Perjalanan panjang yang cukup
berbahaya, karena sebuah perjanjian apabila dalam perjalanan sekaligus sebagai
persembunyian itu dapat diketahui oleh seseorang, siapapun, maka perjalanan
persembunyian itu gugur, dan harus diulang lagi dari awal.
Tak mudah memang, tapi kata telah
terucap. Darah ksatria yang mengalir di kelima saudara ini itu menuntutnya
untuk mematuhi apa yang telah mereka ucapkan. Walaupun kejadiannya adalh
kecurangan yang terang benderang, namun kata telah terucap dan disaksikan
segenap rakyat dan kerabat yang hadir pada saat itu.
Tak mungkin bagi kelima ksatria
ini akan berperilaku seperti apa adanya, karena ciri ciri yang melekat pada
kelimannya, tentu akan sangat mudah di kenali orang.
“Kalian sebaiknya berbaur di tengah
masyarakat Adimas……” suatu senja, setelah menyantap makan malam alakadarnya,
hasil masakan dari ibunda tercinta yang turut serta dalam pembuangan ini.
“Apa maksudmu Kakang……” jawab
laki laki yang tadi dipanggilnya dengan kata “Adimas”.
“Bagaimanapun, perjalanan kita
cukup panjang, dan persyaratannya adalah perjalanan itu tak boleh diketahui
oleh seorangpun. Maka lebih baik kita berbaur dengan masyarakat, menyamar
seperti mereka dan menanggalkan semua tanda tanda yang ada pada kita. Itu akan
lebih mempermudah perjalanan kita.” kata laki laki yang dipanggilnya dengan “Kakang”
tersebut.
“Maksud Kakang Samiaji?” laki
laki berempat yang ada di depannya itu bertanya hampir bersamaan.
“Begitulah. Masing masing dari
kalian pergilah ke masyarakat dan berbaur dengan mereka, menjalani hidup
seperti mereka pula, dengan pekerjaan sesuai yang kalian bisa. Pikirkanlah mala
mini baik baik, dan besok pagi segera
kalian turun berbaur dengan mereka.” Pintanya dengan nada asih terhadap keempat
ksatria di depannya yang tak lain adalah adik adiknya. Sang ibu yang
menyaksikan peristiwa itu, tak mampu mennyembunyikan rasa haru, dan tak terasa
matanya telah basah oleh air mata, yang telah menetes membasahi kedua pipinya.
Fajar menyingsing, matahari masih
merah di ujung timur, seorang bertubuh tinggi besar dan gagah, dengan kumis
tebal melintang, telah datang menghampiri dua orang laki laki dan perempuan
yang tengah berada di depan perapian. Nampak sebuah belanga tergantung di atas
perapian itu. Yah, laki laki di depan perapian itu adalah Samiaji, sedangkan
perempuan itu adalah ibunya, Dewi Kunti.
“Aku pamit Kakang, Ibunda…..”
katanya dengan suara berat, berdiri di depan kedua orang itu.
“Akan kemana kamu Nak?” Tanya ibunya
sambil bangkit dari duduknya, dengan penuh keheranan. Demikian juga dengan
Samiaji.
“Aku akan turun ke dusun yang
paling dekat dengan hutan ini. Disana nanti pasti akan kutemui pekerjaan yang
sesuai dengan kemampuanku…..” jawabnya tegas.
“Berhati-hatilah Nak…… “ jawab
ibunya sambil memegang tangan laki laki itu.
“Hati hati Dhimas, jangan sampai
siapapun mengetahui siapa dirimu…” kata Samiaji sambil menepuk punggungnya.
Pagi itu pula, laki laki tinggi
besar itu berangkat meninggalkan pondok di hutan tengah hutan, tempat mereka
tinggal. Matahari telah mulai menampakkan sinarnya, telah mulai hangat hari
itu, saat laki laki itu memasuki sebuah dusun, dimana rupanya penduduk dusun
itu juga berjalan menuju sebuah tempat kerumunan.
Laki laki itu mengikuti para
penduduk itu, ingin tahu apa yang terjadi di tempat kerumunan itu. Rupanya,
kerumunan itu terletak di tengah sebuah tanah lapang, dengan berbagai macam
orang berkumpul disitu dan berkativitas jual beli, berdagang segala macam
barang.
Laki laki itu kemudian berjalan
mengitari kerumunan yang di tanah lapang tersebut, yang disebut dengan pasar. Beberapa
kali matanya melihat aktivitas orang orang yang ada di situ, namun dari sekian
banyak, sama sekali tak menarik perhatiannya. Beberapa lama dia berputar putar
ditempat itu.
Mendadak, di ujung sebelah
selatan, dari jalan tempat masuk pasar itu, orang orang berlarian sambil
berteriak teriak, membuat suasana pasar semakin rebut. Muka muka pucat dan
nafas terngah engah Nampak dari beberapa orang yang berlarian itu. Demikina juga
dengan penghuni pasar. Mereka ada juga yang ikut lari menyelamatkan diri.
