Pagi
pagi benar, rombongan telah siap berangkat dari penginapan. Pihak kedutaan yang
diwakili oleh Susan, terlihat telah siap di depan penginapan, ditemani Kangmas
Andi dan Laras. Sejenak kemudian, semua anggota rombongan telah memasuki bis,
dan siap berangkat. Rejo yang datang paling akhir, terlihat berlari lari
mengejar ketertinggalannya. Untung Kangmas Andi sangat memperhatikan adiknya
yang bengal itu.
Saat bis telah mulai berjalan, Rejo yang duduk
tepat di pinggir jendela, tersita pandangan matanya, oleh saorang wanita yang
ternyata telah menunggu, untuk menyaksikan keberangkatannya. Wanita itu, dengan
baju yang sama seperti saat pertama dijumpainya, dengan bunga mawar merah yang
terselip di telingan kanannya, melambaikan tangannya disertai dengan senyumnya
yang manis merekah. Rejo tak mampu berkata kata. Dia sama sekali tak menyangka
jika Sandra akan berbuat sedemikian rupa. Rejo pun melambaiakan tangannya. Rejo
sangat tersentuh melihatnya.
Di
dalam perjalanan, tak henti hentinya dia berpikir tentang Sandra. Dia tak habis
pikir. Sampai demikian jauhkah dan dalamkah rasa itu, hingga sesuatu yang tak
masuk akal menjadi masuk akal, dan sesuatu yang seharusnya tak terjadi, kini
bisa terjadi????? Pikirannya kalut berputar putar.
“Sodara
sodara, dengarkan baik baik!!!” tiba tiba Kangmas Andi berdiri di depan
berbicara keras keras. Semua yang ada disitu, diam mendengarkan.
“Persiapkan
mental dan fisik baik baik!!!! Kita telah mengunjungi Canberra dan Melbourne.
Sekarang kita mengunjungi Adelaide, Perth, Broome, Darwin, Caims, Brisbane, Gold
Coast dan kembali lagi ke Sydney. Berarti kita akan keliling Benua Australia
ini. Ayo semangat!!!! Tampilkan seni
budaya kita sebaik baiknya!!!!” kata Kangmas Andi berapi api.
“Siaaaaaaapppp!!!!”
rombongan bersorak sorai.
“Terimakasih
juga sama Mbak Susan, kalau nggak ada dia, kita sudah pulang dari kemaren
kemaren, nggak bisa keliling Australia. Hahahahaha, betul Mbak Susan??” tanya
Kangmas Andi. Susan hanya mengangguk dan tertawa.
Suasana
perjalanan kali ini sangatlah meriah. Semuanya senang dan gembira melaksanakan
program ini. Namun dalam dalam kemeriahan suasana itu, Rejo merasa sangat
kesepian. Hatinya seolah tertinggal di taman, dan menanti kedatangan sang dewi,
Sandra.
Dia
hanya melewati semuanya ini dengan setengah hati. Senyumnya tak selepas dulu,
tawanya tak serenyah dulu. Angannya selalu melayang jauh. Hari demi hari dia
jalani dengan keadaan seperti itu. namun, dia sama sekali tak mengorbankan
program ini. Rejo selalu tampil maksimal dengan baik. hanya saja, dia kini jadi
jarang berkumpul dengan teman temannya satu rombongan. Rejo lebih banyak
menyendiri, dan asyik dengan lamunan lamunannya.
Ada
sebuah pemandangan yang sangat mengejutkan bagi Rejo dan kawan kawan saat
mereka berkunjung ke Sekolah Dasar Marlborough, yang terletak di pinggiran Kota
Melbourne, dimana siswa siswa sekolah itu, diajarkan Bahasa Indonesia yang
masuk dalam kurikulum mereka, serta permainan khas Indonesia yang cukup
digemari siswa siswa disana, yaitu congklak. Rejo dan rombongan cukup bangga
melihat hal tersebut.
