berdiri gapura lokasi Candi Selogriyo. Tempat parkir yang dijaga oleh beberapa anak muda. Leganya........ kurang lebih jalan setapak dari desa terakhir (tempat bayar karcis, gapura pertama) sampai lokasi ini sejauh 2kilometer.

“Dik....naiknya jauh?” tanyaku pada mereka saat ku lihat dibelakang gapura itu berundak undak cukup tinggi.
“Lumayan Mas....” jawab mereka. Kepalang basah, keluhku dalam hati.  Satu persatu tangga dari semen itu ku daki. Pelan pelan tapi pasti. Mendekati lokasi candi, tangga naik semakin terjal. 45 derajat kemiringan. Gila!!! Apa boleh buat. Dengan kerja keras banting tulang, aku berhasil masuk ke lokasi candi. Terdapat semacam pos dari kayu disana, tanpa permisi ku duduk disitu, meluruskan kaki kakiku, mengatur nafasku. Haus melanda. Tenggorokanku kering. Aku menyesal tak membawa air minum dari bawah. Ku lihat ada petugas sedang bersih bersih.
“Pak, ada warung?” tanyaku yang menurutku sendiri adalah konyol. Mana ada di lereng gunung nan sepi sunyi seperti ini ada warung.
“Ada Mas, disebelah candi!” jawabnya. Bagai disiram air pegunungan nan segar, jawaban itu melegakanku. Segera ku berlari ke warung. Buka, tapi tak ada orang.
“Kulonuwun......!” sapaku sambil ku ambil botol mineral tanpa peduli empunya warung dengar  atau tidak.  Cleguk....cleguk.... segarrrrrrrrr.......
“Iya Mas....”bapak bapak pemilik warung keluar setelah ku minum beberapa teguk.
“Nyuwun toyane Pak...” sambil kutunjukkan botol yang telah ku minum setengah.
“Ngapunten Pak, selak ngelak....” kataku kemudian.
“Njih Mas, monggo...... saking pundi?” pemilik warung ramah juga ternyata.
“Jogja Pak...” jawabku. Setelah selesai beramah tamah dengan pemilik warung, segera ku ke lokasi candi, ngobrol dengan petugaas.

Candi Selogriyo merupakan candi peninggalan purbakala yang letaknya di  Kecamatan Windusari, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, tepatnya di dusun Selogriyo. Candi ini diperkirakan dibangun pada abad ke-9 M, pada masa Kerajaan Mataram Kuna. Candi ini berada di lereng timur kumpulan tiga bukit, yakni Bukit Condong, Giyanti, dan Malang, dengan ketinggian 740 mdpl. Aku gak habis pikir kenapa mereka mereka membangun candi di lokasi ini. Sangat terpencil, terjal dan rawan longsor. Candi  sekarang masing diberi sabuk penyangga, karena konon candi ini sudah agak miring, sehingga akan sangat mudah roboh apabila tidak ditahan dengan tali untuk mengikat candi agar bebatuan yang tersusun tetap dapat saling berhimpit dan mengait.
Telah hilang penat. Air minum sudah habis. Tiab tiba aku dikejutkan oleh sebuah pemandangan yang sangat menakjubkan. Setidaknya buatku. Saat masih melepas lelah dan menikmati lereng lereng pegunungan di seputaran candi, aku dikejutkan dengan suara orang mengeeluh.

“Huufftt.....finally......” seorang ibu ibu usia lanjut, sekitar 70 tahunan perkiraanku, muncul dari sebelah kiri tempatku bersandar. Tepatnya, dari mulut tangga menuju candi ini dari bawah. Itulah satu satunya jalan. Tak lama kemudian muncul lagi seorang ibu ibu, usia hampir sama dengan ibu ibu yang pertama datang.  Dia berhenti di mulut tangga.
“Wong londo....” batinku. Aku langsung beranjak untuk menolongnya. Tampak dia berhenti  membungkuk, tangan kanan memegang lututnya, sedangkan tangan kirinya berpegangan pada pagar tangga.
“May I help You Mam....” tangan kananku ku ulurkan, meraih tangan kirinya dan tangan kiriku meraih punggungnya. Dia tersenyum melihatku.
“Thank you...” jawabnya sambil mengatur nafasnya. Sedangkan ibu ibu yang sudah tiba duluan tadi ku lihat sudah duduk di tempatku duduk tadi. Ku bawa dia menuju tempat temennya itu. Ku biarkan mereka istirahat sebentar. Aku tidak tega untuk segera bercakap cakap untuk beramah ramah, karena mereka terlihat sangat kelelahan. Ku tawarkan air minum cadanganku, tapi mereka menolak. Mereka sudah mempersiapkannya pula. Kini dihadapaku ada 2 orang ibu ibu dari luar negeri, yang dengan susah payah sampai ke Candi Selogriyo, yang aku sendiri sudah kapok. Gak mau lagi ke tempat ini. Jauh.... capek... terpencil... di gunung pula.

