Tuesday, December 11, 2018

Situs Prasasti Kauman Ngrundul Kebonarum Klaten

Senang sekali bisa menjadi bahagian dari cerita ini.
Lingga Bertulis Ini Usianya 11 Abad, Puluhan Tahun Sang Pemilik Tak Tahu Nilai Sejarahnya
Kamis, 13 Desember 2018 09:05
Lingga Bertulis Ini Usianya 11 Abad, Puluhan Tahun Sang Pemilik Tak Tahu Nilai Sejarahnya
Tribun Jogja/ Setya Krisna Sumargo
Batu berbentuk lingga semu (pseudolingga) di rumah Supriyono, warga Dusun Kauman, Ngrundul, Kebonarum, Klaten ini berasal dari tahun 769 Saka (847 Masehi) atau masa Mataram Kuno pemerintahan Sri Maharaja Rakai Pikatan Dyah Saladu. Isinya tentang penetapan sima oleh Samgat Andehan.
TRIBUNJOGJA.COM - Sebuah batu prasasti berbentuk lingga semu (pseudo lingga) memberi petunjuk penting, diduga terkait sejarah awal mula wilayah Kota Klaten.
Batu prasasti yang belum pernah diteliti atau dibaca ahli bahasa Jawa Kuna ini, tersimpan di rumah Supriyono, warga Desa Ngrundul, Kecamatan Kebonarum, Klaten. Pemiliknya secara turun temurun tidak tahu batu bertulis ini nilai sejarahnya tinggi. Menurut Supri, batu bulat bertulis melingkar itu turun temurun diwariskan dari kakek/nenek buyutnya.
"Mungkin sejak sebelum mbah buyut saya sudah ada," kata Supri di rumahnya Senin (10/12/2018) saat menerima kedatangan dua perangkat Desa Ngrundul dan pecinta sejarah kuno, Yohanes Sudaryanto serta Harry Wangsa Purana. Dari Supri, riwayat keberadaan batu bertulis ini sedikit terkuak. Setahunya, batu bertulis itu tergeletak begitu saja di tritisan (teras) rumah simbah buyutnya yang dulu penganut Hindhu.
Sekarang rumah simbah buyutnya itu sudah tidak ada karena dibongkar dan tanahnya dibagi-bagi keluarga sebagai harta waris. Menurut cerita orangtuanya, kakek buyutnya dulu seorang ulu-ulu. Ulu-ulu ini jabatan di desa yang tugasnya mengatur pengairan untuk sawah-sawah pertanian. Di masa Jawa Kuna, istilahnya hulu air. Tugasnya sama, mengatur urusan pengairan.
Beberapa waktu lalu, batu bertulis itu dipindahkan ke bagian belakang rumah Supri, di depan bekas rumah lama simbahnya yang kini berbatas tembok. Tak hanya lingga bertulis, di sekitar rumah Supri juga ditemukan beberapa fragmen diduga batu candi. Ada dorpel, batu berelief, dan blok-blok batu andesit bertakik.
Di halaman tetangga Supri juga terdapat yoni dalam posisi terbalik. Persisnya di sebelah masjid Dusun Kauman. Jaraknya sekitar 50 meter saja dari rumah keluarga Supri. Tak banyak yang mengetahui keberadaan lingga bertulis itu, termasuk perangkat Desa Ngrundul. Kepala Desa Ngrundul, Wahyu Wijanarka, mengaku belum pernah mendengar dan melihat batu bertulis ini.

Baru awal pekan ini ia mengutus dua perangkat desa melongok dari dekat lingga bertulis di rumah warganya itu. Lalu apa isi tulisan kuno di lingga semu berbahan batu andesit ini?
Goenawan A Sambodo, epigraf dari Temanggung, Jawa Tengah mencoba membacanya. Ia menemukan angka tahun 769 Saka di prasasti itu, atau jika dikonversi ke Masehi jadi 847 Masehi.

"Jelas terbaca angka tahunnya 769 Saka. Ini berarti masa kekuasaan Sri Maharaja Rakai Pikatan," kata Goenawan. Raja besar Mataram Kuno ini berkuasa antara 840-856 Masehi.
Pembacaan angka tahun oleh epigraf senior Dr Riboet Darmosoetopo juga sama. "Betul, ini angka tahunnya 769 Saka," katanya sembari mencoret-coret di kertas lusuh di teras rumahnya, Selasa (11/12/2018).
Pembacaan secara lengkap dan akurat isi prasasti batu lingga semu ini masih berlangsung dan terus disempurnakan. Goenawan Sambodo menambahkan, nama seorang tokoh juga tertulis di inskripsi ini.
"Ada nama Samgat Andehan. Sayang, tidak disebut nama tempat, desa, atau lokasinya," katanya. Batu prasasti ini menurutnya semacam patok penanda tanah perdikan yang ditetapkan oleh Samgat Andehan itu."Intinya, Samgat Pu Andehan itu manusuk sima, atau menetapkan tanah sima (perdikan)," lanjut Goenawan.
Tidak dicantumkannya nama tempat penetapan sima itu menurutnya cukup lazim. Namun, biasanya akan ada penanda lain yang lebih lengkap.
"Di Blabak, Magelang, saya pernah menemukan lingga bertulis yang serupa. Disebut ada penetapan sima, tapi nama tempatnya tidak disebutkan," jelasnya.
Beruntung, menurut Goenawan, ditemukan lingga bertulis lain yang setelah diteliti berkaitan dengan temuan sebelumnya. Lingga bertulis itu menyebutkan nama tempat.
"Nah, mestinya yang di Kauman, Kebonarum ini ada temannya, ada lingga bertulis lain, entah di mana lokasinya," ujar Mbah Goen, sapaan akrab alumni Arkeologi UGM ini.
Dr Riboet Darmosoetopo membaca tulisan Jawa Kuna dalam lingga prasasti dari Ngrundul, Kebonarum, Klaten. Epigraf senior ini juga ahli tentang sima dan bangunan ibadah masa kuna.
Dr Riboet Darmosoetopo membaca tulisan Jawa Kuna dalam lingga prasasti dari Ngrundul, Kebonarum, Klaten. Epigraf senior ini juga ahli tentang sima dan bangunan ibadah masa kuna. (Tribun Jogja/ Setya Krisna Sumargo)
Lingga bertulis di rumah Supriyono itu berukuran tinggi 82 cm, lingkar bulatan atau silinder (siwabhaga) 90 cm, kaki berbentu kotak (brahmabhaga) 28 cm, dan silinder yang ada tulisannya tingginya 38 cm.
Tulisan di batu silinder itu ada empat baris, menggunakan aksara Jawa Kuna (Kawi) standar. Bacaan awalnya berbunyi, "swasti saka warsatita 769 ___pa, cu___tithi pratipada krsnapaksa tatkala samgat andehan manusuk sima".
Dari kalimat itu lebih kurang artinya, "pada tahun 769 Saka, tanggal 1 bulan paro gelap, saat samgat (sang pamegat) andehan menetapkan (tanah) sima."

