Saturday, February 10, 2018

GARUDADEYA CANDI KIDAL


Candi Kidal, berada di Kidalrejo, Tumpang,  Malang, Jawa Timur.  Menurut Pararaton, Candi Kidal  adalah tempat pendarmaan raja Anusapati. “Lina sang Anusapati i saka 1711 dhinarma sira ring Kidal” (meninggal Sang Anusapati pada tahun saka 1711 didharmakan di Kidal)

Negarakertagama yang ditulis tahun 1365 oleh Empu Prapanca pada jaman Majapahit juga menyebutkan bahwa adanya sebuah pendharmaan yang dikunjungi oleh Hayamwuruk di daerah Kidal.  Dan tempat pendharmaan di kidal yang ditemukan satu satunya adalah  Candi Kidal ini.
Adapaun tentang nama “kidal”, mengandung beberapa perngertian. Kamus Jawa Kuno mengartikannya sebagai kiri, dan selatan. Dalam bahasa Jawa tegesing tembung, kidal adalah “kede” atau kiri, yang kemudian bermetamorfosis ke dalam bahasa Indonesia, kidal adalah selalu menggunakan tangan kiri. Dari beberapa pendapat ahli sejarah dan bahasa, dapst disimpulkan bahwa arti dari kidal adalah kiri, dimana arti kata kiri ini sendiri mempunyai beberapa makna dalam sejarah, sosial dan budaya. Seperti apa sajakah maknanya??? Mari kita dalami.

Arti kata kidal dalam Candi Kidal, para ahli sejarah sepakat mengartikan sebagai kiri. Kiri dalam bahawa Jawa adalah kiwa. Kata kata kiwa, sering digunakan untuk mendiskripsikan sebuah keadaan ataupun tempat yang kurang diperhatikan, ditelantarkan, tempat tempat atau posisi yang sulit, angker/singkik, kotor dlsb. Saya beri  contoh beberapa ungkapan yang menggunakan kata kata kiwa dalam tata pergaulan masyarakat Jawa.

 “Nyuwun ngapunten Bapak, menawi kepareng kulo badhe ndherek wonten pekiwan.” (maaf Pak, kalau diijinkan, saya ingin numpang buang hajat). Pekiwan disini berarti menunjuk sebuah tempat yang dikirikan, yaitu tempat untuk buang hajat, mandi dll.
“Ono kebon ora dirumat ing pojok deso, amergo panggonane kiwa banget”. Kiwa disini menunjuk pada sebuah tempat yang susah dijangkau atau orang orang tidak suka ke tempat itu.
“Anggonmu graji kayu kok ngiwa ngiwa banget to Kang?” Ngiwa ngiwa dari kata Kiwa, yang dalam konteks ini berarti posisi dalam mengerjakan sesuatu yang sangat sulit.
“Wiro, kok ora tau neng makam kono kae?”
“Aku wedi neng papan kono kae.  Kiwa banget je....medeni” Kiwa disini berarti menunjuk sebuah tempat yang  jarang dijamah dan angker. Singkik. Medeni. Menakutkan. Banyak makhluk halus.
“Wis matus karo Bapak nanging Bapak tansah ngiwakke aturku. Mesti Kangmas sing ditengenke”. Ngiwakke, tidak menggubris atau memperhatikan.

Seperti itulah. Nah, arti kiri dalam konsep Candi Kidal ini adalah yang berarti tidak diperhatikan. Hal ini karena Anusapati adalah anak tiri dari Ken Arok. Anusapati adalah anak biologis dari Ken Dedes dan Tunggul Ametung, yang dibunuhnya saat Ken Dedes mengandung janin Anusapati. Dalam Pararaton memang disebutkan bahwa Anusapati kurang mendapat perhatian dari Ken Arok karena Anusapati bukanlah anak kandungnya.

