Monday, August 5, 2019

Napak Tilas Jejak Perjuangan Pangeran Diponegoro di Bandut ( Patriotis, Magis dan Mistis )


Sebuah pesan pendek dari sebuah grup masuk ke handphoneku. Pesan itu berupa poster sebuah acara napak tilas perjuangan Pangeran Diponegoro di beberapa tempat meliputi Wilayah Bantul dan Sleman.  Wow! Sangat menarik! Aku lihat tanggal pelaksanaannya, dan segera ku sesuaikan jadwal kerjaku.
Aku menunggu acara semacam ini cukup lama. Sebuah acara napak tilas dari seorang pahlawan besar, yang tempat kelahiran serta jejak perjuangannya tak jauh dari tempat tinggal dan kelahiranku. Sebenarnya, ada dua pahlawan besar yang sangat ingin aku ikuti jejak napak tilasnya, yaitu Pangeran Diponegoro, dan Panglima Besar Sudirman. Sayang sekali, hingga saat ini aku belum bisa menemukan acara semacam ini untuk Panglima Besar Jendral Sudirman, dimana jejak perjuangan sangat menarik, melintasi pegunungan, pedesaan dan tempat tempat yang sangat menarik. Entahlah. Mungkin dengan tulisan ini, ada pihak yang tergerak untuk mengadakan acara napak tilas Jendral Sudirman di wilayah Yogyakarta.
Sedangkan untuk Pangeran Diponegoro, aku sangat mengaguminya karena disamping seorang bangsawan, pejuang, Beliau juga seorang ulama yang hebat, dan sangat merakyat. Perjuangannya demi rakyat dan tanah air, telah membuat kalang kabut baik dari pihak penjajah Belanda, maupun dari pihak Kraton Yogyakarta. Tidak hanya sampai di situ, akan tetapi pengaruh perjuangannya hingga menembus batas batas wilayah Jawa, baik Jawa Tengah, Jawa Timur dan Jawa Barat, bahkan Sumatera. Wajar jika para ahli sejarah menyebutnya sebagai Perang Jawa. Penyebutan Perang Jawa ini sendiri, sebelumnya sempat menuai beberapa perdebatan, terutama dari pihak Belanda, dimana mereka bersikukuh menyebutnya dengan Perang Diponegoro, atau bahkan Pemberontakan Diponegoro, untuk menimbulkan kesan seolah olah Perang Diponegoro hanyalah pemberontakan kecil yang dilakukan seorang pejuang rakyat Indonesia. Namun dunia internasional, yang tentu saja lebih netral dalam penilain sejarah, meyebutnya sebagai Perang Jawa.
Bagaimana tidak? Sejarah mencatat berapa besar jumlah uang yang harus dikeluarkan oleh Belanda dalam meredam pergerakan laskar Diponegoro. Berapa banyak benteng benteng dibangun, setidaknya di Wilayah Yogyakarta dan sekitarnya, yang hingga kini masih dapat kita saksikan wujudnya sebagai saksi sejarah untuk menghambat dan memukul mundur pergerakan Diponegoro dan laskarnya. Berapa besar pengaruh pergerakan Diponegoro dan laskarnya ke wilayah sekitar Yogyakarta. Hampir merata seluruh Pulau Jawa. Baik rakyat jelata maupun  kalangan bangsawan dan ulama, turut serta bergerak melawan penjajah. Wajar kiranya jika Perang Diponegoro mendapat gelar  sebagai Perang Jawa. Perang besar yang melibatkan jumlah laskar terbesar, dari berbagai kalangan, berbagai wilayah, dan menguras tenaga, pikiran dan keungan dari penjajah Belanda.
Nah,acara napak tilas ini sangat tepat untuk mengetahui lebih dalam tentang perjuangan Pangeran Diponegoro. Baik dari lokasi,  rute perjalanan,  yang  semua itu diambil dari sebuah catatan  yang  dibuat sendiri oleh Beliau. Sungguh sangat menarik.
Tiba di hari dan tanggal yang ditentukan, aku sengaja bangun pagi dan segera mempersiapkan segala sesuatu. Aku tak ingin terlambat untuk berkumpul dulu di tempat yang ditentukan. Segera kupacu sepeda motorku menuju titik kumpul. Tepat jam 8.00 pagi kutiba di lokasikumpul. Di sana terlihat sudah berkerumun orang orang yang akan turut serta dalama cara ini. Terhitung sekitar 30 an orang telah siap. Mereka duduk duduk sambil berbincang satu sama lain, dengan manikmati minuman hangat yang ada.
