Friday, December 21, 2012

SENJA DI KRATON BOKO


Sebuah kilas balik yang tak pernah ku duga sebelumnya. Saat telah ku lepas semuanya, tiba tiba kini muncul kembali, dalam waktu yang sangat tak terduga. Hati serasa tergetar hebat, beberapa saat tercenung, dan hanya terduduk diam, sambil kembali menata hati, dari anyaman anyaman yang telah tertata seadanya, karena memang tak pernah mampu menatanya menjadi indah.

Sekian lama terbiarkan terbengkelai, ku serahkan semuanya kepada sang waktu. Biarlah menjadi goresan goresan sesuai dengan maksudnya, sama sekali ku tak pernah menyentuh ataupun mengaturnya. Hanya sesekali kusempatkan untuk melihat hasil dari gurat-guratan sang waktu atas cerita cerita yang telah terjalani dengan langkah tak tentu ujung.

Sungguh ku takut  tuk melihat hasil guratan sang waktu, karena batin ini akan terasa sangat teriris, dengan sangat dalam, tanpa ampun, tanpa mampu bertahan, namun kubiarkan semuanya menyiksaku sepuas puasnya, karena keindahan yang kudapatkan adalah setimpal.

Kali ini, kejadian itu mungkin akan terjadi pula. Aku menarik nafas dalam, sangat dalam…… tak tahu apa yang akan terjadi, apa yang akan terucap, dan apa yang akan diperbuat. Lagi lagi, kepada sang waktu aku serahkan semuanya. Biarlah dia mengambil penanya kembali, dan menuliskan guratan guratan tentang cerita ini kembali sesuai dengan inginnya.

Cerahnya  langit sore hari  sama sekali tak mempengaruhiku. Hanya berjalan sesuai dengan kehendak hati, tanpa nalar dan logika. Beberapa saat ku terdiam, sebatang rokok ku ambil dari saku dan segera menyulutnya. Hati semakin berdebar debar. Ah…. Biarlah….yang terjadi, terjadilah…..

Sebuah senyum tersungging, senyum yang pernah ku kenal. Bahkan sangat aku kenal. Bahkan aku sangat hafal  dengan bentuk senyumnya, tipis bibirnya, bahkan gurat gurat di bibirnya. Hamper tiap hari ku sentuh bibirnya, dengan jari jariku, dan tiap kali tangis yang terjadi, segera ku sentuh bibir tipis itu dengan…..ah……..!!!!!!

Tangan bersambut, dan langkah langkah pelan, seperti dulu…… bertahun tahun yang lalu. Rumput hijau terhampar, batu batu besar tertata membentuk sebuah bangunan megah. Tempat itu, beberapa tahun yang lalu, telah member sedikit guratan bagi sang waktu untukku. Namun sangat jauh berbeda dengan saat ini, walau sang waktu tak mampu menghapus gundah hatiku saat itu, seperti yang ku alami saat ini, namun pena itu terus menuliskan cerita ini.

Sungguh, aku tak tahu harus berkata apa. Aku terpaku, layaknya seorang anak kecil menyaksikan indahnya layang layang menari di angkasa, tanpa mampu menyentuhnya. Aku terpana. Semua kata yang terdengar, bagai sebuah cerita  yang hanya dapat aku baca, aku dengarkan, tanpa dapat berbuat apa apa.

Kubiarkan semuanya mengalir, semuanya! Agar semua tanya yang tersimpan sekian lama terjawab, walau hati dan perasaan masih juga menyangkalnya. Masih ada satu tanya yang tak terjawab, bahkan oleh si empunya. Ku biarkan…..kubiarkan……kubiarkan….! Aku ingin menikmatinya, ingin menikmatinya sekali lagi. Bahkan jika hanya sekali lagi. Walaupun anyaman anyaman hati harus terkoyak, lukisan dinding harus tercoreng, dan tinta harus tumpah di atas kain kanfas, semuanya setimpal. Sakiti aku!!!! Sakiti aku!!! Sakiti aku!!!!! Aku rela asal semua itu berasal darimu. Hanya dari dirimu.

Langit semakin temaram, matahari mulai tenggelam, seolah berpihak padaku dengan memberinya cahaya lemah di senja itu, dengan cahaya yang kuning memerah, dan segaris awan hitam diatasnya, sama persis dengan perasaanku yang temaram, dan masih juga menyimpan satu garis hitam yang belum terjawab. Namun rasa ini, tak kan hilang  hingga sekarang, hingga nanti, dan hingga akhir nanti.  

Thursday, September 13, 2012

SUMANTRI, MIKUL GENDHONG LALI (3)


Namun rupanya., setelah 500 kerajaan berhasil dia taklukan, sadarlah Sumantri bahwa kemampuanny memang tak diragukan lagi. Timbullah niat dalah hatinya untuk menaklukkan Harjunasasrabahu, raja tempat dimana ia ingin mengabdi.
“Bila aku berhasil menaklukkan lebih dari 500 kerajaan, bukankah mungkin saja aku dapat menaklukkan Mahespati, dan membawa Dewi Citrawati untuk ku jadikan permaisuriku?” katanya lirih waktu beristirahat dengan ditemani kedua abdi setianya.

“Ampun Raden, janganlah Raden terlalu menuruti hawa nafsu Raden…” kata abdinya yang bertubuh gemuk dan pendek.
“Apa katamu Togog?” tanya Sumantri setengah membentak.
“Raden memang sakti mandraguna, murid padepokan Begawan Suwandagni. Namun Baginda  Harjunasasrabahu, adalah terlalu sakti bagi Raden. Baginda telah berguru ke seluruh penjuru dunia, bahkan kepada Begawan Suwandagni pula. Konon kabarnya, Baginda adalah titisan dewa. Tak seorangpun yang mampu mengalahkannya Raden….” Kata Togog kemudian.

