Sebuah
pesan pendek dari sebuah grup masuk ke handphoneku. Pesan itu berupa poster
sebuah acara napak tilas perjuangan Pangeran Diponegoro di beberapa tempat
meliputi Wilayah Bantul dan Sleman. Wow!
Sangat menarik! Aku lihat tanggal pelaksanaannya, dan segera ku sesuaikan
jadwal kerjaku.
Aku
menunggu acara semacam ini cukup lama. Sebuah acara napak tilas dari seorang
pahlawan besar, yang tempat kelahiran serta jejak perjuangannya tak jauh dari
tempat tinggal dan kelahiranku. Sebenarnya, ada dua pahlawan besar yang sangat
ingin aku ikuti jejak napak tilasnya, yaitu Pangeran Diponegoro, dan Panglima
Besar Sudirman. Sayang sekali, hingga saat ini aku belum bisa menemukan acara
semacam ini untuk Panglima Besar Jendral Sudirman, dimana jejak perjuangan
sangat menarik, melintasi pegunungan, pedesaan dan tempat tempat yang sangat
menarik. Entahlah. Mungkin dengan tulisan ini, ada pihak yang tergerak untuk
mengadakan acara napak tilas Jendral Sudirman di wilayah Yogyakarta.
Sedangkan
untuk Pangeran Diponegoro, aku sangat mengaguminya karena disamping seorang
bangsawan, pejuang, Beliau juga seorang ulama yang hebat, dan sangat merakyat.
Perjuangannya demi rakyat dan tanah air, telah membuat kalang kabut baik dari
pihak penjajah Belanda, maupun dari pihak Kraton Yogyakarta. Tidak hanya sampai
di situ, akan tetapi pengaruh perjuangannya hingga menembus batas batas wilayah
Jawa, baik Jawa Tengah, Jawa Timur dan Jawa Barat, bahkan Sumatera. Wajar jika
para ahli sejarah menyebutnya sebagai Perang Jawa. Penyebutan Perang Jawa ini
sendiri, sebelumnya sempat menuai beberapa perdebatan, terutama dari pihak
Belanda, dimana mereka bersikukuh menyebutnya dengan Perang Diponegoro, atau
bahkan Pemberontakan Diponegoro, untuk menimbulkan kesan seolah olah Perang
Diponegoro hanyalah pemberontakan kecil yang dilakukan seorang pejuang rakyat
Indonesia. Namun dunia internasional, yang tentu saja lebih netral dalam
penilain sejarah, meyebutnya sebagai Perang Jawa.
Bagaimana
tidak? Sejarah mencatat berapa besar jumlah uang yang harus dikeluarkan oleh
Belanda dalam meredam pergerakan laskar Diponegoro. Berapa banyak benteng
benteng dibangun, setidaknya di Wilayah Yogyakarta dan sekitarnya, yang hingga
kini masih dapat kita saksikan wujudnya sebagai saksi sejarah untuk menghambat
dan memukul mundur pergerakan Diponegoro dan laskarnya. Berapa besar pengaruh
pergerakan Diponegoro dan laskarnya ke wilayah sekitar Yogyakarta. Hampir
merata seluruh Pulau Jawa. Baik rakyat jelata maupun kalangan bangsawan dan ulama, turut serta
bergerak melawan penjajah. Wajar kiranya jika Perang Diponegoro mendapat
gelar sebagai Perang Jawa. Perang besar
yang melibatkan jumlah laskar terbesar, dari berbagai kalangan, berbagai
wilayah, dan menguras tenaga, pikiran dan keungan dari penjajah Belanda.
Nah,acara
napak tilas ini sangat tepat untuk mengetahui lebih dalam tentang perjuangan Pangeran
Diponegoro. Baik dari lokasi, rute perjalanan,
yang semua itu diambil dari sebuah catatan yang dibuat
sendiri oleh Beliau. Sungguh sangat menarik.
Tiba
di hari dan tanggal yang ditentukan, aku sengaja bangun pagi dan segera mempersiapkan
segala sesuatu. Aku tak ingin terlambat untuk berkumpul dulu di tempat yang
ditentukan. Segera kupacu sepeda motorku menuju titik kumpul. Tepat jam 8.00
pagi kutiba di lokasikumpul. Di sana terlihat sudah berkerumun orang orang yang
akan turut serta dalama cara ini. Terhitung sekitar 30 an orang telah siap. Mereka
duduk duduk sambil berbincang satu sama lain, dengan manikmati minuman hangat
yang ada.