Terlebih
lagi saat mereka sampai di sebuah universitas, yaitu Deakin University,mereka
justru berdecak kagum melihat mahasiswa disana yang telah mahir memainkan alat
music gamelan. Sungguh diluar dugaan. Orang orang luar negeri, para mahasiswa
yang masih muda muda, telah berhasil memainkan music gamelan dengan baik. Sedangkan pemuda pemuda Indonesia???? Sebuah
pekerjaan rumah yang tak mudah tentu saja.
Perjalanan
dilanjutkan dan tibalah di kota Adelaide. Kota pelabuhan yang sangat tenang,
dengan jalan jalan yang sangat lebar, serta penuh dengan pepohonan di tenga
tengahnya sebagai jantung kota. Kota ini bahkan mirip dengan kebun raya, dimana
disana sini dengan mudah ditemukan taman taman, pepohonan, bahkan semak
belukar, serta pegunungan yang menghiasi guratan kota ini. Rejo semakin rindu
akan kampung halamannya. Di kota ini, mereka bermalam untuk pertunjukan di
balai kota. Kota yang tenang ini, untuk
sementara menjadi sibuk dan riuh rendah oleh kerumunan orang yang ingin
menyaksikan pertunjukan dari tanah Jawa.
Sukses
dengan pertunjukan dan pembelajaran di Adelaide, mereka segera menuju ke arah
barat, menuyusuri sisiselatan benua Australia, untuk menuju kota berikutnya,
Perth. Kota di sisi barat daya Benua Australia ini adalah benar benar kota
wisata, dimana penduduknya menikmati suasana seperti tamasya di kampong
halamanya sendiri. Kota yang dilewati Sungai Swan, yang memberikan ruang yang
leluasa bagi warganya untuk tamsya, jogging, ataupun sekedar jalan jalan. Kota
yang terksesan terpencil ini, justru memberikan nuansa yang benar benar alami.
Rejo dan rombongan pun tak melewatkan kesempatan ini. Rombongan Rejo diterma dengan ramah oleh
pemerintah setempat, dan segera melakukan kunjungan ke beberapa sekolah dan
mengadakan pertunjukan di kota kecil itu.
Kota
berikutnya salah Darwin. Kota yang terletak di sisi paling utara dari
Australia. Karena letaknya yang telah hampir sangat dekat dengan daratan Asia,
maka iklim dan udaranyapun telah hampir mirip dengan Asia. Penduduknya sangat
gemar mengenakan pakaian santai seperti di Indonesia, dengan celana pendek dan
sandal mereka berjalan jalan. Rejo bagai kembali ke kampung halaman. Semakin
lekat di ingatannya pada Dewi, saat dia berada di kota ini. Walau Sandra juga
selalu hadir dan menari nari diatas kepalanya.
Sebelum
mereka mengakhiri tournya di kota Sydney seperti saat mereka berangkat, mereka
masih menyisakan satu kota lagi, yaitu Brisbane. Kota besar yang berada di
sebelah utara Sydney. Kota ini cukup besar, mapan dan kesenian mendapat tempat
yang cukup baik. Karena masyarakatnya telah menempatkan seni dan budaya sebagai
bagian dari kehiduan mereka, maka pertunjukan oleh rombongan Rejo dilakukan di
luar, dan semua masyarakat bisa menyaksikannya, bahkan ada beberapa yang ingin
mencoba memainkan alat music gamelan dan mereka tak segan segan mengajarkannya
pada penduduk local. Suasana hangat dan ramah, saling canda dan tawa mewarnai
keakraban mereka. Adalah Susan dan Laras yang dapat mengubungkan kedua bahasa
yang berbeda itu pada mereka semua. Hal ini membuat Rejo dan rombongan benar
benar merasa bangga.
