Sinduharjo Dalam Peta
Industri Gula Yogyakarta
Sejarah Tebu Di Yogyakarta
Tebu berasal pertama kali ditemukan di Papua Nugini. Beberapa
literatur menyebutkan bahwa tanaman tebu diperkirakan ada sejak 8000 SM
(Sebelum Masehi). Saat itu, masyarakat dalam mengkonsumsi tebu dengan cara
menggigit dan menyesap air dari batangnya.
Tanaman ini tersebar hingga ke Pulau Jawa karena ekspansi
besar besaran oleh orang Arab pada rentang abad 7 Masehi. Saat itu, tanaman
tebu sama sekali tak mendapat perhatian yang serius. Hal ini karena masyarakat
Jawa lebih suka dan telah memproduksi gula merah, yang terbuat dari nira kelapa
atau nira aren. Nira tebu juga digunakan akan tetapi cara pengolahan yang
berbeda, yaitu dengan cara memasak hingga kental lalu dijemur hingga mengeras. Masyarakat Jawa lebih suka rasa manis yang
dihasilkan dengan cara pengolahan seperti tersebut, serta menghasilkan warna
merah dengan aroma harum dan sedap. Karena setiap olahan gula yangb dihasilkan
selalu berwarna merah, maka hingga kini orang lebih sering menyebutnya dengan
“gula merah” untuk produk gula dari Jawa.
Untuk produk gula kristal (gula pasir), teknologi pengolahan untukm menghasilkan gula
pasir diduga masuk pertama kali di daerah Banten, terbukti dari temuan batu
silinder sebagai alat pembuat gula kristal di Museum Banten Lama dan lukisan
Peta Banten tahun 1595. Setelah pemerintah Belanda membuka koloni koloni baru
di Pulau Jawa, perkebunan tebu mulai marak dan berkembang secara masif hingga
Jawa Timur.
Untuk wilayah Jawa Tengah, perkebunan tebu cukup masif
berkembang pesat di wilayah Yogyakarta, yang jikaq dilihat dari penyebarannya,
lebih banyak ke sisi Yogyakarta sebelah utara. Daerah di Yogyakarta utara antara
lain di Desa Sinduharjo, Ngaglik, Sleman Yogyakarta. Sinduharjo terletak kurang
lebih 11 kilometer di sebelah utara Kota Yogyakarta.
Tebu Di Sinduharjo
Sebuah peta dari Pemerintah Belanda berangkat tahun 1923, menunjukkan adanya jejak kejayaan tebu di Desa Sinduharjo. Bagaimana tidak? Dari keseluruhan pedukuhan di Desa Sinduharjo yang berjumlah 17 padukuhan, setidaknya ada 7 pedukuhan yang dilewati jalur rel lori tebu pada saat itu. Pedukuhan itu adalah Taraman, Dukuh, Nglaban, Tempel, Tambakan, Gentan, Jaban, Banteng Lojajar dan Dayu.
Jalur rel lori itu jika dilacak dari pedukuhan paling utara,
yaitu dari Pedukuhan Taraman menuju ke barat melewati Kali Pacet dan masuk di
Pedukuhan Dukuh melwati Kali Klanduan, lalu berbelok ke selatan di pinggir
jalan melewati area persawahan, lalu berbelok ke barat daya melewati Kali
Maling masuk di Pedukuhan Nglaban, lurus ke selatan masuk di Pedukuhan Tempel,
dan bercabang. Cabang yang ke timur melewati Pedukuhan Tempel terus berbelok ke
selatan ke arah Pabrik Gula Kalasan, sedangkan cabang ke arah barat, melewati
Pedukuhan Tambakan, Pedukuhan Dayu, berbelok ke utara lalu ke barat di pinggir
jalan raya melewati Kali Code menuju Pabrik Gula Beran.
Lahan yang dipergunakann untuk pertanian tebu waktu itu cukup
luas. Kurang lebih 20 persen dari total lahan Desa Sinduharjo, digunakan untuk
tanaman tebu. Bahkan pada masa kejayaan industri gula tahun 1860 di Yogyakarta
keseluruhan, terdapat 19 pabrik tebu, dan 8 di antaranya berada di Kabupaten
Sleman, yaitu PG. Medari, PG. Beran, PG. Cebongan, PG. Rewulu, PG. Klaci, PG.
Sendangpitu, PG. Kalasan, PG. Randugunting.
Tanam Paksa
Sleman memang daerah yang tanahnya paling subur di Yogyakarta. Wajar jika banyak terdapat pabrik tebu di wilayah ini. Adanya lahan tebu besar besaran ini adalah akibat dari politik culturestelsel (tanam paksa) yang dijalankan Pemerintah Belanda. Hal ini dilakukan untuk mencegah kebangkrutan karena kas negara Belanda terkuras untuk memerangi perlawanan Pangeran Diponegoro dan laskarnya tahun 1825 -1830. Perang yang bigitu lama dan tersebar di seluruh Jawa, hingga beberapa literatur menyebutnya dengan Perang Jawa. Usai Perang Jawa, sekitar tahun 1830an, mulailah bermunculan pabrik pabrik gula di Jawa.
