Musim hujan, aku berangkat pagi pagi menuju Wonosari,
Gunungkidul untuk bertemu rekan di sebuah dinas. Karena semangat yang menyala
nyala, aku tiba di Wonosari tepat pukul 08.00. Alun alun Wonosari terlihat ada
beberapa murid sekolah sedang melakukan olah raga. Rintik hujan lembut jatuh. Dingin memeluk erat tubuhku.
Terbayang sebuah teko kecil dengan cangkir berisi teh panas gula batu.
Nikmatnya..........
Telepon genggamku berdring. Rekanku telah berjalan menuju
Alun Alun Wonosari. Setelah berjumpa dan saling menanyakan kabar berita, segera
kami menuju sebuah kedai kecil tak jauh dari alun alun, untuk menikmati teh
panas gula batu.
Sekitar pukul 9.00, telepon rekanku berdering, dan kita
segera diundang untuk ke sebuah dinas. Segera kami menuju kesana. Setelah
bertemu dan mendapatkan beberapa petunjuk, melihat kondisi awan yang semakin
mendung, aku segera pamit.
Saat berjalan menuju sepeda motorku, teleponku berdering,
seorang teman yang lain menghubungiku dan ingin bertemu. Iseng iseng ku
buka peta di androidku dan terlihat
jalan dan jarak yang akan ku tempuh menuju rumahnya. Lumayan jauh.” Tak ada
salahnya sambil lihat atau mengunjungi situs sejarah. Toh sambil jalan”kataku
dalam hati.
Dari mesin pencarianku, muncullan Situs Ngawu, Wonosari,
Gunungkidul. Lokasi yang akan aku lewati. Segera ku meluncur kesana. Melewati
Pasar Playen, terus menyusuri jalan, jembatan, di pinggir jalan terdapat sebuah
pohon rimbun di pinggir sungai. Ku berhenti dan mengamati tempat itu. Siapa
tahu situs itu berada disitu. Karena dari keterangan, situs itu memang tidak
terawat dan tidak begitu terkenal sehingga lolos dari pengamatan.
Tak juga ketemu, aku menruskan perjalanan hingga bertemu
dengan bapak bapak sedang berkumpul di gardu ronda. Aku hampiri mereka, dan
dengan bekal kesopanan serta unggah ungguh yang diajarkan orang tua dan kakek
nenek serta ku dapat dari bangku sekolah, aku bisa berbahasa jawa halus sehalus mereka. (cah pinter kok..... )
Benar. Dari 5 orang bapak bapak yang aku temui itu, tak
satupun yang mengetahui tentang Situs Ngawu. Aku lebarkan lagi pertanyaanku.
Kini aku bertanya tentang petilasan atau makam tua. Nah...dari beliau beliau
barulah muncul 2 lokasi. 1 makam cikal bakal kampung tersebut, dan 1 lagi
adalah belik para wali. Lokasi pertama, yaitu makam cikal bakal kamung tersbut
adalah makam tua, di tengah sawah, jauh dari pemukiman dan di sebelah makam
terdapat beberapa batuan yang ceritanya dulu akan dibangun candi/kraton. Karena
saya takut sendirian, makam itu aku tak tertarik. Setidaknya untuk saat itu.
Aku lebih tertarik ke belik para wali. Setelah mengikuti petunjuk jalan beliau
beliau, tibalah di belik para wali dimaksud.
Lokasi belik berada di pinggir sungai, di pinggir dusun. Ku
bertemu dengan nenek nenek dan ibu ibu untuk meyakinkan tempat yang dimaksud.
Kebetulan mereka sedang berada di tempat itu.
“Kulonuwun....nyuwun sewu...menopo leres meniko sendang para
wali?”tanyaku. Mereka tampak kebingungan.
“Belik Planangan njih?” tanya mereka. Saya jawab “Mbok
menawi injih....”
“O.....lha meniko....”jawabnya
sambil menunjuk sebuah sungai dengan pohon tinggi besar disampingnya.
“Lha Panjenengan saking pundi?” tanya ibu ibu.
“Kulo saking Jogja....” jawabku pendek. Ku berjalan menuju tempat itu diikuti oleh
mereka.
Sesampainya di lokasi, terlihat ada sebuah belik kecil agak
jauh dari sungai, dan belik yang agak besar tepat di pinggir sungai dengan
dipisahkan sebuah pohon tinggi besar itu. Di belik yang agak besar, terdapat
sebuah tulisan yang masih belum sempurna, tertulis “Sendang Jebres”
“Wonten kalih njih Bu?” tanyaku.
“Criyose Simbah, ingkang asli ingkang alit meniko....” jawab
ibu ibu sambil menunjuk ke arah belik kecil.
“Belik Planangan meniko....” katanya kemudian.
“Lha kok meniko wonten Sendang Jebres?” tanyaku lagi.
“O....pancen meniko Kali Jebres. Dados njih wonten ingkang
mastani Sendang/Belik Planangan utawi
Jebres mekaten...” jawabnya menerangkan.
“Criyose simbah simbah rumiyin pripun belik meniko?” tanyaku
sambil menghampiri mereka berdua yang berdiri di pinggir sungai menyaksikanku yang
dari tadi mengamati belik dan pohon tinggi besar yang mereka sebut sebagai
Pohon Poh.
“Criyose simbah simbah njih kala rumiyin meniko wonten wali
ingkang mbeto teken, dumugi papan meniko pados toya kagem sesuci kok boten
wonten, banjur teken meniko dipun tancepaken, medal toyanipun meniko.” Cerita ibu
ibu tadi diiyakan oleh nenek nenek disampingnya.
“Wali sinten njih? Menawi sak ngertos kulo, wali ingkang
ngumbara dugi mriki lan mawi teken senengane damel sumber toya meniko njih
namung Kanjeng Sunan Kalijaga.” Jawabku.
“Nhaaaa...injih meniko Mas. Sunan Kalijaga..... kulo kok
rada kesupen asmane...” jawab ibu ibu itu mengiyakan.
“Menopo wonten ingkang sami remen sesirih mriki Bu?”
“Njih kadang kala Mas. Rumiyin rame.... Sak meniko rada
suda.” Jawabnya.
“Rumiyin Ingkang Kaping Sanga (maksudnya adalah HB IX), njih
nate mriki kok Mas. Nuweni sendang menika...” ceritanya lagi.
“Oh....Kaping Sanga?
Wonten wigatos menopo” tanyaku penasaran.
“Nyumanggakaken.... “ jawabnya pendek. “Menawi Ingkang Sakmenika (HB X maksudnya)?” tanyaku
lagi.
“Ingkang Sakmeniko dereng nate mriki Mas... “jawabnya lugu.
“Hmmmm.....mbok menawi dereng....” jawabku.
No comments:
Post a Comment