Lepas isyak kami berangkat untuk
menengok teman yang sakit. Rumahnya nun
jauh disana, di bawah gunung merapi bagian barat daya. Telah terbayangkan
betapa dinginnya daerah itu. Semakin lama kami naik menuju rumahnya, semakin
dingin udara disana. Bahkan jaket yang kami kenakanpun tembus oleh hawa dingin
gunung merapi.
Setelah jalan kecil berdebu dan berkelok
kelok di tengah kebun salak pondoh sampailah kami dirumah teman yang letaknya
tepat di tengah kebun salak pondoh miliknya. Hmmmm, betapa enaknya tinggal di
rumah itu. Kami ketuk pintunya beberapa kali, namun belum juga ada jawaban. Namun
mendadak pintu terbuka pelan, dan terlihat seorang wanita muda dengan
menggendong anak kecil berusia 2 tahun membukakan pintu dan mempersilakan kami
masuk.
Setelah kami masuk, rupanya teman
kami sedang tiduran berselimutkan sarung, di depan televisi. Kami bersalaman
dan duduk di ruang tamu dan kemudian ngobrol kesana kemari. Televise yang masih
menyala, waktu itu tengah menayangkan sebuah acara “foto foto yang merubah
dunia”. Aku pun tertarik acara itu dan kutinggalkan mereka, dank u maju ke
depan, duduk di lantai tepat di depan televise. Ada beberapa foto yang
ditayangkan antara lain pembunuhan gerilyawan vietkong, ada juga sebuah panser
di cina yang harus berhenti karena dihadang oleh mahasiswa berani mati,
sendirian. Hebat.
Namun perhatianku tersita oleh
tayangan berikutnya, yaitu beberapa bocah kecil, berkulit hitam, dengan tubuh
yang amat sangat kurus. Demikian juga dengan orang orang dewasa. Narasi foto
foto itu mengatakan bahwa mereka adalah warga negeri Biafra, sebuah Negara kecil
di benua Afrika yang di embargo dan dikucilkan oleh Negara yang lebih besar,
yaitu Nigeria. Terbayang betapa tersiksanya mereka, dimana mereka tak
mendapatkan pasokan makanan dari luar, sedangkan dari negeri mereka sendiri,
tak mampu mencukupi kebutuhan pangan untuk rakyatnya, melihat kondisi geografis
yang memang tak memedai bagi pemerintah untuk memberi cukup pangan bagi
rakyatnya.
Sejenak ku tercenung. Teringat beberapa
peristiwa di negeri ini, yang menurutku, tidak menutup kemungkinan negeri kita
yang kaya raya ini (katanya) akan dapat menjadi seperti negeri Biafra
(mudah-mudahan tidak.)
Kita lihat beberapa fakta, bahwa
negeri kita yang kaya ini telah mulai habis dihisap Negara lain, seperti
freepot, dan tambang tambang lain yang tersebar di hampir seluruh Kalimantan,
dan Indonesia Bagian Timur. Siapakah yang sengsara? Jelas rakyat jelata. Lalu siapakah
yang kaya raya? Jelas pejabat di atas sana. Betul?
Dari sisi potensi wilayah,
Indonesia adalah Negara agraris. Namun oleh para petinggi, rupanya pembangunan
mengarah pada industry, dan mengesampingkan agraris. Dalam sejarah, kata
seorang pakar, Negara agraris yang berkembang menuju Negara industry, maka Negara
tersebut akan gagal. Menurutku, kata pakar tersebut, tidak salah untuk negeri
ini.
Lihatlah berapa alokasi dana apbn
ataupun apbd untuk pembangunan fisik dan
sejenisnya, dan berapa alokasi dana untuk pertanian ataupaun memperkuat
ketahanan pangan kita? Jomplang Rek!!!! Terlihat jelas keberpihakan pemerintah
lebih ke arah mana.
Teringat suatu saat seorang calon
anggota dewan berkunjung ke sebuah wilayah, dan memberikan berbagai macam
bantuan alat pertanian dan peternakan. Sungguh luar biasa mulia saat itu. Namun
tahukah kalian bahwa anggota dewan pula yang menyetujui areal persawahan subur
di daerah itu digulung traktor, dikeringkan dan akan dibangun perumahan. So,
buat apa kasih bantuan alat pertanian bila sawah mereka di tanami beton beton
semen??? Naïf!!! Bukankah rakyat jelata sengsara, dan mereka tetap kaya?
Berapa banyak kawasan hijau yang
menurut “blue print” adalah lumbung pangan bagi wilayah, namun dengan
menjentikkan jari, bisa juga tuh lumbung pangan tersebut tahu tahu telah
berdiri gedung gedung atau telah berwujud pondasi pondasi
berkapiling-kapling????
Pasar tradisional, yang merupakan
muara pertemuan antara petani yang menjual hasil panen pada masyarkat, kini
telah berdiri supermarket/minimarket di sekitar pasar tradisional itu, dimana
mereka itu adalah retail retail modern yang dikelola oleh orang yang entah kita
sendiri tak tahu seperti apa sepak terjang mereka di ranah perdagangan negeri
ini, sehingga bisa mendapatkan ijin serta kemudahan kemudahan lainnya . Pikirkanlah,
kemana mereka akan menjual hasil panen mereka? Bukankah rakyat jelata yang
sengsara, dan mereka mereka tetap menjadi kaya?
Teringat jelas di benakku, saat
krisis moneter 2007 lalu, retail modern runtuh, pengusaha pengusaha guliung
tikar. Dan tahukah kalian siapa yang tetap survive????? Merekalah para petani
tradisonal, pedagang pedagang pasar tradisional yang tetap dapat berdagang dan
menggerakkan roda perekonomian pedesaan. Disitulah kekuatan mendasar kita, bila
kalian tahu. Tidakkah kalian bercermin dari itu?
Dalam sekala yang lebih besar,
apabila hal tersebut tetap dibiarkan, dengan semakin terpinggirkannya pelaku
tradisional, semakin sempitnya lahan persawahan, dengan tanpa ditunjang ketahanan
paangan yang dibangun oleh negeri kita sendiri, apabila terjadi seperti Nigeria
meng-embargo Biafra, dan kali ini Indonesia di embargo oleh Negara Negara ASEAN
misalnya, percayalah, nasib kita akan seperti warga Biafra.
So, belum begitu terlambat bagi
kita semua untuk bergerak saat ini. Untuk Indonesia yang merdeka, merdeka dari
apa saja, terutama ketahan pangan dan ekonomi.