Thursday, December 28, 2017

Empu Sorowulan, dan Pasar Perjuangan


Tak ada yang tau tentang silsilah dan siapakah Beliau sebenanya. Dari beberapa sumber didapat keterangan bahwa Beliau adalah seorang empu pembuat keris pada jamannya. Jamannya itupun jaman apa, tak ada keterangan lebih lanjut.
Namun demikian, namanya diabadikan menjadi sebuah wilayah, yang dengan perkembangan jaman dan “pemudahan” pengucapan menjadi Srowolan.

Mungkin, karena nama besar dan kepandaian Empu Sorowulan tersebut, menjadikan daerah tersebut ramai dikunjungi orang, dan terjadi lalu lintas perdagangan, hingga lambat laun terciptalah sebuah pasar yang diberi nama Pasar Srowolan. Menurut plakat yang berada di lokasi pasar tersebut, di dapat keterangan bahwa Pasar ini adalah Pasar Perjuangan Kasultanan Srowolan, dengan angka tahun 1921.
Melihat apa yang tertulis di plakat tesebut, terlihat lokasi ini sarat dengan cerita sejarah dan perjuangan yang sangat menarik. Bagaimana bisa terjadi? Disini coba saya tulis satu per satu sejauh yang saya tahu.

  1. Empu Sorowulan.
Keberadaan peninggalan Empu Sorowulan yang masih tersisa adlah sebuah lumpang agak panjang tempat Beliau merendam keris dalam proses pembuatan, serta sebuah batu yang konon untuk tempat menempa, serta prasasti yang ditandatangani oleh Retno Pembayun tentang peninggalan Empu Sorowulan tersebut. Tentang siapakah Beliau, hingga kini tak ada sumber yang dapat menjelaskan dengan lengkap.

  1. Pasar Perjuangan
1921 disana angka tahun itu tertulis. Pasar Srowolan, kemungkinan dicanangkan sebagai pasar adalah tahun tersebut. Pada jaman keesmasannya, pasar ini sangat ramai, mempertemukan para pedagang di hampir seluruh Jawa. Hal ini dapat dilihat dari masing masing los pasar yang bertuliskan antara lain “BRAAT SOERABIA,DJOGDJA, TEGAL, SOEKABOEMI” dan masih ada beberapa los pasar lagi.

Pasar Srowolan ini juga mendapatlkan predikat sebagai pasar pejuangan, karena saat  Agresi Militer Belanda, mereka sering mengadakan konvoi untuk pembersihan dan penyerangan, sehingga pasar  pasar menjadi sepi, yang kemudian menutup beberapa pasar terdekat diantaranya adalah Pasar Beran, Sleman (sekarang),  dengan maksud untuk menghentikan (embargo) logistik dan perekonomian rakyat yang secara bawah tanah mendukung pergerakan perang gerilya, maka Pasar Srowolan ini menjadi pilihan utama.

Karena letak pasar ini yang relatif jauh dari pemukiman dan akses jalan, menjadikan pasar ini disamping untuk kegiatan perdagangan, juga sebagai tempat bertemunya para pejuang untuk saling berkomunikasi dan menyusun strategi tempur selanjutnya. Pasar ini juga terhubung dengan jalur rel kereta tebu (lori) yang halurnya bisa langsung masuk ke jantung kota Yogyakarta. (bekas rel sudah musnah sama sekali).

  1. Sanggar Budaya sayuti Melik
Selain  itu, di lokasi ini juga terdapat Sanggar Budaya Sayuti Melik, sebuah bangunan rumah kecil di sebelah utara pasar. Sayuti Melik yang kita kenal sebagai pengetik naskah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia ini, bernama asli Muhamad Ibnu Sayuti, lahir 22 November 1908 putra dari seorang jajar bekel atau kepala desa di daerah itu. Lahir dan menghabiskan masa kecilnya dengan bersekolah di Sekolah Ongko Loro (Sekolah Dasar, sekarang) di desa Srowolan, tepatnya di utara pasar yang kini dikenang sebagai Sanggar Budaya Sayuti Melik tersebut.