Seorang laki laki yang lari
terbirit birit ketakutan, semakin takut lagi saat tangannya digapit oleh
seseorang yang tak dia kenal, bertubuh tinggi besar pula.
“Apa yang terjadi?” Tanya laki
laki tinggi besar yang menggapit tangannya.
“Hewan Ki Jagal, lepas, menghancur
apa saja yang ada di dekatnya. Bahkan rumah Ki Jagal hampir roboh dibuatnya. Hewan
itu berlarian tak tentu arah, tadi hewwan itu berlari menuju kesini….” Jawabnya
dengan gemetar dan wajahnya pucat pasi.
Dan benar, sebuah hewan yang
berukuran sangat besar, lebih besar dari hewan biasanya, tengah berlari dan
menghancur apa saja yang dilewatinya. Orang orang berhamburan menyelamatkan
diri. Beberapa orang yang berusaha menghenrtikannya, justru terpental jauh dan
menjadi korban.
Hewan itu semakin beringas, dan
berlari hingga memasuki pasar. Maka dalam sekejap, pasar itu telah luluh lantak
di terjang kemarahan hewan itu. Melihat telah tak ada seorangpun yang mampu
menghentikannya, laki laki tinggi besar itu menghampiri hewan yang tengah
mengamuk di tengah pasar itu.
Yang terjadipun kemudian dapat ditebak. Terjadi perkelahian
dahsyat antara hewan berukuran raksasa itu dengan laki laki tinggi besar. Debu bergulung
gulung di tanah lapang itu, bekas dari pijakan pertempuran. Keadaan pasar menjadi semakin luluh lantak. Orang
orang justru seperti mendapat pertunjukan. Semakin lama semakin sengit, karena melihat
keadaan yang semakin hancur disana-sini, laki laki itu ingin segera menyudahi
perlawanan hewan itu.
Maka dengan
kemampuan kanuragan yang dimilikinya saat hewan itu semakin membabi buta
menyerangnya, laki laki itu berhasil meloncat dan duduk di punggung hewan itu. Maka
dengan segenap kemampuannya, di pukullah punggung hewan itu dengan tangan
kanannya, dengan sekuat tenaga. Dan yang terjadi adalah diluar dugaan semua
orang yang menyaksikannya. Hewan itu menjerit keras dan sejenak kemudian, hewan
itu jatuh tersungkur, diam dan mati.
Sedangkan laki laki itu berhasil
meloncat sebelum hewan itu jatuh berguling guling di tanah. Melihat kejadian
itu legalah orang orang yang menyaksikan. Belum juga reda lelahnya, belum
kering keringatnya, dari ujung jalan, Nampak seorang setengah tua berlari larian
mendatanagi laki laki yang berhasil membunuh hewannya. Dengan tergopoh gopoh,
laki laki setengah tua itu memegang tangan laki laki tinggi besar yang masih
penuh dengan peluh, dan mengucapkan terimakasih yang tak terhingga.
“Terimakasih Nakmas…..terimakasih.
Nakmas telah berhasil mengentikan polah tingkah hewan in. namaku Ki Jagal
Welakas. Pekerjaanku adalh tukang jagal, menyembelih hewan hewan seperti yang
Nakmas bunuh ini. Entah mengapa hewan ini begitu sulit diatur, bahkan untuk
menyembelihnyapun, aku tak mampu…..” katanya sambil dengan masih memegang erat
tangan laki laki tingi besar itu.
“Hmmmmm…….” Laki laki tinggi
besar itu hanya menarik nafas panjang
seraya membasuh peluhnya dengan tangannya.
“Apa yang kamu lakukan disini
Nakmas…..?” bertanya kemudian Ki Jagal.
“Aku mencari pekerjaan Ki…. “
jawabnya pendek.
Bagai melihat terangnya sinar
matahari, Ki Jagal tersenyum gembira. Pucuk dicinta, ulam tiba. Katanya dalam
hati.
“Ikutlah aku Nakmas……. Aku membutuhkan
orang semacam Nakmas……” pintanya.
“Hmmmmm……” laki laki tinggi besar
itu mengangguk pelan.
“Siapakah namamu dan dari mana
Nakmas berasal?” bertanya kemudian Ki Jagal.
Laki laki itu diam sejenak. Tak mungkin
baginya untuk mengatakan yang sebenarnya. Dia teringat benar akan pesan ibu dan
kakak sulungnya. Sementara ki Jagal masih menunggu jawaban darinya.
“Abilawa…….” Jawabnya pelan.
Dan sejak hari itu, Abilawa
bekerja padanya, sebagai seorang jagal, tukang menyembelih hewan. Dan tentang
siapakah Abilawa, hingga kembalinya laki laki tinggi besar itu ke pondokan dan
melanjutkan kehidupan ksatrianya, tak seorangpun di lingkungan dan pasar itu mengetahuinya.
No comments:
Post a Comment