Candi Kidal, berada di Kidalrejo, Tumpang, Malang, Jawa Timur. Menurut Pararaton, Candi Kidal adalah tempat pendarmaan raja Anusapati.
“Lina sang Anusapati i saka 1711 dhinarma sira ring Kidal” (meninggal Sang
Anusapati pada tahun saka 1711 didharmakan di Kidal)
Negarakertagama yang ditulis tahun 1365 oleh Empu Prapanca
pada jaman Majapahit juga menyebutkan bahwa adanya sebuah pendharmaan yang
dikunjungi oleh Hayamwuruk di daerah Kidal.
Dan tempat pendharmaan di kidal yang ditemukan satu satunya adalah Candi Kidal ini.
Adapaun tentang nama “kidal”, mengandung beberapa
perngertian. Kamus Jawa Kuno mengartikannya sebagai kiri, dan selatan. Dalam
bahasa Jawa tegesing tembung, kidal adalah “kede” atau kiri, yang kemudian
bermetamorfosis ke dalam bahasa Indonesia, kidal adalah selalu menggunakan
tangan kiri. Dari beberapa pendapat ahli sejarah dan bahasa, dapst disimpulkan
bahwa arti dari kidal adalah kiri, dimana arti kata kiri ini sendiri mempunyai
beberapa makna dalam sejarah, sosial dan budaya. Seperti apa sajakah
maknanya??? Mari kita dalami.
Arti kata kidal dalam Candi Kidal, para ahli sejarah sepakat
mengartikan sebagai kiri. Kiri dalam bahawa Jawa adalah kiwa. Kata kata kiwa,
sering digunakan untuk mendiskripsikan sebuah keadaan ataupun tempat yang
kurang diperhatikan, ditelantarkan, tempat tempat atau posisi yang sulit,
angker/singkik, kotor dlsb. Saya beri
contoh beberapa ungkapan yang menggunakan kata kata kiwa dalam tata
pergaulan masyarakat Jawa.
“Nyuwun ngapunten Bapak, menawi kepareng kulo badhe ndherek wonten
pekiwan.” (maaf Pak, kalau diijinkan, saya ingin numpang buang hajat).
Pekiwan disini berarti menunjuk sebuah tempat yang dikirikan, yaitu tempat
untuk buang hajat, mandi dll.
“Ono kebon ora dirumat ing pojok deso, amergo panggonane
kiwa banget”. Kiwa disini menunjuk pada sebuah tempat yang susah dijangkau atau
orang orang tidak suka ke tempat itu.
“Anggonmu graji kayu kok ngiwa ngiwa banget to Kang?” Ngiwa
ngiwa dari kata Kiwa, yang dalam konteks ini berarti posisi dalam mengerjakan
sesuatu yang sangat sulit.
“Wiro, kok ora tau neng makam kono kae?”
“Aku wedi neng papan kono kae. Kiwa banget je....medeni” Kiwa disini berarti
menunjuk sebuah tempat yang jarang
dijamah dan angker. Singkik. Medeni. Menakutkan. Banyak makhluk halus.
“Wis matus karo Bapak nanging Bapak tansah ngiwakke aturku.
Mesti Kangmas sing ditengenke”. Ngiwakke, tidak menggubris atau memperhatikan.
Seperti itulah. Nah, arti kiri dalam konsep Candi Kidal ini
adalah yang berarti tidak diperhatikan. Hal ini karena Anusapati adalah anak
tiri dari Ken Arok. Anusapati adalah anak biologis dari Ken Dedes dan Tunggul
Ametung, yang dibunuhnya saat Ken Dedes mengandung janin Anusapati. Dalam
Pararaton memang disebutkan bahwa Anusapati kurang mendapat perhatian dari Ken
Arok karena Anusapati bukanlah anak kandungnya.
Arti kata kidal selain kiri adalah selatan. Dan memang
benar. Letak daerah kidal adalah di arah tenggara (selatan-kiri) dari pusat
kerajaan Singosari yang berada di utara. Baiik Pararaton maupun Negarakertagama
keduanya menyebutkan bahwa Kidal adalah nama sebuah daerah. Ini berarti bahwa
daerah kidal sendiri telah ada jauh sebelum Anusapati yang merupakan anak tiri
itu di dharmakan di daerah ini.