Pagi
hari, saat rombongan itu berangkat untuk menuju Sydney, mereka dilepas oleh
penduduk sekitarnya yang cukup antusias dengan pertunjukan semalam. Mereka
melepas kepergian mereka seperti layaknya melepas tamu tamu kehormatan. Rejo
yang selama dalam perjalanan merasakan betapa sunyinya hidupnya, kini dia bias
sedikit tersenyum. Dalam waktu dekat, dia akan segera sampai di kota Sydney,
dan Rejo dapat segera bersua dengan Sandra, yang telah menunggunya entah berapa
lama. Acara tour ini memang menjadi sedikti leabih lama dari yang direncanakan,
karena sambutan dan permintaan dari kota kota setempat yang dikunjunginya,
menahan mereka untuk tinggal beberapa hari. Sedangkan Rejo, tentu saja tak
dapat memberitahukannya pada Sandra.
Dia
tak tahu apakah Sandra akan marah saat dia datang, ataukah senang, ataukah dia
memang telah meninggalkannya dan hidup kembali bersama komunitasnya, yang jelas
jelas menentang hubungannya dengan orang diluar komunitasnya, sedangkan Diego,
yang telah dengan terus terang mengungkapakn isi hatinya, telah mendapat
dukungan dari sebagian besar dari keluarganya.
Rejo
tak tahu yang sebenarnya menggelayuti hatinya kini. Yang sangat dia tahu adalah
dia sangat merindukan Sandra, saat ini. Ingin
rasanya dia berlari cepat cepat untuk samapi ke penginapannya, dan
mengabarkan kedatangannya. Namun apa daya, semua berjalan sama seperti
rombongan yang lainnya. Bis berjalan menyusuri kota kota kecil, melewati
pegunungan dan pemandangan yang menghampar luas.
Bis
memasuki kota Sydney dengan pelan pelan. Hujan mulai turun rintik rintik
membasahi jalan. Laju bis menjadi semakin pelan, dan lebih hati hati. Dingin
segera merambati tubuh Rejo dan kawan kawa. Sedingin hati Rejo saat itu.
Melewati jalan jalan yang pernah mereka
lewati sebelumnya. Dan saat bi situ melaju melwati taman kota, hati Rejo
berdesir. Rejo sengaja melongok keluar dan melihat kursi yang biasa dia pakai
duduk berdua dengan Sandra. Namun kuris itu terlihat kosong, dan tak seorangpun
terlihat duduk menantinya di tempat itu. Rejo menjatuhkan dirinya dan duduk terkulai
lemas.
Rejo
sadar, kepergiannya kali ini terlalu lama dari yang direncanakan, dan dia sama
sekali tak dapat mengirimkan kabar berita ini. Bis berhenti di penginapan saat
hujan turun deras. Semua anggota rombongan segera turun dan berlari lari menuju
ke penginapan. Rejo, yang dari tadi tengok kanan dan ke kiri mencari sosok
wanita gipsi itu dan tak menemukan sesutau, segera turun mengikuti teman
temannya. Sejenak beristirahat di loby, untuk selanjutnya pergi menuju kamarnya.
Tubuhnya
yang basah oleh air hujan, segera membuka pintu dan masuk ke kamarnya untuk
membersihkan diri. Namun sesuatu membuatnya terhenyak. Saat kakinya melangkah
memasuki kamarnya dan menutup pintu, kakinya terasa menyentuh sesutau yang
lembut, dan dia melihat ke arah sesuatu itu.
Matanya
terbelalak, dan berdiri mematung tak percaya. Dalam kamarnya, di hampir setiap
ruang dan sisi, terutama di ranjangnya, terdapat berpuluih puluh bunga mawar
merah yang telah layu dan mongering. Rejo kebingungan dan segera mencari di
setiap ruangan, adakah sesuatu disana. Dan yang dia temui hanyalah bunga dan
bunga lagi. Rejo berpikir keras dan menebak nebak.
Dia
menduga bahwa Sandra telah terlalu lama menunggu kedatangannya, hingga bunga
bunga yang seharusnya dipersiapkan untuk menyambutnya, yang seharusnya masih
segar dan wangi saat kedatangannya, kini telah layu dan mongering, karena
terlalu lama Rejo tak kunjung datang. Hati dan pikiraany kalut. Rejo menutupi
wajahnya dengan kedua tangannya, dan
jatuh terduduk bersandarkan dinding kamarnya.