Setelah mereka berkeliling mengamati candi dan menikmati pegunungan, rasa penasaranku yang sejak tadi kupendam kini mucul lagi.
“Hi Mam, where are you come from?” tanyaku. Ku terjemahkan dalam bahasa Indonesia saja ya. Aku ngerti bahasa inggris kalian pas-pasan. Hehehe.....
“Turkmenistan.” Jawab ibu ibu itu hampir berbarengan. Hmmm.... pecahan Sovyet, batinku.
“Sudah berapa lama disini?” tanyaku lagi.
“Kami disini untuk 3 hari.” Jawabnya.
“Sudah kemana saja?”
“Kami baru ke Borobudur saja. Besok kami ke Prambanan, dan lusa sudah kebali lagi ke negara kami.”
“Lho...mengapa gak ke Dieng saja? Disana candi banyak, tua, hawanya sejuk..” kataku. Mereka menggeleng gelengkan kepalanya. Seperti kebingungan. 
“Oya? Wah sangat menarik. Tapi kami gak tahu tentang Dieng.”
“Loh....loh.... sampeyan sampeyan gak tahu Dieng tapi kok tau Selogriyo ini? Yang tempatnya jauh terpencil dan susah dijangkau?” mereka menggelengkan kepala, sambil menarik nafas dalam.
“Huffttt....kami sebenarnya gak tahu candi ini. Kami hanya diantar sopir dan suruh jalan sampai kesini.”
“Loh...tour guidenya gak bilang apa apa?”
“Tidak. Hari ini kami diantar kesini. Setelah itu balik lagi ke hotel”
“Jadi sebenarnya Sampeyan sampeyan kemari itu gak tahu akan menemukan candi ini?”
“Sama sekali gak tahu. Kami di bawa sopir, mereka parkir di desa bawah sana, dan kami jalan kaki sampai sini.” Jawabnya lagi. Ada segurat kebingungan terlintas di raut wajah wajah mereka.

Tapi aku, justru lebih bingung lagi. Kok bisa bisanya melepaskan turis luar negeri yang sama sekali belum pernah menginjak Indonesia, diantarkan samapi desa terdekat, dan dibiarkan jalan kaki sampai Candi Selogriyo, melewari jalan setapak di pinggir jurang, terjal dan mendaki.
Long life and health Mam.....

Tuesday, January 16, 2018

Candi Gedong, Jejak Petilasan Jaka Tingkir di Gunung Kidul


Candi Gedong. Demikian warga sekitar menamainya. Candi Gedong ini terletak di Pedukuhan Butuh, Desa Pulutan, Wonosari, Gunungkidul, tepatnya di utara pedukuhan, bersebelahan dengan TPU warga, yang mereka sebut Makam Gedong. Mungkin karena letanya berdekatan dengan makam tersbut, maka warga juga menyebut candi ini sebagai Candi Gedong.
Yang namanya candi, dalam bayanganku adalah sebuah bangunan dari balok balok batu yang ditata sedemikian rupa sehingga membentuk sebuah bangunan berbentuk kerucut dengan satu puncak teringgi di tengah tengahnya. Dengan guratan guratan yang membentuk sebuah gambar dalam tiap batu batu yang tersusun dan saling mengait itu. Namun rupanya bayangaku itu hanyalah bayangan kosong melompong. Semelompong mulutku waktu ku temukan candi itu, yang dengan susah payah bertanya kesana kemari  untuk menemukan sebuah candi yang bahkan sudah ditempatkan dalam sebuah area yang cukup luas.

