Pakdjo Menghipnotis Peserta Sarasehan
Mengenal Motif Pada Relief dan Arca Candi Serta Penggunannya Pada Masa Kini.
Komunitas Kandan g Kebo yang beralamat di Dusun Ngalian, Wedomartani, Ngemplak, Sleman, sesua agenda 3 bulanan mereka, kali ini, 17 November 2018, mengadakan Sarasehan dan Blusukan Bersama, dengan mengangkat topik “Mengenal Motif Pada Relief dan Arca Candi Serta Penggunannya Pada Masa Kini”.
Batik sebagai warisan budaya tak benda dunia, semakin hari semakin umum dipakai oleh masyarakat. Namun apabila kita perhatikan, jarang para pemakai batik tersebut memahami makna dan filosofi motif yang mereka pakai. Selain itu Batik sebagai produk asli Indonesia sudah di kenal sejak masa Indonesia kuna, yaitu terlihat pada relief dan arca arca di candi yang menggunakan kain bermotif. Namun kekayaan motif kain batik pada relief maupun arca tersebut masih sangat jarang diangkat oleh para seniman ataupun produsen kain batik.
Oleh karena itu Komunitas Kandang Kebo akan mengadakan acara sarasehan dan blusukan untuk mengenalkan kembali motif-motif batik yang ada di relief maupun arca-arca di Candi, pemaknaannya pada masa kini, dan kiprah pemerintah dalam membina para seniman batik. Demikian disampaikan oleh inisiator penyelenggaraan dari Komunitas Kandang Kebo, Maria Tri Widayati.
Hadir sebagai narasumber adalah Marsis Sutopo, arkeolog senior, Aji Wulantara, Kepala Dinas Kebudayaan Sleman dan Krisni Kuntari, Ketua Asosiasi Profesi Batik dan Tenun Nusantara (APBTN). Disamping sarasehan tentang motif batik tersebut, acara ini juga diadakan tutorial cara menggunakan iket gaya mataraman oleh Pakdjo, seorang aktivis dan pemerhati budaya senior.
Pada acara tutorial cara menggunakan iket tersebut, sebelumnya Pakdjo yang tampil dengna busana jawa lengkap dengan sorjan, blangkon bahkan keris dan timangnya, memberikan sedikit pengenalan tentang busana jawa, penggunannya, dan makna filosofis yang terkandung di dalamnya. Dari mulai iket, ada beberapa gaya serta cara penggunannya dan siapa saja yang pantas menggunakan, kapan digunakan, simbol apa saja yang terdapat pada iket, semuanya dikupas satu persatu. Hal ini senada dengan apa yang disampaikan oleh Aji Wulantara, bahwa batik dalam penggunaannya harus “empan papan”, yaitu tepat waktu, tempat.
Rupanya, busana jawa yang mempunyai nilai dan berbagai makna filosofis tersebut, sangat menyita perhatian seluruh peserta sarasehan. Satu persatu peserta secara hampir bersamaan mendekat dan mengambil kamera masing masing untuk mendokumentasikan Pakdjo dalam mengenalkan jenis jenis motif batik dan sekaligus memperagakan cara penggunaannya.
Peserta seperti “terhipnotis” oleh Pakdjo apalagi saat Beliau tidak hanya mengenalkan motif batik melalui presentasinya, akan tetapi dengan cekatan mengambil satu persatu beberapa jenis motis batik, blangkon, iket, timang, stagen, bahkan keris yang telah disiapkan di tas besarnya.
Suasana begitu cair saat sesi tutorial cara menggunakan iket yang langsung dipraktekan oleh sukarelawan, dan dilanjutkan oleh masing masing peserta yang mempraktekannya secara berpasang pasangan. Bahkan salah satu pemrakarsa acara ini, Minta Miharsa dengan terang terangan ingin menggunakan iket gaya mataraman ini langsung dari tangan Pakdjo.
Melihat antusiasme peserta akan busana jawa dan pernak peniknya tersebut, dapat disimpulkan bahwa busana jawa, sangat jarang orang mengetahui makna yang terkandung didalamnya, padahal itu semua sangat dekat, dan bahkan untuk acara tertentu busana jawa ini masih di kenakan.
Satu pesan yang sangat berarti adalah, busana jawa, sama sekali tidak kuno. Justru busana ini sangat keren. Disamping merupakan warisan budaya, busana ini mempunyai nilai dan makna yang sangat dalam. Pola busana jawa pun ternyata juga sangat membantu untuk kesempurnaan penampilan, karena desain dari busana jawa ini hampir dapat dipastikan semuanya bodi fit.
Jangan pernah malu berbusana jawa, justru berbusana jawa akan menjadikan penampilan kita keren, bersahaja serta berwibawa.
No comments:
Post a Comment