Tanpa basa basi aku segera bergabung dan mengenalkan diri ke hampir semua peserta  yang telah hadir.  Mereka dari berbagai kalangan yang mempunyai ketertarikan yang sama denganku. Dari pelajar, mahasiswa, pemerhatisejarah, seniman, dan dari keturunan Pangeran Diponegoro tentu saja. Mereka sangat antusias untuk mengikuti acara yang jarang terjadi ini.
Ku sulut rokokku sambil pesan teh panas. Pagi yang cukup dingin ini sangat pas ditaklukkan dengan teh panas dan sebatang rokok. Beberapa saat menunggu sambil berbincang bincang hangat tentang Diponegoro,  sepanjang  yang  masing masing ketahui, dari perbincangan itu justru saling manambah informasi dan melengkapi,  terutama untuk hal hal yang untold story.
Masih larut dalam bincang bincang, tiba tiba salah satu panitia berdiri dan mengumpulkan para peserta untuk diadakan briefing dan perkenalan beberapa peserta dan panitia, serta gambaran awal tentang lokasi lokasi  yang  akandi kunjungi.  Setidaknya ada kurang lebih  7  titik lokasi  yang  akan di kunjungi,  meliputi 2  kabupaten yaitu Bantul dan Sleman.  Namun 7 titik itu tentu saja tidak mengikat,  mengingat napak tilas ini adalah kegiatan sejarah  yang  mungkin akan bertemu dengan perangkat desa  di  lokasi  yang  bersangkutan,  sehingga mungkin waktu  yang  diperkirakan dapat saja meleset dari  yang  sudah terjadwalkan.
Titik kumpil  yang berada  di tepat pinggir Jalan Yogyakarta – Kulon Progo itu ternyata sangat dekat dengan lokasi pertama yang akan dikunjungi,  yaitu Desa Bandut,  Argorejo,  Sedayu,  Bantul. Hanya terpaut persawahan  yang  cukup luas dan subur,  serta dua desa  yang  berada  di kaki  pegunungan. Sebenarnya aku sering melewati jalan di desa yang akan kami kunjungi tersebut. Namun karena aku tak mempunyai informasi sedikit pun tentang sejatah Diponegoro di sisni, aku pun hanya bisa geleng geleng kepala,  sambil mengeluh dalam hati. Betapa picik dan dangkalnya pengetahuanku. Lokasi yang sangat bersejarah dalam perjuangan pahlawan besar demi kemerdekaan negeri ini, dan sangat dekat dengan tempat tinggalku, aku justru tak mengetahuinya. Memalukan!!!
Rombongan peserta bersiap siap dengan sepeda motor masing masing, dengan dipandu oleh panitia. Setelah semuanya lengkap dan siap, segera berangkat menuju lokasi pertama, Desa Bandut.Argorejo Sedayu Bantul. Terbersit rasa bangga saat aku berjalan beriirngan dengan para peserta lainnya, melewati hamparan hijaunya sawah. Seolah kamilah laskar Diponegoro yang tersisa. Tidak banyak, namun cukup militan. Hanya dengan modal tekad dan kecintaan kami kepada Beliau dan tanah tumpah darah ini. Tak ada penyandang dana ataupun sponsor dalam acara ini. Semua murni dari masing masing peserta sendiri.
Melewati dua desa, kami tiba di Desa Bandut. Rupanya panitia sudah berkoordinasi dengan perangkat desa tersebut. Kami menuju rumah Pak Dukuh, dan diterima dengan sangat baik. Semua sepeda motor masuk ke pakarangan yang cukup luas. Setelah itu kami, diwakili oleh panitia tentu saja, mengenalkan diri dan memohon ijin untuk napak tilas di desa ini. Pak Dukuh dengan antusias menerimanya, bahkan ikut turut serta mendampingi sebagai tokoh masyarakat sekaligus menceritakan sejarah asal muasal dari petilasan yang ada di desa ini, langsung dari sumbernya yaitu masyarakat desa setempat.