“Aku tak peduli Togog. Aku juga murid Begawan Suwandagni, tentu tak akan kalah dengan Baginda Harjunasasrabahu. Sekarang juga aku berangkat menantangya. Jika engkau berkebaratan, baiklah kau tak perlu menyertaiku pergi!” kata Sumantri sambil beranjak pergi.
“Ampun Raden, kemanapun Raden pergi, aku akan selalu menyertai Raden. Ini adalah perintah Begawan….” Kata Togoh sambil menyusul Sumantri, disertai dengan Mbilung, teman seperjuangan Togog.
Dan benar. Pertarungan yang diharapkan oleh Sumantri, benar benar terjadi. Harjunasasrabahu menerima tantangan Sumantri, rakyat jelata yang ingin mengabdi padanya, yang telah diberi perintah untuk melamarkan Dewi Citrawati untuknya.

Dan benar pula yang dikatakan Togog pada Sumantri sebelumnya. Harjunsasrabahu adalah titisan dewa, yang tak seorangpun mampu mengalahkannya, demikian juga dengan Sumantri. Sumantri dapat dikalahkan oleh Harjunasasrabahu. Namun Harjunasasrabahu adalah raja yang bijaksana. Walaupun Sumantri telah berani menantangnya, namun dia sama sekali tak ingin membuhunuhnya. Harjunasasrabahu masih berbaik hati padanya, karena Sumantri dapat menunaikan tugasnya dengan baik.

Sebagai hukuman dari Sumantri diperintahkan untuk memindahkan taman Sriwedari dari kahyangan, ke utara Negara Mahespati. Kali ini, Sumantri harus berpikir keras. Kesaktiannya tak cukup memadai untuk melaksanakan perintah itu. Terdorong oleh niatnya untuk tetap mengabi dan menajdi patih di Negara Mahespati, Sumatri bertekad melaksanakan perintah itu. Maka, kembalilah dia ke padepokan, untuk meminta bantuan pada ayahandanya. 

Wednesday, September 12, 2012

SUMANTRI, MIKUL GENDHONG LALI (2)


“Sumantri, tahukan kau bahwa singgasana kerajaan ini masih belum lengkap?” tanya Sang Raja.
“Maksud Baginda?” tanya Sumantri tak paham maksud baginda.
“Apakah Sang Begawan tak pernah bercerita kepadamu tentang aku?” tanya Sang Raja kemudian.
“Ampun Baginda, ayahanda pernah bercerita tentang Baginda.” Kata Sumantri agak ketakutan.
“Nah, apa yang menurut Sang Begawan merupakan kekurangan dari aku saat ini?” tanya sang Raja.
“Seorang pendamping Baginda….” Jawab Sumantri dengan agak gemetar, karena takut bila jawab itu tidak berkenan di hati Baginda Raja.

“Hmmmm…..benar kau Sumantri, itulah yang hingg saat ini mengganggu pikiranku.” Kata Sang Raja pelan.
“Hamba Baginda, lantas maksud Baginda?” tanya Sumantri memberanikan diri.
“Ada seorang wanita yang sangat ingin aku jadikan permaisuri di Mahepati ini Sumantri. Bersediakah engkau melamarkannya untukku, sebagai syarat untuk dapat kuterima pengabdianmu?” kata Sang raja tiba tiba.
Sumantri terkejut mendengar perintah itu. Sungguh sebuah kehormatan baginya untuk menunaikan tugas itu. Matanyapun kemudian berbinar binary, dan mulutnya tersenyum lebar.

“Duli Tuanku Baginda, hamba sanggup melaksanakan perintah Baginda.” Jawab Sumantri mantap.
“Bagus! Pergilah ke Negeri Magada, dan lamarkan puteri Dewi Citrawati untukku…” kata Sang Raja tegas.
“Baik Baginda. Segera hamba mohon diri untuk berangkat ke Magada.” Jawab Sumantri sambil mohon diri
Kemudian Sumantri berangkat menuju Negeri Magada, dengan disertai dua orang pembantu setianya. Setelah sampai di Magada, Sumatri segera menghadap ke istana, dan menyampaikan maksud kedatangannya. Gayung bersambut. Dewi Cutrawati bersedia menerima lamaran Harjunasasrabahu, namun dengan syarat, bahwa dalam upacara perkawinan hendaklah disertai dengan pengiring 800 orang puteri raja.

Persyaratn itu dipenuhi oleh Sumantri. Dia harus membuktikan pada Harjna sasrabahu bahwa dia memang layak untuk mengabdi di kerajaan Mahespati. Segera dia mohon diri dan berangkat mencari 800orang puteri raja. Setiap negeri dia datangi, dan segala macam cara dia lakukan. Bila sang puteri ataupun sang raja negeri tersebut tak berkenan, Sumantri tak segan segan menggunakan kesaktiannya dan menaklukkan negeri tersebut. Dengan kemampuan lahir batin yang di dapata dari ayahandanya, Sumantri berhasil menaklukkan lebih dari 500 kerajaan, dan berhasil membawa 800 orang puteri sebagai syarat untuk membawa puteri Dewi Citrawati ke kerajaan Mahespati.

Tuesday, September 11, 2012

SUMANTRI, MIKUL GENDHONG LALI (1)


Tersebutlah seorang pemuda yang tampan dan sakti mandraguna. Hal ini sangta wajar, karena  dia adalah putra dari seorang Begawan Suwandagni, seakligus murid dari Sang Begawan. Dari padepokan yang sangat sederhana di daerah pedesaan jauh dari pusat kota, maka menginjak dewasa, dengan tekad bulat dan berbekal kemapuan dari perguruaannya, pemuda tersebut ingin mengabdi ke pusat kerajaan, yang dipimpin oleh raja yang terkenal sakti, yaitu Raja Harjunasasrabahu, di negeri   Mahespati.