Adalah Johannes van Den Bosch yang saat itu menjabat sebagai
Gubernur Jenderal Hindia Belanda, memerintahkan adanya sistem culturstelsel (tanam paksa) untuk
menyelamatkan keuangan dari kebangkrutan. Sistem culturstelsel saat itu mewajibkan
setiap satu desa menyisihkan sekitar 20 persen dari lahan yang dimiliki untuk diserahkan dan dikelola
oleh pemerintah untuk ditanami berbagai barang komoditi ekspor seperti tebu, teh,
kopi,dan tembakau.
Di wilayah Desa Sinduharjo, dimana tingkat kesuburan tanah yang cukup baik dan berada di dataran, maka tanaman komoditi yang banyak ditanam adalah tebu dan tembakau. Letak Desa Sinduharjo, berada tepat di tengah antara 2 pabrik gula yaitu PG. Beran dan PG. Kalasan. Maka hasil produksi tanaman tebu dari desa ini dikirim ke dua pabrik tersebut.
Pada awal mulanya, sistem culterstelsel ini menerapkan sistem
kemitraan, yaitu dengan sistem sewa
lahan selama 50 tahun, sekaligus upah untukn pengerjaannya. Pemilik lahan akan diberi upah sebesar
selisih dari harga sewa tanah dan nilai
produksi tanaman yang dihasilkan, serta
dibebaskan dari beban pajak tanah untuk lahan tersebut. Sedangkan penduduk yang
tidak memiliki lahan, akan dikenai wajib kerja 75 hari selama setahun, pada
perkebunan yang dimiliki pemerintah. Sistem culturstelsel ini walaupun terjadi
beberapa kali perubahan tentang pengelolaan oleh pabrik pabrik gula baru yang
bermunculan, akan tetapi keuntungan dari pihak Belanda tetap sangat besar.
Bahkan dari total keseluruhan produksi gula, nilai eksport gula dari Indonesia
adalah yang terbesar kedua di dunia. Itulah jaman kejayaan gula Indonesia.
Kejayaan produksi gula Indonesia, rupanya berbanding terbalik
dengan nasib rakyat petani tebu, baik pemilik lahan yang disewa, apalagi bagi
warga biasa yang tak memiliki lahan. Fakta demikian didapat dari penelusuran yang
dilakukan meliputi padukuhan padukuhan di wilayah Desa Sinduharjo baik yang
terlewati jalur rel lori dan padukuhan
terdekat seperti Pedak, Gadingan, Taraman, Dukuh, Nglaban, Tambakan, Gentan,
dan Dayu, dan Prujakan.
Dari hasil penelusuran para pelaku sejarah petani tebu di beberapa padukuhan dalam lingkup Desa Sinduharjo tersebut, semua narasumber menuturkan tentang kesedihan dan penderitaan sebagai petani tebu. Bagaimana tidak? Lahan pertanian yang seharusnya bisa diolah untuk memenuhi kebubutuhan pangan, harus direlakan untuk disewa pemerintah, sekaligus tenaga untuk pengerjaannya. Hal ini tentu saja sudah banyak mengurangi produksi pangan pemilik lahan. Yang tak punya lahan, lebih miris lagi. Tenaga dan pikiran yang seharusnya digunakan untuk bekerja memenuhi kebutuhan keluarganya, harus terkuras habis untuk melayani pemerintah merawat dan memelihara tanaman tebu dalam rangkan mendongkrak produksi gula yang hanya menguntungkan pemerintah Belanda.
Mengapa bisa demikian? Pabrik gula, seluruhnya dikelola oleh pihak Belanda dibawah pimpinan seorang
administratur yang bertindak sebagai pengelola perusahaan. Administratur dalam
melaksanakan tugasnya, dibantu oleh beberapa orang pengawas atau ziender ( di
kalangan masyarakat jawa disebut sinder tebu ). Dari jabatan administratur
hingga ziender semuanya diduduki oleh
orang Belanda. Sedangkan warga pribumi, merupakan pegawai pegawai dalam tingkat rendah
ataupun tenaga kasar. Contohnya, salah satu pabrik gula di Yogyakarta dikelola
oleh administratur dengan bantuan 20-25 orang ziender. Pada saat musim giling
tiba, jumlah orang pribumi yang dipekerjakan sekitar 800 an hingga 1000 orang
pekerja. Pada musim sepi usai musim giling, pekerja pribumi berkisar antara
250-300 orang. Tingkat upah dan kesejahteraan para buruh tersebut, sangat jauh
dari cukup. Itulah mengapa pada era kejayaan tebu, penduduk pribumi tetap
mengalami masa sulit, bahkan sering terjadi adanya musim paceklik.