  1. Pasar Milik Kasultanan
Dengan muatan sejarah dan kontribusi besarnya untuk negeri ini, pasar ini juga dinobatkan sebagai Pasar Kasultanan, diperkuat dengan ditandainya  sebuah prasasti di barat daya sebagai Peninggalan Empu Sorowulan, oleh GKR Pembayun.


  1. Cikal Bakal Kecamatan Pakem
Di sebelah utara Pasar Srowolan, terdapat bangunan yang dahulunya adalah kemantren (kantor mantri) yang mengurusi wilayah se-kemantrian (kecamatan, sekarang), dan disinilah cikal bakal Kecamatan Pakem berasal.


Kini, Sorowulan telah menjadi desa wisata outbond yang layak dikunjungi, yang peresmiannya dilakukan langusng oleh Panjenenganipun Kanjeng Sultan Hamengkubuwono Ingkang Kaping Sedoso, 2008.

Monggo pinarak.....     
        







































Tuesday, November 28, 2017

Belik Planangan/Belik Jebres, Sendang Para Wali


Musim hujan, aku berangkat pagi pagi menuju Wonosari, Gunungkidul untuk bertemu rekan di sebuah dinas. Karena semangat yang menyala nyala, aku tiba di Wonosari tepat pukul 08.00. Alun alun Wonosari terlihat ada beberapa murid sekolah sedang melakukan olah raga. Rintik hujan  lembut jatuh. Dingin memeluk erat tubuhku. Terbayang sebuah teko kecil dengan cangkir berisi teh panas gula batu. Nikmatnya..........

Telepon genggamku berdring. Rekanku telah berjalan menuju Alun Alun Wonosari. Setelah berjumpa dan saling menanyakan kabar berita, segera kami menuju sebuah kedai kecil tak jauh dari alun alun, untuk menikmati teh panas gula batu.  

Sekitar pukul 9.00, telepon rekanku berdering, dan kita segera diundang untuk ke sebuah dinas. Segera kami menuju kesana. Setelah bertemu dan mendapatkan beberapa petunjuk, melihat kondisi awan yang semakin mendung, aku segera pamit.

Saat berjalan menuju sepeda motorku, teleponku berdering, seorang teman yang lain menghubungiku dan ingin bertemu. Iseng iseng ku buka  peta di androidku dan terlihat jalan dan jarak yang akan ku tempuh menuju rumahnya. Lumayan jauh.” Tak ada salahnya sambil lihat atau mengunjungi situs sejarah. Toh sambil jalan”kataku dalam hati.

Dari mesin pencarianku, muncullan Situs Ngawu, Wonosari, Gunungkidul. Lokasi yang akan aku lewati. Segera ku meluncur kesana. Melewati Pasar Playen, terus menyusuri jalan, jembatan, di pinggir jalan terdapat sebuah pohon rimbun di pinggir sungai. Ku berhenti dan mengamati tempat itu. Siapa tahu situs itu berada disitu. Karena dari keterangan, situs itu memang tidak terawat dan tidak begitu terkenal sehingga lolos dari pengamatan.

Tak juga ketemu, aku menruskan perjalanan hingga bertemu dengan bapak bapak sedang berkumpul di gardu ronda. Aku hampiri mereka, dan dengan bekal kesopanan serta unggah ungguh yang diajarkan orang tua dan kakek nenek serta ku dapat dari bangku sekolah, aku bisa berbahasa jawa  halus sehalus mereka. (cah pinter kok..... )

Benar. Dari 5 orang bapak bapak yang aku temui itu, tak satupun yang mengetahui tentang Situs Ngawu. Aku lebarkan lagi pertanyaanku. Kini aku bertanya tentang petilasan atau makam tua. Nah...dari beliau beliau barulah muncul 2 lokasi. 1 makam cikal bakal kampung tersebut, dan 1 lagi adalah belik para wali. Lokasi pertama, yaitu makam cikal bakal kamung tersbut adalah makam tua, di tengah sawah, jauh dari pemukiman dan di sebelah makam terdapat beberapa batuan yang ceritanya dulu akan dibangun candi/kraton. Karena saya takut sendirian, makam itu aku tak tertarik. Setidaknya untuk saat itu. Aku lebih tertarik ke belik para wali. Setelah mengikuti petunjuk jalan beliau beliau, tibalah di belik para wali dimaksud.