“Berhati-hatilah Ngger, dan jaga dirimu baik baik. Ariflah dalam bertindak, jangan gegabah dan mudah naik darah…..” pesan Sang Begawan saat melepas sang putera pergi, disertai dengan dua orang pembantu setianya.

Dengan bekal pesan dari ayahandanya, dan dengan kemampuannya, maka perjalanan menuju kerajaan tak menemui rintangan berarti. Pada saat pisowanan agung yang diselenggarakan tiap bulan purnama, pemuda itu dengan cukup mudah berhasil menghadap di hadapan Raja Harjunasasrabahu. Melihat soeang pemuda dengan perawakan yang tegap, berdada bidang, berwajah tampan, dan dengan perilaku serta sopan santun yang tertata, tertariklah Raja Harjunasasrabahu untuk menerimanya secara khusus.

“Siapakah kau anak muda? Baru kali ini aku melihatmu.” Kata Sang Raja saat pemuda itu menghadap.
“Ampun Baginda, hamba adalah Sumantri, anak desa dari padepokan Begawan Suwandagni.” Jawab pemuda yang mengaku bernama Sumantri  itu.
“Hmmmmm… Sumantri. Benarkah engkau adalah putera dari Sang Begawan?” tanya Sang Raja.
“Hamba Baginda…..” jawab sumantri singkat.
“Hmmmm, haturkan sembah sujudku kepada Sang Begawan. Sampaikan maafku hingga saat ini aku belum sempat berkunjung ke padepokan….” Kata Sang Raja.
“Hamba Baginda, pesan Baginda akan hamba sampaikan kehadapan ayahanda.” Jawab Sumantri dengan hormat.
“Baiklah, apa maksud kedatanganmu ke sini Sumantri?” tanya Sang Raja kemudian.
“Ampun Baginda, kedatangan hamba kesini, hamba ingin mengabdikan diri pada Baginda Raja, dengan segenap tenaga dan kemampuan yang hamba miliki dari padepokan.” Jawab Sumantri semakin hormat.
Sang Raja berpikir sejenak. Matanya memandang jauh kedepan, seolah berusaha mendekatkan suatu masalah dihadapannya, sehingga lebih jelas dan tepat.

“Baiklah Sumantri, aku percaya dengan Sang Begawan. Aku terima pengabdianmu disini, tapi dengan satu syarat…” kata Sang Raja kemudian terhenti.
Serasa sinar matahari pagi yang cerah dan hangat, mengguyur sekujur tubuh Sumantri. Pengabdiannya diterima, walau dengan syarat yang sama sekali belum di ketahui. Namun hal itu telah lebih dari cukup bagi Sumantri.

Friday, September 7, 2012

Dari Merapi ke Biafra


Lepas isyak kami berangkat untuk menengok teman yang sakit.  Rumahnya nun jauh disana, di bawah gunung merapi bagian barat daya. Telah terbayangkan betapa dinginnya daerah itu. Semakin lama kami naik menuju rumahnya, semakin dingin udara disana. Bahkan jaket yang kami kenakanpun tembus oleh hawa dingin gunung merapi.

Setelah jalan kecil berdebu dan berkelok kelok di tengah kebun salak pondoh sampailah kami dirumah teman yang letaknya tepat di tengah kebun salak pondoh miliknya. Hmmmm, betapa enaknya tinggal di rumah itu. Kami ketuk pintunya beberapa kali, namun belum juga ada jawaban. Namun mendadak pintu terbuka pelan, dan terlihat seorang wanita muda dengan menggendong anak kecil berusia 2 tahun membukakan pintu dan mempersilakan kami masuk.

Setelah kami masuk, rupanya teman kami sedang tiduran berselimutkan sarung, di depan televisi. Kami bersalaman dan duduk di ruang tamu dan kemudian ngobrol kesana kemari. Televise yang masih menyala, waktu itu tengah menayangkan sebuah acara “foto foto yang merubah dunia”. Aku pun tertarik acara itu dan kutinggalkan mereka, dank u maju ke depan, duduk di lantai tepat di depan televise. Ada beberapa foto yang ditayangkan antara lain pembunuhan gerilyawan vietkong, ada juga sebuah panser di cina yang harus berhenti karena dihadang oleh mahasiswa berani mati, sendirian.  Hebat.

Namun perhatianku tersita oleh tayangan berikutnya, yaitu beberapa bocah kecil, berkulit hitam, dengan tubuh yang amat sangat kurus. Demikian juga dengan orang orang dewasa. Narasi foto foto itu mengatakan bahwa mereka adalah warga negeri Biafra, sebuah Negara kecil di benua Afrika yang di embargo dan dikucilkan oleh Negara yang lebih besar, yaitu Nigeria. Terbayang betapa tersiksanya mereka, dimana mereka tak mendapatkan pasokan makanan dari luar, sedangkan dari negeri mereka sendiri, tak mampu mencukupi kebutuhan pangan untuk rakyatnya, melihat kondisi geografis yang memang tak memedai bagi pemerintah untuk memberi cukup pangan bagi rakyatnya.

Sejenak ku tercenung. Teringat beberapa peristiwa di negeri ini, yang menurutku, tidak menutup kemungkinan negeri kita yang kaya raya ini (katanya) akan dapat menjadi seperti negeri Biafra (mudah-mudahan tidak.)

