Saturday, October 7, 2017

Ki Ageng Mangir. Kalau Bukan Cinta, Apalagi?

Kalau bukan karena cinta, lalu apalagi?
Itulah yang akhirnya dilakukan oleh Ki Ageng Mangir Wanabaya IV, yang kemudian lebih terkenal dengan sebutan Ki Ageng Mangir begitu saja. Memang Ki Ageng Mangir inilah yang paling fenomenal karena kisah cintanya denga Retno Pembayun.

Ki  Ageng Mangir IV adalah keturuan dari Ki Ageng Mangir III, dan seterusnya jika ditarik garis keatas adalah keturunan dari Prabu Brawijaya V.  Masih saudara muda dengan Ki Ageng Giring yang merupakan keturunan Brawijaya IV.

Sebuah strategi  yang akhirnya memunculkan banyak friksi. Penaklukan, kekuatan, kelembutan, romantisme, yang saling bertautan dan bersilangan, menjadi satu dalam kisah Ki Ageng Mangir dan Retno Pembayun.

Apabila strategi dari Ki Juru Mertani untuk memikat Ki Ageng Mangir dengan Retno Pembayun dikatakan berhasil menurut perhitungannya, memang. Tapi  jika dua hati kemudian saling berpadu dalam cinta dan telah membuahkan benih hidup  yang tak mungkin disingkirkan oleh semua pihak, harus diakui bahwa perhitungan itu meleset.

Disinilah perang lahir batin yang maha dahsyat terjadi. Bukan hanya di pihak Kraton Mangir yang dianggap “klilip” oleh Mataram, namun juga di pihak Mataram pun, pihak penakluk, juga terjadi perang lahir batin, terutama Panembahan Senopati terhadap anaknya, Retno Pembayun, dan calon cucunya yang sudah berada dalam kandungannya.

Sebenarnya, sikap Ki Ageng Mangir benar. Dia merasa Kraton Mangir berdiri lebih dahulu, lebih tua dari Mataram, sama sama keturunan Brawijaya V, seharusnya Mataramlah yang takluk terhadap Mangir. Walau pihak Mangir tak pernah ingin menaklukkan Mataram.

Namun dari sisi Mataram, sesuai dengan cita cita setiap penguasa yang ingin melebarkan sayap dan membuat kerajaan menjadi semakin besar, hal itupun  tiada salahnya.Setelah melalui beberapa kali upaya kontak fisik untuk penaklukan yang dilakukan oleh Matarm tak pernah membuahkan hasil, maka ditempuhlah strategi “rantai emas” atas anjuran dari Ki Juru Mertani.

Ki Ageng Mangir, setelah mengetahui bahwa istrinya adalah putri dari musuhnya, amarahnya meluap. Bahkan Retno Pembayun hampir saja dibunuhnya jika tak mengingat bahwa buah hatinya sudah tumbuh dikandungan. 

Akhirnya, setelah melalui bujuk rayu Retno Pembayun serta pertimbangan matang, Ki Ageng Mangir bersedia untuk “sowan” ke Mataram, menemui mertuanya, Panembahan Senopati. Dia datang sebagai menantu, bukan sebagai penaklukan. Bagaimanapun, setelah mengetahui bahwa dia telah berputera walau masih dalam kandungan, seorang laki laki akan muncul sifat kebapakannya, dan rela menanggalkan semuanya walau hanya sejenak.

Rupanya, niat baik itulah yang kemudian mengantarkannya kepada kematian. Sebuah kematian yang sangat disayangkan oleh semua pihak, baik Mangir maupun Mataram. Teriakan menyayat hati Retno Pembayun tak mampu menghantikan kematian suaminya. Tetes air mata ibu suri tak mampu menghindarkan kematian menantunya. Saat Ki Ageng Mangir “menanggalkan” semuanya, saat itulah semuanya berakhir.


Adalah Jaka Salembar yang menjabat sebagai Demang di wilayah Tangkilan, yang sama sekali tak merelakan saudaranya meninggal dengan cara seperti itu. Jaka Salembar, atau juga dikenal sebagai Ki Ageng Tangkilan, merupakan keturunan Brawijaya pula, kemudian membawa tubuh Ki Ageng Mangir dan dimakamkan di wilayahnya, di daerah Tangkilan, Godean, Sleman.





photo Mangiran


































No comments:

Post a Comment