Thursday, May 3, 2012

BRATASENA, SANG JAGAL ABILAWA....


Perjalanan panjang yang cukup berbahaya, karena sebuah perjanjian apabila dalam perjalanan sekaligus sebagai persembunyian itu dapat diketahui oleh seseorang, siapapun, maka perjalanan persembunyian itu gugur, dan harus diulang lagi dari awal.

Tak mudah memang, tapi kata telah terucap. Darah ksatria yang mengalir di kelima saudara ini itu menuntutnya untuk mematuhi apa yang telah mereka ucapkan. Walaupun kejadiannya adalh kecurangan yang terang benderang, namun kata telah terucap dan disaksikan segenap rakyat dan kerabat yang hadir pada saat itu.
Tak mungkin bagi kelima ksatria ini akan berperilaku seperti apa adanya, karena ciri ciri yang melekat pada kelimannya, tentu akan sangat mudah di kenali orang.

“Kalian sebaiknya berbaur di tengah masyarakat Adimas……” suatu senja, setelah menyantap makan malam alakadarnya, hasil masakan dari ibunda tercinta yang turut serta dalam pembuangan ini.
“Apa maksudmu Kakang……” jawab laki laki yang tadi dipanggilnya dengan kata “Adimas”.
“Bagaimanapun, perjalanan kita cukup panjang, dan persyaratannya adalah perjalanan itu tak boleh diketahui oleh seorangpun. Maka lebih baik kita berbaur dengan masyarakat, menyamar seperti mereka dan menanggalkan semua tanda tanda yang ada pada kita. Itu akan lebih mempermudah perjalanan kita.” kata laki laki yang dipanggilnya dengan “Kakang” tersebut.
“Maksud Kakang Samiaji?” laki laki berempat yang ada di depannya itu bertanya hampir bersamaan.
“Begitulah. Masing masing dari kalian pergilah ke masyarakat dan berbaur dengan mereka, menjalani hidup seperti mereka pula, dengan pekerjaan sesuai yang kalian bisa. Pikirkanlah mala mini baik baik, dan besok pagi  segera kalian turun berbaur dengan mereka.” Pintanya dengan nada asih terhadap keempat ksatria di depannya yang tak lain adalah adik adiknya. Sang ibu yang menyaksikan peristiwa itu, tak mampu mennyembunyikan rasa haru, dan tak terasa matanya telah basah oleh air mata, yang telah menetes membasahi kedua pipinya.

Fajar menyingsing, matahari masih merah di ujung timur, seorang bertubuh tinggi besar dan gagah, dengan kumis tebal melintang, telah datang menghampiri dua orang laki laki dan perempuan yang tengah berada di depan perapian. Nampak sebuah belanga tergantung di atas perapian itu. Yah, laki laki di depan perapian itu adalah Samiaji, sedangkan perempuan itu adalah ibunya, Dewi Kunti.

“Aku pamit Kakang, Ibunda…..” katanya dengan suara berat, berdiri di depan kedua orang itu.
“Akan kemana kamu Nak?” Tanya ibunya sambil bangkit dari duduknya, dengan penuh keheranan. Demikian juga dengan Samiaji.
“Aku akan turun ke dusun yang paling dekat dengan hutan ini. Disana nanti pasti akan kutemui pekerjaan yang sesuai dengan kemampuanku…..” jawabnya tegas.
“Berhati-hatilah Nak…… “ jawab ibunya sambil memegang tangan laki laki itu.
“Hati hati Dhimas, jangan sampai siapapun mengetahui siapa dirimu…” kata Samiaji sambil menepuk punggungnya.

Pagi itu pula, laki laki tinggi besar itu berangkat meninggalkan pondok di hutan tengah hutan, tempat mereka tinggal. Matahari telah mulai menampakkan sinarnya, telah mulai hangat hari itu, saat laki laki itu memasuki sebuah dusun, dimana rupanya penduduk dusun itu juga berjalan menuju sebuah tempat kerumunan.
Laki laki itu mengikuti para penduduk itu, ingin tahu apa yang terjadi di tempat kerumunan itu. Rupanya, kerumunan itu terletak di tengah sebuah tanah lapang, dengan berbagai macam orang berkumpul disitu dan berkativitas jual beli, berdagang segala macam barang.

Laki laki itu kemudian berjalan mengitari kerumunan yang di tanah lapang tersebut, yang disebut dengan pasar. Beberapa kali matanya melihat aktivitas orang orang yang ada di situ, namun dari sekian banyak, sama sekali tak menarik perhatiannya. Beberapa lama dia berputar putar ditempat itu.

Mendadak, di ujung sebelah selatan, dari jalan tempat masuk pasar itu, orang orang berlarian sambil berteriak teriak, membuat suasana pasar semakin rebut. Muka muka pucat dan nafas terngah engah Nampak dari beberapa orang yang berlarian itu. Demikina juga dengan penghuni pasar. Mereka ada juga yang ikut lari menyelamatkan diri.
Seorang laki laki yang lari terbirit birit ketakutan, semakin takut lagi saat tangannya digapit oleh seseorang yang tak dia kenal, bertubuh tinggi besar pula.

