Friday, September 7, 2012

Dari Merapi ke Biafra


Lepas isyak kami berangkat untuk menengok teman yang sakit.  Rumahnya nun jauh disana, di bawah gunung merapi bagian barat daya. Telah terbayangkan betapa dinginnya daerah itu. Semakin lama kami naik menuju rumahnya, semakin dingin udara disana. Bahkan jaket yang kami kenakanpun tembus oleh hawa dingin gunung merapi.

Setelah jalan kecil berdebu dan berkelok kelok di tengah kebun salak pondoh sampailah kami dirumah teman yang letaknya tepat di tengah kebun salak pondoh miliknya. Hmmmm, betapa enaknya tinggal di rumah itu. Kami ketuk pintunya beberapa kali, namun belum juga ada jawaban. Namun mendadak pintu terbuka pelan, dan terlihat seorang wanita muda dengan menggendong anak kecil berusia 2 tahun membukakan pintu dan mempersilakan kami masuk.

Setelah kami masuk, rupanya teman kami sedang tiduran berselimutkan sarung, di depan televisi. Kami bersalaman dan duduk di ruang tamu dan kemudian ngobrol kesana kemari. Televise yang masih menyala, waktu itu tengah menayangkan sebuah acara “foto foto yang merubah dunia”. Aku pun tertarik acara itu dan kutinggalkan mereka, dank u maju ke depan, duduk di lantai tepat di depan televise. Ada beberapa foto yang ditayangkan antara lain pembunuhan gerilyawan vietkong, ada juga sebuah panser di cina yang harus berhenti karena dihadang oleh mahasiswa berani mati, sendirian.  Hebat.

Namun perhatianku tersita oleh tayangan berikutnya, yaitu beberapa bocah kecil, berkulit hitam, dengan tubuh yang amat sangat kurus. Demikian juga dengan orang orang dewasa. Narasi foto foto itu mengatakan bahwa mereka adalah warga negeri Biafra, sebuah Negara kecil di benua Afrika yang di embargo dan dikucilkan oleh Negara yang lebih besar, yaitu Nigeria. Terbayang betapa tersiksanya mereka, dimana mereka tak mendapatkan pasokan makanan dari luar, sedangkan dari negeri mereka sendiri, tak mampu mencukupi kebutuhan pangan untuk rakyatnya, melihat kondisi geografis yang memang tak memedai bagi pemerintah untuk memberi cukup pangan bagi rakyatnya.

Sejenak ku tercenung. Teringat beberapa peristiwa di negeri ini, yang menurutku, tidak menutup kemungkinan negeri kita yang kaya raya ini (katanya) akan dapat menjadi seperti negeri Biafra (mudah-mudahan tidak.)

Kita lihat beberapa fakta, bahwa negeri kita yang kaya ini telah mulai habis dihisap Negara lain, seperti freepot, dan tambang tambang lain yang tersebar di hampir seluruh Kalimantan, dan Indonesia Bagian Timur. Siapakah yang sengsara? Jelas rakyat jelata. Lalu siapakah yang kaya raya? Jelas pejabat di atas sana. Betul?
Dari sisi potensi wilayah, Indonesia adalah Negara agraris. Namun oleh para petinggi, rupanya pembangunan mengarah pada industry, dan mengesampingkan agraris. Dalam sejarah, kata seorang pakar, Negara agraris yang berkembang menuju Negara industry, maka Negara tersebut akan gagal. Menurutku, kata pakar tersebut, tidak salah untuk negeri ini.
Lihatlah berapa alokasi dana apbn ataupun apbd untuk pembangunan fisik dan  sejenisnya, dan berapa alokasi dana untuk pertanian ataupaun memperkuat ketahanan pangan kita? Jomplang Rek!!!! Terlihat jelas keberpihakan pemerintah lebih ke arah mana.

Teringat suatu saat seorang calon anggota dewan berkunjung ke sebuah wilayah, dan memberikan berbagai macam bantuan alat pertanian dan peternakan. Sungguh luar biasa mulia saat itu. Namun tahukah kalian bahwa anggota dewan pula yang menyetujui areal persawahan subur di daerah itu digulung traktor, dikeringkan dan akan dibangun perumahan. So, buat apa kasih bantuan alat pertanian bila sawah mereka di tanami beton beton semen??? Naïf!!! Bukankah rakyat jelata sengsara, dan mereka tetap kaya?

Berapa banyak kawasan hijau yang menurut “blue print” adalah lumbung pangan bagi wilayah, namun dengan menjentikkan jari, bisa juga tuh lumbung pangan tersebut tahu tahu telah berdiri gedung gedung atau telah berwujud pondasi pondasi berkapiling-kapling????

Pasar tradisional, yang merupakan muara pertemuan antara petani yang menjual hasil panen pada masyarkat, kini telah berdiri supermarket/minimarket di sekitar pasar tradisional itu, dimana mereka itu adalah retail retail modern yang dikelola oleh orang yang entah kita sendiri tak tahu seperti apa sepak terjang mereka di ranah perdagangan negeri ini, sehingga bisa mendapatkan ijin serta kemudahan kemudahan lainnya . Pikirkanlah, kemana mereka akan menjual hasil panen mereka? Bukankah rakyat jelata yang sengsara, dan mereka mereka tetap menjadi kaya?

Teringat jelas di benakku, saat krisis moneter 2007 lalu, retail modern runtuh, pengusaha pengusaha guliung tikar. Dan tahukah kalian siapa yang tetap survive????? Merekalah para petani tradisonal, pedagang pedagang pasar tradisional yang tetap dapat berdagang dan menggerakkan roda perekonomian pedesaan. Disitulah kekuatan mendasar kita, bila kalian tahu. Tidakkah kalian bercermin dari itu?
Dalam sekala yang lebih besar, apabila hal tersebut tetap dibiarkan, dengan semakin terpinggirkannya pelaku tradisional, semakin sempitnya lahan persawahan, dengan tanpa ditunjang ketahanan paangan yang dibangun oleh negeri kita sendiri, apabila terjadi seperti Nigeria meng-embargo Biafra, dan kali ini Indonesia di embargo oleh Negara Negara ASEAN misalnya, percayalah, nasib kita akan seperti warga Biafra.

So, belum begitu terlambat bagi kita semua untuk bergerak saat ini. Untuk Indonesia yang merdeka, merdeka dari apa saja, terutama ketahan pangan dan ekonomi.

No comments:

Post a Comment