Candi Gedong. Demikian warga sekitar menamainya. Candi
Gedong ini terletak di Pedukuhan Butuh, Desa Pulutan, Wonosari, Gunungkidul,
tepatnya di utara pedukuhan, bersebelahan dengan TPU warga, yang mereka sebut
Makam Gedong. Mungkin karena letanya berdekatan dengan makam tersbut, maka
warga juga menyebut candi ini sebagai Candi Gedong.
Yang namanya candi, dalam bayanganku adalah sebuah bangunan
dari balok balok batu yang ditata sedemikian rupa sehingga membentuk sebuah
bangunan berbentuk kerucut dengan satu puncak teringgi di tengah tengahnya. Dengan
guratan guratan yang membentuk sebuah gambar dalam tiap batu batu yang tersusun
dan saling mengait itu. Namun rupanya bayangaku itu hanyalah bayangan kosong
melompong. Semelompong mulutku waktu ku temukan candi itu, yang dengan susah
payah bertanya kesana kemari untuk
menemukan sebuah candi yang bahkan sudah ditempatkan dalam sebuah area yang
cukup luas.
Memang.... dari sekian banyak “ngalayap-nglayapku”, daerah
yang relatif lebih susah dalam mencari situs semacam itu adalah di wilayah
Gunung Kidul dan Kulon Progo. Mungkin gak populer kali ya, barang barang semacam
itu di wilayah wilayah itu. Hehehe.... ngapunten.
Kembali ke melompong.
Yah. Mulutku melompong. Kutemukan sebidang tanah dengan pagar kawat
berduri di setiap sisinya, dan di sebelah pintu masuk terdapat sebuah papan
keterangan yang bertuliskan kata kata yang banyak, dan tak satupun menyebut
bahwa lokasi itu adalah Candi Gedong, yang oleh pemerintah dinamai dengan Candi
Pulutan.
“Pantes uangele pol golekane. Boro boro papan penunjuk arah.
Lha neng lokasine wae lho, gak ono papan tulisan “Candi Gedong” utawa “Candi
Pulutan”. Jiaannnnn....marai boros takon!”
Thingak-thinguk, di dalam sana terdapat sebuah rumah kecil,
dengan pintu yang terbuka, dan ada seseorang disana. “Pasti petugasnya”
batinku. Masuk lokasi dengan penuh percaya diri. Karena banyak orang yang
tertipu karena penampilanku, kadang kadang ku manfaatkan. Hehehe.......
Pertama, aku lihat sekelilingku. Ada sebuah gundukan tanah
dengan beberapa batu nampak menonjol dari dalam tanah, dengan 2 pohon yang
tunbuh tepat ditengah tengahnya.
bebatuan candi di dalam lokasi candi |
Di sebelah gundukan itu, terdapat dua bidang tanah yang
dipagari oleh tanaman tanaman kecil, dan terdapat batu batu dalam berbagai
ukuran tergeletak di dalamnya. Demikian juga dengan tanah yang berada di depan
gundukan itu. Tempatku berdiri dengan petugas yang dengan tergopoh menemaniku
(padune aku wedi asline....)
“Nah......sini Mas..... Critakno. Aku ra mudeng! Ini tenane
tempat opo????” tanyaku agak tegas.
Dia mulai menerangkan dari tempat aku dan dia berdiri. Tepat
di depan kantornya.
“Ini Mas.....lokasi pertama ini, semua batu adalah kumpulan
dari batu batu megalitikum dari daerah Wareng. Makanya tadi Panjenengan ke
Wareng gak ketemu apa apa to?” Mas Petugas mulai menerangkan. Aku cuma manggut
manggut.
“Oya..maaf, nama Panjenengan sinten?” dia bertanya.
“Raden Mas Haryo Pawiro Rejo Ingkang Kaping Sepisan!”
jawabku mantap. Kini dia yang manggut manggut.
