Dilahirkan dari darah raja, dalam
kerajaan besar, dimana sejak lahir telah terbiasa dengan segala keinginan yang telah
siap sedia, menjadikan laki laki ini cenderung
tak mempunyai keahlian dan kemampuan apa apa.
Ayahnya adalah seorang raja, yang
bergelar Arya Duryudana, orang nomer satu di kerajaan besar pula, Astinapura. Setiap
Negara kecil, bergidik bila mendengar nama negara itu disebut. Sebuah Negara penakluk,
dengan keluarga yang berjumlah seratus, walau mereka tak dapat berbuat apa apa,
namun beberapa orang dibelakangnya, adalah orang orang yang mempunyai kemampuan
luar biasa, yang hanya mampu ditandingi oleh Negara Amarta, dengan rajanya
Prabu Yudisttira, induk dari negara negara kecil lainnya yang dipimpin oleh empat
orang saudara lainnya.
Lingkungan kerajaan yang serba
ada, membuat laki laki itu tumbuh menjadi seorang yang manja, malas, dan gemar
berfoya foya, serta membuaskan nafsu badaniah lainnya. Tubuhnya yang tidak
begitu besar, dengan raut muka putih pucat, demikian pula dengan kulitnya,
perut sedikit buncit, tatapan mata sayu, semakin menunjukkan kebiasaannya yang
tak mau bekerja keras seprti halnya saudara saudaranya dari Amarta, putra dari
keturunan Pandu yang masih bertalian darah dengannya.
“Surjakusuma……..” seorang kakek
kakek memanggil namanya saat laki laki itu sedang duduk berpangku tangan di
taman istana.
“Iya Paman……” jawabnya malas,
karena dia tahu siapa paman yang memanggilnya itu juga pemalas.
“Kamu dari tadi duduk dibangku
itu, memandang langi, sesekali menarik nafas panjang, dan tak kau sentuh
makanan di sebelahmua. Apa yang kamu pikirkan?” Tanya kakek kakek itu sambil
berjalan menghampirinya duduk.
“Paman Sengkuni, nasibku kok
selalu sial……” katanya pendek tanpa melihat ke arah kakek kakek yang
dipanggilnya Sengkuni itu.
“Apakah aku kurang tampan? Kurang
kaya? Kurang sakti? Aku kan anak raja Astinapura, tentunya aku kaya. Aku kan
juga murid Paman Durna, tentunya aku juga sakti. Wajahku kan juga tampan Paman….”
Katanya kali ini sambil berdiri dan beretriak teriak.
Sengkuni hanya berdiri sambil
menahan tawa. Dan celakanya, Surjakususma mengetahuinya.
“Mengapa Paman malah menterawakan
aku? Paman mengejek ya? Tidak percaya kalau aku tampan, kaya dan sakti?” Surjakusuma semakin keras.
“Percaya Ngger, percaya. Siapa to
yang bisa mengalahkan cucuku yang paling tampan dan sakti ini?” kata Sengkuni
meyakinkan.
“Lalu mengapa Paman? Mengapa tak
seorang wanita pun mau menjadi istriku?” Surjakusuma berteriak sambil
menengadah, seolah mengharap jawabn tidak hanya dari pamannya, namun juga dari
langit.
Belum lagi Sengkuni menjawab,
bagai banjir, Surjakusuma telah mulai berkata kata lagi.
“Bukankah Paman ingat, Wahyu
Cakrangingrat? Wahyu itu telah masuk ke tubuhku Paman. Wahyu itu telah
memilihku sebagai seorang yang pinunjul, sakti, yang kuat menerima anugerah
dari dewata itu. Namun apa yang terjadi? Tiba tiba wahyu itu cabut, keluar dan
meninggalkan tubuhku. Apakah ini bukan sial namanya?” katanya sambil bertanya
tanpa mebutuhkan jawaban.
“Ngger, siapapun yang menerima
wahyu, dia harus bersyukur, dan kemudian melaksanakan kewajibannya sebagai
sesorang yang telah mendapatkan kehormatan, dengan laku prihatin, arif dan
bijak. Tapi apa yang Angger lakukan kemudian? Angger malah berfoya foya, mabuk
mabukan dengan gadis gadis, berlaku maksiat, panataslah kiranya wahyu itu pergi
meninggalkan Angger, yang masih berkubang dengan nafsu badaniah keduniawian….” Kata
Sengkuni menjelaskan.
