Saturday, November 24, 2018
Friday, November 23, 2018
Wednesday, November 21, 2018
Berkunjung ke Telaga Jonge dan Petilasan Kyai Jonge
Sebenarnya dari rumah ingin ke Candi Risa n bersama keluarga. Namuj setelah makan siang, melihat suasana yang sangat panas, diputuskan untuk mencari lokasi yang terdekat. Cek gugel, terlihat Batu Giring. Oke kita segera meluncur kesana.
Setelah puas menikmati batuan alam yang konon merupaka sisa sisa tambang, cek gugel lagi, muncul Telaga Jonge. Segera kami meluncur kesana. Setelah tiba, cukup lega melihat banyaknya pepohonan membuat suasana sejuk. Saat mencari tempat parkir mobil, tak sengaja kulihat tulisan besar Mbah Jonge. Langsung klik deh pokoknya. Setelah parkir dan anak anak bermain main di wahana permainan, aku sengaja mengunjungi Mbah Jonge.
Mbah Jonge, adalah seorang prajurit Majapahit yang terdampar di daerah Jepitu Rongkop, Gunungkidul dan akhirnya mukso di Telaga Jonge
Nama asli nya Ki Sidik Wacono, sementara nama Jonge singkatan dari “jong Kerem” (perahu tenggelam), merupakan kata sandi untuk menyelamatkan diri dari kejaran prajurit Raden Patah
Pengembaraan Sang Prajurit
Menurut cerita sejarah, kekalahan Kerajaan Majapahit oleh Kerajaan Demak tidak berhenti pada takluknya para raja kecil di tanah Jawa bekas jajahan Majapahit kepada Kerajaan Demak. Kerajaan Majapahit dan jajahannya yang berfaham Hindu, Budha dan Animisme/Dinamisme, terus mendapat tekanan dari Kerajaan Demak. Demak merupakan kerajaan Islam pertama di tanah Jawa menampakkan agresivitasnya dalam menyebarkan syiar Islam ke pelosok tanah Jawa. Raden Patah mengutus pasukannya melakukan penyerangan terhadap pasukan Majapahit dan antek-anteknya yang berada di Jawa Timur dan sekitarnya untuk menuntaskan penaklukannya. Sisa-sisa Laskar Majapahit yang sudah tidak terorganisir secara baik mulai kocar-kacir dan pelarian mereka sudah tidak berpola, ada yang ke pantai selatan, ke gunung-gunung, membaur dengan rakyat biasa, ada yang menjadi petani, pedagang, nelayan dan ada yang terus menggembara mennyelamatkan diri ke Pulau Bali.
Ki Sidiq Wacono dan Nama Jonge
Namanya Ki Sidiq Wacono, beliau adalah salah seorang prajurit pinilih, handal, dan setia kepada Kerajaan Majapahit yang masih tersisa dan terus melakukan pengembaraan menyusuri pantai selatan Jawa Timur , Jawa Tengah dan Yogyakarta. Disebut prajurit pinilih karena kelihaiannya dalam melakukan persembunyian hingg pasukan Demak tidak bisa menangkap meski sudah berbulan-bulan mengejarnya. Dalam pengembaraannya di Pantai tenggara kabupaten Gunung Kidul (sekitar Desa Cuwelo/Jepitu) Ki Sidiq Wacono yang didampingi oleh 6 prajurit lainnya mengalami musibah perahu kecil (jong) yang dinaiki terbalik (kerem) menabrak karang.
Karena perahu hancur dan tidak mungkin untuk diperbaiki lagi maka 7 orang prajurit ini mendarat, masuk wilayah Desa Jepitu, Cuwelo, Wedi Ombo, Rongkop dan sekitarnya. Semula 7 prajurit ini masih hidup menggerombol, tetapi lama kelamaan mereka sadar apabila terus menggerombol maka akan mudah ditemukan oleh pasukan dari Demak yang terus mengejarnya. Setelah berunding dengan berbagai pertimbangan akhirnya semua sepakat untuk berpisah menjalani kehidupan masing-masing, membaur di dalam masyarakat biasa.
Sebagai seorang prajurit yang mengalami gemblengan mental spiritual, kanuragan, strategi perang dan “ telik sandi” (intelijen), dalam kondisi hidup dan mati mereka menggunakan apa yang telah diajarkan oleh seniornya. Maka sebelum mereka melakukan perpisahan mereka telah bersepakat menggunakan “telik sandi” atau isyarat yang disepakati bersama sebagai pertanda bahwa jika kelak suatu hari ditemukan tanda-tanda yang dimaksud merupakan jajak perjalanan mereka bertujuh.
Tiga tanda yang dimaksud adalah:
1). Untuk mengenang bahwa pendaratan mereka disebabkan oleh musibah Jong yang Kerem (perahu tenggelam) maka mereka menyebut dirinya JONGKE (Jong Kerem), yang kemudian oleh masyarakat lebih mudah dilafal JONGE,
2). Untuk menandai 7 prajurit yang setia dan senasib sepananggungan maka apabila suatu kelak mereka meninggal dunia mereka minta agar kuburunnya “dikrapyak tundu pitu” (semacam kayu nisan yang disusun bertingkat tujuh).