Tanpa
basa basi aku segera bergabung dan mengenalkan diri ke hampir semua peserta yang telah hadir. Mereka dari berbagai kalangan yang mempunyai ketertarikan
yang sama denganku. Dari pelajar, mahasiswa, pemerhatisejarah, seniman, dan dari
keturunan Pangeran Diponegoro tentu saja. Mereka sangat antusias untuk mengikuti
acara yang jarang terjadi ini.
Ku
sulut rokokku sambil pesan teh panas. Pagi yang cukup dingin ini sangat pas
ditaklukkan dengan teh panas dan sebatang rokok. Beberapa saat menunggu sambil berbincang
bincang hangat tentang Diponegoro, sepanjang
yang masing masing ketahui, dari perbincangan itu justru
saling manambah informasi dan melengkapi, terutama untuk hal hal yang untold story.
Masih
larut dalam bincang bincang, tiba tiba salah satu panitia berdiri dan mengumpulkan
para peserta untuk diadakan briefing dan perkenalan beberapa peserta dan panitia,
serta gambaran awal tentang lokasi lokasi yang akandi
kunjungi. Setidaknya ada kurang lebih 7 titik
lokasi yang akan di kunjungi, meliputi 2 kabupaten yaitu Bantul dan Sleman. Namun 7 titik itu tentu saja tidak mengikat, mengingat napak tilas ini adalah kegiatan sejarah
yang mungkin akan bertemu dengan perangkat desa di lokasi yang
bersangkutan, sehingga mungkin waktu yang diperkirakan dapat saja meleset dari yang sudah
terjadwalkan.
Titik
kumpil yang berada di tepat pinggir Jalan Yogyakarta – Kulon Progo
itu ternyata sangat dekat dengan lokasi pertama yang akan dikunjungi, yaitu Desa Bandut, Argorejo, Sedayu, Bantul. Hanya terpaut persawahan yang cukup luas dan subur, serta dua desa yang berada di
kaki pegunungan. Sebenarnya aku sering melewati
jalan di desa yang akan kami kunjungi tersebut. Namun karena aku tak mempunyai informasi
sedikit pun tentang sejatah Diponegoro di sisni, aku pun hanya bisa geleng geleng
kepala, sambil mengeluh dalam hati. Betapa
picik dan dangkalnya pengetahuanku. Lokasi yang sangat bersejarah dalam
perjuangan pahlawan besar demi kemerdekaan negeri ini, dan sangat dekat dengan
tempat tinggalku, aku justru tak mengetahuinya. Memalukan!!!
Rombongan
peserta bersiap siap dengan sepeda motor masing masing, dengan dipandu oleh
panitia. Setelah semuanya lengkap dan siap, segera berangkat menuju lokasi
pertama, Desa Bandut.Argorejo Sedayu Bantul. Terbersit rasa bangga saat aku
berjalan beriirngan dengan para peserta lainnya, melewati hamparan hijaunya
sawah. Seolah kamilah laskar Diponegoro yang tersisa. Tidak banyak, namun cukup
militan. Hanya dengan modal tekad dan kecintaan kami kepada Beliau dan tanah
tumpah darah ini. Tak ada penyandang dana ataupun sponsor dalam acara ini.
Semua murni dari masing masing peserta sendiri.
Melewati
dua desa, kami tiba di Desa Bandut. Rupanya panitia sudah berkoordinasi dengan
perangkat desa tersebut. Kami menuju rumah Pak Dukuh, dan diterima dengan
sangat baik. Semua sepeda motor masuk ke pakarangan yang cukup luas. Setelah
itu kami, diwakili oleh panitia tentu saja, mengenalkan diri dan memohon ijin
untuk napak tilas di desa ini. Pak Dukuh dengan antusias menerimanya, bahkan
ikut turut serta mendampingi sebagai tokoh masyarakat sekaligus menceritakan
sejarah asal muasal dari petilasan yang ada di desa ini, langsung dari
sumbernya yaitu masyarakat desa setempat.