Lokasi belik berada di pinggir sungai, di pinggir dusun. Ku bertemu dengan nenek nenek dan ibu ibu untuk meyakinkan tempat yang dimaksud. Kebetulan mereka sedang berada di tempat itu.
“Kulonuwun....nyuwun sewu...menopo leres meniko sendang para wali?”tanyaku. Mereka tampak kebingungan.
“Belik Planangan njih?” tanya mereka. Saya jawab “Mbok menawi injih....”
“O.....lha  meniko....”jawabnya sambil menunjuk sebuah sungai dengan pohon tinggi besar disampingnya.
“Lha Panjenengan saking pundi?” tanya ibu ibu.
“Kulo saking Jogja....” jawabku pendek.  Ku berjalan menuju tempat itu diikuti oleh mereka.

Sesampainya di lokasi, terlihat ada sebuah belik kecil agak jauh dari sungai, dan belik yang agak besar tepat di pinggir sungai dengan dipisahkan sebuah pohon tinggi besar itu. Di belik yang agak besar, terdapat sebuah tulisan yang masih belum sempurna, tertulis “Sendang Jebres”
“Wonten kalih njih Bu?” tanyaku.
“Criyose Simbah, ingkang asli ingkang alit meniko....” jawab ibu ibu sambil menunjuk ke arah belik kecil.
“Belik Planangan meniko....” katanya kemudian.
“Lha kok meniko wonten Sendang Jebres?” tanyaku lagi.
“O....pancen meniko Kali Jebres. Dados njih wonten ingkang mastani  Sendang/Belik Planangan utawi Jebres mekaten...” jawabnya menerangkan.
“Criyose simbah simbah rumiyin pripun belik meniko?” tanyaku sambil menghampiri mereka berdua yang berdiri di pinggir sungai menyaksikanku yang dari tadi mengamati belik dan pohon tinggi besar yang mereka sebut sebagai Pohon Poh.

“Criyose simbah simbah njih kala rumiyin meniko wonten wali ingkang mbeto teken, dumugi papan meniko pados toya kagem sesuci kok boten wonten, banjur teken meniko dipun tancepaken, medal toyanipun meniko.” Cerita ibu ibu tadi diiyakan oleh nenek nenek disampingnya.

“Wali sinten njih? Menawi sak ngertos kulo, wali ingkang ngumbara dugi mriki lan mawi teken senengane damel sumber toya meniko njih namung Kanjeng Sunan Kalijaga.” Jawabku.
“Nhaaaa...injih meniko Mas. Sunan Kalijaga..... kulo kok rada kesupen asmane...” jawab ibu ibu itu mengiyakan.
“Menopo wonten ingkang sami remen sesirih mriki Bu?”
“Njih kadang kala Mas. Rumiyin rame.... Sak meniko rada suda.” Jawabnya.
“Rumiyin Ingkang Kaping Sanga (maksudnya adalah HB IX), njih nate mriki kok Mas. Nuweni sendang menika...” ceritanya lagi.
“Oh....Kaping Sanga?  Wonten wigatos menopo” tanyaku penasaran.
“Nyumanggakaken.... “ jawabnya pendek. “Menawi  Ingkang Sakmenika (HB X maksudnya)?” tanyaku lagi.
“Ingkang Sakmeniko dereng nate mriki Mas... “jawabnya lugu.

“Hmmmm.....mbok menawi dereng....” jawabku.

Monday, November 27, 2017

Sendang Tirtomoyo/Sendang Silerak


Terletak di Dususn Ngepas Kidul, Donoharjo, Ngaglik, Sleman, sering juga disebut sebagai Sendang/Pemandian Silerak. Lebih pantas disebut sebagai pemadian karena sendang ini cukup luas, dan kedalamannya kurang lebih 1,5meter.

