Monday, January 22, 2018

Candi Selogriyo, Kesendirian dalam Keheningan


Waktu itu, aku harus ke rumah temanku di  daerah Temanggung untuk sebuah keperluan. Karena musim yang tak pasti, kadang hujan dan kadang terang, aku berangkat pagi, dari Jogja langsung menuju Temanggung. Karena menghindari keramaian dan kemacetan, selepas Magelang ku ambil jalur alternatif yang biasa ku lewati. Tiba di sebuah pasar, tak sengaja ku lihat papan penunjuk arah. Disana tertulis Candi Selogriyo. Hmmmm....baru perhatian sekarang. Oke. Mumpung masih agak pagi, aku harus selesaikan urusanku di Temanggung dan pulangnya mampir ke candi ini. Segera ku pacu kudaku, melewati gunung dan lembah.
Sebenarnya di Temanggung juga ada candi yang ingin ku kunjungi, Candi Pringapus. Tapi jika hari itu ku klunjungi Pringapus dulu baru kemudian Selogriyo, pasti sampe Jogja kemaleman. Itupun kalau tidak huja. Ya sudah......Pringapusnya entar sajalah. Kapan kapan. Walaupun sebenarnya tak begitu jauh dari rumah temanku itu.  
Selesai urusan di Temanggung, segera ku pacu kudaku menuju pasar tempat papan penunjuk arah Candi Selogriyo. Ku ikuti petunjuknya. Jalan berkelok kelok, sawah terhampar di kiri kanan jalan. Indahnya....

Sudah cukup jauh ku berjalan, namun belum ketemu juga papan penunjuk arah berikutnya. Terpaksa ku cari warung terdekat, beli rokok dan bertanya lokasi candi dimana.
“Lho.....sampeyan keliwatan Mas....itu di tikungan belakang itu kan arah candi.” Kata ibu ibu. Aku balik arah dan berhenti  di tempat yang ditunjukkan.
“Pantes.....tulisane njepit!” batinku. Kebetulan ada ibu ibu lagi di tempat itu.
“Bu, candine tebih?” tanyaku. (tebih, jawa alus. Adoh, jawa ngoko. Jauh, bahasa Indonesianya)
“Wo lha wonteng nginggil mriko. Gunung!” jawabnya sambil jarinya ditunjukkan ke atas.
“Wuh....adoh tenan iki berarti....” aku mengeluh dalam hati. Tapi, kepalang tanggung. Dah sampe sini!
“Ikuti dalan ini Mas, nanjak, nanti ketemu kampung, terus nanjak lagi, terus.....” Ibu ibu itu memberiku petunjuk.
“Sik...sik Bu......ngagem motor saget dugi candine?” aku berusaha meyakinkan bahwa jalan yang akan ku tempuh aman.
“Dalan setapak Mas.....bisa tapi sulit.” Jawab ibu ibu itu.
“Hah!!!! Sulit adalah nama depanku!” kataku dalam hati. Tak mau menunggu lama, aku segera pamit dan menuju lokasi. Dan benar.

Dari jalan utama, jalan menanjak dan berkelok kelok. Melewati kampung dan sawah sawah. Ku lihat di beberapa tempat tertulis “tempat parkir mobil/motor” di kampung kampung itu. Tapi aku tak mau menyerah. Harus sampai lokasi bersama dengan kudaku.
Jalanan makin sempit. Aku telah sampai di desa terakhir. Ada sebuah jalan berkonblok. Hanya bisa dilalui oleh kendaraan roda dua. Jalan menuju candi. Ku telusuri, dan..jreengg....gapura selamat datang di candi selogriyo sudah terlihat. Ku bayar retribusi dan melanjutkan perjalanan.
Jalan setapak, berkelok kelok, terjal, turunan dan tanjakan ku lalui. Tiba di sebuah perigaan kecil. Ki kiri menanjak menuju ke candi, ke kanan menurun menuju kampung (kok yo ono kampung neng kene, batinku).