Memang.... dari sekian banyak “ngalayap-nglayapku”, daerah yang relatif lebih susah dalam mencari situs semacam itu adalah di wilayah Gunung Kidul dan Kulon Progo. Mungkin gak populer kali ya, barang barang semacam itu di wilayah wilayah itu. Hehehe.... ngapunten.
Kembali ke melompong.  Yah. Mulutku melompong. Kutemukan sebidang tanah dengan pagar kawat berduri di setiap sisinya, dan di sebelah pintu masuk terdapat sebuah papan keterangan yang bertuliskan kata kata yang banyak, dan tak satupun menyebut bahwa lokasi itu adalah Candi Gedong, yang oleh pemerintah dinamai dengan Candi Pulutan.

“Pantes uangele pol golekane. Boro boro papan penunjuk arah. Lha neng lokasine wae lho, gak ono papan tulisan “Candi Gedong” utawa “Candi Pulutan”. Jiaannnnn....marai boros takon!”
Thingak-thinguk, di dalam sana terdapat sebuah rumah kecil, dengan pintu yang terbuka, dan ada seseorang disana. “Pasti petugasnya” batinku. Masuk lokasi dengan penuh percaya diri. Karena banyak orang yang tertipu karena penampilanku, kadang kadang ku manfaatkan. Hehehe.......
Pertama, aku lihat sekelilingku. Ada sebuah gundukan tanah dengan beberapa batu nampak menonjol dari dalam tanah, dengan 2 pohon yang tunbuh tepat ditengah tengahnya.
bebatuan candi di dalam lokasi candi

Di sebelah gundukan itu, terdapat dua bidang tanah yang dipagari oleh tanaman tanaman kecil, dan terdapat batu batu dalam berbagai ukuran tergeletak di dalamnya. Demikian juga dengan tanah yang berada di depan gundukan itu. Tempatku berdiri dengan petugas yang dengan tergopoh menemaniku (padune aku wedi asline....)
“Nah......sini Mas..... Critakno. Aku ra mudeng! Ini tenane tempat opo????” tanyaku agak tegas.
Dia mulai menerangkan dari tempat aku dan dia berdiri. Tepat di depan kantornya.
“Ini Mas.....lokasi pertama ini, semua batu adalah kumpulan dari batu batu megalitikum dari daerah Wareng. Makanya tadi Panjenengan ke Wareng gak ketemu apa apa to?” Mas Petugas mulai menerangkan. Aku cuma manggut manggut.
“Oya..maaf, nama Panjenengan sinten?” dia bertanya.
“Raden Mas Haryo Pawiro Rejo Ingkang Kaping Sepisan!” jawabku mantap. Kini dia yang manggut manggut.
“Kembali lagi Mas. Yang ini tadi dari Situs Wareng. Tempatnya juga tersebar, dan dikumpulam di tempat ini.”


dari situs wareng
“Berarti ini penampungan cagar budaya to Mas?” tanyaku. Dia mengiyakan.
“Lha terus Candi Pulutan nya yang sebelah mana??” aku penasaran karena tak kutemukan satupun candi berdiri disitu.
“Lha itu Mas Paw....gundukan tanah tempat Jenengan berhenti tadi itu candinya. Dulu namanya Candi Gedong. Orang orang sini menyebutnya seperti itu. Itu malam di setelah itu kan namanya Makam Gedong. Sama pemerintah dinamai Candi Pulutan karea letaknya di Pulutan. Dulu ya Cuma batu batu berserakan gitu, terus sama dinas digali, diamankan. Ketemu 2 atau 3 arca gitu, dibawa ke dinas. Untuk mengamankan batu batu yang masih ada, ada beberapa batu yang ditutup pake kawat kawat hitam itu Mas, biar tidak owah.” Katanya sambil menunjukkan satu persatu bebatuan candi yang secara bangunan, tidak berwujud candi.
dari situs wareng

“Lho lha iya mas....candine iku lho....ndok endiii???” aku makin penasaran.
“Ya ini Mas, yang kita injak ini lokasi candi. Dulu waktu penggalian, ditemukan batu batyu yang tersusun rapi membentuk sebuah kotak yang berukuran seluas ini, sekitar 8 meter kali 8 meter. Tapi itu dibawah tanah. Dibawah tanah kita ini. Sama dinas tidak diteruskan penggalian karea apa saya yo gak tau.” Mas Petugas berusaha meyakinkan aku.
“Terus dua bidang tanah di sebelah candi itu apa?” aku berjalan menuju tempat itu diikuti Mas Petugas.


