Baritan, Tradisi Memuliakan Hewan Dan Alam
Indonesia dikenal sebagai negara agraris, dimana sebagian besar penduduknya bekerja di bidang pertanian. Kondisi alam yang sangat mendukung karena terdapat cukup banyak gunung api. Geliat dan hembusan nafas dari gunung gunung itupun kemudian membuat tanah menjadi subur. Maka wajar kiranya jika Indonesia kemudian memiliki lahan pertanian yang sangat luas, sumber daya alam yang beraneka ragam dan melimpah. Keberadaan gunung api ini secara alamiah memunculkan sumber sumber air yang menyebabkan sungai sungai mengalir jernih. Demikian juga dengan Sungai Progo.
Sungai Progo atau lebih akrab disebut sebagai Kali Progo adalah sungai purba, sungai kuno yang sudah ada sejak jutaan tahun yang lalu. Sungai yang berhulu di Umbul Jumprit di lereng Gunung Sindoro Kabupaten Temanggung ini mengalir melintasi wilayah Kabupaten Magelang dan Yogyakarta, yang pada akhirnya bermuara di Samudera Indonesia. Sebagai sungai besar yang bermuara di samudera, sungai ini mempunyai peran yang sangat penting.
Cukup banyak hasil dari penelitian dan catatan sejarah yang menyimpulkan bahwa sungai adalah pusat kebudayaan. Tidak hanya di Indonesia, akan tetapi di seluruh dunia. Sungai Nil dengan kebudayaan Mesir Kuno, Sungai Tigris atau Efrat dengan kebudayaan Sabit Subur, Sungai Kuning dengan kerajaan Tiongkok Kuno, serta Sungai Indus di India. Sedangkan di Indonesia ada Kerajaan Sriwijaya di Sungai Musi di Sumatra, Kerajaan Kutai di Sungai Mahakam di Kalimantan, serta Majapahit di Sungai Brantas di Jawa Timur. Keberadaan sungai sungai tersebut membuat perkembangan dan kemajuan kebudayaan yang sangat pesat. Hal ini karena sungai adalah sumber kehidupan, dari tempat itulah asal mula peradaban.
Cukup banyak peninggalan sejarah peradaban klasik saat kerajaan berlatar belakang Hindu dan Budha berkuasa, ribuan tahun yang lalu. Dari hulunya di Umbul Jumprit, terdapat kampung kuno di Liyangan, Temanggung. Candi Borobudur, Cand Pawon, Candi Mendut dan Candi Gunung Wukir di Magelang. Memasuki wilayah Kabupaten Sleman, terdapat Candi Planden dan beberapa artefak di sepanjang Kali Progo yang berada di desa desa.
Dengan terdapatnya jejak peninggalan sejarah di sepanjang Kali Progo, maka dapat disimpulkan bahwa Kali Progo juga merupakan pusatnya kebudayaan bagi daerah daerah sekitarnya.
Kebudayaan disini tidak hanya berarti bentuk kesenian, akan tetapi berarti sangat luas. Kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddayah yang merpakan bentuk jamak dari buddhi (budia atau akal), yang kemudian diartikan sebagai segala sesuatu yang berhubungan dengan budi dan akal manusia. Jadi kebudayaan merupakan hasil dari olah cipta dari akal dan budi manusia, termasuk dalam upayanya untuk memudahkan dalam mempertahankan hidup. Dalam mempertahankan hidup, kebutuhan paling mendasar yaitu memenuhi keutuhan pangan. Dalam memenuhi kebutuhan pangan ini, nenek moyang kita telah cukup cerdas menjalaninya, dimana mereka telah mengenal teknologi dalam mengolah lahan pertanian.
Sebelum para petani Jawa di sepanjang Sungai Progo mengenal mekanisasi pertanian, dimana dalam dalam membajak sawah menggunakan mesin traktor, maka pada saat itu mereka menggunakan kerbau dan sapi untuk membajak sawah. Megawe dalam bahasa Jawa. Hal ini terbukti dalam salah satu Relief Jataka panil 336 di candi Borobudur. Relief tersebut menggambarkan seorang petani membajak sawah menggunakan dua ekor sapi, lengkap dengan alat bajak dan semacam tongkat atau cambuk untuk menggerakkan sapi. Ini berarti pada saat itu (abad 9 – 10 Masehi), para petani Jawa telah bersahabat dengan sapi atau kerbau.
