Tak banyak orang yang tahu
tentang asal usul laki laki berperawakan sedang ini. Dengan pakaian yang
sederhana, terkesan apa adanya, dengan cara bicara, tingkah laku yang tanpa
dibuat buat, benar benar asli khas orang dari desa.
Tanpa banyak suara dan kata kata,
yang ada hanya mengabdi, teguh pada janji, seperti yang dia ucapkan dulu waktu
pertama kali datang untuk mengabdi dan sekaligus mempelajari ilmu kehidupan kepada seorang yang bijaksana.
Adalah Begawan Sidiqwacana, yang
bermukim di pertapaan Andhongsekar, tempat laki laki sederhana dari dusun ini
mengabdi. Sebagai seorang yang mengabdi di sebuah pertapaan, laki laki itu
dipanggilnya dengan nama Cantrik, yaitu seseorang yang mengabdikan hidupnya
untuk melayani sekaligus belajar dan menitipkan seluruh jiwa raganya kepada
gurunya, si empunya pertapaan.
Suatu pagi, Sang Begawan
memanggilnya.
“Janaloka…….” Panggil Sang
Begawan.
“Hamba Kanjeng Begawan….” Laki
laki yang dipanggilnya Janaloka itu datang menghadap dengan tergopoh
gopoh. Janaloka, itulah nama aslinya,
sedangakan sesuai dengan pekerjaannya, maka banyak yang menyebutnya
Cantrik Janaloka. Pengabdiannya begitu
besarm hingga dia sangat menjaga segala perintah dari Sang Begawan dengan
sebaik baiknya, termasuk dalam hal menghadap, dia tak mau berlama lama ataupun
menunda.
“Hari ini, anak asuhmu berdua,
akan menyusul ayahnya ke Amarta. Tolong kamu ikuti mereka berdua, dan jagalah
mereka dengan baik, seperti yang selama ini telah kamu lakukan di pertapaan
ini…..” kata Sang Begawan dengan nada tegas.
“Jangan sampai terjadi hal hal
yang tidak kita inginkan bersama, apalagi hingga nyawa.” Pesannya lagi
“Baik Kanjeng Begawan, akan hamba
laksanakan perintah dan pesan Kanjeng Begawan. Hamba bersumpah untuk menjaga
putri berdua dengan sebaik baiknya. Bila
hamba berani kurang ajar terhadap mereka, biarlah hamba menemui celaka,
kehilangan tempat tinggal, lapar dan dahaga, dan mati dalam keadaan mengenaskan
karena dikeroyok oleh orang banyak.” Kata Cantrik Janaloka mantap.
Dan ketika matahari terbit esok
pagi, berangkatlah mereka bertiga, Cantrik Janaloka, dan kedua putri anak dari
Arjuna, dan Endang Manuhara, anak cari Sang Begawan, yang bernama Pergiwa dan
Pergiwati. Pagi hari itu,dimana matahari telah menghamparkan sinarnya yang
hangat di pelataran Pertapaan Andhongsekar, hangatnya tak sempat dinikmati oelh
Cantrik Janaloka. Hal ini karena perhatiannya begitu tertancap dan tersita oleh
kedua putrid, yang pada pagi hari itu terlihat begitu segar dan cantik jelita. Tak
seperti hari hari biasanya.
Dengan disaksikan Sang Begawan
serta beberapa orang yemng menguni pertapaan itu,mereka bertiga berangkat,
berjalan melewati jalan setapak yang ada di tengah hutan. Mengingat itulah satu
satunya jalan menuju Amarta, istana dari Arjuna, ayah dari kedua putri itu.
Saat mereka telah memasuki hutan
yang lebat, hari tengah beranjak siang. Janaloka yang berjalan kadang di depan
dan di belakang putrid putrid itu, hingga dapat leluasa memperhatikan dan
menikmati keindahan yang dimiliki kedua putri itu.
Janaloka, betapapun dia hanya
seorang cantrik, dari dusun pula, namun dia juga adalah laki laki dewasa yang
normal. Beberapa kali dihempaskannya hasrat ke laki-lakiannya, memandang bahwa
kedua putrid itu adalah tuannya.
Namun keadaan ditengah hutan,
dimana tak ada seorangpun kecuali mereka bertiga, seorang laki laki dewasa, dan
dua orang putrid nan cantik jelita, syetan sangat meraja. Saat mereka tiba di
sebuah jalanan yang agak lebar, dengan sebuah “amben” yang terbuat dari papan
kayu di pinggir jalan, tempat para pejalan kaki beristirahat, mereka pun juga
beristirahat untuk melepas lelah dan mengambil bekal yang dibawa dari
pertapaan.
Janaloka sebagai abdi yang menyiapkan
jamuan untuk kedua putrid, menjadi semakin tak ada jarak diantara mereka. Semakin
meluaplah ke”laki-laki”an Janaloka. Semakin
dekat semakin meluap dan tak terbendung. Maka bagai seekor macan yang menemukan
seekor kelinci, dengan beringas Janaloka berusaha untuk bertindak kurang ajar
terhadapa kedua putrid itu, dengan melanggar sumpahnya sendiri.