“Dua bidang tanah itu seperti yang di depan kantor itu Mas. Itu batu batu berasal dari Situs Getas dan Mojosari. Dulu semuanya tersebar di hutan hutan perhutani.  Dikumpulkan disini. Semua mendekati daerah Sungai Oya. Mirip seperti yang di Penampungan Bleberan, Cuma yang disini, lokasinya lebih ke utara dibanding yang ditemukan dan di kumpulkan di Bleberan.” Terangnya.
penampungan dari Mojosari dan Getas
 Kami lalu berjalan menuju kantor. Ditengah jalan, tepat di sisi lokasi candi, Mas Petugas bercerita lagi.
“Konon kata mbah mbah disekitar sini, candi ini usianya lebih tua dari Borobudur. Sekitar abad 8. Dulu juga katanya candi ini petilasane Jaka Tingkir. Itu sungai yang dibelakang candi ini kan namanya Banyu Biru”.
“Jaka Tingkir sampe sini ngapain?” tanyaku dalam hati. Terus aku tengok sungai Banyu biru itu. Tapi koko aku liat airnya gak biru.
“Lha kok akeh dapuran pring ngene Mas. Medeni mesti.....”
“Oiya Mas..ini fakta Mas. Yang lihat orang banyak. Dulu pas pemugaran, ada tukang yang membunuh ular. Ularnya itu pendek dan buntung. Dibunuhnya ular itu sampe putus kepalanya. Terpisah antara kepala dan badannya. Tak berapa lama, tahu tahu ular itu hidup lagi, dan kepalanya menyatu dengan badannya lagi, lalu pergi. Tak seorangpun berani ganggu.” Ceritanya berapi api.
“Lha terus tukange gimana?” tanyaku melompong.

“Tukange sejak itu gak pernah masuk kerja lagi mas. Kata temennya yang jenguk dia ke rumahnya, katanya tiap kali mau makan, dia mencium bau bunga wangi sekali, sampe mau muntah. Itu terjadi berhari hari, sampe dia ga masuk kerja lagi.” Aku manggut manggut.

“Ada lagi yang tugas disini, tapi orang jauh. Gak sampai seminggu dia minta pindah. Tiap malam ada saja penampakan dan suara suara aneh. Pokoknya banyak sini Mas yang medeni....”katanya.

“wis..wis....Mas...aku yo wedi soale.” Kataku sambil mengajak dia ke tempat yang lebih terang.









photo photo














Monday, January 15, 2018

Sugriwa Subali Di Gua Kiskenda

Bermula dari huru hara yang terjadi di Kahyangan, negeri para dewa, karena hilangnya Dewi Tara yang berhasil direbut oleh Mahesa Sura, seorang raksasa berkepala kerbau (mahesa), dengan tunggannya, Jathasura, banteng berkepala raksasa (buto), serta bantuan bala pasukan dibawah panglima Lembu Sura, raksasa berkepala sapi. Kerajaan Kahyangan luluh lantak dan tak satupun pasukan Dorandara (pasukan bala dewa) yang mampu mengalahkan mereka. Mahesa Sura yang memiliki Aji Pancasona, tidak akan mati selama jasadnya menyentuh tanah, memang tiada lawan. Sehingga turunlah ke bumi ini dengan kemenangan, Mahesa Sura bersama Jathasura dan Dewi Tara yang akan dijadikan permaisuri di Kerajaan Gua Kiskenda, diiringi oleh Lembu Sura dan pasukannya. Suka cita pun terjadi, karena raja mereka akan segera bersanding dengan Dewi Tara, bidadari yang cantik jelita yang telah meluluhkan hati dan menumpulkan nalarnya.

Bathara Indra dan Bathara Brama tak rela negerinya luluh lantak, segera menyusul turun ke bumi dengan pasukan Dorandana yang tersisa untuk melenyapkan Mahesa Sura. Namun sekali lagi mereka harus kecewa. Mahesa Sura, Lembu Sura, Jatha Sura seakan tak pernah bisa dikalahkan. Jika mereka mati, begitu menyetuh tanah, akan segera hidup lagi. Pun demikian, jika mereka mati, salah satu mereka melangkahi jasadnya, akan hidup kembali pula. Ini karena mereka telah bersumpah sehidup semati satu sama lain.

Bathara Brama dan Bathara Indra semakin terdesak, dan akhirnya mereka harus menyelamatkan diri, kembali ke negeri Kahyangan dengan sisa pasukan yang masih ada. Namun mereka belum puas sebelum melenyapkan Mahesa Sura. Hal ini untuk mencegah terjadianya hal serupa di kemudian hari, mengingat tak satupun dewa yang mampu mengalahkan Mahesa Sura dan pasukannya dari Kerajaan Gua Kiskenda.

