Kalau bukan karena cinta, lalu apalagi?
Itulah yang akhirnya dilakukan oleh Ki Ageng Mangir Wanabaya
IV, yang kemudian lebih terkenal dengan sebutan Ki Ageng Mangir begitu saja. Memang
Ki Ageng Mangir inilah yang paling fenomenal karena kisah cintanya denga Retno
Pembayun.
Ki Ageng Mangir IV
adalah keturuan dari Ki Ageng Mangir III, dan seterusnya jika ditarik garis keatas
adalah keturunan dari Prabu Brawijaya V.
Masih saudara muda dengan Ki Ageng Giring yang merupakan keturunan
Brawijaya IV.
Sebuah strategi yang
akhirnya memunculkan banyak friksi. Penaklukan, kekuatan, kelembutan,
romantisme, yang saling bertautan dan bersilangan, menjadi satu dalam kisah Ki
Ageng Mangir dan Retno Pembayun.
Apabila strategi dari Ki Juru Mertani untuk memikat Ki Ageng
Mangir dengan Retno Pembayun dikatakan berhasil menurut perhitungannya, memang.
Tapi jika dua hati kemudian saling
berpadu dalam cinta dan telah membuahkan benih hidup yang tak mungkin disingkirkan oleh semua
pihak, harus diakui bahwa perhitungan itu meleset.
Disinilah perang lahir batin yang maha dahsyat terjadi. Bukan
hanya di pihak Kraton Mangir yang dianggap “klilip” oleh Mataram, namun juga di
pihak Mataram pun, pihak penakluk, juga terjadi perang lahir batin, terutama
Panembahan Senopati terhadap anaknya, Retno Pembayun, dan calon cucunya yang
sudah berada dalam kandungannya.
Sebenarnya, sikap Ki Ageng Mangir benar. Dia merasa Kraton
Mangir berdiri lebih dahulu, lebih tua dari Mataram, sama sama keturunan
Brawijaya V, seharusnya Mataramlah yang takluk terhadap Mangir. Walau pihak
Mangir tak pernah ingin menaklukkan Mataram.
Namun dari sisi Mataram, sesuai dengan cita cita setiap penguasa
yang ingin melebarkan sayap dan membuat kerajaan menjadi semakin besar, hal
itupun tiada salahnya.Setelah melalui
beberapa kali upaya kontak fisik untuk penaklukan yang dilakukan oleh Matarm
tak pernah membuahkan hasil, maka ditempuhlah strategi “rantai emas” atas
anjuran dari Ki Juru Mertani.
Ki Ageng Mangir, setelah mengetahui bahwa istrinya adalah
putri dari musuhnya, amarahnya meluap. Bahkan Retno Pembayun hampir saja
dibunuhnya jika tak mengingat bahwa buah hatinya sudah tumbuh dikandungan.
Akhirnya, setelah melalui bujuk rayu Retno Pembayun serta pertimbangan
matang, Ki Ageng Mangir bersedia untuk “sowan” ke Mataram, menemui mertuanya,
Panembahan Senopati. Dia datang sebagai menantu, bukan sebagai penaklukan. Bagaimanapun,
setelah mengetahui bahwa dia telah berputera walau masih dalam kandungan,
seorang laki laki akan muncul sifat kebapakannya, dan rela menanggalkan
semuanya walau hanya sejenak.
Rupanya, niat baik itulah yang kemudian mengantarkannya
kepada kematian. Sebuah kematian yang sangat disayangkan oleh semua pihak, baik
Mangir maupun Mataram. Teriakan menyayat hati Retno Pembayun tak mampu menghantikan
kematian suaminya. Tetes air mata ibu suri tak mampu menghindarkan kematian
menantunya. Saat Ki Ageng Mangir “menanggalkan” semuanya, saat itulah semuanya
berakhir.
Adalah Jaka Salembar yang menjabat sebagai Demang di wilayah
Tangkilan, yang sama sekali tak merelakan saudaranya meninggal dengan cara seperti
itu. Jaka Salembar, atau juga dikenal sebagai Ki Ageng Tangkilan, merupakan
keturunan Brawijaya pula, kemudian membawa tubuh Ki Ageng Mangir dan dimakamkan
di wilayahnya, di daerah Tangkilan, Godean, Sleman.
photo Mangiran
photo Mangiran
No comments:
Post a Comment