Arti kata kidal selain kiri adalah selatan. Dan memang benar. Letak daerah kidal adalah di arah tenggara (selatan-kiri) dari pusat kerajaan Singosari yang berada di utara. Baiik Pararaton maupun Negarakertagama keduanya menyebutkan bahwa Kidal adalah nama sebuah daerah. Ini berarti bahwa daerah kidal sendiri telah ada jauh sebelum Anusapati yang merupakan anak tiri itu di dharmakan di daerah ini.

Tentang penemuan candi ini, tak ada catatan pasti. Hanya orang Belanda yang pernah membuat catatan tentang candi ini pada tahun 1901, yang pada waktu itu masih berujud rerntuhan bangunan dari batu merah. Baru 1925, Dinas Kebudayaan Belanda membangun kembali candi ini.

Menurut Pararaton, Anusapati bergelas Panji Anengah, anak dari Ken Dedes dan Tunggul Ametung. Saat masih dalam kandungan, Ken Dedes dikinahi oleh Ken Arok. Jadi, Anusapati adalah anak tiri dari Ken Arok yang diakuinya sebagai anaknya sendiri.  Sedangkan Ken Arok dengan Ken Dedes mempunyai anak 4 orang yaitu Mahesa Wong Ateleng, Panji Sapran, Agnibhaya, dan dewi Rimbu.
Dengan istri keduanya, Ken Umang, Ken Arok mempunyai anak 4 juga. Tohjaya, Panji Sudhatu, Tuan Wregola dan Dewi Rambi.  Jadi, anak kandung Ken Arok adalah 8 orang. Masing masing 4 dari Ken Dedes dan 4 dari Ken Umang, yang sama sama 3 laki laki dan 1 perempuan. Dan 1 anak tiri, yaitu Anusapati.

Dalam perjalanan waktu, Anusapati yang merasakan perbedaan perlakuan antara dirinya dengan saudara saudarany yang lain, yang membuatnya semakin tersiksa, menyebabkan diirnya bertanya pada ibunya, Ken Dedes. Ken Dedes yang juga melihat apa yang dialami oleh anaknya itupun ternyata selama ini juga sangat mengganggu dan membebani perasaannya. Dengan terpaksa Ken Dedes menceritakan apa yang terjadi. Dan lebih dalam lagi, tentang ayah kandungnya, Tunggul Ametung yang dibunuh ayah tirinya itu saat dia masih dalam kandungan.
 Maka dimintalah keris empu gandring yang disimpan Ken Dedes. Lantas Anusapati memerintahkan seorang “pengalasan” dari dusun Batil untuk membunuh Ken Arok. Pengalasan (Zoetmunder dalam bahasa jawa kuno mengartikan sebagai kelompok atau pejabat abdi kerajaan dibawah pengalasan). Penulis mengartikannya sebagai salah seorang pasukan rahasia yang keberadaannya sangat rahasia hanya pejabat tinggi kerajaan yang tahu, dan hanya menjalankan tugas tugas khusus. Semacam pasukan elite rahasia jaman sekarang.

Demikianlah, Ken Arok berhasil dibunug oleh orang pengalasan, dan untuk menghilangkan jejaknya, orang pengalasan itu kemudia dibunuh oleh Anusapati. Setelah Ken Arok meninggal, tampuk kerajaan jatuh pada Anusapati. Sejalan dengan waktu, rahasi terbunuhnya Ken Arok terbongkar dan diketahui oleh anak pertama Ken Arok dari Ken Umang. Tohjaya. Dan dengan siasat yang rapi, Tohjaya akhirnya berhasil membunuh Anusapati.

Seperti itu kisah singkat Anusapati, raja kedua Singasari. Anusapati memerintah dari tahun 1227 – 1248. Selama memerintah, kerajaan berada dalam keadaan yang aman sentosa. Anusapati meninggal pada tahun 1248, dan didharmakan di Kidal tersebut. Candi Kidal sendiri selesai dibangun pada 1260, bersamaan dengan upacara cradha, yaitu upacara pelepasan arwah yang terakhir.