 Keunikan dari sendang ini adalah adanya beberapa arca yang berada di setiap samping sendang, dengan arca utama di sebelah utara, berujud arca jonggrang didalam punden berundak yang diapit oleh dua arca wajah raksasa. Dibelakang arca jonggrang itulah terdapat bak penampungan air dari sumber mata air yang berada tepat di utara pagar sendang ini. Konon, sumber  mata air itu kini telah ditutup dengan berbagai macam benda dan persembahan termasuk seekor kerbau, untuk dapat mengurangi arus air yang keluar, agar wilayah ini tidak menjadi tenggelam. (hampir mirip dengan Sendang Ngembel, Bantul)

Adapun arca yang tedapat di sendang ini adalah Dewa Siwa, Dewi Parwati, Ganesha, 2 Nandi, dan 2 Kala, yang merupakan arca peninggalan Hindu Siwa. Diperkirakan peninggalan jaman Mataram Kuno.  Namun terdapat juga prasasti yang tertulis Tirtomoyo 1870.

Cerita tutur yang hidup hingga sekarang ada beberapa macam versi.  Konon sendang ini adalah tempat pemandian bidadari Kahyangan yang menjelma menjadi manusia. Namun siapakah bidadari itu atau menjelma menjadi siapakah dia, tak ada keterangan sama sekali.  Tentang terjadinya sendang ini, konon sendang ini dibuat oleh para pendeta untuk mensucikan diri. Bahkan hingga sekarang, masih ada beberapa kerabat yang katanya masih suka datang ke sendang ini.
Menurut seorang petani yang berada di sebelah sendang ini, kono waktu belia masih kecil, menurut kakek Beliau,  sendang ini pada saat saat tertentu muncul ikan “pethek”, seekor ikan yang hanya hidup dilaut. Berarti besar kemungkinan bahwa dibawah tanah sana, sendang ini mempunyai jalur air yang terhubung dengan laut selatan. Entahlah.


Terlepas dari itu semua, Sendang Tirtomoyo/Silerak, layak dilestarikan, dan digali lagi sumber sumber informasi yang lebih akurat, terutama tentang arca arca yang masih berada disana. Agar keturunan kita dapat mengetahui  betapa besar negeri ini sebelumnya, mempertahankannya dan mencapai tingkat kejayaan yang lebih tinggi dari sebelumnya. Salam Budaya.











Monday, November 20, 2017

Ki Ageng Wonokusumo


Adalah cucu dari Ki Ageng Giring, dari Sodo Paliyan Gunung Kidul. Nama  adalah meneruskan gelar ayahnya, yang merupakan putra dari Ki Ageng Giring, saudara laki laki dari Rara Lembayung yang diperistri oleh Danang Sutawijaya yang kemudian bergelar Panembahan Senopati, yang lebih dikenal dengan nama Ki Ageng Giring IV, atau Ki Ageng  Wonokusumo Sepuh.

Ki Ageng  Sepuh, demikian sebutanku untuk membedakan dengan Ki Ageng  ini, walaupun ada hubungan per-ipar-an dengan Panembahan Senopati, namun hal ini sama sekali tak membuat mereka berdua menjadi saudara dekat. Bahkan Panembahan Senopati menganggapnya sebagai musush yang harus dilenyapkan, karena dianggap melawan pemerintahan yang sah, yaitu Mataram. Saat itu, ada dua “klilip” Panembahan Senopati yang sulit ditaklukan. Ki Ageng Mangir dari perdikan Mangir, dan Ki Ageng  Sepuh dari Giring. Ki Ageng Mangir dapat ditaklukan dengan Strategi Rantai Emas, sedangkan Ki Ageng  Sepuh ditalkukan dengan strategi pengrobanan, pengabdian. Menurut saya. (ctt: baca kisah Jaka Umbaran (Pangeran Purboyo).

Ki Ageng Wonokusumo , hampir mirip dengan Jaka Umbaran, telah ditinggal mati oleh ayahnya saat muda, menjadikannya pemuda yang kuat dan mempunyai kesaktian yang luar biasa. Menurun dari darah ayah serta kakeknya, Ki Ageng Giring dan dari buyutnya Ki Ageng Pandanarang, dan justru lebih cenderung dekat dengan keluarga dari Trah Ki Ageng Pandanarang (Sunan Tembayat). Hal ini bisa dilihat dari tempat beliau bermukim hingga meninggalnya, yaitu di wilayah Wonontoro, Jatiayu, Karangmojo, Gunungkidul, yang apabila ditarik garis lurus antara Giring – Wonontoro dan Bayat – Wonontoro, lebih dekat jarak antara Bayat-Wonontoro.   