Sejuta sesal merambati dirinya, dan kian lama kian menyiksanya. Maka,
tanpa piker panjang, dia segera bangkit dan berdiri, bergegas pergi untuk
menenui Sandra, wanita gipsi itu, entah
kemana. Yang dia tahu hanyalah kursi taman yang tadi telah dilihatnya dan tiada
seorangpun disana.
Rejo
nekat. Dalam hujan, dia berjalan menuju taman dan duduk di kursi yang sama.
Hanya itulah satu satunya tempat yang dia tahu untuk menemui Sandra. Dia tak
peduli lagi apa kata orang yang melihatnya. Dia tetap duduk di kuris itu,
walaupun air hujan mengguyur tubuhnya. Lampu lampu taman mulai menyala, dan
orang orang telah mulai berjalan meninggalkan taman itu untuk kembali pulang,
pertanda hari telah mulai gelap. Namun Rejo sama sekali tak bergeming dari
tempat duduknya.
Semakin
lama semakin sepi, namun Rejo masih tetap menanti. Dia tak tahu sampai kapan,
tapi dia akan tetap menantinya di tempat itu. Saat hari hampir gelap, Rejo
melihat seorang wanita berjalan ke arahnya, dengan sebuah payung melindunginya
dari air hujan, hingga menutupi wajahnya. Bajunya yang panjang dan berwarna
warni, membuat Rejo semakin berdebar debar dalam menduga duga siapakah dia. Dia
ingin berteriak memanggil namanya, namun dia tak yakin. Yang dilakukannya
hanyalah menunggu hingga wanita berpayung itu datang mendekat.
Namun
rejo harus menahan nafas lagi, saat wanita itu kemudian berhenti. Sama sekali
tak terlihat wajahnya, karena terhalang oleh payung yang dibawanya. Yang dia
tahu adalah wanita itu berjalan menunduk, melihat satu persatu langkahnya
sebelum dia berhenti. Rejo menatap tajam wanita itu, benar benar berusaha untuk
mengenalinya. Dan saat wanita itu membalikkan badannya, terlihat sekuntum bunga
mawar merah terselip di telinga kanannya, Rejo yakin bahwa dialah wanita yang
dicarinya. Rejo berteriak kencang memanggilnya.
“Sandra!!!!!”
teriaknya dengan sekuat tenaga. Hasrat didadanya telah mendorong dia berteriak
keras keras. Wanita itu menoleh ke arahnya. Rejo melambaikan tangannya. Wanita
itu terlihat sepertiu terhenyak, dan menatap tajam Rejo. Setelah sekian lama
kemudian, dia dapat mengenali Rejo, laki laki yang ditunggunya dan baru
sekarang muncul batang hidungnya.
Dengan
serta merta, dia berlari dan membuang payung yang dibawanya, dan menghambur
berlari menuju Rejo. Hujan lebat sama sekali tak menghentikan dua manusia ini
untuk saling berlari mendekat dan melepaskan semua kerinduan yang tertahan.
Wanita
itu, rupanya terlalu terbawa oleh perasaannya yang tak karuan terhadap Rejo.
Antara senang dan benci yang bersatu padu, bergulung gulung di dalam dadanya,
hingga pecahlah tangisnya. Wanita itu berlari sambil berurai air mata,
merentangkan kedua tangannya dengan penuh kepasrahan, menjatuhkan dirinya dalam pelukan Rejo yang
telah siap merengkuh tubuhnya. Tubuhnya yang basah, sama sekali tak menghalangi
mereka berdua untuk saling berdekapan dan mengungkapkan rasa.
Dua
orang laki laki dan perempuan, saling berpelukan dalam hujan, basah tubuh
seolah juga membasahi hati mereka yang gersang. Sandra, hanya mampu terisak
isak di pelukan Rejo. Dia sama sekali
tak mampu mengeluarkan kata kata. Perasaannya begitu kuat, hingga hampir
menyumbat mulutnya untuk berkata kata. Dia hanya melepaskan semuanya melalui
bahasa tubuhnya. Dipeluknya erat erat laki laki dari tanah Jawa itu, seolah tak
ingin melepaskannya lagi.