Namun Bathara Indra merasakan ada sesuatu yang aneh dalam perjalanan pulangnya. Dia merasakan udara panas di sekitar Gunung Sonyapringga. Dia hapal betul akan aura udara panas itu. Pasti seseorang sedang “mbangun tapa” , laku prihtain, sehingga membuat hawa panas yang memancing dewa dewa untuk mendatanginya. Maka kemudian datanglah Bathara Indra ke Gunung Sonyapringga, dimana didapatinya disana seorang bernama Guwarsa (Subali) yang saat itu tengah melakukan puasa tirakat dengan menggantungkan dirinya di dahan pohon (puasa ngalong).

“Subali, engkau aku perintahkan untuk memusnahkan Mahesa Sura  yang telah mengambil paksa Dewi Tara dari Kahyangan. Lenyapkanlah Mahesa Sura dan bila berhasil, Dewi Tara aku serahkan padamu.” Demikian perintah Bathara Indra.
Subali menyanggupinya, dan kemudian meminta bantuan saudara mudanya, Sugriwa. Hal itupun disetujui oleh Bathara Indra. Segera manusia kera itu lenyap dari pandangan mata, meminta bantuan Sugriwa dan menyiapkan pasukannya. Segera mereka berangkat menuju Gua Kiskenda.

“Adi Sugriwa, aku mendapatkan perintah dari Bathara Indra untuk melenyapkan Prabu Mahesa Sura, yang telah mencuri Dewi Tara dari Kahyangan. Seperti yang tlah kita berdua ketahui, bagaimana kesaktian Prabu Mahesa Sura dan Patihnya, Lembu Sura. “ kata  Subali.
“Perintah Kakang Subali bagaimana?” tanya Sugriwa.
“Sekuat tenaga akan aku rebut Dewi Tara, dan ku titipkan padamu. Setelah itu baru aku bunuh Mahesa Sura. Aku harus masuk ke gua untuk dapat mengurungnya, untuk mengurangi ruang geraknya....” kata kata Subali berhenti.
“Lalu, bagaimana aku tau Kakang atau Mahesa Sura yang unggul dalam peperangan?” tanya Sugriwa.
“Jika  melalui pintu gua itu mengalir darah putih, akulah yang kalah. Maka, engkau harus menutup  gua itu secepatnya. Dan Bawalah Dewi Tara menghadap Bathra Indra. Sebaliknya, jika darah yang mengalir merah, berarti aku yang menang. Engkau tunggu hingga aku keluar gua, dan kita menghadap Bathara Indra mengantarkan Dewi Tara padanya.” Jawab Subali.
“Baik Kakang. Mari kita tuntaskan tugas ini...” tegas Sugriwa.

Tiba di Gua Kiskenda, pasukan Subali Sugriwa langsung dalam gelar perang. Mereka langsung menyerang dalam pertempuran terbuka. Pasukan Mahesa Sura yang berada diluar istana terkejut dengan serangan tiba tiba itu, menghadapi pasukan Sugriwa Subali dengan gagah perkasa.
Perang tanding antara pasukan raksasa dan pasukan kera, tak dapat dihindari. Saling terjang, teriak, menjadikan suasana riuh rendah. Namun bagaimanapun kesiagaan pasukan Gua Kiskenda, yang dalam keadaan tidak siap sempurna, mendapatkan serangan mendadak yang tertata, dalam waktu singkat dapat ditaklukkan. Bahkan Subali dengan mudah berhasil mendapatkan Dewi Tara dari tangan Mahesa Sura, dan segera keluar dari pertempuran untuk menitiplkan Dewi Tara pada Sugriwa.

Sugriwa menerima dan menjaganya dengan sangat hati hati dan waspadanya. Diperintahkannya beberapa pengawal pilihan untuk khusus menjaga keselamatan Dewi Tara. Sementara itu Subali segera meloncat, memasuki kancah pertempuran untuk memburu Mahesa Sura yang lari masuk ke dalam gua setelah melihat pasukannya telah takluk. Sugriwa yang mendapat perintah dari Subali untuk menjaga pintu gua, juga dengan cekatan bagai terbang, menyusul gerak Subali. Namun langkahnya berhenti cukup sampau di mulut gua. Sedangkan Subali, telah hilang dari pandangan mata.