Semasa hidupnya, Ki Ageng Wonokusuma lebih memilih untuk, membela tanah airnya, memerangi penjajah Belanda, dan melupakan, atau merelakan, memaafkan kematian ayahnya karena intrik politik Mataram waktu itu.

Mungkin, karena sifatnya yang demikian, makam Ki Ageng   seolah mendapatkan cahaya yang terang, bahkan paling terang diantara tokoh tokoh yang lain dalam hubungannya dengan keraton Yogyakarta. Menurut Juru Kuncinya, Pak Dary.

Makam Ki Ageng Wonokusumo terletak di atas bukit di wilayah Wonontoro. Dibawah pohon yang cukup rindang, dikelilingi pagar tembok, didalamnya terdapat beberapa makam yang konon adalah merupakan sahabat sahabat perjuangannya.

Salah seorang peziarah cerita :
“Mas? Saking nginggil?” tanyaku.
“Injih Mas...”jwbnya.
“Mas sinten njih?” tanyaku lg.
 “Kulo Joko Mas.... jenengan?” dia balik nanya.
“Raden Mas Haryo Pawiro Rejo Kaping Sepisan!” jawabku.
“Piyambakan Mas?” Joko tanya lg.
“Iyesss...” jwbku mantap.
“Medeni lho Mas......” Joko memperingatkan.
“Lho....lha saya yo dari sana gada apa apa ki...” jwbku.
“Sampeyan bejo Mas..ora weruh opo opo...” katanya lg.
“Lha nopo to?” aku penasaran. Dia mengangkat kedua bahunya, geleng2 kepala dan  bilang......”Medeni! saya kesini malem2 sendirian ga wani Mas”.
Jawabku mantap : “ Lhaaaaaa....podo aku. Huahahahaha......!” 


on photo





Thursday, November 2, 2017

Nyi Ageng Serang 1752-1828


Putra dari Panembahan  Ageng Serang, atau Pangeran Natapraja, ahli keprajuritan dan tata perang, panglima perang dari HB I di wilayang Serang (sekarang perbatasan Sragen-Grobogan). Nama aslinya adl Raden Ajeng Kustiyah Wulaningsih Retno Edi. Jika ditarik garis keatas, Nyi Ageng Serang adalah keturunan Sunan Kalijaga. Pangeran Natapraja adalah keturunan kedepalan dari Sunan Kalijaga. Nyi Ageng Serang adalah putra bungsu dari Pangeran Natapraja.

Nyi Ageng Serang telah mengenyam pendidikan keprajuritan dan siasat perang sejak dari kecil. Dibawah asuhan ayahnya, Nyi Ageng Serang telah mahir dalam usia muda dan menjadi salah satu panglima perang dalam melawan panjajah Belanda.

Pangeran Natapraja (Panembahan Serang), kakaknya ( Kyai Ageng Serang) dan Nyi Ageng Serang adalah yang termasuk pemberontak bagi Belanda yang merobek2 Perjanjian Giyanti, dan meneruskan perjuangan. Sayang, dalam pertempuran di Semarang, ayah dan kakaknya gugur.

Setelah itu, Nyi Ageng Serang pindah ke Yogyakarta dengan Pangeran Mangkubumi. Meneruskan perjuangan dengan memimpin Pasukan Siluman. Pasukan khusus dengan daya serang yang sangat cepat dan mematikan. Pangeran Mangkubumi kemudian mengambilnya sebagai menantu, menikahkannya dengan HB II, namun tidak hidup dlm satu atap. Karena Nyi Ageng Serang ingin meneruskan perjuangan dari keluarganya.

Tak lama usia perkawinan mereka, kemudian pisah. Nyi Ageng Serang kembali ke Serang, kemudian menikah dengan Pangeran Mutia Kusumawijaya, yang oleh keraton kemudian diangkat sebagai Panembahan Kusumo Wijoyo (Panembahan Serang).