Tak lama kemudian rombonganpun berangkat lagi menuju loksi petilasan Pangeran Diponegoro, dengan berjalan kaki. Aku yang berada jauh di luar pekarangan saat perkenalan dengan Pak Dukuh, tak mengetahui dengan pasti ke arah mana tujuan ini. Yang ku tahu adalah kami akan pergi ke sebuah lokasi petilasan Pangeran Diponegoro saat berjuang di desa ini. Dan itu sudah cukup bagiku. Ku ikuti saja kemana mereka berjalan.
Dari rumah Pak Dukuh kami berjalan kaki memasuki desa. Melewati jalan jalan kecil di tengah desa. Desa ini rupanya masih terjaga lingkungannya. Terlihat kebun kebun dengan pepohonan yang cukup banyak, dan di kiri kanan jalan yang kami lewati, terdapat pohon pohon serta rumput rumput pembatas jalan. Sangat sejuk. Iklim khas desa. Tanah yang masih basah karena sinar matahari tak mampu menembus rapatnya daun daun pepohonan, membuat udara dingin sejuk tetap bersih.
Kami berjalan berkelak kelok melewati gang gang kecil. Cukup sulit jika tak ada pemandu jalan. Bahkan seorang peserta yang mengenakan baju tradisional jawa, sorjan lengkap dengan kain iket di kepalanya, harus mengelurakan buku catatan, dan mencatat setiap belokan yang ada dan menggambarkannya menjadi semacan denah agar mempermudahkannya jika suatu saat ingin berkunjung ke lokasi keramat ini.
Aku tak tega melihatnya duduk di pinggir jalan dan menggambar di buku catatannya. Aku berhenti disampingnya disertai seorang kawan. Rupanya dia tahu kalau aku dan temanku menemaninya barang sebentar. Raut mukanya terlihat sedikit lega karena tak mungkin dia akan ketinggalan. Aku tertawa. Demikian juga dengan temanku. Tertawa melihat ekspresi wajahnya yang kembali tenang dan diapun tertawa lega pula.
Keisenganku dan temanku timbul. Aku ambil kamera dan merekamnya, temanku langsung duduk disebelahnya, melihat catatan apa yang sedang dibuatnya. Cekrak cekrek beberapa pose ku ambil. Ramah tamah dan perbincanganpun terjadi. Saling bertegur sapa dan mengenalkan diri nama dan dari mana berasal. Ternyata dia adalah tetangga desa dari temanku, dan kamipin jalan bertiga, di ujung terakhir dari rombongan.
“Ku pikir dia mencatat apa gitu....” gumam temanku saat kami berdua berjalan di depannya selang jarak beberapa langkah.
“Lho memangnya mencatat apa?” aku bertanya heran.
“Belokan!” jawab temanku sambil menahan tawa. Justru aku yang tertawa meledak ledak kemudian.
“Belokan???” tanyaku seolah tak percaya. “Buat apa?”
“Katanya agar tak lupa jika mau kesini lagi. Dia bertanya sudah berapa belokan kita ini...”temanku meneruskan ceritanya. Aku diam menunggu dia meneruskan ceritanya.
“Ku jawab saja ada dua belokan. Ke kiri dan ke kanan!” katanya sambil tertawa lepas. Akupun tak mampu menahan tawa, hingga kita berdua tertawa terbahak bahak di jalan.
Rupanya dia tahu kami menertawakannya. Dia berlari menyusul kami berdua sambil tertawa tawa juga.
“Iya Mas.... ku catat belokannya, biar tak lupa. Habis banyak sih dan susah...” katanya sambil tertawa tanpa beban. Dalam hati aku salut padanya. Mengatasi kesulitan tanpa malu malu bertanya. Di usianya yang masih muda, mengenakan baju sorjan jawa dengan ikat kepalanya, membawa buku catatan untuk menampung ilmu pengetahuan yang pasti didapatnya, dan mau mengikuti acara napak tilas perjuangan pahlawan negara. Tidak banyak orang semacam dia. Mudah mudahan apa yang didapatnya menjadi ilmu yang bermanfaat untuknya dan untuk lingkungannya.