Seorang petani penggarap lahan tebu, akan berangkat pagi dari
rumahnya, menuju lahan yang sudah ditentukan. Ia harus bekerja hingga waktu
yang ditentukan oleh ziender. Makanan
yang diberikan saat bekerjapun sangat jauh dari kata layak, apalagi cukup.
Hanya sekedar cukup untuk mengganjal perut untuk hari itu. Hasil dari bekerja,
diambil seluruhnya untuk mensuplay pabrik gula. Lantas bagaimana dengan
keluarga yang ditinggalkan di rumah? Masih banyak lagi cerita yang menyayat
hati saat adanya sistem tanam paksa saat itu.
Pada tahun 1930 era kejayaan tebu berangsur surut seiring
terjadinya depresi ekonomi dunia saat itu, yang memaksa setiap pabrik gula
menurunkan kapasitas produksinya. Hal
ini menyebabkan pabrik gula di Indonesia dan Yogyakarta khususnya, menjadi
berat untuk meneruskan beroperasi. Lambat laun satu persatu pabrik gula gulung
tikar dan menghentikan operasinya. Administratur dan ziender ditarik semua
kembali ke negerinya. Pabrik dikosongkan untuk waktu yang tak dapat ditentukan.
Hancurnya Bangunan Pabrik
Gula
Keterpurukan pabrik gula semakin parah sejak masa pendudukan Jepang. Belanda yang kalah perang, harus menyerahkan semua aset yang dimilikinya termasuk pabrik tebu dan seluruh tata kelolanya. Pabrik gula yang telah tutup operasi, sebagian besar dialihfungsikan menjadi markas atau gudang. Sedangkan lahan yang dikelola, dialihkan untuk menanam palawija dan padi demi keperluan tentara Jepang. Hal ini berebda dengan Belanda, karena orang Belanda tidak makan nasi, sedangkan orang Jepang makanan pokoknya adalah nasi, seperti orang Indonesia. Gejolak perlawanan terhadap penjajah Jepang semakin berkecamuk hingga masyarakat akar rumput. Nasib pribumi semakin menyedihkan. Jepang telah menduduki Indonesia, sedangkan Belanda masih enggan untuk pergi, dan ingin merebutnya kembali. Sedangkan orang pribumi terus berjuang untuk kemerdekaan, dan lepas dari segala bentuk penjajahan.
Keadaan pabrik gula ini semakin parah pasca proklamasi
kemerdekaan Republik Indonesia. Jepang yang telah takluk dan menarik seluruh
pasukannya karena bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, dimanfaatkan oleh Belanda
untuk berusaha menguasai lagi Indonesia. agresi militer pun terjadi. Berdasar pengalaman sebelumnya, jika Belanda
berhasil menguasai, tentu bangunan bekas pabrik gula akan menjadi basis
pertahanan dan markas penyerangan terhadap para pejuang. Maka atas inisiatif
para pejuang, hampir semua pabrik gula di wilayah Yogyakarta dihancurkan oleh
para pejuang dan TNI dengan tujuan agar tidak digunakan lagi oleh tentara
militer Belanda yang ingin menguasai kembali wilayah negara Republik Indonesia.
Dari sekian banyak pabrik gula yang pernah ada di Yogyakarta,
hanya tinggal PG. Madukismo yang masih berdiri dan beroperasi hingga kini. Jejak
rel lori masih ada yang terlihat di sekitaran PG. Madukismo. Sedangkan untuk
daerah kantong kantong perkebunan tebu di pelosok, sebagian besar telah beralih
fungsi menjadi kontruksi jembatan, seperti yang terjadi di Desa Sinduharjo.
Beberapa bangunan bekas jembatan rel lori tebu juga masih
dapat disaksikan di desa ini, seperti di Pedukuhan Nglaban, Pedukuhan Dukuh,
Pedukuhan Taraman, Dayu dan Prujakan yang semuanya melintas di atas aliran
sungai.
Seiring perkembangan jaman, lahan tebu juga semakin sedikit,
yang tentu saja berimbas pada kapasitas produksi gula. Kejayaan industri gula
dalam negeri, rasanya semakin surut, dan kemandirian produksi gula semakin
terancam. Desa Sinduharjo yang pernah menjadi penyuplai tebu untuk PG. Beran
dan PG. Kalasan pun, kini tinggal sejarah yang menjadi cerita tutur yang telah
semakin pudar. Akankah kejayaan gula Indonesia benar benar akan menjadi cerita
sejarah? Atau kejayaan industri gula akan kembali lagi seperti semula? Semua
tergantung pada kebijakan pemerintah secara komprehensif dan terpadu.
Lampiran :
https://ubl.webattach.nl/cgi-bin/iipview?krtid=8114&marklat=-7.8&marklon=110.3632&sid=385y235892059&svid=610460&lang=1&fbclid=IwAR15_3lm1ELbEOw2sm2Sz7xXFVq6lVCkHOm03Q7JzFJGkW_0lClrkhSX4YI#focus
No comments:
Post a Comment