Kita lihat beberapa fakta, bahwa negeri kita yang kaya ini telah mulai habis dihisap Negara lain, seperti freepot, dan tambang tambang lain yang tersebar di hampir seluruh Kalimantan, dan Indonesia Bagian Timur. Siapakah yang sengsara? Jelas rakyat jelata. Lalu siapakah yang kaya raya? Jelas pejabat di atas sana. Betul?
Dari sisi potensi wilayah, Indonesia adalah Negara agraris. Namun oleh para petinggi, rupanya pembangunan mengarah pada industry, dan mengesampingkan agraris. Dalam sejarah, kata seorang pakar, Negara agraris yang berkembang menuju Negara industry, maka Negara tersebut akan gagal. Menurutku, kata pakar tersebut, tidak salah untuk negeri ini.
Lihatlah berapa alokasi dana apbn ataupun apbd untuk pembangunan fisik dan  sejenisnya, dan berapa alokasi dana untuk pertanian ataupaun memperkuat ketahanan pangan kita? Jomplang Rek!!!! Terlihat jelas keberpihakan pemerintah lebih ke arah mana.

Teringat suatu saat seorang calon anggota dewan berkunjung ke sebuah wilayah, dan memberikan berbagai macam bantuan alat pertanian dan peternakan. Sungguh luar biasa mulia saat itu. Namun tahukah kalian bahwa anggota dewan pula yang menyetujui areal persawahan subur di daerah itu digulung traktor, dikeringkan dan akan dibangun perumahan. So, buat apa kasih bantuan alat pertanian bila sawah mereka di tanami beton beton semen??? Naïf!!! Bukankah rakyat jelata sengsara, dan mereka tetap kaya?

Berapa banyak kawasan hijau yang menurut “blue print” adalah lumbung pangan bagi wilayah, namun dengan menjentikkan jari, bisa juga tuh lumbung pangan tersebut tahu tahu telah berdiri gedung gedung atau telah berwujud pondasi pondasi berkapiling-kapling????

Pasar tradisional, yang merupakan muara pertemuan antara petani yang menjual hasil panen pada masyarkat, kini telah berdiri supermarket/minimarket di sekitar pasar tradisional itu, dimana mereka itu adalah retail retail modern yang dikelola oleh orang yang entah kita sendiri tak tahu seperti apa sepak terjang mereka di ranah perdagangan negeri ini, sehingga bisa mendapatkan ijin serta kemudahan kemudahan lainnya . Pikirkanlah, kemana mereka akan menjual hasil panen mereka? Bukankah rakyat jelata yang sengsara, dan mereka mereka tetap menjadi kaya?

Teringat jelas di benakku, saat krisis moneter 2007 lalu, retail modern runtuh, pengusaha pengusaha guliung tikar. Dan tahukah kalian siapa yang tetap survive????? Merekalah para petani tradisonal, pedagang pedagang pasar tradisional yang tetap dapat berdagang dan menggerakkan roda perekonomian pedesaan. Disitulah kekuatan mendasar kita, bila kalian tahu. Tidakkah kalian bercermin dari itu?
Dalam sekala yang lebih besar, apabila hal tersebut tetap dibiarkan, dengan semakin terpinggirkannya pelaku tradisional, semakin sempitnya lahan persawahan, dengan tanpa ditunjang ketahanan paangan yang dibangun oleh negeri kita sendiri, apabila terjadi seperti Nigeria meng-embargo Biafra, dan kali ini Indonesia di embargo oleh Negara Negara ASEAN misalnya, percayalah, nasib kita akan seperti warga Biafra.

So, belum begitu terlambat bagi kita semua untuk bergerak saat ini. Untuk Indonesia yang merdeka, merdeka dari apa saja, terutama ketahan pangan dan ekonomi.

Monday, August 27, 2012

Dewaruci, oleh oleh dari Mangadeg


Pertemuan antara Bratasena dengan Dewaruci di tengah samudera saat Bratasena mencari Air Suci Perwitasari, yaitu air suci kehidupan, atas perintah Resi Durna.

Sebuah kejadian yang sama sekali tak dikehendaki oleh Resi Durna, karena tujuan dari Resi Durna menyuruh Bratasena terjuan ke samudera adalah dengan tujuan agar Bratasena mati di gulung ombak samudera.

Namun justru di tengah dasar samudera itulah, Bratasena bahkan ditemui oleh Dewaruci, Begawan suci dan sakti, walaupun bertubuh kecil, namun Bratasena dapat masuk ke dalam raganya melalui telinga, dan menyaksikan betapa agung dan luasnya alam semesta ini.

Dan dalam kisah Dewa Ruci itulah, Bratasena mendapatkan wejangan tentang hidup dan kehidupan yang berguna bagi kita semua, umat manusia, dalam tata pergaulan hidup, baik dalam hubungan dengan Tuhan Yang  Maha Esa, maupun dengan sesama umat manusia.

Sunday, May 20, 2012

BUTO CAKIL, PRAJURIT SEJATI TAAT MENGABDI

Sebagai seorang dari bangsa raksasa, laki laki ini sama sekali tak menunjukkan sifat sifatnya sebagai bangsa raksasa. Tubuhnya yang kecil, seukuran dengan tubuh manusia biasa, dengan cara pakaian yang walaupun sederhana, namun sama persis dengan manusia biasa, demikian juga dengan senjata yang selalu menemaninya, yang terselip di punggungya, sebilah keris  kecil berlekuk, layaknya senjata dari para ksatria biasa.

