Thursday, April 25, 2019

Situs Teganing Kulon Progo

 Teganing adalah salah satu wilayah di sebelah utara Desa Hargotirto, Kokap, Kulon Progo. Teganing terbagi menjadi tiga dusun, yaitu dusun Teganing I, Teganing II, dan Teganing III. Pada awalnya, ketiga dusun ini satu pedukuhan, tetapi setelah tata pemerintahan masuk ke desa-desa, pedukuhan Teganing dibagi menjadi tiga dusun.

Asal-usul nama Teganing tak lepas dari cerita Sebatur. Cerita Sebatur adalah salah satu cerita lisan di Desa Hargotirto. Cerita ini diketahui secara turun-temurun oleh masyarakat, khususnya masyarakat Teganing. Cerita Sebatur sebagai salah satu bentuk sastra lisan menjagi warisan budaya dan jati diri hidup masyarakat setempat.

Kenteng Batur atau dikenal dengan nama Sebatur adalah sebutan bagi sebuah cagar budaya di Dusun Teganing II. Cagar budaya ini menyerupai tanah lapang. Sebatur berarti tanah bekas baturan; tanah yang sudah dicangkul sebagai lahan namun tidak digunakan. Sebatur berisi dua batu yang menjadi pusat pada bagian tengah lapangan. Sebatur berkaitan erat dengan asal-usul nama Teganing dan siar Islam di daerah tersebut.

Dikisahkan, pada abad ke-16 datang seorang ahli agama Islam. Ia bernama Cakra Jaya. Cakra Jaya merupakan salah satu murid Sunan Kalijaga, dari Demak Kinasih. Atas perintah gurunya, Cakra Jaya menuju sebuah daerah di sebelah utara Gunung Kecut (saat ini bernama Watu Jeruk; terletak di selatan Kecamatan Kokap), dan di sebelah selatan Watu Putih (saat ini disebut Gunung Kelir; gunung ini tersusun dari batuan kapur yang terlihat seperti “kelir” kain putih latar belakang pada pentas wayang). Cakra Jaya memutuskan untuk berhenti di daerah Teganing (saat itu belum bernama) karena percaya bahwa tempat inilah yang sesuai dengan perintah sang guru.

Kedatangan Cakra Jaya menjadi titik awal penamaan Teganing. Nama Teganing pada awalnya adalah Deganing, berasal dari bahasa Jawa degan; ‘kelapa muda’ dan ning; wening; ‘sadar’, artinya kelapa muda yang menyadarkan. Penamaan ini terjadi ketika salah seorang pengikut Cakra Jaya pingsan dan kebingungan arah. Salah seorang warga lokal memberinya air kelapa hijau atau kelapa muda dan ia sadar kembali. Sejak itulah, dari wilayah timur sampai barat gunung diberi nama Deganing.

Cakra Jaya menyebarkan agama Islam di tengah-tengah masyarakat Budha. Ia menarik perhatian masyarakat dengan menggelar pentas Ledhek (tarian tradisional yang ditarikan oleh seorang wanita). Tari ini mulai sebelum materi pengajiannya disampaikan. Ledhek tersebut dipentaskan oleh seorang janda yang berasal dari Wonosari. Dikisahkan bahwa si penari ledhek disumpahi oleh suaminya akan menjadi janda seumur hidup. Mitos bahwa seorang yang telah disepatahi; disumpahi suaminya tidak akan mempunyai suami lagi dipercaya sampai saat ini oleh masyarakat Teganing.

Hiburan sebagai salah satu hal yang dapat menarik minat masyarakat yang saat itu masih awam terhadap pelajaran agama berhasil membantu siar Islam Cakra Jaya. Akan tetapi, setelah sekian lama pentas Ledhek digelar, masyarakat merasa bosan. Maka digantilah pentas Ledhek menjadi Jaran Kepang (kuda dari anyaman bambu; tari Jatilan). Tari Jaran Kepang dianggap cocok karena gerakan tarinya lebih rancak, begitu pun musik iringannya. Jaran Kepang ditarikan oleh 6 sampi 8 pemuda dengan diiringi gamelan, tabuhan bedug, dan angklung.