3). Sisa hidupnya dihabiskan untuk mengabdi kepada masyarakat dalam bentuk menyediakan sumber kehidupan berupa telaga. Hal ini menjadi sangat berarti karena kawasan pengembaraan mereka merupakan pegunungan kasrt yang tidak ada sumber air permukaan dan satu-satunya sumber air adalah tampungan air hujan. Mereka tidak boleh mengangkat anak buah/murid bela diri meskipun sesungguhnya mereka seorang pendekar.
Makna Telaga Bagi Anak Cucu
Menurut informasi yang diperoleh dari berbagai sumber, kehidupan Ki Sidiq Wacono dihabiskan untuk bertani mengolah lahan di kawasan hutan belantara, daerah yang sulit air maka dibuatlah “kedokan” semacam waduk kecil untuk menampung air hujan dan dirawat sedemikian rupa sehingga dapat digunakan untuk minum dan bercocok tanam sepanjang tahun.
Ki Sidiq Wacono bekerja sama dengan warga sekitar dan anak-anak muda untuk mengolah lahan pertanian dan di sela-sela kesibukannya beliau juga memberikan “sesorah” semacam pesan-pesan bijak, nasehat kepada warga sekitar. Maka tak hayal warga setempat semakin mengagumi beliau dan wargapun berpikir kalau Mbah Jonge bukan orang sembarangan sehingga banyak warga sekitar yang memberanikan diri menyampaikan keinginananya untuk menyerap ilmu Mbah Jonge atau menjadi muridnya.
Beliau tetap merendah dan tidak mengaku bahwa mempunyai ilmu “linuwih”. Beliau tetap melayani warga sekitar dan selalu menasehati agar masyarakat giat bekerja supaya nanti anak cucu disekitar sini akan mengenyam “tinggalanku”, apa lagi tentang jati dirinya sebagai prajurit Majapahit benar-benar disimpan rapat hingga wafat. Agar masyarakat tidak kecewa atas permintaannya yang tidak dikabulkan, Mbah Jonge juga memberi wejangan kepada generasi muda tentang makna hidup, tujuan hidup, kebaikan dan pada hari-hari tertentu anak-anak muda ini juga diajak bergotong royong untuk membangun sarana-sarana yang sifatnya untuk kepentingan bersama. Apa yang disampaikan Mbah Jonge kepada generasi muda inilah sebetulnya yang disebut pembelajaran ilmu bela diri, tetapi karena hal ini dilakukan dengan cara tidak terang-terangan dan sambil melakukan pekerjaan bertani dan pada waktu luang saja maka anak-anak muda tidak merasa bahwa sebetulnya mereka mendapat isian ilmu kanuragan/bela diri.
Hingga pada masa tuanya Mbah Jonge tetap bertani dan terus merawat air tadah hujan dengan harapan air ini dapat membantu keberlangsungan kehidupannya dan anak cucu kelak. Ladang garapannya selain ada di Pedukuhan Kuwangen Lor juga berada di Desa Menthel (+/- 5 km arah selatan) yang diolah dan diperlakukan sama seperti di Telaga Jonge/Kuwangen Lor.
Ketika Mbah Jonge wafat timbul sedikit ketegangan antara warga yang tinggal di Pedukuhan Kuwangen Lor dengan warga yang berada di Desa Menthel. Baik warga Kuwangen Lor maupun warga Menthel masing-masing mengklaim bahwa dialah yang berhak untuk menguburkan sesepuh mereka. Murid-murid yang ada di Kuwangen Lor ingin mengubur Ki Sidiq Wacono di tanah pertaniannya, yaitu di wilayah Kuwangen Lor (sekarang Jonge) murid-murid yang di Menthel ingin menguburkan di Menthel dengan alasan di sana sebagai tanah yang baru dan lebih tersembunyi.
Perdebatan yang cukup seru ini nyaris menimbulkan adu fisik, untung ketika suasana semakin tegang munculah salah seorang usia senior yang arif dan bijaksana berkata; “ Kalian nggak usah berebut adu benar untuk menguburkan Si Mbah. Siapapun berhak mengubur dan di manapun boleh asal bisa menjelaskan apa wasiat Ki Jonge ini”. Mendengar suara yang lirih tapi menggelegar itu warga yang tadinya berebut benar menjadi diam seribu bahasa.
