Saturday, April 28, 2018

Arkeologi Untuk Dunia Pendidikan




Demikian tema dari “obrolan publik” yang diselenggarakan oleh Balai Arkeologi DIY, dalam Pekan Pendidikan Yogyakarta, bertempat di Museum Benteng Vredeburg, 23  April 2018. Menghadirkan tiga pembicara yaitu Bapak Sugeng, Kepala Balai Arkeologi DIY, Ibu Triana mewakili Dikpora DIY, dan Ibu Anggi mewakili Komunitas Guru Belajar.

Dalam kesempatan ini Pak Sugeng mengungkapkan bahwa arkeologi dapat dilakukan pendekatan secara akademis, yaitu dimana hasil hasil temuan dari penelitian, akan disebarluaskan ke masyarakat luas. Secara kebijakan atau regulasi, dapat diguanakan sebagai acuan dari pembangunan agar lebih memperhatikan dan melindungi sumber sumber sejarah dan atau temuan yang ada. Yang terakhir adalah pendekatak secara edukasi. Yaitu pendekatan secara keilmuwan yang lebih mendekatkan ke para pelaku pendidikan, dengan dibentuknya Rumah Peradaban, yang bekerja sama lebih intensif dengan dunia pendidikan dengan menerbitkan buku buku, poster dan lain lain.

Sedangkan dari Dikpora yang diwaikili Ibu Triana, mengatakan bahwa tahun 2025, Yogyakarta diprediksi akan menjadi kota Pusat Pendidikan Arkeologi Se Asia Tenggara. Dengan demikian,  peran arkeolog arkeolog sangat diperlukan untuk mengetahui sejarah dari bangsa ini. Untuk lebih mengembangkan dunia arkeologi ini, menurutnya harus ada pemetaan dari BALAR, kerjasama dengan perpustakaan, menggiatkan dan memudahkan acara kunjungan ke museum, serta penerbitan buku buku, lomba lomba dan kegiatan lain yang dapat merangsang minat anak didik untuk lebih dekat dengan dunia sejarah.

Bu Anggi, dari Komunitas Guru Belajar, lebih mengungkapkan keresahannya akan anak anak didik yang sekarang sudah tidak begitu mengenal akan sejarah sejarah bahkan yang ada di sekeliling lingkungan mereka. Hal inilah yang kemudian cukup mendapat banyak tanggapan dari pembicara maupun peserta. Dari peserta yang berprofesi sebagai pendidik juga mengeluhkan hal yang sama. Terutama masalah norma sopan santun yang sekarang sudah hampir hilang sama sekali di kalangan anak didik.

Dalam kesempatan ini Pak Sugeng menanggapi bahwa program pemerintah Nawacita telah memprioritaskan hal tersebut, dengan adanya peraturan tentang pengelolaan pendidikan karakter, yang kemudian diikuti dengan peraturan sejenis di tingkat daerah. Hal itu juga disampaikan oleh Bu Triana yang mengambil contoh bahwa di Yogyakarta digalakkan dengan wajib berbahasa jawa dan berbusana jawa di hari hari tertentu.

Hal yang sempat mengemuka adalah, bahwa adanya semacam komunikasi yang terputus antara BALAR, Dikpora, dan Guru sebagai pelaku pendidkan dalam rangka membentuk sebuah jalinan informasi dan komunikasi di bidang sejarah ini, saat ternyata dari peserta terdapat juga komunitas komunitas pecinta sejarah yang bergerak secara mandiri demi kecintaan dan kelesatarian sumber sejarah. Hadir di acara itu antara lain Komunitas Kandang Kebo, dari Sleman, Sutasoma dari Jawa Timur, dan Taksaka dari Magelang.

Komunitas komunitas itu berdiri di tengah, antara pihak pemerintah dengan masyarakat. Mereka bergerak dibidang pelestarian benda benda bersejarah, sekaligus melakukan kajian kajian dengan menghadirkan nara sumber yang berkompeten di dalam kegiatan mereka. Jadi, jika saja semua bisa terintegrasi dengan baik, terputusnya komunikasi seperti diatas seharusnya tak perlu terjadi.

Muncul pula keluhan dari salah seorang peserta, dimana anak didik sulit untuk menjadi tertarik akan sejarah/arkeologi, karena sejarah itu seolah olah jauh berada di belakang, tidak menarik, dan tidak diikutkan dalam ujian nasional. Padahal dalam sejarah itu terdapat banyak sekali ajaran budi pekerti yang dapat membentuk karakter anak didik yang baik. Wajar kiranya jika sekolah, anak didik, akan terfokus pada pelajaran pelajaran yang akan diikutkan dalam ujian nasional. Suka tidak suka. Yang terjadi adalah, nilai ujian mereka bagus, tapi karakter, sopan santun, “unggah ungguh” mereka jelek.

Menurut saya, dinas pendidikan harus lebih memperhatikan hal seperti ini. Pak Presiden sudah mencanangkan penguatan pendidikan karakter, diikuti oleh daerah. Namun jika kurikulum tidak bersinergi, tidak akan maksimal. Karena bagaimanapun, pelaku dunia pendidikan akan merujuk pada kurikulum yang ada.
Jangan sampai pendidikan karakter yang sudah dicanangkan pemerintah untuk membangun karakter dan kepribadian bangsa, hanya menjadi judul judul di halaman depan buku buku pelajaran. Sedangkan di dalam muatannya, tidak menyinggung hal serupa.

Perlu adanya waktu untuk lebih mengenal sejarah dengan semua muatan serta norma yang adiluhung, semacam lomba melukis, mewarnai, story teling (dongeng), kunjungan ke museum gratis dan lain lain seperti diungkap Ibu Triana. Namun sekali lagi, kurikulum harus berpihak.         

No comments:

Post a Comment