Namun sebagai seorang yang terlahir dari bangsa raksasa, tetap saja mempunyai ciri khusus yang membedakan antara bangsa manusia dengan bangsa raksasa, yaitu adanya sepasang taring di mulutnya. Dan anehnya, taring ini tidak tumbuh di deretan gigi bagian atas, namun justru di bagian bawah. Demikian juga dengan sifatnya. Sifat sifatnya sama sekali tak berbeda dengan bangsa raksasa. Angkuh, congkak, sombong, dan tak  mempunyai aturan dalam pergaulan.

Hidupnya yang selalu di hutan belantara, dengan mengais kehidupan dari merampas dan merampok orang. Namun karena kehidupan seperti  ituah yang membentuk dan membesarkannya, maka keahlian dan kepiawaiannya pun menjadikan dia sebagai seorang prajurit  pilih tanding, yang selalu berada di ujung garis pertempuran. Apapun yang diperintahkan oleh rajanya, dengan tanpa berpikir panjang, laki laki ini akan melaksanakannya, walaupun nyawa taruhannya. Laki laki ini terkenal sebagai prajurit sejati yang tak pernah menolak perintah, dan selalu menjaga kehormatannya sebagai seorang ksatria, yaitu bertempur dengan cara ksatria, tanding, satu lawan satu.

Hutan yang sangat lebat, adalah tempat tinggalnya, dan siapapun yang melewatinya, sesuai dengan perintah rajanya, akan dia hadang dan di bunuhnya. Saat sedang beristirat di atas sebuah dahan pohon besar yang tinggi menjulang, di melihta seorang yang berjalan sendirian, memasuki wilayah keuasaanya. Dengan serta merta dia meloncat terbang turun ke bawah dan menghadang orang itu.

“Siapakah kau dan apa maksudmu datang ke tempat ini?” katanya tegas saat dia mendarat tepat di depan orang itu, hingga terhenti langkahnya. Suaranya melengking tinggi. Memang seperti itulah suaranya.
“Siapakah kau dan apa maksudmu mengentikan langkahku?” jawab orang itu.

“E…e…e….e..ba…bo….ba…..bo……. ditanya malah ganti bertanya! Aku adalah Cakil, ksatria dari kerajaan Gondomayit! Hentikan langkahmu dan kembalilah! Ini perintah dari rajaku!” kata laki laki yang mengaku bernama Cakil.
“Aku adalah Arjuna, dan aku tetap akan meneruskan perjalananku, apapun yang terjadi, hei Buto Cakil!” jawab orang itu.
“Ba…bo….ba…bo…. Arjunaaaa…….. pulanglah, tak ada gunanya kau meneruskan perjalananmu, karena kau harus kembali, atau mati di tanganku!” Buto Cakil mulai bersiap, karena dia melihat bahwa Arjuna pun juga bersikap yang sama.
“Dengan berat hati, aku tak kan kembali Buto Cakil…” jawabnya.

Maka, seketika Arjuna berhenti berkata kata, Buto Cakil telah meloncat menyerangnya dengan beringas. Arjuna yang telah bersiap sebelumnya, dengan tenang dapat menghindar serangan Buto Cakil, dang anti menyerang balik. Dan yang terjadi kemudian adalah, sebuah medan pertempuran yang mengerikan, saling serang, asling sikut, berloncatan, dan sesekali terbang di antara pepohonan.

Debu debu beterbangan, teriakan mengaduh, suara benturan, dan kilat kilat saling menyambar dari kedua laki laki itu, menunjukkan bahwa pertempuran semakin meningkat, hingga masing masing telah mengeluarkan senjatanya.
Saat Cakil menyerang dengan beringas, hingga lupa akan pengamatan dirinya, dengan sekali gerak, Arjuna berhasil meraih tangan yang menjulurkan kerisnya. Dengan gerakan yang sangat cepat, hal ini tak diduga sama sekali oleh Cakil. Maka, dengan sekali gerak tangan cakil berhasil diputar dan menancaplah keris itu ke tubuh tuannya sendiri.

Cakil terhuyung huyung jatuh dengan dada tertembus keris oleh tangannya sendiri. Darah mengalir deras dari dadanya, dan robohlah tubuh itu meyentuh tanah. Dan Buto Cakil pun mati sebagai seorang ksatria, yang bertempur satu melawan satu, dan tanpa sikap sikap curang di dalamnya.

Buto Cakil, walau dia adalah bangsa raksasa dan ditakdirkan selalu kalah dalam peperangan, namun dia adalah prajurit sejati, pantang mundur dari laga, dan melaksanakan segala perintah dari ajanya dengan sebaik baiknya. Buto Cakil adalah gambaran dari rakyat biasa, rakyat kecil, yang selalu berada di garis paling depan, selalu tunduk pada penguasa, walaupun menjadi korban, demi penguasa juga.

Thursday, May 10, 2012

SURJAKUSUMA, "KOK NASIBKU SELALU SIAL???"

Dilahirkan dari darah raja, dalam kerajaan besar, dimana sejak lahir telah terbiasa dengan segala keinginan yang telah siap sedia, menjadikan laki laki ini cenderung  tak mempunyai keahlian dan kemampuan apa apa.

Ayahnya adalah seorang raja, yang bergelar Arya Duryudana, orang nomer satu di kerajaan besar pula, Astinapura. Setiap Negara kecil, bergidik bila mendengar nama negara itu disebut. Sebuah Negara penakluk, dengan keluarga yang berjumlah seratus, walau mereka tak dapat berbuat apa apa, namun beberapa orang dibelakangnya, adalah orang orang yang mempunyai kemampuan luar biasa, yang hanya mampu ditandingi oleh Negara Amarta, dengan rajanya Prabu Yudisttira, induk dari negara negara kecil lainnya yang dipimpin oleh empat orang  saudara lainnya.