Semakin lama perjalanan kami semakin melewati jalan jalan sempit dan penuh pepohonan di kanan dan kiri jalan yang semakin menurun. Udara terasa semakin dingin dan rumpun rumpun pohon bambu semakin rapat. Membuat suasana semakin gelap. Tibalah kami di sebuah jalan kecil basah menuju sungai. Di tengah jalan nampak tiga orang dari panitia berhenti dan menunjukkan arah belok ke kiri melewati kebun, ke lokasi yang dituju. Aku mengikutinya, namun aku lurus saja mengikuti jalan kecil menuju sungai itu bersama temanku, karena di ujung jalan, terlihat olehku sebuah pohon besar di atas tanah yang lebih tinggi dari jalan itu. Sangat menarik. Ada sesuatu tersembunyi disana.
Ternyata perasaanku benar. Hal itu juga dikuatkan oleh perasaan yang sama dari temanku, yang lebih menguasai tentang pengetahuan metafisik. Ujung jalan itu ternyata menuju sebuah sungai. Beberapa meter sebelum sungai, terdapat sebuah sumber mata air (sendang, jawa), tepat di bawah pohon beringin yang sangat besar. Dan tepat di sebelah timur dari pohon beringin itu adaah sebuah makam tua.
Di sungai itu, entah mengapa, aku sama sekali tak ingin mendekat. Aku hanya melihat dari dekat sendang tersebut, yang di bagian temboknya tertulis “Sendang Pengasih”, atau “Pengasihan” aku tak begitu memperhatikan  dan di bagian atas dinding tembok sendang tersebut dihiasi bentuk ular naga sepasang, dengan posisi saling membelakangi. Menurutku, ini adalah sebuah lambang. Tak mungkin di tempat semacam ini, dibuatkan semacam arca ular naga sepasang, jika tak mempunyai arti dan makna khusus dibalik semua ini. Bulu kudukku meremang.
Terasa beberapa makhluk turut serta bersama aku dan temanku di tempat itu. Namun dari getaran dan gesekan yang cukup lembut, serta tujuan kami yang sama sekali tak berbuat aneh aneh, murni karena kami napak tilas jejak leluhur dan melestarikan semua yang ada, maka semuanya berjalan dengan baik di sendang itu.
Setelah kami puas di sendang, aku memperhatikan keadaan sekeliling, dan membandingkan dengan beberapa tempat dengan ciri ciri kurang lebih sama seperti ini, dan biasanya di tempat seperti ini ditemukan batuan candi atau bahkan arca jaman purbakala. Aku dan temankupun berkeliling, hingga ke atas, di lokasi makam tua. Namun kami tak menemukan batuam candi atau arca disana.
“Mungkin di tempat lain yang tak jauh dari sini...” kataku dalam hati. Rupanya temanku berpikiran yang sama.
“Mungkin disekitar sini ada bebatuan candi atau semacamnya.” Kata temanku tiba tiba.
“Mungkin saja. Ayo bergabung dengan yang lain. Katanya mereka berada tepat di lokasi petilasan Kyai Santri, salah satu laskar Diponegoro yang disegani, dan Pangeran Diponegoropu juga pernah ke lokasi itu.” Kataku sambil menuju peserta lain berkumpul.
“Benar. Aku juga sangat penasaran dengan sejarah itu. Jauh jauh aku datang dari Jakarta demi mengikuti napak tilas ini. Sangat menantang dan bermanfaat bagi anak anakku nanti.” Temanku menyusulku dari belakang.
Kami berdua segera memasuki kebun tempat rombongan telah berkumpul di titik tepatnya lokasi langgar atau mushola yang didirikan oleh Pangeran Diponegoro dan Kyai Santri serta pengikutnya. Mereka berdiri melingkar, dengan seorang pemandu dari panitia berdiri di tengah, dengan membawa sebuah buku tebal berwarna oranye, yang pada saat berkumpul di lokasi keberangkatan aku sempat membaca judul bukunya, yaitu Babad Diponegoro. Aku sempat pula membuka beberapa halaman, dan di dalamnya terdapat tulisan dengan mesik ketik manual, berbahasa jawa kromo halus1. dan di tulis dengan sangat rapi semacam puisi dengan format berbait-bait. Apa yang ada di buku itu adalah tulisan tangan asli dari Pangeran Diponegoro.
