Wednesday, May 9, 2012

SEPENGGAL KASIH JAYADRATA


Matahari telah tergelincir ke arah barat, seolah telah lelah mengiringi perseteruan dua keluarfa besar yang tengah menyabung nyawa demi kuasa di Hastinapura. Satu pihak berjuang mati matian untuk mempertahankan kekuasaan, sedangkan pihak lain berjuang untuk menegakkan kebenaran dan keadilan sekaligus memperjuangkan hak haknya, sedangkan beberapa pihak lain, tak dapat mengindar dan harus memilih berpihak ke salah satu, karena alas an hutang budi, keluarga dan lain sebagainya.

Disana sini terjadi pertempuran, nyawa nyawa melayang, darah tumpah membasahi pertiwi, nafas nafas memburu, senjata beradu, ksatria melawan ksatria, panglima melawan panglima. Namun di beberapa tempat, Nampak pula pertempuran yang tak berimbang, dimana satu orang melawan beberapa, bahkan puluhan orang, sedangkan seorang ksatria hanya melawan prajurit prajurit biasa.

Perang, bagaimanapun telah di atur dalam segenap perjanjian dan peraturan, adalah tetap perang. Yang mempunyai sifat asli saling bunuh untuk memenangkan pertempuran, bagaimanapuin caranya.

Adalah Abimanyu, seorang ksatria muda yang berwajah tampan, mirip sekali dengan sang ayah, Raden Arjuna dari pihak Pandawa, yang kala itu turut serta bertempur menyabung nyawa demi keluarga besarnya, darah pandawa.

Dengan kesaktian dan kanuragan yang dimilikinya, tak sulit untuk untuk menggempur sayap selatan dari medan pertempuran yang telah dipsrahkan kepadanya sebagai Senopati perang, oleh uwaknya, Sri Kresna.
Namun tanpa sepengetahuan Abimanyu, rupanya pihak lawan, mempersiapkan siasat busuk. Semakin Abimanyu menggempur musuh musuhnya, semakin banyak pula musuhnya dating dan mengepungya, sedang bala bantuan prajurit Abimanyu, seolah tertahan oleh suatu garus batas lautanb manusia, hingga tak dapat menjangkaunya. Kini tinggallah Abimanyu bertempur, sendirian!

Matahari kian condong ke barat menuju peraduannya. Sedangkan Abimanyu, kini benar benar telah sendirian.  Betapa kuatnya seoarng Abimanyu, namun kali ini musuh musuhnya adalah puluhan, dan setiap seorang roboh, datang lagi seorang, dua orang begitu seterusnya. Begitulah siasat dari Kurawa untuk melumpuhkan Abimanyu.

Dengan pertempuran yang tak seimbang, dalam saat Abimanyu lengah, meluncurlah sebuah panah dari belakang yang menembus dadanya. Kurawa memang menyerang Abimanyu dari berbagai arah. Tak cukup hanya satu jenis senjata, namun segala senjata mereka pergunakan, dan dari manapun serangan itu berasal. Sungguh licik.

Melihat keadaan Abimanyu yang semakin melemah, beramai ramai mereka menghunjamkan senjatanya kea rah tubuh lemah itu. Tubuhnya semakin lemas, dengan segenap kekutana yang tersisa, Abimanyu berusaha melawan dan mengelak segala serangan. Pandangan matanya telah menjadi agak kabur, tubuhnya penuh dengan luka, sedangkan batang panah masih beberapa yang menancao di tubuhnya.
Matahari kian kelam, sinarnya melemah, selemah keadaan tubuh dari Abimanyu. Namun musuh musuhnya masih juga menghajarnya beramai ramai.

“Hentikaaaaaaaannnn!!!!” teriak seseorang diantara mereka.
Seranganpun berhenti dan semuanya menoleh kearah datangnya suara itu. Terlihat seseorang yang tengah membawa senjata di tangan kanannya, mengangkatnya tinggi tinggi.
“Apa yang kau lakuakn Yuyutsu?” Tanya seseorang yang bertubuh gemuk dan pendek, dengan senjata golok di tangannya.
“Dia telah tak berdaya, dia telah kalah. Bukankah dia juga saudara kita? Mengapa kalian menganiayanya sedemikian rupa?” teriak orang yang dpanggilnya dengan naman Yuyutsu.
“Apa pedulimu? Di sini, dia adalah musuh yang harus dibinasakan….” Kata kata dari orang pendek gemuk itu berhenti disertai dengan serangan beramai ramai lagi terhadap Abimanyu yang telah berdiri tegak. Abimanyu semakin parah, digempur dari sana sini, sedangkang Yuyutsu hanya bisa berteriak teriak memperingatkannya. Lelah dengan teriakannya, Yuyutsu melemparkan pedangnya ke tanah, dan kemudian pergi meninggalkan kerumunan dari saudara saudaranya yang tengah menyiksa Abimanyu.