Ditunggu sampai sekian lama tidak ada satu orangpun yang berani angkat bicara, maka orang tersebut berkata lagi; “Jonge asal dari kata Jong Kerem, Si Mbah pesan kalau meninggal minta di atasnya didirikan krapyak tundo pitu, lahan garapannya diwariskan untuk anak-cucu, dijadikan sumber kehidupan bersama, yaitu air/telaga dan pategalan untuk oro-oro/ladang penggembalaan ternak”. Selesai menjelaskan wasiat Ki Jonge maka orang tua ini langsung meminta kepada 6 orang sahabatnya untuk mengangkat jasat Ki Sidik Wacono dan dibawa ke arah selatan menuju Menthel. Warga pelayat tidak bisa berkata-kata seolah terhipnotis oleh orang-orang asing yang membawa jenasah dan berjalan terburu-buru seolah tidak mau berkomunikasi dengan siapapun yang ada arena pelayatan.
Mbah Jonge Muksa?
Sepeninggal orang tua dan 6 orang sahabatnya yang membawa jasad Ki Sidik Wacono, terjadilah beribu tanya diantara mereka yang masih berada di pelayatan. Mereka saling bertanya siapa mereka dan mau dibawa kemana jasad tadi? Semua pertanyaan tidak ada jawabnya justru pada hari berikutnya terjadi kehebohan; sekelompok petani dari Kampung Menthel berdatangan dengan tujuan melayat karena berita tentang meninggalnya Ki Sidik Wacono baru mereka dengar tadi malam. Warga Kuwangen Lor menjadi bingung karena Jasad Ki Sidik Wacono sudah dibawa ke Menthel, mengapa justru warga Menthel tidak ada yang mengetaui akan hal ini? Maka bersepakatlah diantara warga untuk menelusuri ke mana jasad Ki Sidiq Wacono dibawa?…Dan sampai sekarang tentang meninggalnya Ki Sidik Wacono alian Mbah Jonge tetap menjadi misteri, apakah benar-benar mukso (menghadap Tuhan beserta jasadnya?) atau dimakamkam ditengah Telaga Jonge? Atau dibawa keman oleh 6 orang yang tak dikenal.
sumber : Kyai Jonge
Monday, November 19, 2018
Situs Kronggahan
Terletak di sebuah pertigaan di wilayah Kronggahan Sleman. Tidak banyak yang tahu jika tidak dengan sengaja mengamatinya, karena letaknya yang hanya teronggok di sudut, di bawah pohon dan pas di depan gapura.
Situs Belik Darum, Candikarang, Sardonoharjo
Terdapat di desa Candikarang. Candikarang adalah salah satu desa dari desa bernama candi-candi di sekitarnya, seperti Candi Winangun, Candi III dll. Letaknya tak jauh dari situs Candi Kimpulan. Di daerah ini memang terdapat banyak sebaran batuan candi. Konon arca arca yang pernah ditemukan, sudah diamankan.
Situs Taraman Sinduharjo Ngaglik Sleman Yogyakarta
Karena sebuah rumah kosong yang tak dihuni, mengakibatkan listrik tidak terbayar dan disegel. Terpaksa aku mengurusnya ke rumah pak petugas. Ndilalah saat saya ke rumah pal petugas, mata saya melihat sebuah batu kotak berada di bawah pohon. Saya dekati dan..... berukir!
“Lek, watu opo iki?” tanyaku sontak
“Woh.... kui jaman mbah mbahku biyen le oleh pasa ngeduk.....” jawab beliau.
“Ono tunggale?” tanyaku semakin panasaran
“Yo wis tak potone yo Lek?” ku tak menunggu jawabannya.
“Mestine ono tunggale iki Lek..... “ lanjutku setelah selesai mengambil gambar.
“Hambuh yen kui..... arep nggo ngopo?” tanyanya penasaran.
“Seneng je Lek....” jawabku pendek.
Bla bla bla, selesailah urusan rekening listrik. Beres......
Situs Nandi Getas
Sebuah arca sapi tanpa kepala berada di pinggir jalan Kampung Getas, Sleman. Cukup banyak orang yang mendatanginya, mengamati dan mendokumentasikan, termasuk saya. Konon arca ini ditemuka tak jauh dari tempat sekarang, dan sudah mengalami perpindahan tempat sebanyak 2 kali. Terakhir yang di tempat ini. Sekarang ini.
Sedangkan watu Buto yang terdapat di tengah sawah ini, menyimpan segudang cerita mistis...
Pun demikian dengan penampakan sebagian batuan besar dengan bentuk melingkar di sebelah barat tak jauh dari watu buto itu. Konon pernah ditemukan batua kotak dengan relief tertentu, dengan batu kotak berada ditengahnya dan sudah diamankan petugas.
Situs Ringin Bukhoari Cebongan Kidul
Ringin Bukhori. Tak begitu jelas apa yang dimaksud dengan penamaan seperti itu. Terdapat pohon beringin yang lumayan besar di pinggir jalan, konon dibawah pohon ini terdapat arca sapi yang ditimbun tanah kembali, sebuah sendang di bawahnya, dan batuan candi di sebelahnya. Entahlah..... tiada cerita yang dapat menjelaskannya .
Subscribe to:
Posts (Atom)