Demikian tema dari “obrolan publik” yang diselenggarakan oleh
Balai Arkeologi DIY, dalam Pekan Pendidikan Yogyakarta, bertempat di Museum
Benteng Vredeburg, 23 April 2018.
Menghadirkan tiga pembicara yaitu Bapak Sugeng, Kepala Balai Arkeologi DIY, Ibu
Triana mewakili Dikpora DIY, dan Ibu Anggi mewakili Komunitas Guru Belajar.
Dalam kesempatan ini Pak Sugeng mengungkapkan bahwa arkeologi
dapat dilakukan pendekatan secara akademis, yaitu dimana hasil hasil temuan
dari penelitian, akan disebarluaskan ke masyarakat luas. Secara kebijakan atau
regulasi, dapat diguanakan sebagai acuan dari pembangunan agar lebih
memperhatikan dan melindungi sumber sumber sejarah dan atau temuan yang ada.
Yang terakhir adalah pendekatak secara edukasi. Yaitu pendekatan secara
keilmuwan yang lebih mendekatkan ke para pelaku pendidikan, dengan dibentuknya
Rumah Peradaban, yang bekerja sama lebih intensif dengan dunia pendidikan
dengan menerbitkan buku buku, poster dan lain lain.
Sedangkan dari Dikpora yang diwaikili Ibu Triana, mengatakan
bahwa tahun 2025, Yogyakarta diprediksi akan menjadi kota Pusat Pendidikan
Arkeologi Se Asia Tenggara. Dengan demikian,
peran arkeolog arkeolog sangat diperlukan untuk mengetahui sejarah dari
bangsa ini. Untuk lebih mengembangkan dunia arkeologi ini, menurutnya harus ada
pemetaan dari BALAR, kerjasama dengan perpustakaan, menggiatkan dan memudahkan
acara kunjungan ke museum, serta penerbitan buku buku, lomba lomba dan kegiatan
lain yang dapat merangsang minat anak didik untuk lebih dekat dengan dunia
sejarah.
Bu Anggi, dari Komunitas Guru Belajar, lebih mengungkapkan
keresahannya akan anak anak didik yang sekarang sudah tidak begitu mengenal
akan sejarah sejarah bahkan yang ada di sekeliling lingkungan mereka. Hal
inilah yang kemudian cukup mendapat banyak tanggapan dari pembicara maupun
peserta. Dari peserta yang berprofesi sebagai pendidik juga mengeluhkan hal
yang sama. Terutama masalah norma sopan santun yang sekarang sudah hampir
hilang sama sekali di kalangan anak didik.
Dalam kesempatan ini Pak Sugeng menanggapi bahwa program
pemerintah Nawacita telah memprioritaskan hal tersebut, dengan adanya peraturan
tentang pengelolaan pendidikan karakter, yang kemudian diikuti dengan peraturan
sejenis di tingkat daerah. Hal itu juga disampaikan oleh Bu Triana yang
mengambil contoh bahwa di Yogyakarta digalakkan dengan wajib berbahasa jawa dan
berbusana jawa di hari hari tertentu.
Hal yang sempat mengemuka adalah, bahwa adanya semacam
komunikasi yang terputus antara BALAR, Dikpora, dan Guru sebagai pelaku
pendidkan dalam rangka membentuk sebuah jalinan informasi dan komunikasi di
bidang sejarah ini, saat ternyata dari peserta terdapat juga komunitas
komunitas pecinta sejarah yang bergerak secara mandiri demi kecintaan dan
kelesatarian sumber sejarah. Hadir di acara itu antara lain Komunitas Kandang
Kebo, dari Sleman, Sutasoma dari Jawa Timur, dan Taksaka dari Magelang.
Komunitas komunitas itu berdiri di tengah, antara pihak pemerintah
dengan masyarakat. Mereka bergerak dibidang pelestarian benda benda bersejarah,
sekaligus melakukan kajian kajian dengan menghadirkan nara sumber yang
berkompeten di dalam kegiatan mereka. Jadi, jika saja semua bisa terintegrasi
dengan baik, terputusnya komunikasi seperti diatas seharusnya tak perlu
terjadi.
Muncul pula keluhan dari salah seorang peserta, dimana anak
didik sulit untuk menjadi tertarik akan sejarah/arkeologi, karena sejarah itu
seolah olah jauh berada di belakang, tidak menarik, dan tidak diikutkan dalam
ujian nasional. Padahal dalam sejarah itu terdapat banyak sekali ajaran budi
pekerti yang dapat membentuk karakter anak didik yang baik. Wajar kiranya jika
sekolah, anak didik, akan terfokus pada pelajaran pelajaran yang akan diikutkan
dalam ujian nasional. Suka tidak suka. Yang terjadi adalah, nilai ujian mereka
bagus, tapi karakter, sopan santun, “unggah ungguh” mereka jelek.
Menurut saya, dinas pendidikan harus lebih memperhatikan hal
seperti ini. Pak Presiden sudah mencanangkan penguatan pendidikan karakter,
diikuti oleh daerah. Namun jika kurikulum tidak bersinergi, tidak akan
maksimal. Karena bagaimanapun, pelaku dunia pendidikan akan merujuk pada
kurikulum yang ada.
Jangan sampai pendidikan karakter yang sudah dicanangkan
pemerintah untuk membangun karakter dan kepribadian bangsa, hanya menjadi judul
judul di halaman depan buku buku pelajaran. Sedangkan di dalam muatannya, tidak
menyinggung hal serupa.
Perlu adanya waktu untuk lebih mengenal sejarah dengan semua
muatan serta norma yang adiluhung, semacam lomba melukis, mewarnai, story
teling (dongeng), kunjungan ke museum gratis dan lain lain seperti diungkap Ibu
Triana. Namun sekali lagi, kurikulum harus berpihak.