Aroma wangi dan segar segera menyelemuti kedua tubuh manusia itu.
Air telah menyegarkan tubuh mereka, dan membersihkan mereka dari keringat dan
debu, serta aroma mawar telah merasuki mereka berdua. Sandra tersenyum, duduk
berhadapan dengan Rejo di dalam air yang menghangatkan tubuhnya.mereka berdua
puas dengan mandi bersama. Hujan di luar sana, sama sekali tak terdengar oleh
telinge mereka. Yang mereka dengar adalah bunyi irama air yang lambat laun
membawa hasrat mereka yang semakin lama semakin berjalan ke puncak.
Kecup kecup nakal telah terjadi. Tawa tawa kecil dan renyah telah
terdengar. Suasana dingin berubah perlahan menjadi hangat. Dan sentuhan
sentuhan nakal di antara keduanya, telah menimbulkan geliat geliat di
kamar mandi itu. Sandra menarik keluar Rejo dari bejana itu, dan mengambil dua
handuk yang cukup besar yang tergantung disana, dan segera memberikannya pada
Rejo. Rejo menerimanya dengan tersenyum, dan dia segera mengeringkan tubuh
Sandra yang berdiri di hadapannya, dan Sandra pun mengeringkan tubuh Rejo yang
sibuk membelai belai tubuhnya.
Bagai seoarng yang gagah perkasa, dililitkannya handuk itu ke
tubuh Sandra, dan tubuh itu diangkatnya dengan kedua tangannya. Sandra tertawa
kecil.
“Hei, what are you doing Honey?” tanyanya sambil tertawa nakal.
Rejo tersenyum memandang wajahnya, dan berjalan membawanya menuju sofa di depan
perapian. Api yang telah mereka nyalakan sebelum mandi, kini telah menjadi
besar dan menghangatkan ruangan. Rejo menjatuhkan tubuh Sandra di atas sofa,
dan menarik handuk yang melilit tubuhnya, dan dilemparkannya entah kemana.
Kini, seorang wanita gipsi, tergolek telanjang di atas sofa, tepat di didepan
mata Rejo. Dan wanita itu, tanpa rasa malu apalagi jengah, memandangi wajah
Rejo dengan tersenyum nakal. Darah laki laki Rejo bergolak.
Naluri laki lakinya bergerak, menggerakkan seluruh bagian
tubuhnya, dan segera merengkuh tubuh telanjang itu dengan oenuh hasrat.semuanya
telah terlepas, tanpa sehelai benag, dua manusia itu bergumul dengan dahsyat.
Masing masing berusaha melepaskan hasrat yang telah lama tertahan dan
terpendam, terutama Sandra. Teras begitu lama dia menunggu laki laki yang kini
mendekap erat tubuhnya, dan dengan bulat bulat, Sandra meyerahkan semuanya pada
laki laki itu.
Desah desah nafas semakin jelas, lenguhan lenguhan panjang
semakinkeras keluar dari mulut mereka. Sandra beberapa kali menahan nafas,
menikmati keindahan yang dia dapatkan.
“Please be mine.......” katanya lirih di sela sela nafasnya yang
tertahan. Rejo semakin gila. Ingin dia telah bulat bulat Sandra saat itu.
Hasrat dan nafsu semakin memuncak, dan gerakan tubuhnya semakin dahsyat. Sandra
yang telah menyerahkan semuanya, benar benar merasa memiliki semuanya walau dia
tahu ini hanya untuk sementara. Namun rasa dan hasrat telah benar benar
menguasainya.
“Please be mine..... please be mine, at least this
night......” bisiknya di telinga Rejo saat dia peluk erat tubuh Rejo dan
menciumi telinga Rejo yang sedang memberikan kepuasan yang tiada tara
padanya.