Sekali lagi aku merasa takjub. Kekagumanku terhadap Pangeran Diponegoro semakin meluap luap. Di tengah tengah perjuangannya, demi rakyat dan tanah tumpah darah, intrik keluarga, sengketa dari berbagai pihak, mengumpulkan serta menyusun barisan, strategi perang, dan melakukan peperangan itu sendiri dengan cara berpindah pindah dan bergerilya, Beliau masih menyempatkan diri untuk membuat sebuah catatan perjalanan perjuangan. Apa yang dialami dan dilakukan baik oleh Pangeran Diponegoro maupun sahabat serperti Sentot, Kyai Santri,  serta laskar laskarnya. Rupanya, Beliau sangat sadar bahwa sebuah peristiwa, kejadian, perjalanan dan momentum wajib untuk ditulis. Tidak cukup hanya diingat. Karena ingatan manusia sangatlah terbatas. Namun dalam bentuk tulisan, akan abadi di sepanjang jaman. Seperi Babad Diponegoro ini. Kejadian yang telah lampau sejak tahun 1825, kini bisa dinikmati dan diteladani hingga tahun 2019. 194 tahun. Hampir 2 abad, dan kami semua, masih bisa menikmati dan mengetahui sejarah perjuangan Beliau, langsung dari tangannya sendiri. Seorang pahlawan yang benar benar visioner.
Dalam babad itu sempat terdengar olehku pembacaan Babad Diponegoro yang menunjuk pada kejadian di lokasi tersebut, yang kurang lebih menurut pendengaranku adalah ;
“......sampun enjing iko nanging wonten mareman nira Yang Widhy pedut ageng prapto iku ngalingi mring Njeng Sultan sak wadyanya. Kafir murtad tan ana weruh yen Njeng Sultan sampun budhal saking Bandut sak wadya.....”2.
  1. Kromo Halus adalah tingkatan dalam berbahasa jawa yang digunakan terhadap orang yang lebih tua atau dihormati atau baru kita kenal. Di budaya Jawa, ada 3 tingkatan bahasa dalam tata pergaulan yaitu Kromo Ngoko (tingkat paling rendah digunakan terhadap sesama pada umumnya), Kromo Madya (tingkat lebih tinggi digunakan terhadap orang yang lebih tua), dan Kromo Halus/Inggil seperti diatas.

Kemudian diteruskan dengan penerjemahan serta peristiwa yang terjadi dalam tulisan itu ke dalam Bahasa Indonesia yang mengungkapkan bahwa pada malam hari sebelumnya, Pangeran Diponegoro beserta laskarnya yang terbagi dalam tiga kelompok, sedang berada di tempat itu untuk berembug tentang langgar yang dibangun, dan akan meneruskan perjalanan ke Desa Kasuran di Wilayah Kasuran, Seyegan, Sleman. Pada  saat pagi hari, setelah waktu subuh, tiba tiba datang serangan Belanda di tempat itu. Pangeran Diponegoro beserta laskarnya tentu saja dalam keadaan lengah. Pangeran Diponegoro memohon pertolongan Tuhan, dan terjadi keajaiban kemudian. Tiba tiba datang kabut tebal menyelimuti, hingga tak nampak pergerakan dari Pangeran Diponegoro dan laskarnya, yang telah pergi saat kabut tebal itu datang. Pasukan Belanda pun tak menjumpai seorangpun di sana setelah kabut tebal itu hilang.
Menurut beberapa cerita rakyat, perjuangan Pangeran Diponegoro memang sering terjadi keajaiban semacam itu. Hal ini wajar karena di samping seorang bangsawan, seorang darah biru yang tentu saja mempunyai beberapa kelebihan,  Beliau juga seorang ulama yang taat, yang kesehariannya selalu diisi dengan ibadah, amalan serta perilaku utama.
Disamping itu, mungkin lokasi ini sendiri menyimpan sejuta misteri. Hanya berjatak beberapa meter dari lokasi langgar itu terdapat sebuah sumber mata air tua, sumber mata air asli yang mungkin keberadaannya lebih tua dari langgar yang lebih terkenal dengan sebutan Kyai Santri ini. Dan dari sumber mata air tua itu, ke arah barat terpaut sekitar 10 meter, adalah Sungai Konteng. Sungai Konteng ini bagi kalangan metafisik dan supranatural di wilayah Yogyakarta, sudah sangat terkenal akan kemistisannya. Baik dari hulu maupun hingga hilir.