Subali memasuki gua dengan penuh kewaspadaan.  Belum terlalu jauh masuk ke dalam gua, Subali mendapati sebuah batu, tidak begitu besar namun permukaan batu tersebut cukup datar. Dapat diduga batu tersebut sering untuk duduk duduk dalam waktu yang cukup lama. Mungkin batu itu digunakan untuk duduk dan berhias para pelaku seni untuk menghibur Mahesa Sura dan kerabat istana.
Batu tersebut kini dinamai Pertapaan Ledhek. Tempat para ledhek (seniwati) melakukan ritual dengan menyepi dan lelaku prihatin.

Subali semakin berhati hati. Dirinya telah masuk cukup jauh ke dalam gua. Namun belum juga dia temukan persembunyian Mahesa Sura. Justru yang dia temukan kemudian adalah sebuah tempat yang agak tersembunyi, yang wujudnya seperti batu untuk duduk bersemedi.
Batu tersebut kini dinamai sebagai Pertapaan Kusuma. Sebuah tempat untuk bertapa mencari kemulyaan sejati, seperti bunga yang harus mewangi.

Subali menghela nafas panjang. Sebenarnya tempat ini cukup baik. Sayang jatuh ke tangan Mahesa Sura, raksasa yang suka memaksakan kehendak dan mengagung-agungkan kesaktiannya yang tanpa batas.
Terngat dia akan tugasnya, Subali segera melanjutkan langkahnya masuk lebih dalam lagi. Lagi lagi dia harus kecewa, yang ditemui hanyalah sebuah tempat kosong, namun terlihat bersih seperti dua tempat sebelumnya. Nampak disudut gua itu beberapa hasil pertanian tergeletak dengan kembang kembang disekitarnya.
Tempat itu kini dikenal sebagai Pertapaan Santri Tani. Tempat pertapaan agar hasil pertanian semakin bagus dan menunjang kesejahteraan rakyatnya.

Setelah masuk semakin  dalam, tibalah Subali di sebuah persimpangan. Satu sisi menuju sebuah ruangan yang digunakan untuk menyimpan hasil pertanian, yang kini dikenal dengan nama Selumbung, dan sisi yang lain menuju tempat yang lebih tertata dengan baik. Rupanya tempat ini merupakan Kraton dari Mahesa Sura.
Ditempat itulah Subali menemukan Mahesa Sura, dan Jatha Sura. Masing masing terkejut bertemu di tempat itu, dan masing masing telah siap siaga melakukan serangan mematikan.
Hampir bersamaan, Mahesa Sura dan Jatha Sura menyergap Subali dengan membabi buta. Mereka segera ingin mengakhiri pertempuran dengan tewasnya Subali. Namun Subali tak tinggal diam. Perintah Bathara Indra dan hadiah Dewi Tara, selalu terngiang di telinganya. Apapun yang terjadi, harus berakhir disini. Demikian pikirannya.

Terjadilah pertempuran hebat di dalam gua. Mahesa Sura dan  Jatha Sura rupanya memang raksasa yang pilih tanding. Dua orang itu menguasai ilmu kanuragan serta kesaktian  sama hebatnya. Jika salah satu tewas, dilumpati yang lain, segera hidup kembali. Demikian yang terjadi berulang ulang. Subali mengeluh dalam hati. Dia harus berpikir keras bagaiman membunuh keduanya dalam waktu yang bersamaan. Akhirnya Subali menemukan sebuah cara.
Subali merubah cara bertempurnya, dan menempatkan dirinya di tengah medan laga. Sebuah langkah yang berbahaya. Namun dengan perhitungan yang tepat, akan memperoleh kemenangan yang luar biasa. Dan benar adanya.

