Matahari telah tergelincir ke arah
barat, seolah telah lelah mengiringi perseteruan dua keluarfa besar yang tengah
menyabung nyawa demi kuasa di Hastinapura. Satu pihak berjuang mati matian
untuk mempertahankan kekuasaan, sedangkan pihak lain berjuang untuk menegakkan
kebenaran dan keadilan sekaligus memperjuangkan hak haknya, sedangkan beberapa
pihak lain, tak dapat mengindar dan harus memilih berpihak ke salah satu,
karena alas an hutang budi, keluarga dan lain sebagainya.
Disana sini terjadi pertempuran,
nyawa nyawa melayang, darah tumpah membasahi pertiwi, nafas nafas memburu,
senjata beradu, ksatria melawan ksatria, panglima melawan panglima. Namun di
beberapa tempat, Nampak pula pertempuran yang tak berimbang, dimana satu orang
melawan beberapa, bahkan puluhan orang, sedangkan seorang ksatria hanya melawan
prajurit prajurit biasa.
Perang, bagaimanapun telah di
atur dalam segenap perjanjian dan peraturan, adalah tetap perang. Yang mempunyai
sifat asli saling bunuh untuk memenangkan pertempuran, bagaimanapuin caranya.
Adalah Abimanyu, seorang ksatria
muda yang berwajah tampan, mirip sekali dengan sang ayah, Raden Arjuna dari
pihak Pandawa, yang kala itu turut serta bertempur menyabung nyawa demi
keluarga besarnya, darah pandawa.
Dengan kesaktian dan kanuragan
yang dimilikinya, tak sulit untuk untuk menggempur sayap selatan dari medan
pertempuran yang telah dipsrahkan kepadanya sebagai Senopati perang, oleh
uwaknya, Sri Kresna.
Namun tanpa sepengetahuan Abimanyu,
rupanya pihak lawan, mempersiapkan siasat busuk. Semakin Abimanyu menggempur
musuh musuhnya, semakin banyak pula musuhnya dating dan mengepungya, sedang
bala bantuan prajurit Abimanyu, seolah tertahan oleh suatu garus batas lautanb
manusia, hingga tak dapat menjangkaunya. Kini tinggallah Abimanyu bertempur,
sendirian!
Matahari kian condong ke barat
menuju peraduannya. Sedangkan Abimanyu, kini benar benar telah sendirian. Betapa kuatnya seoarng Abimanyu, namun kali
ini musuh musuhnya adalah puluhan, dan setiap seorang roboh, datang lagi
seorang, dua orang begitu seterusnya. Begitulah siasat dari Kurawa untuk
melumpuhkan Abimanyu.
Dengan pertempuran yang tak
seimbang, dalam saat Abimanyu lengah, meluncurlah sebuah panah dari belakang
yang menembus dadanya. Kurawa memang menyerang Abimanyu dari berbagai arah. Tak
cukup hanya satu jenis senjata, namun segala senjata mereka pergunakan, dan
dari manapun serangan itu berasal. Sungguh licik.
Melihat keadaan Abimanyu yang
semakin melemah, beramai ramai mereka menghunjamkan senjatanya kea rah tubuh
lemah itu. Tubuhnya semakin lemas, dengan segenap kekutana yang tersisa,
Abimanyu berusaha melawan dan mengelak segala serangan. Pandangan matanya telah
menjadi agak kabur, tubuhnya penuh dengan luka, sedangkan batang panah masih
beberapa yang menancao di tubuhnya.
Matahari kian kelam, sinarnya
melemah, selemah keadaan tubuh dari Abimanyu. Namun musuh musuhnya masih juga
menghajarnya beramai ramai.
“Hentikaaaaaaaannnn!!!!” teriak
seseorang diantara mereka.
Seranganpun berhenti dan semuanya
menoleh kearah datangnya suara itu. Terlihat seseorang yang tengah membawa
senjata di tangan kanannya, mengangkatnya tinggi tinggi.
“Apa yang kau lakuakn Yuyutsu?” Tanya
seseorang yang bertubuh gemuk dan pendek, dengan senjata golok di tangannya.
“Dia telah tak berdaya, dia telah
kalah. Bukankah dia juga saudara kita? Mengapa kalian menganiayanya sedemikian
rupa?” teriak orang yang dpanggilnya dengan naman Yuyutsu.
“Apa pedulimu? Di sini, dia
adalah musuh yang harus dibinasakan….” Kata kata dari orang pendek gemuk itu
berhenti disertai dengan serangan beramai ramai lagi terhadap Abimanyu yang
telah berdiri tegak. Abimanyu semakin parah, digempur dari sana sini,
sedangkang Yuyutsu hanya bisa berteriak teriak memperingatkannya. Lelah dengan
teriakannya, Yuyutsu melemparkan pedangnya ke tanah, dan kemudian pergi
meninggalkan kerumunan dari saudara saudaranya yang tengah menyiksa Abimanyu.