Sedangkan Konteng sendiri adalah nama sebuah desa di wilayah Kelurahan Sumberadi, Mlati Sleman, berjarak sekitar 18 kilometer ke arah utara dari Desa Bandut. Sungai Konteng ini mengalir tepat di samping Desa Konteng. Di Desa Konteng itu sendiri, pada beberapa tahun yang lalu pernah ditemukan situs candi, baik berbentuk arca maupun batuan batuan candi lainnya. Dari penelusuranku dan beberapa orang teman, ternyata sepanjang Sungai Konteng, dengan radius yang cukup dekat di kiri kanan sungai, ditemukan beberapa batuan  batuan candi. Mungkin, bisa saja terjadi bahwa sungai ini merupakan sungai purba yang sudah ada sejak jaman dahulu kala, dan di sepanjang sungai ini terdapat sebuah kehidupan jaman kerajaan yang jika melihat dari temuan temuan batuan candi dan arca, diperkirakan merupakan kehidupan pada jaman kerajaan Hindu Budha.
  1. Hari sudah pagi namun berkat pertolongan Tuhan, datang kabut tebal yang melindungi Kanjeng Sultan (Diponegoro) dan pasukannya. Hingga Pasukan Belanda tak dapat mengetaui bahwa Diponegoro dan pasukannya telah pergi meninggalkan lokasi tersebut.
Nah, di Desa Bandut, tepatnya adalah di lokasi langgar Kyai Santri ini, suasana dan ciri cirinya sama persis dengan dengan beberapa tempat di sepanjang Sungai Konteng. Makam tua dan  sumber mata air adalah salah satu indikasi yang menurut penelusuranku adalah adanya sebuah kehidupan di masa yang jauh ke belakang.
Faktor pendukung lain dari kejadian keajaiban sekaligus kelebihan dari Pangeran Diponegoro adalah, di beberapa tempat yang pernah disinggahi oleh Beliau, disekitarnya terdapat bebatuan candi, seperti lingga yoni misalnya. Hal ini aku jumpai di beberapa tempat, termasuk di Museum Diponegoro sendiri, di Tegalrejo Yogyakarta, dan markas persembunyian Beliau di Gua Selarong, Bantul. Ada dua kemungkinan. Kemungkinan pertama adalah lingga yoni tersebut ditemukan dan kemudian dibawa di sekitar tempat persinggahan Beliau. Dan kemungkinan kedua adalah bebatuan candi tersebut memang sudah berada di tempat itu jauh sebelum kedatangan Pangeran Diponegoro. Dari dua kemungkinan itu, sampai saat ini tak terungkap.
Sedangkan di Bandut ini, mungkin tak banyak orang yang mengetahui, atau tak mengaitkan antara petilasan Diponegoro disini, dan beberapa batuan candi ataupun arca yang ada di sekitar tempat ini juga.
Sesaat setelah aku ikut berkumpul dan mendengarkan cerita dari Babad Diponegoro dan melihat langsung lokasi sumber mata air purba di sebelah langgar itu, aku mendahului langkahku untuk meninggalkan tempat itu sendirian. Bukan karena bosan atau lelah. Namun saat ku melihat sumber mata air purba itu, aku merasakan sebuah kekuatan yang menurutku sangat besar, yang membuatku seketika berdiri diam dan sama sekali tak mampu untuk mendekat. Buluk kudukku berdiri, dan seluruh tubuhku bergetar, meremang. Terlintas di benakku sebuah makhluk berwarna hijau dengan bintik bintik hitam, mata yang menyala tajam, serta tubuhnya yang besar dan panjang, melingkar lingkar menutupi sumber air itu. Aku sapa dan hormat padanya. Kemudian aku mampu untuk mengambil kamera dan mendokumentasikan sumber itu dari kejauhan. Entahlah..... aku benar benar tak mampu untuk mendekatinya. Setelah diijinkan untuk mengambil gambar, aku pun berpamitan. Itulah mengapa aku pergi meninggalkan rombongan di tempat itu untuk menuju rumah Pak Dukuh tempat kami datang. Bahkan temanku kubiarkan tetap bergabung bersama peserta yang lain.