“Aaaahhh…Paman bohong! Paman ingat
juga Diajeng Siti Sendari? Pergiwa? Diajeng Titisari? Mengapa mereka lebih
memilih Abimanyu, Gatotkaca, dan Bambang Irawan?” katanya sambil membusungkan
dadanya dan mengepalkan tangannya.
Sengkuni semakin sakit perutnya
menahan tawa. Dada yang dibusungkannya, malah semakin memperlihatkan tulang
tulang iganya, sedangkan kepalan tangannya, bagai sekepal tangan anak anak yang
lemah dan tanpa kekuatan sama sekali. Namun bagaimanapun, Sengkuni tak mungkin
menyakiti hatinya, maka dengan segala pujian dia lontarkan untuk membesarkan
hati keponakannya yang dia kasihi.
“Bambang Surjakusuma, Lesmana Mandrakumara
anakku……..” kata Sengkuni dengan nada asih.Yang dipanggil dengan nama lengkap
itupun tersenyum senyum bangga.
“Mereka adalah puteri puteri
bodoh yang tak dapat melihat kemewahan dunia, baju bagus, muka tampan dan tubuh
gagah. Tak mengapa anakku, suatu saat kamu harus buktikan bahwa kamu adalah
yang paling hebat di antara mereka…” kata Sengkuni membesarkan hati.
“Kapan “saat” itu Paman?” katanya
dengan tergesa gesa seolah ingin cepat tiba waktunya.
“Pada saat Perang Baratayuda,
Abimanyu akan menjadi senopati perang. Buktikan jika kamu bisa mengalahkannya…..”
kata Sengkuni lagi. Bagai matahari tengah hari, Surjakusuma seperti mendapatkan
gambaran yang jelas tentang apa yang akan dia lakukan.
Dan benar, saat perang Baratayuda
berkecamuk, dilihatnya Abimanyu menjadi senopati perang di sayap selatan dari
medan pertempuran. Bagaimanapun, dia tetap bisa mengukur bahwa kemampuannya
masih jauh di bawah Abimanyu, Putra Arjuna, yang telah memenangkan Siti Sendari
darinya, yang gemar melakukan tapa prihatin dan memperdalam ilmunya, sedangkan
dia masih tetap dalam dunia foya foya dan berpersta dengan gadis gadis.
Maka, saat Abimanyu telah
terkepung oleh saudara saudaranya, Bala Kurawa, berjalanlah dia dengan penuh
percaya diri. Tubuh Abimanyu yang telah penuh luka, dengan sribu panah menancap
di tubunya, pasti akan mudah baginya untuk mengalahkannya.
Disibakkanya kerumunan Bala
Kurawa yang mengepung Abimanyu, dan dengan sombongnya, dia menyerang Abimanyu
sejadi jadinya, dengan kemapuan yang dimilikinya. Namun lawannya adalah
Abimanyu, seorang ksatria yang pantang menyerah, dengan kemampuan diatas
manusia biasa, sekaligus merupakan titisan Dewa Bulan, maka walau dengan
keadaan yang menyedihkan, masih pula mampu meladeni serangan Surjakusuma yang
semakin membabi buta.
Terjadilah perang tanding di
dalam lingkaran itu. Surjakusuma dengan congkak dan percaya diri, menyerang
dengan penuh kebengisa, karena dendam yang luar biasa. Sedangkan Abimanyu,
lebih memilih bertahan dan sesekali menyerang balik saat Surjakusuma lengah. Dan
benar, saat merasa Surjakusuma berada di atas angin, lengahlah seluruh
perhatiannya. Maka dengan serangan yang menentukan, dikerahkannya segenap
tenaga Abimanyu mengunjamnkan kerisnya ke dada Surjakusuma.
Semua mata terbelalak, seolah tak
percaya apa yag dilihatnya. Putra Mahkota Astinapura, jatuh roboh di tanah, dan
mati terbunuh oleh Abimanyu yang telah sekarat menahan sakit sekujur tubuhnya. Sedangakn
Surjakusuma pun jatuh di tanah, dengan darah mengalir didadanya. Suasan heing,
dan sejenak kemudian mereka tersadar apa yang terjadi.
Tubuh Surjakusuma kemudian di
angkat, di panggul dan kemudian dibawa meninggalkan medan tempur untuk
dihaturkan kepada ayahnya, Arya Duryudana.
Surjakusuma, betapa sial dan malangnya, namun diakhir hidupnya, dia
berusaha untuk menjadi ksatria, walau hanya sekedar “ksatria”.
No comments:
Post a Comment