Saat pecah Perang Diponegoro, Nyi Ageng Serang segera bergabung dengan Pangeran Diponegoro dan membantu perjuangannya. Dengan Laskar Semut Ireng, Nyi Ageng Serang bertempur di daerah Grobogan, Purowdadi, Gundih, Kudud, Demak, Pati, Semarang, Magelang, dan akhirnya sampai di pinggir Kali Progo, di daerah Dekso dan bermarkas di bukit Traju Mas, yang sekarang disebut Bukit Menoreh. (layak dicermati ttg nama Traju Mas, dan menjadi Menoreh)

Dalam Perang Jawa (istilah internasional dalam menyebut Perang Diponegoro), suami Nyi Ageng Serang gugur. Tinggal dia sendiri melanjutkan perjuangan dalam usia lanjut. 73 thun. Namun karena kepiawaiannya, Nyi Ageng Serang mendapat kepercayaan memimpin pasukan, denganpanji Gula kelapa (merah putih).

Nyi Ageng Serang, Pangeran Adi Suryo, Pangeran Soma Negara di Bukit Menoreh, yang masuk wilayah Kadipaten Adikarto waktu itu, serta Kulon Progo. Pangeran Joyo Kusumo di Kokap dan Menoreh bagian selatan, dan Pangeran Singlon/Raden Mas Leksono Dewo/Ki Sodewo (Putra Pangeran Diponegoro) di Sendang Celerang dan Pengasih.

Sementara setelah geger di Gua Selarong, Pangeran Diponegoro, Tumenggung Danukusumo dan para kenthol Bagelen, bergerak dan melakukam perlawanan di daerah Bagelen dan Alas Abang Somongari (sekarang Purworejo)

Pangeran Adi Winoto dan Tumenggung Mangundipuro di daerah Kedu,. Pangeran Sayid Abu Bakar (putra Pangeran Diponegoro) dan Tumenggung Joyo Mustopo di daerah Loano, Purworejo.  Pangeran Joyo Kusumo di Yogyakarta Utara. Pangeran Suyonegoro, Tumenggung Suryodningrat, dan Tumenggung Suro Negoro di ibu kota Mataram dan timur  kraton.

Pangeran Singosari, Tumenggung Warso Kusumo dideraah Gunungkidul hingga Wonogiri.Tumenggung Karto Pengalasan dan raden Mas Wirono rejo dengan Laskar Prambanan di wilayah Plered. Tumenggung Mertolo di wilayah Pajang. Tumenggung Kartodirjo memimpin perlawanan di daerah Sukowati, Sragen dan Sukoharjo.

Dalam perang gerilya, Nyi Ageng Serang menggunakan strategi daun talas. Dimana setiap prajurit wajib membawa daun talas.  Hal ini diperlukan untuk kamuflase saat bertemu dengan Belanda, daun itu bisa sebagai payung, sehingga Belanda hanya melihat berpuluh puluh daun talas seperti layaknay kebun kosong. Saat Belanda lengah, dilancarkanlah serangan cepat dan mematikan. Seperti itulah.

Nyi Ageng Serang dimakamkan di Bukit Traju Mas, desa Beku, Banjarharjo, Kalibawang, Kulon Progo. Markas besar beliau di akhir akhir perjuangan.

Friday, October 20, 2017

Sendang Kamulyan dan Makam/Petilasan Jaka Tarub di Kulon Progo


Terletak di Dusun Taruban, Tuksono, Sentolo, Kulonprogo. Tak jauh dari sendang, terdapat makam tua yang konon adalah makam/petilasan dari Jaka Tarub. Itulah kenapa dusun itu bernama Taruban.

