Tuesday, November 28, 2017

Belik Planangan/Belik Jebres, Sendang Para Wali


Musim hujan, aku berangkat pagi pagi menuju Wonosari, Gunungkidul untuk bertemu rekan di sebuah dinas. Karena semangat yang menyala nyala, aku tiba di Wonosari tepat pukul 08.00. Alun alun Wonosari terlihat ada beberapa murid sekolah sedang melakukan olah raga. Rintik hujan  lembut jatuh. Dingin memeluk erat tubuhku. Terbayang sebuah teko kecil dengan cangkir berisi teh panas gula batu. Nikmatnya..........

Telepon genggamku berdring. Rekanku telah berjalan menuju Alun Alun Wonosari. Setelah berjumpa dan saling menanyakan kabar berita, segera kami menuju sebuah kedai kecil tak jauh dari alun alun, untuk menikmati teh panas gula batu.  

Sekitar pukul 9.00, telepon rekanku berdering, dan kita segera diundang untuk ke sebuah dinas. Segera kami menuju kesana. Setelah bertemu dan mendapatkan beberapa petunjuk, melihat kondisi awan yang semakin mendung, aku segera pamit.

Saat berjalan menuju sepeda motorku, teleponku berdering, seorang teman yang lain menghubungiku dan ingin bertemu. Iseng iseng ku buka  peta di androidku dan terlihat jalan dan jarak yang akan ku tempuh menuju rumahnya. Lumayan jauh.” Tak ada salahnya sambil lihat atau mengunjungi situs sejarah. Toh sambil jalan”kataku dalam hati.

Dari mesin pencarianku, muncullan Situs Ngawu, Wonosari, Gunungkidul. Lokasi yang akan aku lewati. Segera ku meluncur kesana. Melewati Pasar Playen, terus menyusuri jalan, jembatan, di pinggir jalan terdapat sebuah pohon rimbun di pinggir sungai. Ku berhenti dan mengamati tempat itu. Siapa tahu situs itu berada disitu. Karena dari keterangan, situs itu memang tidak terawat dan tidak begitu terkenal sehingga lolos dari pengamatan.

Tak juga ketemu, aku menruskan perjalanan hingga bertemu dengan bapak bapak sedang berkumpul di gardu ronda. Aku hampiri mereka, dan dengan bekal kesopanan serta unggah ungguh yang diajarkan orang tua dan kakek nenek serta ku dapat dari bangku sekolah, aku bisa berbahasa jawa  halus sehalus mereka. (cah pinter kok..... )

Benar. Dari 5 orang bapak bapak yang aku temui itu, tak satupun yang mengetahui tentang Situs Ngawu. Aku lebarkan lagi pertanyaanku. Kini aku bertanya tentang petilasan atau makam tua. Nah...dari beliau beliau barulah muncul 2 lokasi. 1 makam cikal bakal kampung tersebut, dan 1 lagi adalah belik para wali. Lokasi pertama, yaitu makam cikal bakal kamung tersbut adalah makam tua, di tengah sawah, jauh dari pemukiman dan di sebelah makam terdapat beberapa batuan yang ceritanya dulu akan dibangun candi/kraton. Karena saya takut sendirian, makam itu aku tak tertarik. Setidaknya untuk saat itu. Aku lebih tertarik ke belik para wali. Setelah mengikuti petunjuk jalan beliau beliau, tibalah di belik para wali dimaksud.

Lokasi belik berada di pinggir sungai, di pinggir dusun. Ku bertemu dengan nenek nenek dan ibu ibu untuk meyakinkan tempat yang dimaksud. Kebetulan mereka sedang berada di tempat itu.
“Kulonuwun....nyuwun sewu...menopo leres meniko sendang para wali?”tanyaku. Mereka tampak kebingungan.
“Belik Planangan njih?” tanya mereka. Saya jawab “Mbok menawi injih....”
“O.....lha  meniko....”jawabnya sambil menunjuk sebuah sungai dengan pohon tinggi besar disampingnya.
“Lha Panjenengan saking pundi?” tanya ibu ibu.
“Kulo saking Jogja....” jawabku pendek.  Ku berjalan menuju tempat itu diikuti oleh mereka.

