Setelah pada kesempatan pertama dengan sangat
terpaksa tak dapat mengikuti expedisi melacak keberadaan arca ganesha yang
berukuran sangat besar, aku berusaha menyempatkan waktu untuk setidaknya
mengetahui jejak jejak awal setelah arca tersebut ditemukan pada kesempatan
pertama yang aku lewatkan. Sangat menyesal. Dan sesalku harus ku bayar walau
hanya 5 menit, aku harus berhasil menyentuhnya.
Pada hari Sabtu tanggal 18 Agustus 2018 sekitar
pukul 12 siang, dengan ditemani 2 orang kawan senior, aku berhasil sampai di lokasi tempat arca ganesha raksasa
itu berada. Medan yang cukup sulit, dengan jalan setapak yang sangat terjal,
beberapa kali harus meletakkan badanku di atas tanah yang menurun tajam, serta
berpegangan akar akar pohon, harus ku lalui. Setelah beberapa saat menempuh
jalan seperti itu, nampak dari kejauhan sesuatu yang tinggi menjulang. Kami
bertiga mendekatinya dan itulah arca ganesha raksasa yang kini dalam keadaan
jatuh dari tebing. Rusak? Tentu saja. Namun masih dapat dikenali beberapa
bagian tubuhnya. Antara lain kaki kanan dengan sikap duduk bersila, serta tubuh
yang sudah tak utuh lagi, namun setidaknya kami bisa mengenali bagian perut dan
kepala.
Beruntung saat ini aku sedang menjabat sebagai
“mandor kawat”, kerjane kendor tapi mangane kuat. Aku selalu membawa meteran
bangunan. Kami mencoba ukur dengan apa adanya seperti yang kami temukan, dengan
ditambah perkiraan perkiraan logis. Pertama kami ukur lingkar perut, di bawah
pusar. Lingkar perut dibawah pusar, sesuai yang bisa kami ukur adalah 280 + 30
cm = 310 cm. Jika ditambah dengan perkiraan yang tak dapat kami ukur karena
perut bagian bawah menyentuh tanah, kurang lebih ditambah 50 cm. Total untuk
lingkar perut dibawah pusar adalah 360 cm. Sangat besar.
Sedangkan untuk tinggi arca, kami coba ukur dari
mulai posisi arca itu duduk, 100 cm + 180 cm = 280 cm. Berdasarkan batuan arca
yang masih tersisa, dan patah. Jika ditembah dengan bagian kepala yang telah
hilang/ patah tersebut, lengkap dengan mahkota, diperkirakan mencapai 400 cm
lebih. Luar biasa. Sedangkan untuk dudukan arca itu sendiri, sama sekali kami
tak dapat mengukurnya karena posisi yang tak terjangkau oleh tangan tangan
kecil ini.
Menurut keterangan penduduk, arca ini pada tahun
60an masih berada di atas tebing, dekat dengan sebuah mata air. Namun karena
karakter tanah di tempat itu agak kurang stabil, dan terjadi beberapa kali
longsor, hingga longsoran itu menggerus bagian bawah arca sehingga
mengakibatkan arca tersebut jatuh dari atas tebing dan mengalami kerusakan
seperti sekarang ini.
Cukup sulit untuk menormalisasi, karena disamping
ukuran yang sangat besar dan beban yang
sangat berat, lokasinyaa pun sangat sulit dijangkau apalagi dengan alat
berat. Mudah mudahan, suata saat dapat
terawat dengan lebih baik.
Adapaun tentang arca ganesha itu sendiri, ada
beberapa uraian menarik tentangnya. Seperti di bawah ini.
Di dalam agama Hindu, Ganesha termasuk salah satu
dewa yang paling populer, di samping Dewa-dewa Trimurti, yakni Brahma (dewa
pencipta alam semesta), Wisnu (dewa pemelihara alam semesta), dan Siwa (dewa
perusak alam semesta). Sejak bertahun-tahun lalu temuan arca Ganesha dari
seluruh Indonesia sangat banyak jumlahnya. Ada yang berhiasan sederhana, ada
pula yang kelihatan megah. Hal ini tentu saja disesuaikan dengan keterampilan
seniman pembuatnya atau kondisi ekonomi masyarakat sekitar.