Namun di saat saat seperti itu, saat keduanya benar benar menyatu,
Sandra, sebagai seorang wanita gipsi yang mempunyai kemampuan lebih dalam
meraba dan merasakan sesuatu, mendapatkan sebuah pemandangan bagai kilat kilat
yang melintas di benaknya. Dan kilat kilat itu menggambarkan sebuah kejadian
yang seperti berurutan, dimana dalam setiap kilat gambaran di benaknya itu,
terlihat laki laki yang kini sedang menikmati tubuhnya itu, juga terpagut pada
seorang wanita, dengan rambut yang hitam legam, lurus, dengan kedua mata yang
lebar mirip dirinya, namun wajahnya sangatlah mirip dengan Rejo. Wajah wajah
khas Jawa. Semakin lama semakin jelas. Bahkan di setiap Sandra merengkuh dan
benar benar menyatu dengan tubuh Rejo, kilat kilat bayanan itu semakin jelas.
Sandra semakin sadar tentang keadaan mereka berdua saat ini. Tak
mungkin dia memiliki Rejo sutuhnya, selamanya. Namun rasa yang telah melilit di
hatinya, sungguh tak dapat ditolaknya. Hingga akhirnya, Sandra ingin memiliki
Rejo seutuhnya, dengan seutuh utuhnya, semampunya, walaupun hanya satu malam
saja. Itulah mengapa, dengan penuh perasaan, Sandra berulang ulang
mengatakannya pada Rejo.
“Please be mine Honey, please be mine at least to nite...” katanya
berulang ulang. Sandra, tak ingin mengakhiri malam ini dengan biasa biasa saja.
Dia ingin “menghabiskan” Rejo dan memilikinya dengan seutuhnya, karena dia
berpikir mungkin inilah malam terkahir baginya untuk dapat bersama Rejo sebelum
kepulangan laki laki itu ke Indonesia.
Entah berapa kali mereka “melakukan “ hubungan itu di malam itu.
Rejo, walaupun tak satupun kata keluar dari mulutnya, namun rupanya apa yang
menggelayuti hati dan pikirannya, sama persis dengan apa yang dirasakan Sandra.
Apalagi Sandra, dia benar benar ingin mengahbiskan malam ini sepuas puasnya
dengan Rejo. Semua cara dan gaya yang dia tahu, tanpa malu malu dilakukan pada
Rejo. Keduanya benar benar menjadi gila malam itu. Kegilaan dua orang dewasa
dalam rumah kayu di tengah hutan.
Malam telah bergulir, rintik hujan di luar telah reda, dan dua
tubuh manusia itu telah lunglai, semua hasrat telah terlampiaskan dan
terpuaskan. Masing masing saling terkulai berpelukan satu sama lain. Api di
perapian pun semakin surut, dan gelas gelas anggur kini telah tercicip
membasahi tenggorokan mereka yang kering oleh deru dan pacu hasrat yang bergelora.
Mereka berdua menghabiskan mala mini penuh dengan kehangatan, dan tiada lagi
satu keeping pun hasrat yang tersisa diantara mereka berdua. Semuanya telah
mereka lepaskan. Semuanya, tak bersisa.
Mereka
menikmati kebersamaan ini yang akan berakhir entah kapan, namun mereka berdua
yakin bahwa kebersamaan mereka tentu akan berakhir, mengingat perbedaan
keduanya teramat besar. Dalam lubuk hati yang paling dalam, mereka mengetahui
hal itu, namun masing masing takut untuk mengucapkannya. Mereka tak ingin ini berakhir. Sama sekali tak ingin. Maka yang dapat dilakukan sekarang adalah
menikmati semua keindahan yang masih dapat mereka lakukan bersama. Usaha, jelas
mereka usahakan, namun semakin mereka berusaha, semakin terlihat jelas pula
jurang pemisah di antara mereka.
Rejo
semakin tak tahu lagi arah cerita ini. Dia biarkan semuanya mengalir. Dia tak
bisa munafik, bahwa dia juga menyukai Sandra, namun dia juga tak mampu
melupakan sama sekali Dewi, wanita jawa yang telah merenggut hatinya bulat
bulat, walau tamparan tamparan keras yang di dapatnya menjelang keberangkannya.