“Apa yang terjadi?” Tanya laki laki tinggi besar yang menggapit tangannya.
“Hewan Ki Jagal, lepas, menghancur apa saja yang ada di dekatnya. Bahkan rumah Ki Jagal hampir roboh dibuatnya. Hewan itu berlarian tak tentu arah, tadi hewwan itu berlari menuju kesini….” Jawabnya dengan gemetar dan wajahnya pucat pasi.

Dan benar, sebuah hewan yang berukuran sangat besar, lebih besar dari hewan biasanya, tengah berlari dan menghancur apa saja yang dilewatinya. Orang orang berhamburan menyelamatkan diri. Beberapa orang yang berusaha menghenrtikannya, justru terpental jauh dan menjadi korban.

Hewan itu semakin beringas, dan berlari hingga memasuki pasar. Maka dalam sekejap, pasar itu telah luluh lantak di terjang kemarahan hewan itu. Melihat telah tak ada seorangpun yang mampu menghentikannya, laki laki tinggi besar itu menghampiri hewan yang tengah mengamuk di tengah pasar itu.

Yang  terjadipun kemudian dapat ditebak. Terjadi perkelahian dahsyat antara hewan berukuran raksasa itu dengan laki laki tinggi besar. Debu bergulung gulung di tanah lapang itu, bekas dari pijakan pertempuran.  Keadaan pasar menjadi semakin luluh lantak. Orang orang justru seperti mendapat pertunjukan.  Semakin lama semakin sengit, karena melihat keadaan yang semakin hancur disana-sini, laki laki itu ingin segera menyudahi perlawanan hewan itu.   
Maka dengan kemampuan kanuragan yang dimilikinya saat hewan itu semakin membabi buta menyerangnya, laki laki itu berhasil meloncat dan duduk di punggung hewan itu. Maka dengan segenap kemampuannya, di pukullah punggung hewan itu dengan tangan kanannya, dengan sekuat tenaga. Dan yang terjadi adalah diluar dugaan semua orang yang menyaksikannya. Hewan itu menjerit keras dan sejenak kemudian, hewan itu jatuh tersungkur, diam dan mati.

Sedangkan laki laki itu berhasil meloncat sebelum hewan itu jatuh berguling guling di tanah. Melihat kejadian itu legalah orang orang yang menyaksikan. Belum juga reda lelahnya, belum kering keringatnya, dari ujung jalan, Nampak seorang setengah tua berlari larian mendatanagi laki laki yang berhasil membunuh hewannya. Dengan tergopoh gopoh, laki laki setengah tua itu memegang tangan laki laki tinggi besar yang masih penuh dengan peluh, dan mengucapkan terimakasih yang tak terhingga.

“Terimakasih Nakmas…..terimakasih. Nakmas telah berhasil mengentikan polah tingkah hewan in. namaku Ki Jagal Welakas. Pekerjaanku adalh tukang jagal, menyembelih hewan hewan seperti yang Nakmas bunuh ini. Entah mengapa hewan ini begitu sulit diatur, bahkan untuk menyembelihnyapun, aku tak mampu…..” katanya sambil dengan masih memegang erat tangan laki laki tingi besar itu.
“Hmmmmm…….” Laki laki tinggi besar itu hanya  menarik nafas panjang seraya membasuh peluhnya dengan tangannya.
“Apa yang kamu lakukan disini Nakmas…..?” bertanya kemudian Ki Jagal.
“Aku mencari pekerjaan Ki…. “ jawabnya pendek.
Bagai melihat terangnya sinar matahari, Ki Jagal tersenyum gembira. Pucuk dicinta, ulam tiba. Katanya dalam hati.
“Ikutlah aku Nakmas……. Aku membutuhkan orang semacam Nakmas……” pintanya.
“Hmmmmm……” laki laki tinggi besar itu mengangguk pelan.
“Siapakah namamu dan dari mana Nakmas berasal?” bertanya kemudian Ki Jagal.
Laki laki itu diam sejenak. Tak mungkin baginya untuk mengatakan yang sebenarnya. Dia teringat benar akan pesan ibu dan kakak sulungnya. Sementara ki Jagal masih menunggu jawaban darinya.
“Abilawa…….” Jawabnya pelan.
“Baiklah. Mulai hari ini, Nakmas bernama Jagal Abilawa…..!” kata Ki Jagal Welakas. 

Dan sejak hari itu, Abilawa bekerja padanya, sebagai seorang jagal, tukang menyembelih hewan. Dan tentang siapakah Abilawa, hingga kembalinya laki laki tinggi besar itu ke pondokan dan melanjutkan kehidupan ksatrianya, tak seorangpun di lingkungan dan pasar itu mengetahuinya.

No comments:

Post a Comment