Bangunan Candi Kidal sendiri, merupakan bentuk bangunan masa jawa timur berkembang pada abad 12 – 13 masehi. Beda dengan masa perkembangan Jawa Tengah pada kisaran abad 8-10 Maaehi, yang bentuknya cenderung gemuk dan tambun (buntek), sedangkan candi candi di Jawa Timur termasuk Candi Kidal ini ramping dan tinggi. Berbentuk bujur sangkar kurang lebih 10 x  8 m, dengan ketinggian 12 meter. Bentuk asli menurut rekonstruksi adalah 17 meter.
Candi ini mendiskrpiksikan sebagai gunung suci, yaitu Meru. Mahameru. Semeru.

Dalam mitologi Hindu Budha, Gunung Meru adalah pusatnya alam semesta, yang merupakan alamnya para dewa. Maka Candi ini pun strukturya mengikukti gunung. Ada kaki, lereng dan puncak. Sekaligus dengan flora fauna yang dilukiskan di dinding serta makhluk makhluk ajaib penguni sorga.
Di bagian kaki, di pipi tangga, terdapat ornament berbentuk kepala  naga atau ular bermahkota, sebagai gambaran alam bawah yaitu tanah, air atau wanita. Ular juga dianggap sebagai kekuatan hidup dan perlindungan utama kekayaan yang ada di dalam tanah dan air. Di bagian lain ada juga gamaran jambangan bunga teratai yang melambangkan kesuburan dan daya hidup. Dan adapula gambaran bentuk medalion dengan bunga teratai didalamnya, sebagai penggambaran gunung yang penuh dengan flora fauna.

Ada juga motif “singa stamba”, yaitu hiasan tiang yang diganti dengan hiasan singa. Dari mana datangnya gambaran singa? Padahal singa adalah hewan yang tak pernah hidup di negeri ini? Diduga, kehadiran gambaran singa itu bersamaan dengan datangnya kebudayaan Hindu dari India. Karena singa, singa pernah ada. Sebagai suatu lambang penjaga yang buas dan kuat.

Yang menarik adalah fragmen “GARUDEYA” yang terdapat di kaki candi ini . Yaitu seekor burung garuda yang sedang menggendong ular. Tempatnya di sisi selatan kaki candi. Inti dari cerita Mahabarta awal, atau Adiparwa. Bagaimana kisahnya???
Ini tentang Garuda yang sanggup menjadi budak dari Dewi Kadru (ibu para ular), yatitu dengan cara mengasuh mereka. Mengapa Garuda bersedia melakukannya? Karena garuda ingin membebaskan ibunya (Dewi Winata) yang telah sekian lama menjadi budak dari Dewi Kadru. Padahal Dewi Kadru dan Dewi Winata adalah saudara. Mengapa bisa terjadi perbudakan diantara mereka?

Semua berawal dari “SAMUDERAMANTANA”. Yaitu peristiwa pengadukan lautan susu “KSIRARNAWA” oleh dewa untuk mencari air kehidupan “AMERTA”. Dari lautan susu itu, selain amerta, keluar juga benda benda dan senjata andalan, termasuk kuda “UCCAISRAWA”. Pada saat itu, dua saudara istri dari Resi Ksyapa ini, Dewi Winata dan Dewi Kadru, bermain tebak tebakan dengan perjanjian siapa yang salah akan menjadi budak dari yang benar. Tebakannya adalah apa warna kuda “UCCAISRAWA” tersebut. Dewi Winata menebak putih semuanya, sedangkan Dewi Kadru menebak putih dengan ekor hitam. Setelah nampak kuda itu, ternyata berarna PUTIH SEMUA. Berarti dewi Kadru salah. Kalah, dan harus menjadi budak dari Dewi Winata.      

Mengetahui  hal itu, para ular, anak anak dari Dewi Kadru merasa sedih. Dewi Kadru pun menangis. Maka, dia lalu menyuruh anak anaknya untuk mengakali agar tebakannya benar. Akhirnya para  ular bertindak licik dengan menyemburkan bisanya pada ekor kuda itu, hingga hitamlah warnanya. Dengan demikian, tebakan Ibunya, Dewi Kadru menjadi benar, dan Dewi Winata yang salah dan harus menjadi budak dari Dewi Kadru.