Ganesa atau Ganesha adalah dewa berkepala gajah. Di
kalangan masyarakat Hindu, Ganesha dianggap setengah manusia dan setengah dewa.
Peranan Ganesha begitu penting karena dia adalah anak Dewa Siwa. Masyarakat
Hindu percaya Ganesha merupakan dewa ilmu pengetahuan. Maka di banyak tempat,
termasuk di Indonesia, sampai sekarang masyarakat Hindu sering membangun kuil
berisi Dewa Ganesha. Konon hal ini dimaksudkan agar anak-anak yang dilahirkan
menjadi pintar dan berbakti kepada orang tua.
Sebagai dewa ilmu pengetahuan, Ganesha selalu
mengundang kekaguman para pakar ikonografi (pengetahuan tentang seni arca kuno)
karena bentuk, gaya seni, dan langgamnya yang berbeda-beda. Namun ciri utama
Ganesha tetap sama, yakni memiliki belalai yang sedang mengisap isi mangkok
dalam genggaman tangan depannya.
Mangkok tersebut, menurut mitologi Hindu, berisi
cairan ilmu pengetahuan yang tidak habis-habisnya walaupun diisap terus-menerus
olehnya. Hal inilah yang kemudian diidentikkan dengan ilmu pengetahuan, yang
tak pernah habis digali dan tak pernah henti digarap. Mungkin, hal demikianlah
yang diharapkan dari para manusia.
Karena popularitas Ganesha sangat tinggi, dia juga
dipuja sebagai dewa penyingkir segala rintangan, baik gangguan gaib (magis)
maupun gangguan fisik. Ganesha semakin dipuja karena dia memiliki sahabat karib
tikus. Sang tikus kemudian dijadikannya sebagai wahana (= kendaraan
tunggangan). Karena itu dalam pengarcaannya Ganesha selalu menunggang tikus
(musaka). Musaka merupakan simbol dari keangkuhan diri. Jadi diharapkan musaka
itu akan berperan sebagai pengendali dari keangkuhan seseorang.
Sering diartikan pula bahwa tikus sesuai dengan
sifat Ganesha. Tikus dapat melewati segala rintangan di lokasi mana pun,
seperti di dalam rumah, sawah, dan selokan. Begitu pun yang diharapkan dari
Ganesha, karena gajah mampu mendobrak segala pepohonan di hutan dengan tubuhnya
yang gagah dan kuat. Pepohonan diibaratkan berbagai masalah besar.
Menurut para arkeolog di zaman Hindia Belanda
seperti W.F. Stutterheim dan R. Goris, pemujaan secara khusus kepada Ganesha
(dinamakan Ganaphati), banyak dilakukan masyarakat kuno di Jawa dan Bali.
Tafsiran ini didasarkan atas banyaknya temuan arca Ganesha di sejumlah situs
arkeologi. Uniknya, pemujaan sejenis kepada dewa-dewa lainnya tidak pernah
ditemukan. Kemungkinan dewa-dewa lain kurang memperoleh perhatian dari
masyarakat kuno karena peranannya dianggap kecil.
Sebagai salah satu dewa terkemuka dan banyak
pemujanya, Ganesha banyak dikupas sejumlah sumber kuno. Versi yang paling
dikenal terdapat dalam kitab Smaradahana.
Dikisahkan, suatu ketika Kadewataan akan diserang
oleh para raksasa pimpinan Nila Rudraka. Karena para dewa tidak mampu
menghadapi para raksasa itu, mereka bersepakat untuk meminta bantuan kepada
Dewa Siwa yang ketika itu sedang bertapa. Setelah berunding, mereka menunjuk
Dewa Kamajaya untuk membangunkan Dewa Siwa dari pertapaannya itu. Ternyata,
Dewa Siwa sulit untuk dibangunkan. Dengan terpaksa Dewa Kamajaya mengeluarkan
senjata andalannya, yakni panah pancavisaya. Senjata ini terkenal sangat ampuh
untuk membangkitkan birahi dan rasa rindu. Setelah terkena panah itu, Dewa Siwa
pun rindu kepada isterinya, Dewi Uma, yang berada di Kadewataan. Akhirnya, Dewi
Uma hamil.