Sesampainya di lokasi, terlihat ada sebuah belik kecil agak jauh dari sungai, dan belik yang agak besar tepat di pinggir sungai dengan dipisahkan sebuah pohon tinggi besar itu. Di belik yang agak besar, terdapat sebuah tulisan yang masih belum sempurna, tertulis “Sendang Jebres”
“Wonten kalih njih Bu?” tanyaku.
“Criyose Simbah, ingkang asli ingkang alit meniko....” jawab ibu ibu sambil menunjuk ke arah belik kecil.
“Belik Planangan meniko....” katanya kemudian.
“Lha kok meniko wonten Sendang Jebres?” tanyaku lagi.
“O....pancen meniko Kali Jebres. Dados njih wonten ingkang mastani  Sendang/Belik Planangan utawi Jebres mekaten...” jawabnya menerangkan.
“Criyose simbah simbah rumiyin pripun belik meniko?” tanyaku sambil menghampiri mereka berdua yang berdiri di pinggir sungai menyaksikanku yang dari tadi mengamati belik dan pohon tinggi besar yang mereka sebut sebagai Pohon Poh.

“Criyose simbah simbah njih kala rumiyin meniko wonten wali ingkang mbeto teken, dumugi papan meniko pados toya kagem sesuci kok boten wonten, banjur teken meniko dipun tancepaken, medal toyanipun meniko.” Cerita ibu ibu tadi diiyakan oleh nenek nenek disampingnya.

“Wali sinten njih? Menawi sak ngertos kulo, wali ingkang ngumbara dugi mriki lan mawi teken senengane damel sumber toya meniko njih namung Kanjeng Sunan Kalijaga.” Jawabku.
“Nhaaaa...injih meniko Mas. Sunan Kalijaga..... kulo kok rada kesupen asmane...” jawab ibu ibu itu mengiyakan.
“Menopo wonten ingkang sami remen sesirih mriki Bu?”
“Njih kadang kala Mas. Rumiyin rame.... Sak meniko rada suda.” Jawabnya.
“Rumiyin Ingkang Kaping Sanga (maksudnya adalah HB IX), njih nate mriki kok Mas. Nuweni sendang menika...” ceritanya lagi.
“Oh....Kaping Sanga?  Wonten wigatos menopo” tanyaku penasaran.
“Nyumanggakaken.... “ jawabnya pendek. “Menawi  Ingkang Sakmenika (HB X maksudnya)?” tanyaku lagi.
“Ingkang Sakmeniko dereng nate mriki Mas... “jawabnya lugu.

“Hmmmm.....mbok menawi dereng....” jawabku.

Monday, November 27, 2017

Sendang Tirtomoyo/Sendang Silerak


Terletak di Dususn Ngepas Kidul, Donoharjo, Ngaglik, Sleman, sering juga disebut sebagai Sendang/Pemandian Silerak. Lebih pantas disebut sebagai pemadian karena sendang ini cukup luas, dan kedalamannya kurang lebih 1,5meter.

 Keunikan dari sendang ini adalah adanya beberapa arca yang berada di setiap samping sendang, dengan arca utama di sebelah utara, berujud arca jonggrang didalam punden berundak yang diapit oleh dua arca wajah raksasa. Dibelakang arca jonggrang itulah terdapat bak penampungan air dari sumber mata air yang berada tepat di utara pagar sendang ini. Konon, sumber  mata air itu kini telah ditutup dengan berbagai macam benda dan persembahan termasuk seekor kerbau, untuk dapat mengurangi arus air yang keluar, agar wilayah ini tidak menjadi tenggelam. (hampir mirip dengan Sendang Ngembel, Bantul)

Adapun arca yang tedapat di sendang ini adalah Dewa Siwa, Dewi Parwati, Ganesha, 2 Nandi, dan 2 Kala, yang merupakan arca peninggalan Hindu Siwa. Diperkirakan peninggalan jaman Mataram Kuno.  Namun terdapat juga prasasti yang tertulis Tirtomoyo 1870.

Cerita tutur yang hidup hingga sekarang ada beberapa macam versi.  Konon sendang ini adalah tempat pemandian bidadari Kahyangan yang menjelma menjadi manusia. Namun siapakah bidadari itu atau menjelma menjadi siapakah dia, tak ada keterangan sama sekali.  Tentang terjadinya sendang ini, konon sendang ini dibuat oleh para pendeta untuk mensucikan diri. Bahkan hingga sekarang, masih ada beberapa kerabat yang katanya masih suka datang ke sendang ini.
Menurut seorang petani yang berada di sebelah sendang ini, kono waktu belia masih kecil, menurut kakek Beliau,  sendang ini pada saat saat tertentu muncul ikan “pethek”, seekor ikan yang hanya hidup dilaut. Berarti besar kemungkinan bahwa dibawah tanah sana, sendang ini mempunyai jalur air yang terhubung dengan laut selatan. Entahlah.


Terlepas dari itu semua, Sendang Tirtomoyo/Silerak, layak dilestarikan, dan digali lagi sumber sumber informasi yang lebih akurat, terutama tentang arca arca yang masih berada disana. Agar keturunan kita dapat mengetahui  betapa besar negeri ini sebelumnya, mempertahankannya dan mencapai tingkat kejayaan yang lebih tinggi dari sebelumnya. Salam Budaya.