Bagi orang Jawa, kerbau atau sapi adalah hewan ternak yang sangat spesial. Memiliki kerbau dan atau sapi merupakan salah satu simbol kekayaan dan kemapanan. Begitu spesialnya kedua jenis hewan ini, masyarakat Jawa sering menyebutnya sebagai “Raja Kaya”.
Makna dari kata raja kaya adalah kekayaan yang dimiliki oleh pemilik hewan ternak tersebut. Pada jaman dahulu, masyarakat desa tidak mengenal bank atau lembaga keuangan lainnya, maka harta yang mereka dapatkan dari bekerja mereka “simpan” dalam bentuk hewan ternak seperti kerbau dan sapi.. Apabila ternak yang dimiliki semakin banyak, kemudian mereka akan menjualnya, dan hasil dari penjualan ternak akan “investasikan” dalam bentuk tanah. Di beberapa wilayah, di Yogyakarta, Jawa Timur dan Jawa Tengah, hewan ternak ditempatkan di pekarangan depan rumah atau bahkan di dalam rumah. Hal ini adalah wujud perhatian dan penjagaan yang cukup ketat untuk harta mereka ini.
Selain pemeliharaan yang cukup istimewa tersebut, bentuk pengistimewaan dan penghormatan dari kerbau dan sapi ini adalah setiap selesai bekerja membajak sawah, mereka akan dimandikan oleh tuannya. Hal ini karena berdasar cerita dan kepercayaan turun temurun, bahwa konon seluruh hewan adalah rakyat dari Nabi Sulaiman. Suatu hari Nabi Sulaiman memerintahkan bahwa seluruh rakyatnya, tidak terkecuali hewan, harus mandi setelah selesai bekerja. Apalagi pekerjaan itu merupakan pekerjaan berat yang memeras keringat dan menyebabkan tubuhnya kotor.
Para petani dalam membajak sawah menggunakan kerbau atau sapi ini, dilakukan pada saat menjelang musim tanam. Sehingga dalam sebuah kawasan pertanian, terdapat cukup banyak petani yang membajak masing masing sawahnya dalam waktu bersamaan. Maka, setelah selesai dalam pekerjaanya, merekapun kemudian memandikan sapi atau kerbaunya itu bersama sama. Karena jumlahnya cukup banyak, maka dipilihlah tempat yang cukup luas dan terjangkau, yaitu Sungai Progo.
Waktu berjalan, dan kegiatan diatas selalu berulang tahun ke tahun. Maka, kegiatan tersebut menjadi kebiasaan yang merasuk ke dalam sanubari, dan diamini sebagai kebiasaan yang bermanfaat. Lalu hal tersebut menjadi sebuah tradisi.
Sebagai masyarakat Jawa yang mengakui keberadaan seluruh makhluk, tradisi tersebut lambat laun menjadi ritual, dimana penghormatan terhadap hewan ternak itu juga disertai doa dan pengharapan serta puji syukur kepada Sang Pencipta. Maka, tradisi ritual memandikan kerbau atau sapi di Sungai Progo ini kemudian dilakukan secara bersama sama, setiap tahun setelah panen raya. Karena trasidisi ini dilakukan setelah panen, maka tradisi ini dinamai Baritan, singkatan dari kata “bubar ngarit terus syukuran” (setelah selesai panen, lalu syukuran), ada juga yang berasal dari “lebar rit-ritan” (setelah selesai panen raya).
Prosesi ritual Baritan ini sangat unik. Setiap hewan ternak dikalungi ketupat, lalu digiring menuju Sungai Progo. Anggota keluarga pemilik ternak mengikutinya sambil membawa nasi tumpeng. Setelah sampai di sungai, mereka akan berkumpul bersama pemilik ternak lainnya, untuk melakukan ritual memandikan hewan ternaknya. Sedangkan ketupat yang dkalungkan pada hewan tersebut, akan dilarung atau dihanyutkan, bersamaan dengan ujar kaul atau pengucapan pelepasan nadzar ataupun doa pengharapan..
Setelah prosesi mmandikan hewan, nasi tumpeng yang dibawa kemudian dikumpulkan dan ditata melingkar untuk melaksanakan kenduri yang dipimpin oleh kamitua desa sesepuh desa. (kepungan).Kenduri itu sendiri disini lebih akrab disebut sebagai umbul donga, atau yang secara harafiah umbul berarti mata air, dan donga adalah doa. Jadi makna dari umbul donga adalah pusat dari sumbernya doa yang selalu mengalir tiada henti bagi masyarakat.