Mnrt kuncen, Sudiwiyono, Sendang Kamulyan konon adalah belik kecil, peninggalan siapa tidak diketahui. Menurut saya,  kemungkinan merupakan peninggalan Jaka Tarub dalam pengembaraannya. Hal ini ditegaskan dari cerita beliau kemudian bahwa sendang itu mnrt nenek moyangnya yang merupakan  “belik” yang cukup dalam yang dikhususkan untuk istrinya, Nawangwulan.  Ilustrasinya begini :

“Kulonuwun.... Daleme Pak Sudi?”  saya sowan.
“Leres Mas.... panjenengan?” Pak Sudi balik bertnya sambil menjabat erat tangan saya.
“Kulo Raden Mas Haryo Pawiro Rejo.” Jawabku. (ben rodo dramatis)
“Oh...monggo Den Mas...katuran lenggah pinarak...” Beliau tergopoh gopoh menyambutku.
“Critane pripun Pak babakan sendang meniko?” co bloko, ben cepet.

“Sendang Kamulyan  meniko minongko papan pinuwunan. Sinten ingkang ngrekso? Injih meniko Eyang Kertoyudo. Lha sinten Eyang Kertoyudo meniko? Miturut simbah simbah rumiyin, criyose injih tiyang ingkang lelaku lelono broto, dugi sendang meniko, pinanggih kaliyan tiyang ingkang sami sami sekti lan kagungan tujuan ingkang sami. Lajeng kekalehipun sami sederekan, sami lang winulang ing sedaya babagan gesang.” Pak Sudi menghela nafasnya.

“Lajeng Joko Tarub?” tanyaku kemudian.
“Lha...Joko Tarub meniko petilasanipun wonten ing makam nginggil meniko, sak leripun sendang.” Jawabnya.
“Makam?” aku gak sabar.
“Sanes..... meniko namung petilasan. Wonten uwit ageng, uwit Sambi, wonten jero beteng. Lha njih niku petilasaniun Joko Tarub. Milo dusun mriki katelah dusun Taruban, amargi Eyang Joko Tarub meniko. Lhajeng menawi Eyang Kertoyudo meniko, njih namung criyose simbah rumiyin, njih manung tiyang sekti ingkang pengin urip migunane dumateng liyan.”

“Makamipun?”
“Eyang Kertoyudo mukso..... mboten ninggal papan makamipun. Mboten krama lan mboten peputra. Namung pesene sakderenge muksa, “sak sapa wae sing duwe pinuwunan, minuwuno ing sendang iki” .
“Sendange kok toyane sekedik sanget Pak? Meh asat!” selidikku. Pak Sudi tertawa kecil.
“Lhooooo.....sampeyan mesti mboten percoyo Den Bagus... Mangsa panas kados sakmenika, pancen toyane sekedik. Nanging  mbok di”sanyo” 2, mboten bakal telas”
 “Wonten mriku rak wonten belik ingkang dipun damel kaliyan Joko Tarub khusus kagem Nawangwulan.”
“Ingkang pundi Pak? Sing rodo jero meniko?” tanyaku.
“Leres!” jawabnya mantap.
“Nopo enjih?” rodo ngeyel aku.
“Lha dusun niki rak tegalan to Mas, angel banyu. Menawi pas wonten ewuh manten, 2  sanyo murup sedoyo, 3 dino, banyune mboten telas dugi sakmeniko...” jawabnya mantap. Aku manggut manggut.

“Lha terus tayubanipun kapan?”
“Tayubanipun biasane sak wise Januari Mas. Merti dusun. Menopo kok tayub? Amargi meniko nglestarekaken budaya lan pesene Eyang Kertayudo. Eyang remen kaliyan tayub. Mekaten sejarahipun Mas. Leres menopo mboten wong kulo njih namung neruske crita saking simbah simbah rumiyin...” Pak Sudi menutup ceritanya.


“Njih benjang menawi tayuban kulo sowan malih njih Pak. Badhe ngibing....” jawabku sambil pamit.












Sunday, October 15, 2017

Makam Bondan Kejawan Di Gamping Sleman


Adalah anak dari Prabu Brawijaya V (Bhre Kertabumi), Raja Majapahit pada era 1468-1478. Cukup singkat dalam tampuk kekuasaan.
Bondan Kejawan adalah anak ke 14 dari Brawijaya V. Adapun saudara saudara se-ayah dari Bondan Kejawan antara lain adalah Raden Patah, Arya Damar (bupati Palembang) , Ki Ageng Pemanahan, Ki Ageng Mangir, Ki Demang Tangkil ( Jaka Selambar), Batara Katong bupati Ponorogo.