Monday, November 20, 2017

Ki Ageng Wonokusumo


Adalah cucu dari Ki Ageng Giring, dari Sodo Paliyan Gunung Kidul. Nama  adalah meneruskan gelar ayahnya, yang merupakan putra dari Ki Ageng Giring, saudara laki laki dari Rara Lembayung yang diperistri oleh Danang Sutawijaya yang kemudian bergelar Panembahan Senopati, yang lebih dikenal dengan nama Ki Ageng Giring IV, atau Ki Ageng  Wonokusumo Sepuh.

Ki Ageng  Sepuh, demikian sebutanku untuk membedakan dengan Ki Ageng  ini, walaupun ada hubungan per-ipar-an dengan Panembahan Senopati, namun hal ini sama sekali tak membuat mereka berdua menjadi saudara dekat. Bahkan Panembahan Senopati menganggapnya sebagai musush yang harus dilenyapkan, karena dianggap melawan pemerintahan yang sah, yaitu Mataram. Saat itu, ada dua “klilip” Panembahan Senopati yang sulit ditaklukan. Ki Ageng Mangir dari perdikan Mangir, dan Ki Ageng  Sepuh dari Giring. Ki Ageng Mangir dapat ditaklukan dengan Strategi Rantai Emas, sedangkan Ki Ageng  Sepuh ditalkukan dengan strategi pengrobanan, pengabdian. Menurut saya. (ctt: baca kisah Jaka Umbaran (Pangeran Purboyo).

Ki Ageng Wonokusumo , hampir mirip dengan Jaka Umbaran, telah ditinggal mati oleh ayahnya saat muda, menjadikannya pemuda yang kuat dan mempunyai kesaktian yang luar biasa. Menurun dari darah ayah serta kakeknya, Ki Ageng Giring dan dari buyutnya Ki Ageng Pandanarang, dan justru lebih cenderung dekat dengan keluarga dari Trah Ki Ageng Pandanarang (Sunan Tembayat). Hal ini bisa dilihat dari tempat beliau bermukim hingga meninggalnya, yaitu di wilayah Wonontoro, Jatiayu, Karangmojo, Gunungkidul, yang apabila ditarik garis lurus antara Giring – Wonontoro dan Bayat – Wonontoro, lebih dekat jarak antara Bayat-Wonontoro.   

Semasa hidupnya, Ki Ageng Wonokusuma lebih memilih untuk, membela tanah airnya, memerangi penjajah Belanda, dan melupakan, atau merelakan, memaafkan kematian ayahnya karena intrik politik Mataram waktu itu.

Mungkin, karena sifatnya yang demikian, makam Ki Ageng   seolah mendapatkan cahaya yang terang, bahkan paling terang diantara tokoh tokoh yang lain dalam hubungannya dengan keraton Yogyakarta. Menurut Juru Kuncinya, Pak Dary.

Makam Ki Ageng Wonokusumo terletak di atas bukit di wilayah Wonontoro. Dibawah pohon yang cukup rindang, dikelilingi pagar tembok, didalamnya terdapat beberapa makam yang konon adalah merupakan sahabat sahabat perjuangannya.

Salah seorang peziarah cerita :
“Mas? Saking nginggil?” tanyaku.
“Injih Mas...”jwbnya.
“Mas sinten njih?” tanyaku lg.
 “Kulo Joko Mas.... jenengan?” dia balik nanya.
“Raden Mas Haryo Pawiro Rejo Kaping Sepisan!” jawabku.
“Piyambakan Mas?” Joko tanya lg.
“Iyesss...” jwbku mantap.
“Medeni lho Mas......” Joko memperingatkan.
“Lho....lha saya yo dari sana gada apa apa ki...” jwbku.
“Sampeyan bejo Mas..ora weruh opo opo...” katanya lg.
“Lha nopo to?” aku penasaran. Dia mengangkat kedua bahunya, geleng2 kepala dan  bilang......”Medeni! saya kesini malem2 sendirian ga wani Mas”.
Jawabku mantap : “ Lhaaaaaa....podo aku. Huahahahaha......!” 


on photo





Thursday, November 2, 2017

Nyi Ageng Serang 1752-1828


Putra dari Panembahan  Ageng Serang, atau Pangeran Natapraja, ahli keprajuritan dan tata perang, panglima perang dari HB I di wilayang Serang (sekarang perbatasan Sragen-Grobogan). Nama aslinya adl Raden Ajeng Kustiyah Wulaningsih Retno Edi. Jika ditarik garis keatas, Nyi Ageng Serang adalah keturunan Sunan Kalijaga. Pangeran Natapraja adalah keturunan kedepalan dari Sunan Kalijaga. Nyi Ageng Serang adalah putra bungsu dari Pangeran Natapraja.