Dengan segala daya upaya, Pergiwa
dan Pergiwati berusaha menyadarkan Janaloka dari nafsu syetannya. Diingatkan pula padanya akan sumpah dan janji
setianya kepada ayahanda mereka, Sang Begawan Sidiqwacana. Dan entah ada angina
apa yang meniup hutan itu, Janaloka bisa menyadari kesalhannya, dan seketika
pula duduk bersimpuh dan memohon ampun pada tuan putrid. Namun bagaimanapun, sumpah
telah dilanggar.
Dan benar, sejak peristiwa itu,
selama dalam perjalanan, Janaloka merasakan lapar dan dahaga yang luar biasa,
semua tempat yang dilaluinya menjadi kering, tak dapat dimakan olehnya. Selama itu pula penderitaanya harus dia
rasakan, sebagai buah dari sumpahnya sendiri yang telah dia langgar.
Sementara itu, di negeri Astina dan Amarta, sedang terjadi sebuah
perlombaan, dimana masing masing pihak berusah untuk mendapatkan Dewi Siti
Sendari, putrid dari Sri kresna, yang
akan dijodohkan dengan Leksamanamandrakumara dari Astina, dan Abimanyu dari
Amarta, anak Arjuna.
Kedua pihak saling berebut
terlebih dahulu memenuhi persyaratan yang di minta oleh Siti Sendari, yaitu
dengan menghadirkan sepasang “patah kembar” sebagai abdi untuk acara pernikahannya. Bala Kurawa,
saudara saudara dari Leksamana dari Astinapura, dengan bala tentara lengkap,
berusaha mendapatkan “patah kembar” tersebut, dengan mencarinya ke hamper seluruh
pelosok desa. Sedangkan dari Amarta, Abimanyu sendirilah yang berusaha
mendapatkannya.
Alam perjalanan pencariannya itu,
Bala Kurawa bertemu dengan mereka bertiga, Janaloka, Pergiwa dan Pergiwati. Melihat
dua orang putrid cantik kembar jelita, yakinlah mereka bahwa inilah syarat yang
diminta oleh Siti Sendari. Maka dengan serta merta, mereka ingin membawa kedua putrid
tersebut ke Astinapura, untuk kemudian diserahkan pada Leksaman, sebagai syarat
untuk meminang Siti Sendari.
Pergiwa dan pergiwati, yang
melihat Bala Kurawa dengan polah tingkahnya, takut tak karuan, dan melarikan
diri sekuat tenaga. Janaloka, sebagai seorang laki laki, yang merasa
bertanggung jawab atas keselamtan kedua putri itu, dengan gagah perkasa mengahadapi puluhan
Bala Kurawa tersebut.
Sedangakan kedua putri itu, dalam
pelariannya sekuat tenaga, dengan tanpa mengenal wilayah hutan tersebut,
akhirnya jatuh terperosok ke dalam jurang. Abimanyu yang kebetulan sedang
berjalan di sekitar jurang tersebut, mendengar jerit dua orang wanita yang
mengaduh kesakitan, sontak bagai terbang, berlari menuruni jurang tersebut, dan
menemukan kedua putri itu sedang terduduk dengan mengaduh menahan sakit di
sekujur tubuh. Maka kemudian ditolongnya kedua putrid tersebut dan dibawanya ke
Amarta.
Janaloka, yang tinggal sendirian
di tengah hutan, dengan dikepung oleh puluhan Bala Kurawa, tak mengetahui
peristiwa itu. Yang di tahu adalah dia harus melindungi kedua putir tuannya
itu. Maka, tak ada jalan lain, kecuali menyabung nyawa, demi kehormatan putri, sang Begawan dan dia
sendiri.
Terjadilah pertempuran yang tak
seimbang. Janaloka berdiri sendirian dengan senjata yang sangat sederhana,
sedangkan musuhnya adalah Bala Kurawa yang bersenjata lengkap. Dan yang lebih
mengerikan adalah, Bala Kurawa terkenal dengan perang yang tak mengenal aturan.
Bahkan perlakuan terhadap musuh yang tak berdayapun, sangat menyedihkan.
Maka, betapapun kuat tenaga
Janaloka, menghadapi puluhan Bala Kurawa bersenjata lengkap yang menyerang tak
beraturan, lambat laun habislah tenaganya. Kejadiannya dapat diduga, Janaloka
tewas dengan mengenaskan, tubuhnya hancur tercerai berai.
Cantrik Janaloka, bagamainapun
telah berlaku sebagai seorang ksatria,
yang rela menyabung nyawa demi kehormatan kedua putrid yang dititipkannya, sang
Begawan yang menjadi gurunya, yang dia sendir sebagai seorang laki laki
sederhana.
Ada 3 illustrasi karya saya
ReplyDelete