Tentang penemuan candi ini, tak ada catatan pasti. Hanya
orang Belanda yang pernah membuat catatan tentang candi ini pada tahun 1901,
yang pada waktu itu masih berujud rerntuhan bangunan dari batu merah. Baru
1925, Dinas Kebudayaan Belanda membangun kembali candi ini.
Menurut Pararaton, Anusapati bergelas Panji Anengah, anak
dari Ken Dedes dan Tunggul Ametung. Saat masih dalam kandungan, Ken Dedes
dikinahi oleh Ken Arok. Jadi, Anusapati adalah anak tiri dari Ken Arok yang
diakuinya sebagai anaknya sendiri.
Sedangkan Ken Arok dengan Ken Dedes mempunyai anak 4 orang yaitu Mahesa
Wong Ateleng, Panji Sapran, Agnibhaya, dan dewi Rimbu.
Dengan istri keduanya, Ken Umang, Ken Arok mempunyai anak 4
juga. Tohjaya, Panji Sudhatu, Tuan Wregola dan Dewi Rambi. Jadi, anak kandung Ken Arok adalah 8 orang.
Masing masing 4 dari Ken Dedes dan 4 dari Ken Umang, yang sama sama 3 laki laki
dan 1 perempuan. Dan 1 anak tiri, yaitu Anusapati.
Dalam perjalanan waktu, Anusapati yang merasakan perbedaan
perlakuan antara dirinya dengan saudara saudarany yang lain, yang membuatnya
semakin tersiksa, menyebabkan diirnya bertanya pada ibunya, Ken Dedes. Ken
Dedes yang juga melihat apa yang dialami oleh anaknya itupun ternyata selama
ini juga sangat mengganggu dan membebani perasaannya. Dengan terpaksa Ken Dedes
menceritakan apa yang terjadi. Dan lebih dalam lagi, tentang ayah kandungnya,
Tunggul Ametung yang dibunuh ayah tirinya itu saat dia masih dalam kandungan.
Maka dimintalah keris empu gandring yang disimpan Ken Dedes.
Lantas Anusapati memerintahkan seorang “pengalasan” dari dusun Batil untuk
membunuh Ken Arok. Pengalasan (Zoetmunder dalam bahasa jawa kuno mengartikan
sebagai kelompok atau pejabat abdi kerajaan dibawah pengalasan). Penulis
mengartikannya sebagai salah seorang pasukan rahasia yang keberadaannya sangat
rahasia hanya pejabat tinggi kerajaan yang tahu, dan hanya menjalankan tugas
tugas khusus. Semacam pasukan elite rahasia jaman sekarang.
Demikianlah, Ken Arok berhasil dibunug oleh orang
pengalasan, dan untuk menghilangkan jejaknya, orang pengalasan itu kemudia
dibunuh oleh Anusapati. Setelah Ken Arok meninggal, tampuk kerajaan jatuh pada
Anusapati. Sejalan dengan waktu, rahasi terbunuhnya Ken Arok terbongkar dan
diketahui oleh anak pertama Ken Arok dari Ken Umang. Tohjaya. Dan dengan siasat
yang rapi, Tohjaya akhirnya berhasil membunuh Anusapati.
Seperti itu kisah singkat Anusapati, raja kedua Singasari.
Anusapati memerintah dari tahun 1227 – 1248. Selama memerintah, kerajaan berada
dalam keadaan yang aman sentosa. Anusapati meninggal pada tahun 1248, dan
didharmakan di Kidal tersebut. Candi Kidal sendiri selesai dibangun pada 1260,
bersamaan dengan upacara cradha, yaitu upacara pelepasan arwah yang terakhir.