Tak
lama kemudian rombonganpun berangkat lagi menuju loksi petilasan Pangeran
Diponegoro, dengan berjalan kaki. Aku yang berada jauh di luar pekarangan saat
perkenalan dengan Pak Dukuh, tak mengetahui dengan pasti ke arah mana tujuan
ini. Yang ku tahu adalah kami akan pergi ke sebuah lokasi petilasan Pangeran
Diponegoro saat berjuang di desa ini. Dan itu sudah cukup bagiku. Ku ikuti saja
kemana mereka berjalan.
Dari
rumah Pak Dukuh kami berjalan kaki memasuki desa. Melewati jalan jalan kecil di
tengah desa. Desa ini rupanya masih terjaga lingkungannya. Terlihat kebun kebun
dengan pepohonan yang cukup banyak, dan di kiri kanan jalan yang kami lewati,
terdapat pohon pohon serta rumput rumput pembatas jalan. Sangat sejuk. Iklim
khas desa. Tanah yang masih basah karena sinar matahari tak mampu menembus
rapatnya daun daun pepohonan, membuat udara dingin sejuk tetap bersih.
Kami
berjalan berkelak kelok melewati gang gang kecil. Cukup sulit jika tak ada
pemandu jalan. Bahkan seorang peserta yang mengenakan baju tradisional jawa,
sorjan lengkap dengan kain iket di kepalanya, harus mengelurakan buku catatan,
dan mencatat setiap belokan yang ada dan menggambarkannya menjadi semacan denah
agar mempermudahkannya jika suatu saat ingin berkunjung ke lokasi keramat ini.
Aku
tak tega melihatnya duduk di pinggir jalan dan menggambar di buku catatannya.
Aku berhenti disampingnya disertai seorang kawan. Rupanya dia tahu kalau aku
dan temanku menemaninya barang sebentar. Raut mukanya terlihat sedikit lega
karena tak mungkin dia akan ketinggalan. Aku tertawa. Demikian juga dengan
temanku. Tertawa melihat ekspresi wajahnya yang kembali tenang dan diapun
tertawa lega pula.
Keisenganku
dan temanku timbul. Aku ambil kamera dan merekamnya, temanku langsung duduk
disebelahnya, melihat catatan apa yang sedang dibuatnya. Cekrak cekrek beberapa
pose ku ambil. Ramah tamah dan perbincanganpun terjadi. Saling bertegur sapa
dan mengenalkan diri nama dan dari mana berasal. Ternyata dia adalah tetangga
desa dari temanku, dan kamipin jalan bertiga, di ujung terakhir dari rombongan.
“Ku
pikir dia mencatat apa gitu....” gumam temanku saat kami berdua berjalan di
depannya selang jarak beberapa langkah.
“Lho
memangnya mencatat apa?” aku bertanya heran.
“Belokan!”
jawab temanku sambil menahan tawa. Justru aku yang tertawa meledak ledak
kemudian.
“Belokan???”
tanyaku seolah tak percaya. “Buat apa?”
“Katanya
agar tak lupa jika mau kesini lagi. Dia bertanya sudah berapa belokan kita
ini...”temanku meneruskan ceritanya. Aku diam menunggu dia meneruskan ceritanya.
“Ku
jawab saja ada dua belokan. Ke kiri dan ke kanan!” katanya sambil tertawa
lepas. Akupun tak mampu menahan tawa, hingga kita berdua tertawa terbahak bahak
di jalan.
Rupanya
dia tahu kami menertawakannya. Dia berlari menyusul kami berdua sambil tertawa
tawa juga.
“Iya
Mas.... ku catat belokannya, biar tak lupa. Habis banyak sih dan susah...”
katanya sambil tertawa tanpa beban. Dalam hati aku salut padanya. Mengatasi
kesulitan tanpa malu malu bertanya. Di usianya yang masih muda, mengenakan baju
sorjan jawa dengan ikat kepalanya, membawa buku catatan untuk menampung ilmu
pengetahuan yang pasti didapatnya, dan mau mengikuti acara napak tilas
perjuangan pahlawan negara. Tidak banyak orang semacam dia. Mudah mudahan apa
yang didapatnya menjadi ilmu yang bermanfaat untuknya dan untuk lingkungannya.