“Kembali lagi Mas. Yang ini tadi dari Situs Wareng. Tempatnya
juga tersebar, dan dikumpulam di tempat ini.”
dari situs wareng |
“Lha terus Candi Pulutan nya yang sebelah mana??” aku
penasaran karena tak kutemukan satupun candi berdiri disitu.
“Lha itu Mas Paw....gundukan tanah tempat Jenengan berhenti
tadi itu candinya. Dulu namanya Candi Gedong. Orang orang sini menyebutnya
seperti itu. Itu malam di setelah itu kan namanya Makam Gedong. Sama pemerintah
dinamai Candi Pulutan karea letaknya di Pulutan. Dulu ya Cuma batu batu berserakan
gitu, terus sama dinas digali, diamankan. Ketemu 2 atau 3 arca gitu, dibawa ke
dinas. Untuk mengamankan batu batu yang masih ada, ada beberapa batu yang
ditutup pake kawat kawat hitam itu Mas, biar tidak owah.” Katanya sambil
menunjukkan satu persatu bebatuan candi yang secara bangunan, tidak berwujud
candi.
dari situs wareng |
“Lho lha iya mas....candine iku
lho....ndok endiii???” aku makin penasaran.
“Ya ini Mas, yang kita injak ini
lokasi candi. Dulu waktu penggalian, ditemukan batu batyu yang tersusun rapi
membentuk sebuah kotak yang berukuran seluas ini, sekitar 8 meter kali 8 meter.
Tapi itu dibawah tanah. Dibawah tanah kita ini. Sama dinas tidak diteruskan
penggalian karea apa saya yo gak tau.” Mas Petugas berusaha meyakinkan aku.
“Terus dua bidang tanah di
sebelah candi itu apa?” aku berjalan menuju tempat itu diikuti Mas Petugas.
“Dua bidang tanah itu seperti
yang di depan kantor itu Mas. Itu batu batu berasal dari Situs Getas dan
Mojosari. Dulu semuanya tersebar di hutan hutan perhutani. Dikumpulkan disini. Semua mendekati daerah
Sungai Oya. Mirip seperti yang di Penampungan Bleberan, Cuma yang disini,
lokasinya lebih ke utara dibanding yang ditemukan dan di kumpulkan di Bleberan.”
Terangnya.
penampungan dari Mojosari dan Getas |
Kami lalu berjalan
menuju kantor. Ditengah jalan, tepat di sisi lokasi candi, Mas Petugas
bercerita lagi.
“Konon kata mbah mbah disekitar sini, candi ini usianya
lebih tua dari Borobudur. Sekitar abad 8. Dulu juga katanya candi ini
petilasane Jaka Tingkir. Itu sungai yang dibelakang candi ini kan namanya Banyu
Biru”.
“Jaka Tingkir sampe sini ngapain?” tanyaku dalam hati. Terus
aku tengok sungai Banyu biru itu. Tapi koko aku liat airnya gak biru.
“Lha kok akeh dapuran pring ngene Mas. Medeni mesti.....”
“Oiya Mas..ini fakta Mas. Yang lihat orang banyak. Dulu pas
pemugaran, ada tukang yang membunuh ular. Ularnya itu pendek dan buntung. Dibunuhnya
ular itu sampe putus kepalanya. Terpisah antara kepala dan badannya. Tak berapa
lama, tahu tahu ular itu hidup lagi, dan kepalanya menyatu dengan badannya
lagi, lalu pergi. Tak seorangpun berani ganggu.” Ceritanya berapi api.
“Lha terus tukange gimana?” tanyaku melompong.
“Tukange sejak itu gak pernah masuk kerja lagi mas. Kata temennya
yang jenguk dia ke rumahnya, katanya tiap kali mau makan, dia mencium bau bunga
wangi sekali, sampe mau muntah. Itu terjadi berhari hari, sampe dia ga masuk
kerja lagi.” Aku manggut manggut.
“Ada lagi yang tugas disini, tapi orang jauh. Gak sampai
seminggu dia minta pindah. Tiap malam ada saja penampakan dan suara suara aneh.
Pokoknya banyak sini Mas yang medeni....”katanya.
No comments:
Post a Comment