Bondan Kejawan yang dilahirkan dari ibu Wandan Sari, seorang dayang , yang berkulit hitam, saat lahir dia segera disingkirkan dari istana, karena menurut ramalan ahli nujum istana, bayi ini kelak akan membawa keburukan bagi Majapahit. Wandan Sari, tentu saja tak berdaya menerima keputusan Sang Maharaja ini. Dia bukanlah permaisuri, hanya seorang selir, dari jabatannya yang hanya sebagai dayang istana yang mampu menyembuhkan penyakit yang diderita Sang Raja. Karena lahir dari selir, bukan dari permaisuri.

Untuk menyingkirkan Bondan Kejawan kecil, tentu saja tak sembarangan orang yang akan dititipkannya. Bagaimanapun, Brawijaya V sebagai ayah kandungnya tak sampe hati untuk melenyapkannya dari muka bumi. Dipilihlah sahabat dari Sang Raja, yaitu  Ki Buyut Mesahat. Suatu saat, Ki Buyut Meahar mendapat perintah dari Brawijaya V untuk mengirimkan sebilah pusaka berbentuk keris kepada Ki Ageng Tarub di  daerah Tarub. Yang juga terkenal dengan nama Ki Agung Tarub Sepuh. Dengan membawa Bondan Kejawan , Ki Buyut Mesahar pergi  ke desa Tarub.

“Ki Ageng....  aku kesini mengantarkan Keris Mahesa Nularm pusaka Prabu Brawijaya agar dapat dirawat oleh Ki Ageng....” begitulah kira kira kata Ki Buyut Mesahar pada Ki Ageng Tarub.
 “Siapakah anak muda ini Ki Buyut?” tanya Ki Ageng.
“Eh... anu.... ini Bondan Kejawan. Anak angkatku...” buru buru dijawabnya sebelum menimbulkan pertanyaan lain dari Ki Ageng.

Ki Ageng Tarub yang waskita, tentu saja melihat hal ini bukan hanya sebagai yang termaksud.
“Anakmu sangat tampan. Kebetulan aku mempunyai anak gadis pula. Biarlah dia disini menemaniku dan sebagai kawan bermain anakku, Genduk Nawangasih.” Kata Ki Ageng.
“Tapi Ki....” kata Ki Buyut terputus.
“Sudahlah Ki..... Ki Buyut sudah cukup sibuk dengan urusan di istana. Biarlah aku mengurangi bebanmu, justru anak itu akan sangat berguna disini.” kata Ki Ageng Tarub mantap.
Ki Buyut Mesahar tak mampu menolak permintaan sahabatnya itu. Lalu, ditinggallah Bondan Kejawan di rumah Ki Ageng Tarub.


Hiduplah Bondan kejawan sebagai anak angkat Ki Ageng Tarub. Agar tidak terlacak oleh istana, nama Bondan Kejawan oleh ki Ageng diganti menjadi Lembu Peteng. Disana, Bondan Kejawan dididik berbagai macam ilmu pengetahuan dan ilmu kebatinan.

Setelah Bondan Kejawan dan Nawangasih dewasa, mereka kemudian menikah. Setelah Ki Ageng Tarub meninggal, Bondan kejawan yang menggantikannya, sebagai Ki Ageng Tarub Muda.
Dari hasil perkawinan dengan Nawangasih, lahirlah Getas Pendawa, yang kemudian menurunkan Ki Ageng Sela, berputra Ki Ageng Selo Muda ( Ki Ageng Enis), dalam buku Nagasasra Sabuk Inten disebut sebagai Nis Selo, kawan bermain Mahesa jenar (imaginasi bebasku).

Dari Ki Ageng Enis, berputra Ki Ageng Pemanahan, yang kemudian menurunkan Sutawijaya (Panembahan Senopati,  raja pertama Mataram.)


Nb: letak makam di desa Gejawan, Balecatur, Gamping, Sleman.  Di tengah kebun jati. Dari desa Gejawan ke arah selatan 500m, melewati persawahan. Adapun makam istrinya, ada di persis selatan desa Gejawan Wetan. Orang sekitar lebih mengenal sebagai Makam Bondan.