Dua raksasa yang telah memuncak tekadnya untuk membunuh Subali, telah kehilangan pengamatan diri karena beberapa kali Subali berhasil melukai mereka, bahkan membunuhnya, hingga tubuh mereka luka parah, luka dalam. Pada saat mereka berdua menyerang dengan seluruh tenaga dan kekuatannya, mereka menyergap Subali yang berada di tengah laga dengan cara bersamaan. Disaat tangan tangan mereka hampir saja menyentuh tubuhnya, Subali melenting ke udara, dan dalam sekejap menerapkan ajian Bandung Bondowoso, dimana kekuatannya menjadi seribu kali lipat, dan saat tubuhnya mendarat, dipegangnya dua kepala musuhnya dengan tangan kanan dan kirinya, lalu dengan sekali hentak.....
“Jlegarrrrrrr......!!!!!” terdengar suara benda keras beradu dengan dahsyatnya.
Mahesa Sura dan Jatha Sura terhuyung terhuyung huyung dengan kepala mereka hancur berantakan dan roboh seketika. Tewas besamaan. Sedangkan Subali jatuh ke tanah dengan posisi berdiri di atas lutut kiri dan kaki kanannya, dengan tangan kiri menyangga tubuhnya diatas tanah serta tangan tanan menyangga tubuhnya diatas betisnya. Nafasnya terengah engah. Keringat mengucur deras. Namun kelegaan menyelimuti seluruh wajahnya. Tugas dapat diselesaikan dengan tuntas.

Pertempuran yag dahsyat, hidup dan mati, dengan luka luka yang menganga, darah mengucur deras, bercampur dengan isi  dua kepala yang pecah diadu, terbawa aliran air mengaliur disela sela reruntuhan keluar hingga hingga ke mulut gua.
Sugriwa, yang telah berhasil melenyapkan Lembu Sura, masih menunggu dengan perasaan berdebar bedar. Dia yang berada dimulut gua dengan perasaan gundah gulana,  karena tak tahu nasib dari saudara tuanya, Subali, yang hanya berpegang pada pesan untuk menutup gua dan memperhatikan warna darah yang keluar terbawa air ke mulut gua.

Diperhatikannya setiap aliran air di mulut gua itu dengan seksama. Bening. Bening... lalu perlahan lahan air bening itu berubah warna. Merah, dan putih, bercampur. Makin lama makin deras. Sesuai pesan Subali bahwa :
“Jika  melalui pintu gua itu mengalir darah putih, akulah yang kalah. Maka, engkau harus menutup  gua itu secepatnya. Dan Bawalah Dewi Tara menghadap Bathra Indra. Sebaliknya, jika darah yang mengalir merah, berarti aku yang menang. Engkau tunggu hingga aku keluar gua, dan kita menghadap Bathara Indra mengantarkan Dewi Tara padanya.”
Tak mau membuang waktu, Sugriwa berkesimpulan bahwa Subali tewas di dalam gua karena kalah perang melawan Mahesa Sura. Segera dengan secepat kilat direngkuhnya Dewi Tara, dan seketika terbang menuju Kahyangan untuk menghantarkan Dewi Tara kepada Bathara Indra, dan melaporkan apa yang terjadi di Gua Kiskenda.

Sementara di dalam gua, Subali yang berhasil melenyapkan Mahesa Sura dan Jatha Sura, setelah pulih kesadarannya, serta membasuh tubuhnya dengan air yang mengalir di dalamnya, tubuhya kembali segar. Semua kekuatannya telah pulih dalam sekejap.
Teringat akan sudara mudanya, Sugriwa dan tugasnya akan Dewi Tara, Subali segera berlari keluar gua. Namun Subali harus kecewa. Mulut gua sudah tertutup oleh batu batu dan reruntuhan. Dia berdiri tegak untuk sejenak. Termangu. Dia tahu pasti ini semua karena Sugriwa telah melaksanakan tugas seperti yang diperintahkan olehnya.
Teringat juga akan Dewi Tara yang cantik jelita, sebagai hadiah untuknya. Subali yakin pasti Sugriwa telah menduga bahwa dirinya tewas oleh Mahesa Sura, dan segera terbang membawa Dewi Tara ke Kahyangan menenmui Bathara Indra.
“Aku harus menyusulnya!” tekadnya. Maka segera Subali kembali masuk, mengitari sekitar dalam gua, dan di sebuah tempat dimana langit langit gua agak lebih tinggi, dia memutuskan untuk keluar gua lewat jalan ini. Terpaksa.

Aji Bandung Bondowoso telah menguasai tubuhnya, dan dalam sekejap.... blarrrrrrr.....!!! langit langit gua tembus, berlubang oleh tubuh Subali yang terbang bagai kilat menuju Kahyangan. Menyusul Sugriwa dan Dewi Tara ke Kaindran, istana Bathara Indra. Dan lubang di langit langit gua itu kini dinamai Sumelong.

Apa yang akan terjadi kemudian? kita tunggu kelanjutannya, besok.