Lingkungan kerajaan yang serba ada, membuat laki laki itu tumbuh menjadi seorang yang manja, malas, dan gemar berfoya foya, serta membuaskan nafsu badaniah lainnya. Tubuhnya yang tidak begitu besar, dengan raut muka putih pucat, demikian pula dengan kulitnya, perut sedikit buncit, tatapan mata sayu, semakin menunjukkan kebiasaannya yang tak mau bekerja keras seprti halnya saudara saudaranya dari Amarta, putra dari keturunan Pandu yang masih bertalian darah dengannya.

“Surjakusuma……..” seorang kakek kakek memanggil namanya saat laki laki itu sedang duduk berpangku tangan di taman istana.
“Iya Paman……” jawabnya malas, karena dia tahu siapa paman yang memanggilnya itu juga pemalas.
“Kamu dari tadi duduk dibangku itu, memandang langi, sesekali menarik nafas panjang, dan tak kau sentuh makanan di sebelahmua. Apa yang kamu pikirkan?” Tanya kakek kakek itu sambil berjalan menghampirinya duduk.
“Paman Sengkuni, nasibku kok selalu sial……” katanya pendek tanpa melihat ke arah kakek kakek yang dipanggilnya Sengkuni itu.
“Apakah aku kurang tampan? Kurang kaya? Kurang sakti? Aku kan anak raja Astinapura, tentunya aku kaya. Aku kan juga murid Paman Durna, tentunya aku juga sakti. Wajahku kan juga tampan Paman….” Katanya kali ini sambil berdiri dan beretriak teriak.
Sengkuni hanya berdiri sambil menahan tawa. Dan celakanya, Surjakususma mengetahuinya.
“Mengapa Paman malah menterawakan aku? Paman mengejek ya? Tidak percaya kalau aku tampan, kaya dan sakti?” Surjakusuma semakin keras.
“Percaya Ngger, percaya. Siapa to yang bisa mengalahkan cucuku yang paling tampan dan sakti ini?” kata Sengkuni meyakinkan.
“Lalu mengapa Paman? Mengapa tak seorang wanita pun mau menjadi istriku?” Surjakusuma berteriak sambil menengadah, seolah mengharap jawabn tidak hanya dari pamannya, namun juga dari langit.
Belum lagi Sengkuni menjawab, bagai banjir, Surjakusuma telah mulai berkata kata lagi.

“Bukankah Paman ingat, Wahyu Cakrangingrat? Wahyu itu telah masuk ke tubuhku Paman. Wahyu itu telah memilihku sebagai seorang yang pinunjul, sakti, yang kuat menerima anugerah dari dewata itu. Namun apa yang terjadi? Tiba tiba wahyu itu cabut, keluar dan meninggalkan tubuhku. Apakah ini bukan sial namanya?” katanya sambil bertanya tanpa mebutuhkan jawaban.
“Ngger, siapapun yang menerima wahyu, dia harus bersyukur, dan kemudian melaksanakan kewajibannya sebagai sesorang yang telah mendapatkan kehormatan, dengan laku prihatin, arif dan bijak. Tapi apa yang Angger lakukan kemudian? Angger malah berfoya foya, mabuk mabukan dengan gadis gadis, berlaku maksiat, panataslah kiranya wahyu itu pergi meninggalkan Angger, yang masih berkubang dengan nafsu badaniah keduniawian….” Kata Sengkuni menjelaskan.
“Aaaahhh…Paman bohong! Paman ingat juga Diajeng Siti Sendari? Pergiwa? Diajeng Titisari? Mengapa mereka lebih memilih Abimanyu, Gatotkaca, dan Bambang Irawan?” katanya sambil membusungkan dadanya dan mengepalkan tangannya.

Sengkuni semakin sakit perutnya menahan tawa. Dada yang dibusungkannya, malah semakin memperlihatkan tulang tulang iganya, sedangkan kepalan tangannya, bagai sekepal tangan anak anak yang lemah dan tanpa kekuatan sama sekali. Namun bagaimanapun, Sengkuni tak mungkin menyakiti hatinya, maka dengan segala pujian dia lontarkan untuk membesarkan hati keponakannya yang dia kasihi.

“Bambang Surjakusuma, Lesmana Mandrakumara anakku……..” kata Sengkuni dengan nada asih.Yang dipanggil dengan nama lengkap itupun tersenyum senyum bangga.
“Mereka adalah puteri puteri bodoh yang tak dapat melihat kemewahan dunia, baju bagus, muka tampan dan tubuh gagah. Tak mengapa anakku, suatu saat kamu harus buktikan bahwa kamu adalah yang paling hebat di antara mereka…” kata Sengkuni membesarkan hati.
“Kapan “saat” itu Paman?” katanya dengan tergesa gesa seolah ingin cepat tiba waktunya.
“Pada saat Perang Baratayuda, Abimanyu akan menjadi senopati perang. Buktikan jika kamu bisa mengalahkannya…..” kata Sengkuni lagi. Bagai matahari tengah hari, Surjakusuma seperti mendapatkan gambaran yang jelas tentang apa yang akan dia lakukan.

Dan benar, saat perang Baratayuda berkecamuk, dilihatnya Abimanyu menjadi senopati perang di sayap selatan dari medan pertempuran. Bagaimanapun, dia tetap bisa mengukur bahwa kemampuannya masih jauh di bawah Abimanyu, Putra Arjuna, yang telah memenangkan Siti Sendari darinya, yang gemar melakukan tapa prihatin dan memperdalam ilmunya, sedangkan dia masih tetap dalam dunia foya foya dan berpersta dengan gadis gadis.