Disitu aku harus berhenti. Karena dari atas, jalan menuju candi itu, beberapa orang sedang berusaha menurunkan kayu menggunakan gerobak kecil yang ditarik bersama sama. Mereka terperosok. Bila perhitungan mereka meleset sedikit saja, itu gerobak yang penuh dengan muatan kayu akan meluncur ke bawah, menabrak aku dan kudaku.  Aku pun ikut berdoa untuk keselamatan semuanya waktu itu.
Setelah semuanya selesai, kayu dan gerobak kembali dalam kendali, ku teruskan perjalanan. Masih naik dan jalan setapak. Konblok yang ada kini sudah mulai berlumut karena air dan teduhnya pepohonan. Harus lebih waspada. Terus ku berjalan, jalan konblok sudah habis, tinggal jalan tanah. Kiri dan kanan pegunungan. Cukup indah, karena ku lihat ada satu dua orang di sawah. Jika tak ada siapapun disana, tentu saja tidak menjadi indah. Terus ku berjalan dan akhirnya tiba di sebuah tempat, jalan buntu, sangat teduh karena pohon dan tebing gunung, dan disana berdiri gapura lokasi Candi Selogriyo. Tempat parkir yang dijaga oleh beberapa anak muda. Leganya........ kurang lebih jalan setapak dari desa terakhir (tempat bayar karcis, gapura pertama) sampai lokasi ini sejauh 2kilometer.

“Dik....naiknya jauh?” tanyaku pada mereka saat ku lihat dibelakang gapura itu berundak undak cukup tinggi.
“Lumayan Mas....” jawab mereka. Kepalang basah, keluhku dalam hati.  Satu persatu tangga dari semen itu ku daki. Pelan pelan tapi pasti. Mendekati lokasi candi, tangga naik semakin terjal. 45 derajat kemiringan. Gila!!! Apa boleh buat. Dengan kerja keras banting tulang, aku berhasil masuk ke lokasi candi. Terdapat semacam pos dari kayu disana, tanpa permisi ku duduk disitu, meluruskan kaki kakiku, mengatur nafasku. Haus melanda. Tenggorokanku kering. Aku menyesal tak membawa air minum dari bawah. Ku lihat ada petugas sedang bersih bersih.
“Pak, ada warung?” tanyaku yang menurutku sendiri adalah konyol. Mana ada di lereng gunung nan sepi sunyi seperti ini ada warung.
“Ada Mas, disebelah candi!” jawabnya. Bagai disiram air pegunungan nan segar, jawaban itu melegakanku. Segera ku berlari ke warung. Buka, tapi tak ada orang.
“Kulonuwun......!” sapaku sambil ku ambil botol mineral tanpa peduli empunya warung dengar  atau tidak.  Cleguk....cleguk.... segarrrrrrrrr.......
“Iya Mas....”bapak bapak pemilik warung keluar setelah ku minum beberapa teguk.
“Nyuwun toyane Pak...” sambil kutunjukkan botol yang telah ku minum setengah.
“Ngapunten Pak, selak ngelak....” kataku kemudian.
“Njih Mas, monggo...... saking pundi?” pemilik warung ramah juga ternyata.
“Jogja Pak...” jawabku. Setelah selesai beramah tamah dengan pemilik warung, segera ku ke lokasi candi, ngobrol dengan petugaas.

Candi Selogriyo merupakan candi peninggalan purbakala yang letaknya di  Kecamatan Windusari, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, tepatnya di dusun Selogriyo. Candi ini diperkirakan dibangun pada abad ke-9 M, pada masa Kerajaan Mataram Kuna. Candi ini berada di lereng timur kumpulan tiga bukit, yakni Bukit Condong, Giyanti, dan Malang, dengan ketinggian 740 mdpl. Aku gak habis pikir kenapa mereka mereka membangun candi di lokasi ini. Sangat terpencil, terjal dan rawan longsor. Candi  sekarang masing diberi sabuk penyangga, karena konon candi ini sudah agak miring, sehingga akan sangat mudah roboh apabila tidak ditahan dengan tali untuk mengikat candi agar bebatuan yang tersusun tetap dapat saling berhimpit dan mengait.
Telah hilang penat. Air minum sudah habis. Tiab tiba aku dikejutkan oleh sebuah pemandangan yang sangat menakjubkan. Setidaknya buatku. Saat masih melepas lelah dan menikmati lereng lereng pegunungan di seputaran candi, aku dikejutkan dengan suara orang mengeeluh.