Bangunan Candi Kidal sendiri, merupakan bentuk bangunan masa
jawa timur berkembang pada abad 12 – 13 masehi. Beda dengan masa perkembangan
Jawa Tengah pada kisaran abad 8-10 Maaehi, yang bentuknya cenderung gemuk dan
tambun (buntek), sedangkan candi candi di Jawa Timur termasuk Candi Kidal ini
ramping dan tinggi. Berbentuk bujur sangkar kurang lebih 10 x 8 m, dengan ketinggian 12 meter. Bentuk asli
menurut rekonstruksi adalah 17 meter.
Candi ini mendiskrpiksikan sebagai gunung suci, yaitu Meru.
Mahameru. Semeru.
Dalam mitologi Hindu
Budha, Gunung Meru adalah pusatnya alam semesta, yang merupakan alamnya para
dewa. Maka Candi ini pun strukturya mengikukti gunung. Ada kaki, lereng dan
puncak. Sekaligus dengan flora fauna yang dilukiskan di dinding serta makhluk
makhluk ajaib penguni sorga.
Di bagian kaki, di pipi tangga, terdapat ornament berbentuk
kepala naga atau ular bermahkota,
sebagai gambaran alam bawah yaitu tanah, air atau wanita. Ular juga dianggap
sebagai kekuatan hidup dan perlindungan utama kekayaan yang ada di dalam tanah
dan air. Di bagian lain ada juga gamaran jambangan bunga teratai yang
melambangkan kesuburan dan daya hidup. Dan adapula gambaran bentuk medalion
dengan bunga teratai didalamnya, sebagai penggambaran gunung yang penuh dengan
flora fauna.
Ada juga motif “singa stamba”, yaitu hiasan tiang yang
diganti dengan hiasan singa. Dari mana datangnya gambaran singa? Padahal singa
adalah hewan yang tak pernah hidup di negeri ini? Diduga, kehadiran gambaran
singa itu bersamaan dengan datangnya kebudayaan Hindu dari India. Karena singa,
singa pernah ada. Sebagai suatu lambang penjaga yang buas dan kuat.
Yang menarik adalah fragmen “GARUDEYA” yang terdapat di kaki
candi ini . Yaitu seekor burung garuda yang sedang menggendong ular. Tempatnya
di sisi selatan kaki candi. Inti dari cerita Mahabarta awal, atau Adiparwa.
Bagaimana kisahnya???
Ini tentang Garuda yang sanggup menjadi budak dari Dewi
Kadru (ibu para ular), yatitu dengan cara mengasuh mereka. Mengapa Garuda
bersedia melakukannya? Karena garuda ingin membebaskan ibunya (Dewi Winata)
yang telah sekian lama menjadi budak dari Dewi Kadru. Padahal Dewi Kadru dan Dewi
Winata adalah saudara. Mengapa bisa terjadi perbudakan diantara mereka?
Semua berawal dari “SAMUDERAMANTANA”. Yaitu peristiwa
pengadukan lautan susu “KSIRARNAWA” oleh dewa untuk mencari air kehidupan
“AMERTA”. Dari lautan susu itu, selain amerta, keluar juga benda benda dan
senjata andalan, termasuk kuda “UCCAISRAWA”. Pada saat itu, dua saudara istri
dari Resi Ksyapa ini, Dewi Winata dan Dewi Kadru, bermain tebak tebakan dengan
perjanjian siapa yang salah akan menjadi budak dari yang benar. Tebakannya adalah
apa warna kuda “UCCAISRAWA” tersebut. Dewi Winata menebak putih semuanya,
sedangkan Dewi Kadru menebak putih dengan ekor hitam. Setelah nampak kuda itu,
ternyata berarna PUTIH SEMUA. Berarti dewi Kadru salah. Kalah, dan harus
menjadi budak dari Dewi Winata.
Mengetahui hal itu,
para ular, anak anak dari Dewi Kadru merasa sedih. Dewi Kadru pun menangis.
Maka, dia lalu menyuruh anak anaknya untuk mengakali agar tebakannya benar.
Akhirnya para ular bertindak licik
dengan menyemburkan bisanya pada ekor kuda itu, hingga hitamlah warnanya.
Dengan demikian, tebakan Ibunya, Dewi Kadru menjadi benar, dan Dewi Winata yang
salah dan harus menjadi budak dari Dewi Kadru.
