Sekitar 2 bulan sebelum ku tulis kisah ini, aku dengar dari
seorang petani tua yang sedang duduk di pinggir jalan melihat anak anak muda
melatih burung burung merpati mereka dengan kolongan yang dibuat di tengah
persawahan di wilayah Cebongan, Sleman.
Saat ku pulang dari melihat lokasi bakal proyek perumahan,
tiba tiba ku merasa tertarik juga untuk melihat anak anak remaja bermain burung
merpati. Di seberang jalan, di tempat teduh, seorang petani tua juga
melihatnya. Aku hampiri dia, agar ada teman ngobrol. Setelah berbasa basi dan
beramah tamah, obrolan mengalir hingga sampai pada bahasan tentang sejarah yang
pernah terjadi di masa lampau. Masa kerajaan. Dan obrolanpun kemudian
mengerucut pada benda benda purbakala yang masih dapat ditemui di beberapa
desa. Sebuah benda yang diyakini merupakan peninggalan jaman kerajaan, yang
hingga kini masih tercecer di desa, sawah ataupun sungai, dan tentu saja dengan
cerita cerita mistis yang membalutnya,
semakin membuat menarik dan penasaran. Pun juga dengan benda peninggalan
sejarah yang kita obrolkan ini.
Batu Gilang. Demikianlah Pak Tani itu menyebutnya. Di sebuah
desa bernama Mulungan, terdapat sebuah batu gilang. Batu peninggalan jaman
nenek moyang. Entah berasal dari mana, namun batu itu kini terletak di tengah
persawahan, tepatnya di pinggir kali. Aku cukup heran. Mulungan dengan Cebongan
terpaut jarak yang lumayan jauh. Tapi Pak Tani ini bisa menggambarkan posisi
letak yang agak spesifik. Pasti ada sesuatu yang melekat dalam ingatannya
tentang batu gilang itu.
“Lha sampun nate wonteng ingkang diweruhi, gedhene sak glugu
je Mas. Ireng thunteng niko.....” katanya dalam bahasa jawa. Aku paham. Sangat paham
apa yang Beliau maksud.
“Pokoke wingit tenan Mas..... yen salah seleh, kurang bejane
ketemu niku.... Ampun dewekan...”katanya lagi. Aku semakin tertarik dan
penasaran. Suatu saat harus ku lihat tempat itu.
Dan setelah lebih 2 bulan sejak itu, kemaren aku
berhasil sampai ke tempat itu. Sehari sebelumnya, walau aku sudah masuk ke desa
termaksud, justru aku terhenti oleh sebuah pemandangan baru untukku. Sebuah batu
yang cukup besar, bundar dengan hiasan bunga mengelilinginya. Aku berhenti
disitu. Ambil dokumentasi dan ngobrol dengan si pemilik. Aku ingat cerita tentang
batu gilang tersebut, dan ku coba mencari keterangan darinya. Dan ternyata
benar. Tanpa mengurangi dan menambahi, cerita Pak Tani 2 bulan yang lalu itu
sama persis dengan cerita yang baru saja aku dapat. Dengan obyek benda yang
sama. Peringatannya pun sama. “Ampun dewekan....” Hmmmmm.....
No comments:
Post a Comment