“Huufftt.....finally......” seorang ibu ibu usia lanjut, sekitar 70 tahunan perkiraanku, muncul dari sebelah kiri tempatku bersandar. Tepatnya, dari mulut tangga menuju candi ini dari bawah. Itulah satu satunya jalan. Tak lama kemudian muncul lagi seorang ibu ibu, usia hampir sama dengan ibu ibu yang pertama datang.  Dia berhenti di mulut tangga.
“Wong londo....” batinku. Aku langsung beranjak untuk menolongnya. Tampak dia berhenti  membungkuk, tangan kanan memegang lututnya, sedangkan tangan kirinya berpegangan pada pagar tangga.
“May I help You Mam....” tangan kananku ku ulurkan, meraih tangan kirinya dan tangan kiriku meraih punggungnya. Dia tersenyum melihatku.
“Thank you...” jawabnya sambil mengatur nafasnya. Sedangkan ibu ibu yang sudah tiba duluan tadi ku lihat sudah duduk di tempatku duduk tadi. Ku bawa dia menuju tempat temennya itu. Ku biarkan mereka istirahat sebentar. Aku tidak tega untuk segera bercakap cakap untuk beramah ramah, karena mereka terlihat sangat kelelahan. Ku tawarkan air minum cadanganku, tapi mereka menolak. Mereka sudah mempersiapkannya pula. Kini dihadapaku ada 2 orang ibu ibu dari luar negeri, yang dengan susah payah sampai ke Candi Selogriyo, yang aku sendiri sudah kapok. Gak mau lagi ke tempat ini. Jauh.... capek... terpencil... di gunung pula.

Setelah mereka berkeliling mengamati candi dan menikmati pegunungan, rasa penasaranku yang sejak tadi kupendam kini mucul lagi.
“Hi Mam, where are you come from?” tanyaku. Ku terjemahkan dalam bahasa Indonesia saja ya. Aku ngerti bahasa inggris kalian pas-pasan. Hehehe.....
“Turkmenistan.” Jawab ibu ibu itu hampir berbarengan. Hmmm.... pecahan Sovyet, batinku.
“Sudah berapa lama disini?” tanyaku lagi.
“Kami disini untuk 3 hari.” Jawabnya.
“Sudah kemana saja?”
“Kami baru ke Borobudur saja. Besok kami ke Prambanan, dan lusa sudah kebali lagi ke negara kami.”
“Lho...mengapa gak ke Dieng saja? Disana candi banyak, tua, hawanya sejuk..” kataku. Mereka menggeleng gelengkan kepalanya. Seperti kebingungan. 
“Oya? Wah sangat menarik. Tapi kami gak tahu tentang Dieng.”
“Loh....loh.... sampeyan sampeyan gak tahu Dieng tapi kok tau Selogriyo ini? Yang tempatnya jauh terpencil dan susah dijangkau?” mereka menggelengkan kepala, sambil menarik nafas dalam.
“Huffttt....kami sebenarnya gak tahu candi ini. Kami hanya diantar sopir dan suruh jalan sampai kesini.”
“Loh...tour guidenya gak bilang apa apa?”
“Tidak. Hari ini kami diantar kesini. Setelah itu balik lagi ke hotel”
“Jadi sebenarnya Sampeyan sampeyan kemari itu gak tahu akan menemukan candi ini?”
“Sama sekali gak tahu. Kami di bawa sopir, mereka parkir di desa bawah sana, dan kami jalan kaki sampai sini.” Jawabnya lagi. Ada segurat kebingungan terlintas di raut wajah wajah mereka.

Tapi aku, justru lebih bingung lagi. Kok bisa bisanya melepaskan turis luar negeri yang sama sekali belum pernah menginjak Indonesia, diantarkan samapi desa terdekat, dan dibiarkan jalan kaki sampai Candi Selogriyo, melewari jalan setapak di pinggir jurang, terjal dan mendaki.
Long life and health Mam.....

No comments:

Post a Comment