Begitulah awal mula terjadi perbudakan antara dua saudara
ini. Garuda yang tak merelakan ibunya menjadi budak, rela menggantikannya
dengan tugas mengasuh para ular. Namun dalam masa pengasuhannya itu, garuda
bertindak kejam. Jika ada ular yang membandel, Garuda tak segan segan memmbunuh
dan memakannya. Kata garuda sendiri berasal dari bahasa Sanksekerta, “GRU” yang
artinya menelan. Bagaimana kelanjutannya? Ada di sisi timur kaki candi.
Terdapat fragmen garuda sedang membawa guci amerta.
Setelah Garuda sekian lama mengabdi pada Dewi Kadru, para
ular akhirnya merasa kasihan juga. Karena mereka tahu sebenarnya ibu merekalah
yang salah, dan seharusnya kalah dan menjadi budak. Maka, berundinglah mereka.
Para ular dan garuda. Dan disepakati bahwa Ibu garuda dibebaskan dari
perbudakan, akan tetapi Garuda harus menggantinya dengan air kehidupan “AMERTA”,
yaitu minuman para dewa yang membuat siapapun yang meminumnya akan kekal abadi.
Pergilah Garuda ke Kahyangan untuk meminta air amerta. Namun
permintaan baik baiknya ditolak mentah mentah oleh para dewa. Mengamuklah
Garuda. Diobrak abriknya Kahyangan hingga luluh lantak. Para dewa tak mampu
menandingi kesaktian garuda. Akhirnya, mereka meminta tolong pada Dewa Wisnu.
Namun Dewa Wisnu pun mengakui ketangguhan garuda. Jika
dengan kekuatan dan kesaktian saja, tentu Dewa Wisnu bernasib sama dengan yang
lain. Garuda terlalu tangguh. Namun bukan Dewa Wisnu jika tak mampu membujuk
Garuda. Dia yang terkenal bijak, akhirnya mampu membuat Garuda menyerah dan
mengatakan sebenarnya apa yang terjadi dan mengapa dia rela berbuat demikian.
Semua demi baktinya kepada sang ibu, Dewi Winata yang hingga sekarang masih
menjalani kehidupan budaknya.
Dewa Wisnu mengerti dan bersedia menolongnya, dengan syarat
garuda mau menjadi kendaraannya. Garuda menyanggupinya. Lalu, dibawalah guci
air amerta itu ke bumi, kepada para ular untuk ditukarkan dengan kebebasan
ibunya. Berhasilkah ??? ada fragmen
di sisi utara yang melanjutkan kisahnya.
Garuda segera menemui para ular yang membawa Dewi Winata.
Namun tanpa sepengetahuan para ular maupun garuda, Dewa Wisnu mengikutinya.
Setelah bertemu dengan para ular, tanpa buang waktu, segera diberikannya guci
itu pada para ular, dan Dewi Winata segera digendongnya, terbang ke Kahyangan,
kediamannya. Sedangkan para ular dengan riang gembira bersiap siap untuk
meminum air amerta dari guci itu.
Namun yang terjadi sungguh diluar dugaan. Saat para ular
membuka tutup guci itu, tiba tiba guci itu lenyap dari pandangan, bagai
tersambar kilat, guci itu telah berpindah tangan kepada Dewa Wisnu, yang
membawanya kembali ke Kahyangan.
Demikinlah relief yang masih ada di Candi Kidal. Di bagian
badan sudah banyak relung relung yang kosong. Kono direlung relung itu berisi
arca Durgamahisasuramrdini, Ganesya, Siwa Guru/ Siwa Mahaguru (dewa Siwa
sebagai pertapa/yogi), yang dalam anggapan lain menyebutnya Resi Agyasta yang
digambarkan berujud pertapa tua dengan rambut disanggul, kumis dan jenggot
panjang meruncing, berperut gendut. Memegang tasbih dan kendi amerta.
Demikiam tentang Candi Kidal, Tumpang, Malang, Jawa Timur.
Salam.
No comments:
Post a Comment