Semakin
lama perjalanan kami semakin melewati jalan jalan sempit dan penuh pepohonan di
kanan dan kiri jalan yang semakin menurun. Udara terasa semakin dingin dan
rumpun rumpun pohon bambu semakin rapat. Membuat suasana semakin gelap. Tibalah
kami di sebuah jalan kecil basah menuju sungai. Di tengah jalan nampak tiga
orang dari panitia berhenti dan menunjukkan arah belok ke kiri melewati kebun,
ke lokasi yang dituju. Aku mengikutinya, namun aku lurus saja mengikuti jalan
kecil menuju sungai itu bersama temanku, karena di ujung jalan, terlihat olehku
sebuah pohon besar di atas tanah yang lebih tinggi dari jalan itu. Sangat
menarik. Ada sesuatu tersembunyi disana.
Ternyata
perasaanku benar. Hal itu juga dikuatkan oleh perasaan yang sama dari temanku,
yang lebih menguasai tentang pengetahuan metafisik. Ujung jalan itu ternyata
menuju sebuah sungai. Beberapa meter sebelum sungai, terdapat sebuah sumber
mata air (sendang, jawa), tepat di bawah pohon beringin yang sangat besar. Dan
tepat di sebelah timur dari pohon beringin itu adaah sebuah makam tua.
Di
sungai itu, entah mengapa, aku sama sekali tak ingin mendekat. Aku hanya
melihat dari dekat sendang tersebut, yang di bagian temboknya tertulis “Sendang
Pengasih”, atau “Pengasihan” aku tak begitu memperhatikan dan di bagian atas dinding tembok sendang
tersebut dihiasi bentuk ular naga sepasang, dengan posisi saling membelakangi.
Menurutku, ini adalah sebuah lambang. Tak mungkin di tempat semacam ini, dibuatkan
semacam arca ular naga sepasang, jika tak mempunyai arti dan makna khusus
dibalik semua ini. Bulu kudukku meremang.
Terasa
beberapa makhluk turut serta bersama aku dan temanku di tempat itu. Namun dari
getaran dan gesekan yang cukup lembut, serta tujuan kami yang sama sekali tak
berbuat aneh aneh, murni karena kami napak tilas jejak leluhur dan melestarikan
semua yang ada, maka semuanya berjalan dengan baik di sendang itu.
Setelah
kami puas di sendang, aku memperhatikan keadaan sekeliling, dan membandingkan
dengan beberapa tempat dengan ciri ciri kurang lebih sama seperti ini, dan
biasanya di tempat seperti ini ditemukan batuan candi atau bahkan arca jaman
purbakala. Aku dan temankupun berkeliling, hingga ke atas, di lokasi makam tua.
Namun kami tak menemukan batuam candi atau arca disana.
“Mungkin
di tempat lain yang tak jauh dari sini...” kataku dalam hati. Rupanya temanku
berpikiran yang sama.
“Mungkin
disekitar sini ada bebatuan candi atau semacamnya.” Kata temanku tiba tiba.
“Mungkin
saja. Ayo bergabung dengan yang lain. Katanya mereka berada tepat di lokasi
petilasan Kyai Santri, salah satu laskar Diponegoro yang disegani, dan Pangeran
Diponegoropu juga pernah ke lokasi itu.” Kataku sambil menuju peserta lain
berkumpul.
“Benar.
Aku juga sangat penasaran dengan sejarah itu. Jauh jauh aku datang dari Jakarta
demi mengikuti napak tilas ini. Sangat menantang dan bermanfaat bagi anak
anakku nanti.” Temanku menyusulku dari belakang.
Kami
berdua segera memasuki kebun tempat rombongan telah berkumpul di titik tepatnya
lokasi langgar atau mushola yang didirikan oleh Pangeran Diponegoro dan Kyai
Santri serta pengikutnya. Mereka berdiri melingkar, dengan seorang pemandu dari
panitia berdiri di tengah, dengan membawa sebuah buku tebal berwarna oranye,
yang pada saat berkumpul di lokasi keberangkatan aku sempat membaca judul
bukunya, yaitu Babad Diponegoro. Aku sempat pula membuka beberapa halaman, dan
di dalamnya terdapat tulisan dengan mesik ketik manual, berbahasa jawa kromo halus1. dan di tulis dengan sangat rapi semacam puisi dengan format
berbait-bait. Apa yang ada di buku itu adalah tulisan tangan asli dari Pangeran
Diponegoro.