Lantunan doa doa mengalir dari kamitua, dan suara suara bergumam “amin” dari seluruh pengikut kenduri. Wajah tertunduk, tangan menengadah, adalah sikap khusyuk masyaakat Jawa dalam memanjatkan doanya. Diakhir lantunan doa, secara serempak seluruh peserta akan berteriak…
“Kebo geleng sapi geleng…Mbang jewawut mbang jewawut…Kebo sapi kurang pecut…Surako surak horeee…”. Rangkaian kata kata penutup ini adalah perwujudan penghormatan terhadap hewan, pengharapan dan ungkapan kebahagiaan atas karunia Tuhan terhadap hewan yang membawa manfaat bagi tuannya.
Suasana riuh kemudian saat mereka membagi bagikan nasi tumpeng tersebut kepada selurh yang hadir untuk makan bersama. Tak ada jurang pemisah. Kaya miskin, tua muda, agama, suku, ras, bahkan orang luar negeripun dipersilahkan. Kerukunan antar manusia, hewan dan alam, tercipta disini.
Asal mula dari Baritan ini sendiri tidak diketahui secara pasti sejak kapan dimulainya. Akan tetapi menurut kepercayaan masyarakat, ritual ini ada sejak jaman wali (wali sanga), di era surutnya Kerajaan Majapahit yang bernafaskan Hindu, dan mulai menggeliatnya Kerajaan Demak yang bernafaskan Islam.
Hal ini secara runut dapat dilacak dari kepercayaan masyarakat Jawa kuno. Sejak jaman animism dinamisme dimana masyarakat Jawa mempercayai adanay semua makhluk tak kasat mata, hingga kemudian masuknya pengaruh Hindu dan Budha yang pada akhirnya merasuknya kebudayaan Islam. Kata Baritan yang diyakini berasal dari kata “lebar rit ritan”, atau “bubar ngarit terus syukuran” menunjukkan kearifan lokal masyarakat Jawa dalam mengolah kata. Penghormatan terhadap hewan, sudah ada sejak jaman Hindu Budha. Sedangkan syukuran adalah istilah yang ada pada jaman masuknya kebudayaan Islam. Maka, Baritan merupakan sebuah fenomena tradisi yang bercikal bakal dari kebudayaan Jawa, diamini oleh kebudayaan Hindu Budha, dan disempurnakan oleh kebudayaan Islam.
Jaman sekarang, tradisi Baritan di Sungai Progo, telah hampir punah. Cukup banyak faktor penyebabnya. Mekanisasi pertanian, menyusutnya lahan pertanian, berkurangnya tenaga kerja di pertanian yang tentu saja berimbas pada jumlah dan ketersediaan pakan. Bergesernya pola kehidupan agraris ke industrialis, adalah latar belakang dari semuanya.
Kemajuan jaman memang tak dapat ditolak. Namun apalah artinya kemajuan jaman dengan mengikis atau bahkan memuskahkan kebudayaan yang ada. Jika kemajuan jaman adalah tujuannya, coba tengok negara negara yang dianggap maju. Mereka sekarang justru kebingungan mencari lahan untuk pertanian, hingga membuatnya di atas rumah atau gedung. Ini sangat kontradiktif dengan apa yang mereka lakukan sebelumnya. Lahan pertanian mereka babat habis untuk pemukiman dan industri, setelah itu mereka kebingungan menciptakan lahan pertanian, dengan biaya yang sangat mahal. Bukankah ini menjadi kemunduran?
Biarlah pedesaan dan masyarakatnya tetap seperti adanya, dengan sumber daya alamnya, tradisinya, kebudayaanya, serta perikehidupannya. Kita hanya perlu menjaganya. Desa adalah tempat kita pulang. Desa adalah dimana semua keseimbangan terjaga. Desa adalah tempat bermain kita. Dengan belik, sungai, pasar, sawah dan ladang berikut sapi, kerbau dan kambing yang bebas berkeliaran memakan rumput di sawah. Jangan sampai keindahan desa hanya ada pada cerita, dongeng dari para orang tua. Jangan sampai suasana desa hanya menjadi tangkapan gambar penuh rekayasa, dan lukisan dalam bingkai besar di tengah ruangan gedung tinggi menjulang. Dan jangan sampai anak cucu kita hanya untuk sekedar melihat sapi dan kerbau, harus ke kebun binatang di dalam kandang yang hanya seluas halaman depan rumah kita.
Lestarikan pedesaan, lestarikan kebudayaan.
No comments:
Post a Comment