Monday, August 20, 2018

Stupa Mulungan

Sekitar 2 bulan sebelum ku tulis kisah ini, aku dengar dari seorang petani tua yang sedang duduk di pinggir jalan melihat anak anak muda melatih burung burung merpati mereka dengan kolongan yang dibuat di tengah persawahan di wilayah Cebongan, Sleman.

Saat ku pulang dari melihat lokasi bakal proyek perumahan, tiba tiba ku merasa tertarik juga untuk melihat anak anak remaja bermain burung merpati. Di seberang jalan, di tempat teduh, seorang petani tua juga melihatnya. Aku hampiri dia, agar ada teman ngobrol. Setelah berbasa basi dan beramah tamah, obrolan mengalir hingga sampai pada bahasan tentang sejarah yang pernah terjadi di masa lampau. Masa kerajaan. Dan obrolanpun kemudian mengerucut pada benda benda purbakala yang masih dapat ditemui di beberapa desa. Sebuah benda yang diyakini merupakan peninggalan jaman kerajaan, yang hingga kini masih tercecer di desa, sawah ataupun sungai, dan tentu saja dengan  cerita cerita mistis yang membalutnya, semakin membuat menarik dan penasaran. Pun juga dengan benda peninggalan sejarah yang kita obrolkan ini.

Batu Gilang. Demikianlah Pak Tani itu menyebutnya. Di sebuah desa bernama Mulungan, terdapat sebuah batu gilang. Batu peninggalan jaman nenek moyang. Entah berasal dari mana, namun batu itu kini terletak di tengah persawahan, tepatnya di pinggir kali. Aku cukup heran. Mulungan dengan Cebongan terpaut jarak yang lumayan jauh. Tapi Pak Tani ini bisa menggambarkan posisi letak yang agak spesifik. Pasti ada sesuatu yang melekat dalam ingatannya tentang batu gilang itu.

“Lha sampun nate wonteng ingkang diweruhi, gedhene sak glugu je Mas. Ireng thunteng niko.....” katanya dalam bahasa jawa. Aku paham. Sangat paham apa yang Beliau maksud.
“Pokoke wingit tenan Mas..... yen salah seleh, kurang bejane ketemu niku.... Ampun dewekan...”katanya lagi. Aku semakin tertarik dan penasaran. Suatu saat harus ku lihat tempat itu.

Dan setelah lebih 2 bulan sejak itu, kemaren aku berhasil sampai ke tempat itu. Sehari sebelumnya, walau aku sudah masuk ke desa termaksud, justru aku terhenti oleh sebuah pemandangan baru untukku. Sebuah batu yang cukup besar, bundar dengan hiasan bunga mengelilinginya. Aku berhenti disitu. Ambil dokumentasi dan ngobrol dengan si pemilik. Aku ingat cerita tentang batu gilang tersebut, dan ku coba mencari keterangan darinya. Dan ternyata benar. Tanpa mengurangi dan menambahi, cerita Pak Tani 2 bulan yang lalu itu sama persis dengan cerita yang baru saja aku dapat. Dengan obyek benda yang sama. Peringatannya pun sama. “Ampun dewekan....” Hmmmmm.....














No comments:

Post a Comment