Namun tamparan itu, kini semakin lama semakin indah terasa di dirinya. Betapa
Dewi sama sekali tak ingin jauh, apalagi kehilangan dirinya.
“Honey, what will you do after this program?”
Tanya Sandra tiba tiba. Rejo menggelengkan kepalanya tak yakin.
“Do
you will go back home to Indonesia?” Tanya Sandra lagi. Rejo diam. Rejo
bingung.
“Would
you stay here?” pinta Sandra setelah
sekian lama Rejo diam.
Rejo
diam. Tak mungkin dia akan diam dan menetap di sini, namun dia bingung untuk
mengatakannya. Sedangkan Sandra, hanya mampu memandangi laki laki yang kini
telah menawan hatinya itu dengan tatap mata penuh harap. Walaupun dia tahu,
harapan itu terlalu egois baginya. Namun, itu semua adalah kata hatinya, yang
tak mungkin dia pungkiri.
Rejo
hanya mampu menggeleng gelengkan kepalanya. Berkali kali dia menyusun kata,
namun gagal lagi dan gagal lagi. Akhirnya, dengan hati hati yang bedebar debar,
dia berusaha mengatakannya. Sementara, kilatan kilatan gamrbaran dari peristiwa
yang didapati Sandra saat bergumul dengan Rejo, semakin jelas dan mengganggu
alam pikirnya. Dia tahu, inilah pertanda itu. mengapa selama ini Rejo, selalu
saja terdiam jika dia mengajaknya untuk membicarakan tentang mereka berdua.
Dengan segala kemungkinan yang telah dia perhitungkan, akhirnya Sandra
memberanikan diri untuk bertanya. Cepat ataupun lambat, hal seperti ini
haruslah di ungkap. Dan menurutnya, saat inilah yang tepat, sebelum Rejo
kembali pulang ke Indonesia, dan sebelum semuanya terlambat, dan sebelum sesal
menyiksanya kelak.
“Honey,
tell me honestly……..Who is she????” tanya Sandra dengan wajah serius, sambil
memegangi wajah Rejo. Rejo tergagap. Dia merasa sama sekali tak pernah
bercerita tentang apa yang terjadi padanya saat sebelum berangkat ke Australia.
“What
do you mean?” Rejo balik bertanya.
Sandra
kemudian bercerita, tentang dirinya, kemampuannya sebagai seorang keturunan
gipsi, dan tentang apa yang dia rasakan
selama ini, serta apa saja yang dilihatnya dalam kilatan kilatan penglihatannya
itu. Dengan yakin dia menjelaskan arti semuanya itu. Rejo, bagai ditelanjangi
bulat bulat olehnya. Dan Rejo mengakui, apa yang dikatakan wanita gipsi itu,
adalah benar adanya.
“But,
you know me. You know what I am doing…..” katanya sambil menatap jauh menembus
tirai jendela yang terbuka lebar.
Sandra
paham akan jawaban Rejo itu. Dia tahu,
Rejo juga tak mempermainkan dirinya. Namun
rasa yang telah muncul, terlalu besar
untuknya. Akhirnya dia hanya diam tercenung. Dia pun tahu akan apa yang terjadi
pada Rejo. Rejo kemudian menoleh ke
arahnya. Wanita itu masih duduk diam dan tercenung di sofa. Tatap matanya jauh
entah kemana. Rejo mendekatinya.
Dilihatnya
kedua mata wanita itu telah basah, dan air mata telah mengalir di kedua
pipinya. Namun sama sekali tiada suara isak tangis yang keluar dari mulutnya.
Rejo tahu betapa kuat wanita itu menahan rasa atas dirinya, dan betapa kuat dia
menahan hatinya yang meronta, hingg hanya air mata yang menetes, yang mengungkapkan
berjuta juta kata yang dia simpan.
Rejo
segera duduk disampingnya, dan memeluk wanita itu. Namun wanita itu hanya diam.