Suatu saat, para dewa menghadap Dewa Siwa untuk
mengabarkan bahwa tentara Nila Rudraka hampir mendekati Kadewataan. Di antara
para dewa itu terdapat Dewa Indra yang menaiki gajah Airavata yang gagah dan
super besar. Tanpa disangka, Dewi Uma yang sedang hamil tua sangat ketakutan
melihat gajah itu sehingga dia jatuh pingsan.
Setelah saatnya tiba Dewi Uma pun melahirkan anak
tepat seperti ucapan Dewa Siwa, yakni berkepala gajah dan berbadan manusia.
Anak itu lalu diberi nama Ganesha, dimaksudkan agar segera mempunyai kekuatan
yang luar biasa untuk mengalahkan para raksasa jahat. Ketika dilibatkan dalam
peperangan, mula-mula Ganesha mengalahkan para tentara raksasa. Seluruh musuh
para dewa itu dilibasnya dengan mudah. Setelah semuanya mati, Ganesha tinggal
berhadapan langsung dengan pimpinan tentara raksasa jahat, yaitu Nila Rudraka.
Duel yang maha dahsyat pun terjadi di antara
keduanya. Semakin sengit duel itu, ternyata tubuh Ganesha semakin besar. Pada
suatu ketika Nila Rudraka berhasil mematahkan salah satu gading Ganesha. Sambil
memegangi patahan gadingnya lalu Ganesha mengeluarkan senjata andalannya, yaitu
parasu (kapak pendek). Dengan senjata itu akhirnya Ganesha dapat membinasakan
Nila Rudraka.
Sesuai mitologi ini maka dalam pengarcaannya Ganesha
selalu ditampilkan memegang patahan gading di salah satu tangannya dan parasu
di tangan yang lain. Dua tangan lainnya memegang aksamala (tasbih) dan mangkok.
Dengan demikian Ganesha bertangan empat, sebagai pertanda bahwa kemampuan
Ganesha melebihi manusia biasa.
Rupa-rupanya penganut Ganesha memiliki berbagai
aliran. Ini terlihat ketika para seniman tidak selalu konsisten dalam memahat
arca Ganesha. Yang paling jelas terlihat pada gadingnya, sebagaimana temuan di
sejumlah candi. Ada yang patah di sebelah kanan, ada yang di sebelah kiri, dan
ada pula yang keduanya tidak patah. Namun yang paling banyak dijumpai pada
situs-situs arkeologi adalah Ganesha bergading satu (disebut ekadanta). Selain
itu, sikap Ganesha pun digambarkan berbeda-beda. Sebagian seniman
menggambarkannya dalam sikap duduk. Sebagian lagi melukiskannya dalam posisi
berdiri. Ini pun memiliki beberapa variasi, seperti berdiri dengan kedua kaki
dan berdiri di atas satu kaki. Secara panjang lebar arkeolog Edi Sedyawati
pernah membahas topik ini dalam disertasinya “Pengarcaan Ganesa Masa Kadiri dan
Singhasari: Sebuah Tinjauan Sejarah Kesenian” (1992).
Ternyata Ganesha bukan saja dipuja sebagai dewa ilmu
pengetahuan dan penyingkir segala rintangan, tetapi juga sebagai dewa
kebijaksanaan dan kesenian. Di negara asalnya, India, Ganesha juga dipandang
sebagai dewa keberuntungan dan kemakmuran karena dalam penggambarannya Ganesha
memerlihatkan perut yang besar. Kini nama Ganesha sudah demikian populer karena
banyak dipakai oleh lembaga atau perusahaan di Indonesia. Institut Teknologi
Bandung (ITB) menggunakannya sebagai lambang atau logo. Banyak perusahaan
menggunakannya sebagai merk dagang. Tampaknya fenomena Ganesha tak pernah
pudar.
Diciptakan Parwati, Dibunuh Siwa
Menurut Kitab Siwa Purana, pada suatu hari Dewi
Parvati—isteri Dewa Siwa—ingin mandi. Karena tidak ingin diganggu, maka dia
menciptakan seorang anak laki-laki yang diberi nama Ganesha. Dia berpesan
kepada Ganesha agar tidak mengizinkan siapa pun masuk ke rumahnya saat Dewi
Parwati mandi. Dia pun hanya boleh menuruti perintah Dewi Parwati. Pesan dan
perintah tersebut dilaksanakan dengan baik oleh Ganesha. Syahdan Dewa Siwa
suami Dewi Parwati pulang dan hendak masuk ke rumahnya. Namun ia tidak dapat
masuk karena dihadang oleh si anak kecil itu. Ganesha melarangnya karena dia
melaksanakan perintah Dewi Parwati.