Setelah berjalan berkelok kelok, aku menjumpai rumah penduduk. Sebuah rumah dengan halaman yang cukup luas dengan rumah joglo di bagian depan, membuatku berhenti dan mendekatinya. Aku memang suka sekali dengan bangunan rumah khas jawa seperti itu. Rupanya pintu dari rumah ini terbuka. Ku beranikan diri untuk mendekat dan memberinya salam.
“Kulonuwun....” suaraku sengaja ku keraskan, agar terdengar hingga dalam rumah. Tak ada jawaban. Aku ulangi lagi beberapa kali, lirih ku dengar suara tapak kaki menyentuh lantai. Aku lega. tampak dari pintu itu seorang kakek dengan senyum khas desa, melihatku berdiri dengan kedua tanganku ku letakkan di bawah perut dengan tangan kiriku memegangi tangan kananku. Sikap hormat dan sopan santun terhadap orang tua atau yang pernah diajarkan ayah dan ibuku dahulu. Dalam budaya jawa, sikap seperti disebut sebagai sikap ngapurancang.3.
Dengan ramah kakek itu mempersilahkan aku untuk duduk, dan tanpa basa basi, percakapan hangatpun terjadi. Aku asli desa, pergaulanku juga dengan orang desa, dari keluarga petani, dimana aku sangat akrab dengan pekerjaan dan pergaulan petani desa baik dengan pakde, mbokde, mbah kakung, mbah putri, mbah buyut dan seterusnya. Sangat mudah menyesuaikan diriku terhadapnya. Apalagi aku cukup menguasai bahasa jawa halus, walaupun jauh dari sempurna, namun cukup untuk tata pergaulan dan sebagai bentuk penghormatan berbicara pada orang tua.
Saat kami berbincang tentang siapa aku dan apa yang akun lakukan disini, dari belakang menyusul nenek nenek dan bergabung dengan kami berdua. Mengetahui bahwa aku menikuti napak tilas ini, pembicaraan kamipun kemudian berkutat tentang lokasi Langgar Kyai Santri itu. Sejarahnya, sungainya, sendangnya, dan tentu saja, cerita mistis yang selalu saja ada. Aku pun kemudian mencoba mencari kebenaran tentang Diponegoro dan situs purbakala yang biasanya ada di sekitarnya.
“Oh...... ada Ngger.....”4. nenek itu menjawab pertanyaanku. Bagai matahari di siang bolong, raut mukaku menjadi sangat cerah.
“Benarkah? Apa itu Nek?” aku penasaran.
“Reco wong lungguh....”5. jawab Nenek itu yakin.
“Di mana Nek? Masih ada?” aku seperti harimau lapar memburu seekor rusa.
“Sini Nenek antar ke lokasi arcanya. Seharusnya masih ada di sana...” jawab Nenek sambil berjalan dan menunjukkan suatu arah. Aku mengikutinya dari belakang.
Sampai di lokasi yang dituju, aku hampir saja berteriak kegirangan. Sebuah arca ganesha, berada di halaman penduduk, hanya terpaut sekitar 100 meter dari Langgar Kyai Santri. Arca ganesha itu tanpa kepala, dengan posisi duduk, dua tangan terlihat seperti memegang sesuatu namun sudah tak
  1. Sikap adalah sikap berdiri dimana tangan berada di bawah pusar, kaki direnggangkan, tangan kanan dipegang oleh tangan kiri , santai dan penuh rasa hormat.
  2. Sapaan untuk anak yang jauh lebih muda baik umur maupun pengalamannya.
  3. Arca berbentuk manusia dengan posisi duduk.
berbentuk karena patah. Demikian juga dengan kepala arca itu. Patah dan hilang entah kemana. Sedangkan dari Langgar Kyai Santri itu, berjarak sekitar 1 kilometer ke arah barat, ditemukan sebuah batu yoni berukuran cukup besar, serta arca nandi, dan artefik. Semakin kuat teori ku bahwa dimana ada jejak Pangeran Diponegoro, disitu terdapat pula jejak kerajaan jaman purbakala. Pertanyannya adalah, mengapa????
Hingga kini masih menjadi misteri, yang layak untuk diexplorasi, untuk menemukan keterkaitan diantara keduanya nanti, demi merawat sejarah, negeri dan bumi.


No comments:

Post a Comment