Maka, saat Abimanyu telah terkepung oleh saudara saudaranya, Bala Kurawa, berjalanlah dia dengan penuh percaya diri. Tubuh Abimanyu yang telah penuh luka, dengan sribu panah menancap di tubunya, pasti akan mudah baginya untuk mengalahkannya. 

Disibakkanya kerumunan Bala Kurawa yang mengepung Abimanyu, dan dengan sombongnya, dia menyerang Abimanyu sejadi jadinya, dengan kemapuan yang dimilikinya. Namun lawannya adalah Abimanyu, seorang ksatria yang pantang menyerah, dengan kemampuan diatas manusia biasa, sekaligus merupakan titisan Dewa Bulan, maka walau dengan keadaan yang menyedihkan, masih pula mampu meladeni serangan Surjakusuma yang semakin membabi buta.

Terjadilah perang tanding di dalam lingkaran itu. Surjakusuma dengan congkak dan percaya diri, menyerang dengan penuh kebengisa, karena dendam yang luar biasa. Sedangkan Abimanyu, lebih memilih bertahan dan sesekali menyerang balik saat Surjakusuma lengah. Dan benar, saat merasa Surjakusuma berada di atas angin, lengahlah seluruh perhatiannya. Maka dengan serangan yang menentukan, dikerahkannya segenap tenaga Abimanyu mengunjamnkan kerisnya ke dada Surjakusuma.

Semua mata terbelalak, seolah tak percaya apa yag dilihatnya. Putra Mahkota Astinapura, jatuh roboh di tanah, dan mati terbunuh oleh Abimanyu yang telah sekarat menahan sakit sekujur tubuhnya. Sedangakn Surjakusuma pun jatuh di tanah, dengan darah mengalir didadanya. Suasan heing, dan sejenak kemudian mereka tersadar apa yang terjadi. 

Tubuh Surjakusuma kemudian di angkat, di panggul dan kemudian dibawa meninggalkan medan tempur untuk dihaturkan kepada ayahnya, Arya Duryudana.  Surjakusuma, betapa sial dan malangnya, namun diakhir hidupnya, dia berusaha untuk menjadi ksatria, walau hanya sekedar “ksatria”.

Wednesday, May 9, 2012

SEPENGGAL KASIH JAYADRATA


Matahari telah tergelincir ke arah barat, seolah telah lelah mengiringi perseteruan dua keluarfa besar yang tengah menyabung nyawa demi kuasa di Hastinapura. Satu pihak berjuang mati matian untuk mempertahankan kekuasaan, sedangkan pihak lain berjuang untuk menegakkan kebenaran dan keadilan sekaligus memperjuangkan hak haknya, sedangkan beberapa pihak lain, tak dapat mengindar dan harus memilih berpihak ke salah satu, karena alas an hutang budi, keluarga dan lain sebagainya.

Disana sini terjadi pertempuran, nyawa nyawa melayang, darah tumpah membasahi pertiwi, nafas nafas memburu, senjata beradu, ksatria melawan ksatria, panglima melawan panglima. Namun di beberapa tempat, Nampak pula pertempuran yang tak berimbang, dimana satu orang melawan beberapa, bahkan puluhan orang, sedangkan seorang ksatria hanya melawan prajurit prajurit biasa.

Perang, bagaimanapun telah di atur dalam segenap perjanjian dan peraturan, adalah tetap perang. Yang mempunyai sifat asli saling bunuh untuk memenangkan pertempuran, bagaimanapuin caranya.

Adalah Abimanyu, seorang ksatria muda yang berwajah tampan, mirip sekali dengan sang ayah, Raden Arjuna dari pihak Pandawa, yang kala itu turut serta bertempur menyabung nyawa demi keluarga besarnya, darah pandawa.

Dengan kesaktian dan kanuragan yang dimilikinya, tak sulit untuk untuk menggempur sayap selatan dari medan pertempuran yang telah dipsrahkan kepadanya sebagai Senopati perang, oleh uwaknya, Sri Kresna.
Namun tanpa sepengetahuan Abimanyu, rupanya pihak lawan, mempersiapkan siasat busuk. Semakin Abimanyu menggempur musuh musuhnya, semakin banyak pula musuhnya dating dan mengepungya, sedang bala bantuan prajurit Abimanyu, seolah tertahan oleh suatu garus batas lautanb manusia, hingga tak dapat menjangkaunya. Kini tinggallah Abimanyu bertempur, sendirian!

Matahari kian condong ke barat menuju peraduannya. Sedangkan Abimanyu, kini benar benar telah sendirian.  Betapa kuatnya seoarng Abimanyu, namun kali ini musuh musuhnya adalah puluhan, dan setiap seorang roboh, datang lagi seorang, dua orang begitu seterusnya. Begitulah siasat dari Kurawa untuk melumpuhkan Abimanyu.

Dengan pertempuran yang tak seimbang, dalam saat Abimanyu lengah, meluncurlah sebuah panah dari belakang yang menembus dadanya. Kurawa memang menyerang Abimanyu dari berbagai arah. Tak cukup hanya satu jenis senjata, namun segala senjata mereka pergunakan, dan dari manapun serangan itu berasal. Sungguh licik.

Melihat keadaan Abimanyu yang semakin melemah, beramai ramai mereka menghunjamkan senjatanya kea rah tubuh lemah itu. Tubuhnya semakin lemas, dengan segenap kekutana yang tersisa, Abimanyu berusaha melawan dan mengelak segala serangan. Pandangan matanya telah menjadi agak kabur, tubuhnya penuh dengan luka, sedangkan batang panah masih beberapa yang menancao di tubuhnya.
Matahari kian kelam, sinarnya melemah, selemah keadaan tubuh dari Abimanyu. Namun musuh musuhnya masih juga menghajarnya beramai ramai.