Sekali
lagi aku merasa takjub. Kekagumanku terhadap Pangeran Diponegoro semakin meluap
luap. Di tengah tengah perjuangannya, demi rakyat dan tanah tumpah darah,
intrik keluarga, sengketa dari berbagai pihak, mengumpulkan serta menyusun
barisan, strategi perang, dan melakukan peperangan itu sendiri dengan cara
berpindah pindah dan bergerilya, Beliau masih menyempatkan diri untuk membuat
sebuah catatan perjalanan perjuangan. Apa yang dialami dan dilakukan baik oleh
Pangeran Diponegoro maupun sahabat serperti Sentot, Kyai Santri, serta laskar laskarnya. Rupanya, Beliau
sangat sadar bahwa sebuah peristiwa, kejadian, perjalanan dan momentum wajib
untuk ditulis. Tidak cukup hanya diingat. Karena ingatan manusia sangatlah
terbatas. Namun dalam bentuk tulisan, akan abadi di sepanjang jaman. Seperi
Babad Diponegoro ini. Kejadian yang telah lampau sejak tahun 1825, kini bisa
dinikmati dan diteladani hingga tahun 2019. 194 tahun. Hampir 2 abad, dan kami
semua, masih bisa menikmati dan mengetahui sejarah perjuangan Beliau, langsung
dari tangannya sendiri. Seorang pahlawan yang benar benar visioner.
Dalam
babad itu sempat terdengar olehku pembacaan Babad Diponegoro yang menunjuk pada
kejadian di lokasi tersebut, yang kurang lebih menurut pendengaranku adalah ;
“......sampun enjing iko nanging
wonten mareman nira Yang Widhy pedut ageng prapto iku ngalingi mring Njeng Sultan
sak wadyanya. Kafir murtad tan ana weruh yen Njeng Sultan sampun budhal saking
Bandut sak wadya.....”2.
- Kromo
Halus adalah tingkatan dalam berbahasa jawa yang digunakan terhadap orang
yang lebih tua atau dihormati atau baru kita kenal. Di budaya Jawa, ada 3
tingkatan bahasa dalam tata pergaulan yaitu Kromo Ngoko (tingkat paling
rendah digunakan terhadap sesama pada umumnya), Kromo Madya (tingkat lebih
tinggi digunakan terhadap orang yang lebih tua), dan Kromo Halus/Inggil
seperti diatas.
Kemudian
diteruskan dengan penerjemahan serta peristiwa yang terjadi dalam tulisan itu
ke dalam Bahasa Indonesia yang mengungkapkan bahwa pada malam hari sebelumnya,
Pangeran Diponegoro beserta laskarnya yang terbagi dalam tiga kelompok, sedang
berada di tempat itu untuk berembug tentang langgar yang dibangun, dan akan
meneruskan perjalanan ke Desa Kasuran di Wilayah Kasuran, Seyegan, Sleman.
Pada saat pagi hari, setelah waktu
subuh, tiba tiba datang serangan Belanda di tempat itu. Pangeran Diponegoro
beserta laskarnya tentu saja dalam keadaan lengah. Pangeran Diponegoro memohon
pertolongan Tuhan, dan terjadi keajaiban kemudian. Tiba tiba datang kabut tebal
menyelimuti, hingga tak nampak pergerakan dari Pangeran Diponegoro dan
laskarnya, yang telah pergi saat kabut tebal itu datang. Pasukan Belanda pun
tak menjumpai seorangpun di sana setelah kabut tebal itu hilang.
Menurut
beberapa cerita rakyat, perjuangan Pangeran Diponegoro memang sering terjadi
keajaiban semacam itu. Hal ini wajar karena di samping seorang bangsawan,
seorang darah biru yang tentu saja mempunyai beberapa kelebihan, Beliau juga seorang ulama yang taat, yang
kesehariannya selalu diisi dengan ibadah, amalan serta perilaku utama.
Disamping
itu, mungkin lokasi ini sendiri menyimpan sejuta misteri. Hanya berjatak
beberapa meter dari lokasi langgar itu terdapat sebuah sumber mata air tua,
sumber mata air asli yang mungkin keberadaannya lebih tua dari langgar yang
lebih terkenal dengan sebutan Kyai Santri ini. Dan dari sumber mata air tua
itu, ke arah barat terpaut sekitar 10 meter, adalah Sungai Konteng. Sungai
Konteng ini bagi kalangan metafisik dan supranatural di wilayah Yogyakarta,
sudah sangat terkenal akan kemistisannya. Baik dari hulu maupun hingga hilir.