Setelah sekian lama mengajarkan agama Islam, Cakra Jaya mengadakan khataman (syukuran karena telah selesai membaca Al-Quran sampai Khatam). Ia menyembelih seekor kambing. Cakra Jaya juga berniat mendirikan sebuah padepokan. Akan tetapi, sebelum padepokan tersebut berdiri, ia telah dipanggil oleh Sunan Kalijaga untuk kembali dan menjadi wali yang ke-27. Calon padepokan Cakra Jaya yang saat itu sudah dibatur (dicangkul menjadi lahan bangunan) disebut Sebatur.

Dalam perjalanan pulang, Cakra Jaya berhenti disebuah daerah yang saat ini disebut sebagai Gomangu (Tegamangu: termangu-mangu antara tega dan tidak). Kebimbangan Cakra Jaya inilah yang pada akhirnya merubah nama Deganing menjadi Teganing: tega ninggal artinya ‘berani meninggalkan’. Teganing juga merupakan pepiling (pengingat) tiga pilar kehidupan. Teganing; tiga wening; tiga peringatan, yaitu: ingat akan Tuhan, ingat akan negara/pemerintahan, dan ingat akan keluarga. Tiga pesan inilah yang harus diingat dan dipahami oleh masyarakat Teganing untuk mencapai kemakmuran hidup.

Dari Gomangu menuju barat, seorang teman Cakra Jaya meninggal, maka dibuatlah nisan dari batu sebagai pertandanya. Sampai saat ini wilayah tersebut dikenal dengan sebutan Mejan (mejan: batu menyerupai meja; nisan).
Di Mejan itulah, sebelum akhirnya pulang menuju Demak, Cakra Jaya menginggalkan pesan terakhirnya, bahwa pada suatu ketika, saat anak-cucu atau generasi selanjutnya telah datang, akan ditemukan emas sebesar gajah di Teganing. Pesan tersebut terbukti. Saat ini terdapat sebuah gunung yang menjadi salah satu wisata alam di Teganing. Gunung tersebut berbentuk menyerupai gajah sehingga dinamai Gunung Gajah.

Cakra Jaya meninggalkan banyak kesan bagi masyarakat Teganing. Selain padepokan Sebatur yang sampai saat ini masih dirawat oleh masyarakat, Cakra Jaya juga meninggalkan dua buah batu yang disebut watu gandik (sekarang tinggal satu batu: dicuri). Batu tersebut menyerupai gelas panjang, diletakkan di atas sebuah batu lebar menerupai nampan, di tengah-tengah lahan Sebatur. Pada zaman dahulu, watu gandik digunakan sebagai sarana dakwah Cakra Jaya.
Watu gandik membawa amanat bahwa manusia hidup berasal dari dua unsur, yaitu Adam dan Hawa, atau laki-laki dan perempuan. Pesan selanjutnya adalah manusia harus hidup dengan dua pegangan, yakni Al Quran dan Hadits.

Sebatur sampai saat ini masih digunakan masyarakat sebagai sarana mengucap syukur dan mendoakan pendahulu mereka. Setiap satu tahun sekali, yakni pada hari Rabu terakhir bulan Sapar, masyarakat mengadakan selamatan di Sebatur. Selamatan tersebut juga dilengkapi dengan pagelaran Jaran Kepang. Seiring perjalanan zaman, masyarakat Teganing mengadakan ritual di Sebatur dengan mengarak Gunungan dari Njepati ke Sebatur. Arak-arakan dilakukan dengan berbusana Jawa. Selain untuk mendoakan para pendahulu, ritual ini juga menjadi sarana bersyukur atas hasil panen yang melimpah selama satu tahun.
Cerita Sebatur ini adalah salah satu warisan budaya. Oleh karena itu, dokumentasi baik lisan atau pun tulis harus tetap dilakukan. Menceritakan secara turun-temurun merupakan salah satu upaya untuk menjaga warisan budaya tersebut.

Sumber : Teganing








No comments:

Post a Comment