Diam dan sama sekali tak berreaksi atas pelukan Rejo. Rejo mempererat
pulakannya. Semakin erat dia peluk tubuh wanita itu, semakin jelas terasa bahwa
hatinya meronta. Maka pecahlah isak tangisnya. Rejo semakin mendekap erat
tubuhnya. Namun, itu justru menambah tangisnya. Wanita itu, kini benar benar
menangis di pelukan Rejo.
Keduanya
kini diam dan saling berpelukan. Sandra masih dengan tangisnya yang menyayat,
sedangkan Rejo masih dengan kekalutannya.
“I
love you…..” bisik Sandra di telinga Rejo di sela sela tangisnya. Hati Rejo
terasa semakin teriris. Dia tahu betul akan kata kata Sandra, dan dia yakin itu
benar. Namun apa daya. Kadang Rejo berpikir apakah ini semua jalan yang harus dilewatinya untuk menemukan cinta
sejationya setelah dia bertualang dan melalang buana ke sekian banyak hati
seorang wanita? Ataukah ini sebuah kutukan, betapa sakit hatinya seseorang jika
harus ditinggal kekasih hatinya.
“I
love you, but I have to let you go, and I will…. Cause I love you…….” Katanya
lagi semakin menyayat hati. Rejo tertunduk pilu.
“Go
get her. Your heart is not belong
here…….” Ucapnya sambil semakin erat memeluk tubuh laki laki Jawa itu. sebuah
pertentangan batin yang amat dahsyat pada dirinya, namun sedikit demi sedikit,
dia dapat menekan egonya.
Rejo
berusaha melepaskan pelukan Sandra, untuk menatap wajahnya dan berbicara, namun
hal itu ditahan oleh Sandra. Sandra semakin erat merengkuh tubuh Rejo. Rupanya
Sandra belum puas dan belum selesai berkata kata.
“Just
remember me Honey…. I let you go, cause I love you so much, from the deepest in
my heart…… I just ask you one thing. Don ever forget me. If something happen to
you, you know your way back, I am waiting…..” kata katanya semakin membuat hati
Rejo teriris iris. Air matanya telah membasahi punggung Rejo, dan dia biarkan
semuanya terjadi. Dia sama sekali tak pernah menemukan seorang wanita yang rasa
cintanya begitu besar, hingga dia rela untuk kehilangan. “Manusia macam apa
ini????” Rejo bertanya tanya dalam hati.
Seiring
dengan redanya hujan di luar sana, reda pula semua hasrat dan emosi jiwa
keduanya. Mereka kemudian dapat berpikir secara dewasa, dan dapat menerima
segala keputusan yang telah mereka buat. Sandra, walaupun dengan sangat berat
hati, harus merelakan kepergian Rejo dan mengikis habis egonya. Sedangkan Rejo,
sungguh tak mampu berucap kata kata untuk mengungkapkan betapa dia memuja
Sandra sedemikian rupa. Rejo semakin malu pada dirinya sendiri, dan dia merasa
memang dirinya sungguh tak pantas dipersandingkan dengan Sandra yang memiliki
hati yang sedemikian mulia itu.
Malam
itu, kini menjadi semakin indah bagi keduanya, setelah mereka berhasil
menempatkan diri mereka dalam kedewasaan, dan menempatkan masing masing menjadi
sahabat, walaupun mereka berdua tak mampu mengingkari adanya hasrat yang
terpendam diantara keduanya, yang tetap menyala nyala, menunggu sebuah percikan
api walaupun sedemikian kecilnya, tentu akan segera “membakar” keduanya,
mengingat apa yang mereka pendam, sedemikian besarnya. Mereka masih tetap ingin bersatu padu hingga
pagi menjelang, dan seiring dengan terbitnya matahari esok hari, mereka akan
berubah menjadi dua orang sahabat. Entah apa namanya. Inilah malam terakhir
bagi mereka sebagai sepasang kekasih, sepasang orang dewasa yang berlainan
jenis, dan mereka sama sekali tak ingin melewatkan malam ini barang sedetikpun.
Cinta memang gila. Memang sangat sulit dipercaya.