Sedangkan
Konteng sendiri adalah nama sebuah desa di wilayah Kelurahan Sumberadi, Mlati
Sleman, berjarak sekitar 18 kilometer ke arah utara dari Desa Bandut. Sungai
Konteng ini mengalir tepat di samping Desa Konteng. Di Desa Konteng itu
sendiri, pada beberapa tahun yang lalu pernah ditemukan situs candi, baik
berbentuk arca maupun batuan batuan candi lainnya. Dari penelusuranku dan
beberapa orang teman, ternyata sepanjang Sungai Konteng, dengan radius yang
cukup dekat di kiri kanan sungai, ditemukan beberapa batuan batuan candi. Mungkin, bisa saja terjadi
bahwa sungai ini merupakan sungai purba yang sudah ada sejak jaman dahulu kala,
dan di sepanjang sungai ini terdapat sebuah kehidupan jaman kerajaan yang jika
melihat dari temuan temuan batuan candi dan arca, diperkirakan merupakan
kehidupan pada jaman kerajaan Hindu Budha.
- Hari
sudah pagi namun berkat pertolongan Tuhan, datang kabut tebal yang
melindungi Kanjeng Sultan (Diponegoro) dan pasukannya. Hingga Pasukan
Belanda tak dapat mengetaui bahwa Diponegoro dan pasukannya telah pergi
meninggalkan lokasi tersebut.
Nah,
di Desa Bandut, tepatnya adalah di lokasi langgar Kyai Santri ini, suasana dan
ciri cirinya sama persis dengan dengan beberapa tempat di sepanjang Sungai
Konteng. Makam tua dan sumber mata air
adalah salah satu indikasi yang menurut penelusuranku adalah adanya sebuah
kehidupan di masa yang jauh ke belakang.
Faktor
pendukung lain dari kejadian keajaiban sekaligus kelebihan dari Pangeran
Diponegoro adalah, di beberapa tempat yang pernah disinggahi oleh Beliau,
disekitarnya terdapat bebatuan candi, seperti lingga yoni misalnya. Hal ini aku
jumpai di beberapa tempat, termasuk di Museum Diponegoro sendiri, di Tegalrejo
Yogyakarta, dan markas persembunyian Beliau di Gua Selarong, Bantul. Ada dua
kemungkinan. Kemungkinan pertama adalah lingga yoni tersebut ditemukan dan
kemudian dibawa di sekitar tempat persinggahan Beliau. Dan kemungkinan kedua
adalah bebatuan candi tersebut memang sudah berada di tempat itu jauh sebelum
kedatangan Pangeran Diponegoro. Dari dua kemungkinan itu, sampai saat ini tak
terungkap.
Sedangkan
di Bandut ini, mungkin tak banyak orang yang mengetahui, atau tak mengaitkan
antara petilasan Diponegoro disini, dan beberapa batuan candi ataupun arca yang
ada di sekitar tempat ini juga.
Sesaat
setelah aku ikut berkumpul dan mendengarkan cerita dari Babad Diponegoro dan
melihat langsung lokasi sumber mata air purba di sebelah langgar itu, aku
mendahului langkahku untuk meninggalkan tempat itu sendirian. Bukan karena
bosan atau lelah. Namun saat ku melihat sumber mata air purba itu, aku
merasakan sebuah kekuatan yang menurutku sangat besar, yang membuatku seketika
berdiri diam dan sama sekali tak mampu untuk mendekat. Buluk kudukku berdiri,
dan seluruh tubuhku bergetar, meremang. Terlintas di benakku sebuah makhluk
berwarna hijau dengan bintik bintik hitam, mata yang menyala tajam, serta
tubuhnya yang besar dan panjang, melingkar lingkar menutupi sumber air itu. Aku
sapa dan hormat padanya. Kemudian aku mampu untuk mengambil kamera dan
mendokumentasikan sumber itu dari kejauhan. Entahlah..... aku benar benar tak
mampu untuk mendekatinya. Setelah diijinkan untuk mengambil gambar, aku pun
berpamitan. Itulah mengapa aku pergi meninggalkan rombongan di tempat itu untuk
menuju rumah Pak Dukuh tempat kami datang. Bahkan temanku kubiarkan tetap
bergabung bersama peserta yang lain.