Seiring dengan kepergian Yuyutsu, di kerumunan itu hadirlah seekor gajah besar, dengan seorang ksatria duduk di atasnya. Sejenal mereka berhenti,namun setelah tahu siapa ksatria itu, mereka kembali menyiksa Abimanyu.

Melihat keadaan seperti itu, bagai terbang, meloncatlah ksatria itu dan langsung turun di tengah kerumunan.
“Hentikanlah Kakang, tak baik menyiksanya. Ingatlah akan karma……” katanya dengan tegas. Mereka kemudian surut dan menghentikan penyiksaannya. Mereka hafal sekali dengan tabiat ksatria yang menunggang gajah itu, yang terkenal dengan nama Jayadrata.

Suasana hening, matahari masih bersinar walau semakin lemah. Jayadrata berdiri tegak di depan Abimanyu, sedangkan bala kurawa telah berangsur surut ke belakang. Raut mukanya muram, nafasnya tertahan, dan tak terasa matanya telah panas menahan sebuah rasa haru menyaksikan Abimanyu, sang kemenakannya itu dengan tubuh lemah, penuh luka dan berdarah darah. Walaupun mereka berhadapan sebagai musuh, namun darah keluarga saat itu muncul tak dapat dicegah.

“Lukamu terlalu parah Nak…… ijinkan saya untuk menyudahi penderitaanmu…..” katanya dengan terbata bata sambil mengatur nafasnya.
Abimanyu diam. Keadaan tubuhnya telah tak memungkin untuk menjawab. Hanya dengan kekuatan yang tersisa, dia melemparkan kerisnya, satu satunya senjata yang masih ada ditangannya kea rah Jayadrata, pamannya, namun meleset, karena matanya telah mulai kabur dan tubuhnya telah sangat lemah.

Melihat keadaan Abimanyu yang semakin meyedihkan, tanpa menunggu lagi, kemudian Jayadrata melangkah menuju Abimanyu berdiri sambil mengeluarkan senjata Kyai Glinggang, sebuah gada yang berukuran kecil . maka dengan sekali kibasan, tubuh Abimanyu roboh bersimbah darah, dan tewas di medan pertempuran.
Jayadrata, seiring dengan robohnya tubuh Abimanyu, hatinyapun hancur berkeping keeping. Sebelum tubuh lemah itu jatuh kle tanah, ditangkapnya tubuh tak bernyawa itu, dan kemudian dibaringkannya dengan penuh kasih.

Satu persatu anak panah yang menancap ditubuh Abimnayu, dicabutinya dengan sangat hati hati. Bagai seorang tua tengah memandikan anak bayinya. Matanya semakin panas dan tak tanpa disadarinya, beberapa air mata telah jatuh menimpa tubuh kemenakannya yang penuhy dengan luka. Bala Kurawa yang menyaksikan peristiwa itu hanya tertegun, saling pandang dan kemudian satu persatu meinggalkan tempat itu.
Matahari semakin lemah, sinarnya semakin temaram, langit merah semburat. Telah bersih tubuh Abimanyu, tubuhnyapun kemudian diangkat di atas dengan kedua tangannya dan diletakkannya di depan dadanya. Dengan sekali loncatan, terbanglah Jayadrata yang tengah membawa tubuh Abimanyu itu ke atas gajah tunggangannya.

Lalu dengan secepat kilat, ditariknya tali kekang gajah dan menghelanya menuju arah utara, ke tempat para Pandawa. Apa yang Nampak memang sangat mentedihkan. Jayadrata dengan membawa tubuh Abimanyu yang tak bernyawa, dengan menunggang seekor gajah berlaria menuju kubu pasukan Pandawa.
Setelah sampai di kubu Pandawa, Jayadrata turun sambil membawa tubuh Abimanyu, dan kemudian diletakannya tubuh itu di atas tanah.  Dan untuk menghindari kejadian yang tak diinginkan, sejenak kemudian dia telah meloncat ke atas punggung gajahnya dan kemudian berbalik menuju kubu Kurawa, markas  besarnya.

Jayadrata tak memikirkan apa yang dipikirkan orang lain terhadap tindakannya. Yang dia yakini adalah dia berusaha meringakan beban  Abimanyu dalam menempuh jalan kematiannya yang telah digariskan oleh Sanghyang Wenang, dan sebagai paman, dia berusaha memberikan yang terbaik untuk kemenekannya hingga masa akhir hayatnya. 

No comments:

Post a Comment