Dewa Siwa menjelaskan bahwa ia suami Dewi Parwati
dan rumah yang dijaga Ganesha adalah rumahnya juga. Namun Ganesha tetap tidak
mau mendengarkan perintah Dewa Siwa. Ini sesuai dengan perintah ibunya untuk
tidak mendengar perintah siapapun. Dewa Siwa kehilangan kesabarannya dan
bertarung dengan Ganesha. Pertarungan amat sengit sampai akhirnya Dewa Siwa
menggunakan Trisulanya dan memenggal kepala Ganesha. Saat Dewi Parwati selesai
mandi, ia menemukan putranya sudah tak bernyawa. Mengetahui putranya dibunuh
oleh Dewa Siwa, ia menjadi amat marah dan menuntut agar anaknya dihidupkan
kembali.
Dewa Siwa tersadar akan perbuatannya dan ia
menyanggupi permohonan istrinya. Dewa Siwa kemudian menemui Dewa Brahma
menceritakan kejadian tersebut. Atas saran Dewa Brahma, Dewa Siwa mengutus
abdinya, Gana, untuk memenggal kepala makhluk apapun yang dilihatnya pertama
kali yang menghadap ke utara. Ketika turun ke dunia, Gana mendapati seekor
gajah dengan kepala menghadap utara. Saat mengetahui kepalanya akan dipenggal
sang gajah melawan hingga salah satu gadingnya patah. Namun kepala gajah itu
pun akhirnya dapat dipenggal dan digunakan untuk menggantikan kepala Ganesha.
Akhirnya Ganesha dihidupkan kembali oleh Dewa Siwa.
Kelahiran Ganesha, menurut versi lain, dilatari oleh
permintaan Indra dan para dewa, agar Siwa menciptakan tokoh yang dapat
mengalahkan raksasa yang ingin menguasai tempat tinggal para dewa. Kemudian
Siwa mengerahkan salah satu kekuatannya dalam ujud seorang pemuda tampan yang
lahir dari rahim Parwati. Pemuda tersebut diberi nama Vighneswara (Penyingkir
Rintangan). Kelak dia diperintahkan untuk mengalahkan para raksasa.
Parwati sangat bangga akan ketampanan putranya. Maka
dia mengundang para dewa untuk memamerkan putranya itu. Semua dewa memandang
kagum kepada Vighneswara. Kecuali Sani (Saturnus), dia tidak mau memandang
Vighneswara karena membawa kutukan isterinya. Konon, apa saja yang dipandangnya
akan berubah menjadi abu. Meskipun sudah menolak, Parwati tetap meminta Sani
memandang putranya. Akibatnya kepala Vighneswara hancur menjadi abu. Parwati
pun sangat berduka. Kemudian Brahma menghibur Parwati dan berjanji memulihkan
kepala putranya dengan makhluk pertama yang dilihatnya. Makhluk pertama yang
dijumpai Brahma adalah seekor gajah.
Ganesha sangat populer dan banyak pemujanya,
terutama dari sekte Ganapatya. Ganapati adalah nama lain Ganesha dalam
kedudukannya sebagai pimpinan para gana. Gana adalah makhluk kahyangan yang
termasuk di dalam kelompok pariwara kecil yang bertugas sebagai pasukan
pengawal Siwa. Dalam cerita wayang, Ganesha disebut Bhatara Gana. Sebagai dewa
yang cukup populer, Ganesha mempunyai banyak nama. Yang terkenal adalah
Ganapati (pemimpin para gana), Ekadanta (hanya memiliki satu gading), Lambodara
(berperut gendut), Vighneswara (berhasil menghalangi segala rintangan dan
kesulitan), dan Heramba (bertangan delapan). [Djulianto Susantio]
Sumber, antara lain:
Arca Dewa-Dewa Hindu Koleksi Museum Nasional, Museum
Nasional, 2002.
Dewa-Dewi Masa Klasik Jawa Tengah, BP3 Jawa Tengah,
2009
No comments:
Post a Comment