Setelah
berjalan berkelok kelok, aku menjumpai rumah penduduk. Sebuah rumah dengan
halaman yang cukup luas dengan rumah joglo di bagian depan, membuatku berhenti
dan mendekatinya. Aku memang suka sekali dengan bangunan rumah khas jawa
seperti itu. Rupanya pintu dari rumah ini terbuka. Ku beranikan diri untuk
mendekat dan memberinya salam.
“Kulonuwun....”
suaraku sengaja ku keraskan, agar terdengar hingga dalam rumah. Tak ada
jawaban. Aku ulangi lagi beberapa kali, lirih ku dengar suara tapak kaki
menyentuh lantai. Aku lega. tampak dari pintu itu seorang kakek dengan senyum
khas desa, melihatku berdiri dengan kedua tanganku ku letakkan di bawah perut
dengan tangan kiriku memegangi tangan kananku. Sikap hormat dan sopan santun
terhadap orang tua atau yang pernah diajarkan ayah dan ibuku dahulu. Dalam
budaya jawa, sikap seperti disebut sebagai sikap ngapurancang.3.
Dengan
ramah kakek itu mempersilahkan aku untuk duduk, dan tanpa basa basi, percakapan
hangatpun terjadi. Aku asli desa, pergaulanku juga dengan orang desa, dari
keluarga petani, dimana aku sangat akrab dengan pekerjaan dan pergaulan petani
desa baik dengan pakde, mbokde, mbah kakung, mbah putri, mbah buyut dan
seterusnya. Sangat mudah menyesuaikan diriku terhadapnya. Apalagi aku cukup
menguasai bahasa jawa halus, walaupun jauh dari sempurna, namun cukup untuk
tata pergaulan dan sebagai bentuk penghormatan berbicara pada orang tua.
Saat
kami berbincang tentang siapa aku dan apa yang akun lakukan disini, dari
belakang menyusul nenek nenek dan bergabung dengan kami berdua. Mengetahui
bahwa aku menikuti napak tilas ini, pembicaraan kamipun kemudian berkutat
tentang lokasi Langgar Kyai Santri itu. Sejarahnya, sungainya, sendangnya, dan
tentu saja, cerita mistis yang selalu saja ada. Aku pun kemudian mencoba mencari
kebenaran tentang Diponegoro dan situs purbakala yang biasanya ada di
sekitarnya.
“Oh......
ada Ngger.....”4. nenek itu menjawab pertanyaanku. Bagai matahari di siang
bolong, raut mukaku menjadi sangat cerah.
“Benarkah?
Apa itu Nek?” aku penasaran.
“Reco
wong lungguh....”5. jawab Nenek itu yakin.
“Di
mana Nek? Masih ada?” aku seperti harimau lapar memburu seekor rusa.
“Sini
Nenek antar ke lokasi arcanya. Seharusnya masih ada di sana...” jawab Nenek
sambil berjalan dan menunjukkan suatu arah. Aku mengikutinya dari belakang.
Sampai
di lokasi yang dituju, aku hampir saja berteriak kegirangan. Sebuah arca
ganesha, berada di halaman penduduk, hanya terpaut sekitar 100 meter dari
Langgar Kyai Santri. Arca ganesha itu tanpa kepala, dengan posisi duduk, dua
tangan terlihat seperti memegang sesuatu namun sudah tak
- Sikap
adalah sikap berdiri dimana tangan berada di bawah pusar, kaki
direnggangkan, tangan kanan dipegang oleh tangan kiri , santai dan penuh
rasa hormat.
- Sapaan
untuk anak yang jauh lebih muda baik umur maupun pengalamannya.
- Arca
berbentuk manusia dengan posisi duduk.
berbentuk
karena patah. Demikian juga dengan kepala arca itu. Patah dan hilang entah
kemana. Sedangkan dari Langgar Kyai Santri itu, berjarak sekitar 1 kilometer ke
arah barat, ditemukan sebuah batu yoni berukuran cukup besar, serta arca nandi,
dan artefik. Semakin kuat teori ku bahwa dimana ada jejak Pangeran Diponegoro,
disitu terdapat pula jejak kerajaan jaman purbakala. Pertanyannya adalah,
mengapa????
Hingga
kini masih menjadi misteri, yang layak untuk diexplorasi, untuk menemukan keterkaitan
diantara keduanya nanti, demi merawat sejarah, negeri dan bumi.
No comments:
Post a Comment