Nyi Ageng Serang telah mengenyam pendidikan keprajuritan dan siasat perang sejak dari kecil. Dibawah asuhan ayahnya, Nyi Ageng Serang telah mahir dalam usia muda dan menjadi salah satu panglima perang dalam melawan panjajah Belanda.

Pangeran Natapraja (Panembahan Serang), kakaknya ( Kyai Ageng Serang) dan Nyi Ageng Serang adalah yang termasuk pemberontak bagi Belanda yang merobek2 Perjanjian Giyanti, dan meneruskan perjuangan. Sayang, dalam pertempuran di Semarang, ayah dan kakaknya gugur.

Setelah itu, Nyi Ageng Serang pindah ke Yogyakarta dengan Pangeran Mangkubumi. Meneruskan perjuangan dengan memimpin Pasukan Siluman. Pasukan khusus dengan daya serang yang sangat cepat dan mematikan. Pangeran Mangkubumi kemudian mengambilnya sebagai menantu, menikahkannya dengan HB II, namun tidak hidup dlm satu atap. Karena Nyi Ageng Serang ingin meneruskan perjuangan dari keluarganya.

Tak lama usia perkawinan mereka, kemudian pisah. Nyi Ageng Serang kembali ke Serang, kemudian menikah dengan Pangeran Mutia Kusumawijaya, yang oleh keraton kemudian diangkat sebagai Panembahan Kusumo Wijoyo (Panembahan Serang).

Saat pecah Perang Diponegoro, Nyi Ageng Serang segera bergabung dengan Pangeran Diponegoro dan membantu perjuangannya. Dengan Laskar Semut Ireng, Nyi Ageng Serang bertempur di daerah Grobogan, Purowdadi, Gundih, Kudud, Demak, Pati, Semarang, Magelang, dan akhirnya sampai di pinggir Kali Progo, di daerah Dekso dan bermarkas di bukit Traju Mas, yang sekarang disebut Bukit Menoreh. (layak dicermati ttg nama Traju Mas, dan menjadi Menoreh)

Dalam Perang Jawa (istilah internasional dalam menyebut Perang Diponegoro), suami Nyi Ageng Serang gugur. Tinggal dia sendiri melanjutkan perjuangan dalam usia lanjut. 73 thun. Namun karena kepiawaiannya, Nyi Ageng Serang mendapat kepercayaan memimpin pasukan, denganpanji Gula kelapa (merah putih).

Nyi Ageng Serang, Pangeran Adi Suryo, Pangeran Soma Negara di Bukit Menoreh, yang masuk wilayah Kadipaten Adikarto waktu itu, serta Kulon Progo. Pangeran Joyo Kusumo di Kokap dan Menoreh bagian selatan, dan Pangeran Singlon/Raden Mas Leksono Dewo/Ki Sodewo (Putra Pangeran Diponegoro) di Sendang Celerang dan Pengasih.

Sementara setelah geger di Gua Selarong, Pangeran Diponegoro, Tumenggung Danukusumo dan para kenthol Bagelen, bergerak dan melakukam perlawanan di daerah Bagelen dan Alas Abang Somongari (sekarang Purworejo)

Pangeran Adi Winoto dan Tumenggung Mangundipuro di daerah Kedu,. Pangeran Sayid Abu Bakar (putra Pangeran Diponegoro) dan Tumenggung Joyo Mustopo di daerah Loano, Purworejo.  Pangeran Joyo Kusumo di Yogyakarta Utara. Pangeran Suyonegoro, Tumenggung Suryodningrat, dan Tumenggung Suro Negoro di ibu kota Mataram dan timur  kraton.

Pangeran Singosari, Tumenggung Warso Kusumo dideraah Gunungkidul hingga Wonogiri.Tumenggung Karto Pengalasan dan raden Mas Wirono rejo dengan Laskar Prambanan di wilayah Plered. Tumenggung Mertolo di wilayah Pajang. Tumenggung Kartodirjo memimpin perlawanan di daerah Sukowati, Sragen dan Sukoharjo.

Dalam perang gerilya, Nyi Ageng Serang menggunakan strategi daun talas. Dimana setiap prajurit wajib membawa daun talas.  Hal ini diperlukan untuk kamuflase saat bertemu dengan Belanda, daun itu bisa sebagai payung, sehingga Belanda hanya melihat berpuluh puluh daun talas seperti layaknay kebun kosong. Saat Belanda lengah, dilancarkanlah serangan cepat dan mematikan. Seperti itulah.

Nyi Ageng Serang dimakamkan di Bukit Traju Mas, desa Beku, Banjarharjo, Kalibawang, Kulon Progo. Markas besar beliau di akhir akhir perjuangan.