Begitulah awal mula terjadi perbudakan antara dua saudara ini. Garuda yang tak merelakan ibunya menjadi budak, rela menggantikannya dengan tugas mengasuh para ular. Namun dalam masa pengasuhannya itu, garuda bertindak kejam. Jika ada ular yang membandel, Garuda tak segan segan memmbunuh dan memakannya. Kata garuda sendiri berasal dari bahasa Sanksekerta, “GRU” yang artinya menelan. Bagaimana kelanjutannya? Ada di sisi timur kaki candi. Terdapat fragmen garuda sedang membawa guci amerta.

Setelah Garuda sekian lama mengabdi pada Dewi Kadru, para ular akhirnya merasa kasihan juga. Karena mereka tahu sebenarnya ibu merekalah yang salah, dan seharusnya kalah dan menjadi budak. Maka, berundinglah mereka. Para ular dan garuda. Dan disepakati bahwa Ibu garuda dibebaskan dari perbudakan, akan tetapi Garuda harus menggantinya dengan air kehidupan “AMERTA”, yaitu minuman para dewa yang membuat siapapun yang meminumnya akan kekal abadi.

Pergilah Garuda ke Kahyangan untuk meminta air amerta. Namun permintaan baik baiknya ditolak mentah mentah oleh para dewa. Mengamuklah Garuda. Diobrak abriknya Kahyangan hingga luluh lantak. Para dewa tak mampu menandingi kesaktian garuda. Akhirnya, mereka meminta tolong pada Dewa Wisnu.

Namun Dewa Wisnu pun mengakui ketangguhan garuda. Jika dengan kekuatan dan kesaktian saja, tentu Dewa Wisnu bernasib sama dengan yang lain. Garuda terlalu tangguh. Namun bukan Dewa Wisnu jika tak mampu membujuk Garuda. Dia yang terkenal bijak, akhirnya mampu membuat Garuda menyerah dan mengatakan sebenarnya apa yang terjadi dan mengapa dia rela berbuat demikian. Semua demi baktinya kepada sang ibu, Dewi Winata yang hingga sekarang masih menjalani kehidupan budaknya.

Dewa Wisnu mengerti dan bersedia menolongnya, dengan syarat garuda mau menjadi kendaraannya. Garuda menyanggupinya. Lalu, dibawalah guci air amerta itu ke bumi, kepada para ular untuk ditukarkan dengan kebebasan ibunya. Berhasilkah ???   ada fragmen di  sisi utara yang melanjutkan kisahnya.

Garuda segera menemui para ular yang membawa Dewi Winata. Namun tanpa sepengetahuan para ular maupun garuda, Dewa Wisnu mengikutinya. Setelah bertemu dengan para ular, tanpa buang waktu, segera diberikannya guci itu pada para ular, dan Dewi Winata segera digendongnya, terbang ke Kahyangan, kediamannya. Sedangkan para ular dengan riang gembira bersiap siap untuk meminum air amerta dari guci itu.

Namun yang terjadi sungguh diluar dugaan. Saat para ular membuka tutup guci itu, tiba tiba guci itu lenyap dari pandangan, bagai tersambar kilat, guci itu telah berpindah tangan kepada Dewa Wisnu, yang membawanya kembali ke Kahyangan.

Demikinlah relief yang masih ada di Candi Kidal. Di bagian badan sudah banyak relung relung yang kosong. Kono direlung relung itu berisi arca Durgamahisasuramrdini, Ganesya, Siwa Guru/ Siwa Mahaguru (dewa Siwa sebagai pertapa/yogi), yang dalam anggapan lain menyebutnya Resi Agyasta yang digambarkan berujud pertapa tua dengan rambut disanggul, kumis dan jenggot panjang meruncing, berperut gendut. Memegang tasbih dan kendi amerta.
Demikiam tentang Candi Kidal, Tumpang, Malang, Jawa Timur.
Salam.

No comments:

Post a Comment