“Hentikaaaaaaaannnn!!!!” teriak seseorang diantara mereka.
Seranganpun berhenti dan semuanya menoleh kearah datangnya suara itu. Terlihat seseorang yang tengah membawa senjata di tangan kanannya, mengangkatnya tinggi tinggi.
“Apa yang kau lakuakn Yuyutsu?” Tanya seseorang yang bertubuh gemuk dan pendek, dengan senjata golok di tangannya.
“Dia telah tak berdaya, dia telah kalah. Bukankah dia juga saudara kita? Mengapa kalian menganiayanya sedemikian rupa?” teriak orang yang dpanggilnya dengan naman Yuyutsu.
“Apa pedulimu? Di sini, dia adalah musuh yang harus dibinasakan….” Kata kata dari orang pendek gemuk itu berhenti disertai dengan serangan beramai ramai lagi terhadap Abimanyu yang telah berdiri tegak. Abimanyu semakin parah, digempur dari sana sini, sedangkang Yuyutsu hanya bisa berteriak teriak memperingatkannya. Lelah dengan teriakannya, Yuyutsu melemparkan pedangnya ke tanah, dan kemudian pergi meninggalkan kerumunan dari saudara saudaranya yang tengah menyiksa Abimanyu.

Seiring dengan kepergian Yuyutsu, di kerumunan itu hadirlah seekor gajah besar, dengan seorang ksatria duduk di atasnya. Sejenal mereka berhenti,namun setelah tahu siapa ksatria itu, mereka kembali menyiksa Abimanyu.

Melihat keadaan seperti itu, bagai terbang, meloncatlah ksatria itu dan langsung turun di tengah kerumunan.
“Hentikanlah Kakang, tak baik menyiksanya. Ingatlah akan karma……” katanya dengan tegas. Mereka kemudian surut dan menghentikan penyiksaannya. Mereka hafal sekali dengan tabiat ksatria yang menunggang gajah itu, yang terkenal dengan nama Jayadrata.

Suasana hening, matahari masih bersinar walau semakin lemah. Jayadrata berdiri tegak di depan Abimanyu, sedangkan bala kurawa telah berangsur surut ke belakang. Raut mukanya muram, nafasnya tertahan, dan tak terasa matanya telah panas menahan sebuah rasa haru menyaksikan Abimanyu, sang kemenakannya itu dengan tubuh lemah, penuh luka dan berdarah darah. Walaupun mereka berhadapan sebagai musuh, namun darah keluarga saat itu muncul tak dapat dicegah.

“Lukamu terlalu parah Nak…… ijinkan saya untuk menyudahi penderitaanmu…..” katanya dengan terbata bata sambil mengatur nafasnya.
Abimanyu diam. Keadaan tubuhnya telah tak memungkin untuk menjawab. Hanya dengan kekuatan yang tersisa, dia melemparkan kerisnya, satu satunya senjata yang masih ada ditangannya kea rah Jayadrata, pamannya, namun meleset, karena matanya telah mulai kabur dan tubuhnya telah sangat lemah.

Melihat keadaan Abimanyu yang semakin meyedihkan, tanpa menunggu lagi, kemudian Jayadrata melangkah menuju Abimanyu berdiri sambil mengeluarkan senjata Kyai Glinggang, sebuah gada yang berukuran kecil . maka dengan sekali kibasan, tubuh Abimanyu roboh bersimbah darah, dan tewas di medan pertempuran.
Jayadrata, seiring dengan robohnya tubuh Abimanyu, hatinyapun hancur berkeping keeping. Sebelum tubuh lemah itu jatuh kle tanah, ditangkapnya tubuh tak bernyawa itu, dan kemudian dibaringkannya dengan penuh kasih.

Satu persatu anak panah yang menancap ditubuh Abimnayu, dicabutinya dengan sangat hati hati. Bagai seorang tua tengah memandikan anak bayinya. Matanya semakin panas dan tak tanpa disadarinya, beberapa air mata telah jatuh menimpa tubuh kemenakannya yang penuhy dengan luka. Bala Kurawa yang menyaksikan peristiwa itu hanya tertegun, saling pandang dan kemudian satu persatu meinggalkan tempat itu.
Matahari semakin lemah, sinarnya semakin temaram, langit merah semburat. Telah bersih tubuh Abimanyu, tubuhnyapun kemudian diangkat di atas dengan kedua tangannya dan diletakkannya di depan dadanya. Dengan sekali loncatan, terbanglah Jayadrata yang tengah membawa tubuh Abimanyu itu ke atas gajah tunggangannya.

Lalu dengan secepat kilat, ditariknya tali kekang gajah dan menghelanya menuju arah utara, ke tempat para Pandawa. Apa yang Nampak memang sangat mentedihkan. Jayadrata dengan membawa tubuh Abimanyu yang tak bernyawa, dengan menunggang seekor gajah berlaria menuju kubu pasukan Pandawa.
Setelah sampai di kubu Pandawa, Jayadrata turun sambil membawa tubuh Abimanyu, dan kemudian diletakannya tubuh itu di atas tanah.  Dan untuk menghindari kejadian yang tak diinginkan, sejenak kemudian dia telah meloncat ke atas punggung gajahnya dan kemudian berbalik menuju kubu Kurawa, markas  besarnya.

Jayadrata tak memikirkan apa yang dipikirkan orang lain terhadap tindakannya. Yang dia yakini adalah dia berusaha meringakan beban  Abimanyu dalam menempuh jalan kematiannya yang telah digariskan oleh Sanghyang Wenang, dan sebagai paman, dia berusaha memberikan yang terbaik untuk kemenekannya hingga masa akhir hayatnya.