Seiring dengan kepergian Yuyutsu,
di kerumunan itu hadirlah seekor gajah besar, dengan seorang ksatria duduk di
atasnya. Sejenal mereka berhenti,namun setelah tahu siapa ksatria itu, mereka
kembali menyiksa Abimanyu.
Melihat keadaan seperti itu,
bagai terbang, meloncatlah ksatria itu dan langsung turun di tengah kerumunan.
“Hentikanlah Kakang, tak baik
menyiksanya. Ingatlah akan karma……” katanya dengan tegas. Mereka kemudian surut
dan menghentikan penyiksaannya. Mereka hafal sekali dengan tabiat ksatria yang
menunggang gajah itu, yang terkenal dengan nama Jayadrata.
Suasana hening, matahari masih
bersinar walau semakin lemah. Jayadrata berdiri tegak di depan Abimanyu,
sedangkan bala kurawa telah berangsur surut ke belakang. Raut mukanya muram,
nafasnya tertahan, dan tak terasa matanya telah panas menahan sebuah rasa haru
menyaksikan Abimanyu, sang kemenakannya itu dengan tubuh lemah, penuh luka dan
berdarah darah. Walaupun mereka berhadapan sebagai musuh, namun darah keluarga
saat itu muncul tak dapat dicegah.
“Lukamu terlalu parah Nak……
ijinkan saya untuk menyudahi penderitaanmu…..” katanya dengan terbata bata
sambil mengatur nafasnya.
Abimanyu diam. Keadaan tubuhnya
telah tak memungkin untuk menjawab. Hanya dengan kekuatan yang tersisa, dia
melemparkan kerisnya, satu satunya senjata yang masih ada ditangannya kea rah Jayadrata,
pamannya, namun meleset, karena matanya telah mulai kabur dan tubuhnya telah
sangat lemah.
Melihat keadaan Abimanyu yang
semakin meyedihkan, tanpa menunggu lagi, kemudian Jayadrata melangkah menuju
Abimanyu berdiri sambil mengeluarkan senjata Kyai Glinggang, sebuah gada yang berukuran
kecil . maka dengan sekali kibasan, tubuh Abimanyu roboh bersimbah darah, dan
tewas di medan pertempuran.
Jayadrata, seiring dengan
robohnya tubuh Abimanyu, hatinyapun hancur berkeping keeping. Sebelum tubuh
lemah itu jatuh kle tanah, ditangkapnya tubuh tak bernyawa itu, dan kemudian
dibaringkannya dengan penuh kasih.
Satu persatu anak panah yang
menancap ditubuh Abimnayu, dicabutinya dengan sangat hati hati. Bagai seorang
tua tengah memandikan anak bayinya. Matanya semakin panas dan tak tanpa
disadarinya, beberapa air mata telah jatuh menimpa tubuh kemenakannya yang
penuhy dengan luka. Bala Kurawa yang menyaksikan peristiwa itu hanya tertegun,
saling pandang dan kemudian satu persatu meinggalkan tempat itu.
Matahari semakin lemah, sinarnya
semakin temaram, langit merah semburat. Telah bersih tubuh Abimanyu,
tubuhnyapun kemudian diangkat di atas dengan kedua tangannya dan diletakkannya
di depan dadanya. Dengan sekali loncatan, terbanglah Jayadrata yang tengah
membawa tubuh Abimanyu itu ke atas gajah tunggangannya.
Lalu dengan secepat kilat, ditariknya
tali kekang gajah dan menghelanya menuju arah utara, ke tempat para Pandawa. Apa
yang Nampak memang sangat mentedihkan. Jayadrata dengan membawa tubuh Abimanyu
yang tak bernyawa, dengan menunggang seekor gajah berlaria menuju kubu pasukan
Pandawa.
Setelah sampai di kubu Pandawa,
Jayadrata turun sambil membawa tubuh Abimanyu, dan kemudian diletakannya tubuh
itu di atas tanah. Dan untuk menghindari
kejadian yang tak diinginkan, sejenak kemudian dia telah meloncat ke atas
punggung gajahnya dan kemudian berbalik menuju kubu Kurawa, markas besarnya.
Jayadrata tak memikirkan apa yang
dipikirkan orang lain terhadap tindakannya. Yang dia yakini adalah dia berusaha
meringakan beban Abimanyu dalam menempuh
jalan kematiannya yang telah digariskan oleh Sanghyang Wenang, dan sebagai
paman, dia berusaha memberikan yang terbaik untuk kemenekannya hingga masa
akhir hayatnya.
No comments:
Post a Comment