Batu bertulis itu bisa ditafsirkan sebagai penanda (batas) tanah sima. Untuk siapa dan lokasi di mana penetapan tanah sima itu, serta untuk apa, masih misterius.
Riboet Darmosoetopo menduga ada batu lingga bertulis lain pasangan lingga di Kebonarum, sebagai penanda yang diletakkan entah di mana. Ia merujuk sejarah lingga bertulis temuan di seputaran Demangan dan Papringan, Nanggulan serta Prambanan yang kemudian terkenal sebagai Prasasti Salimar.
Ada enam lingga bertulis (Salimar) yang sudah ditemukan, dan jelas sekali dari isinya yang didalami Riboet Darmosoetopo, merupakan patok batas hutan yang jadi tanah sima. Dalam khasanah penetapan sima dan penggunaan lingga bertulis sebagai penanda, ada istilah "srandu". "Itu artinya garis yang saling menyerang (bersilangan)," jelas Riboet.
"Atau garis diagonal. Jadi patok-patok lingga itu ditempatkan di titik-titik yang kemudian jika ditarik garis diagonal menunjukkan itulah batas tanah/hutan yang dijadikan sima," lanjutnya.
Lingga bertulis di Kauman, Kebonarum, yang penetapan simanya dilakukan Samgat Andehan, dengan demikian kuat dugaan ada batu lain di suatu tempat di kawasan itu.
Lantas siapa Samgat Andehan? Pertama, Samgat adalah sebuah jabatan keagamaan pada masa Jawa Kuna, yang tugasnya memutus masalah/perkara. Samgat merupakan singkatan dari Sang Pamegat atau Sang Pamgat. "Pamegat berasal dari kata "pegat" atau putus. Kedudukannya penting, dan ia punya hak memutus jika ada masalah/perkara," urai Riboet.
Posisi "sang pamgat" ini cukup tinggi di dalam sebuah watak (gabungan desa-desa) yang biasanya secara politik dipimpin seorang rakai (kerakaian). Kerakaian inilah yang kemudian membentuk konfederasi di bawah pimpinan seorang raja atau maharaja. Sedangkan Andehan adalah nama si pejabat keagamaan tersebut.
Jadi "Samgat Andehan" yang menetapkan sima seperti tertulis dalam lingga semu di Dusun Kauman, bisa dianggap mewakili kepentingan rakai atau bahkan kerajaan (Rakai Pikatan) saat itu.
Apa kaitan dengan awal mula wilayah Klaten seperti saat ini? Dilihat dari lokasi keberadaan lingga bertulis di Dusun Kauman ini, tidak jauh dari lokasi penemuan setidaknya dua benda serupa. Yaitu lingga bertulis dari Gayamprit yang kini tersimpan di Museum Radya Pustaka Solo. Lingga bertulis ini disebut Prasasti Anggehan.
Kemudian lingga bertulis lain yang dikenal sebagai Prasasti Upit dari Ngupit yang namanya masih bertahan hingga sekarang. Dari dua prasasti ini, antara Prasati Gayamprit dan Kauman memiliki sedikit kemiripan. Setidaknya dari penyebutan tokoh yang menetapkan sima. Prasasti Gayamprit menyebut nama "Anggehan", sedangkan lingga dari Kauman menyebut nama "Andehan".
Sayang, tahun penetapan sima di kedua prasasti ini tidak sama. Kedunya berselisih 13 tahun, dan Prasasti Gayamprit lebih tua. Lingga bertulis Gayamprit ini kemungkinan dari masa Rakai Garung sebagai pemimpin kerajaan Mdang Mataram sebelum beralih ke Rakai Pikatan.
Sedangkan Prasasti Upit yang ditemukan di Kahuman, Ngawen, Klaten, berangka tahun 866 Masehi. Selisihnya semakin lebar, yaitu 19 tahun dibanding lingga prasasti Kauman.  Prasasti Upit dikeluarkan pada masa Rakai Kayuwangi, pengganti Rakai Pikatan, penguasa kerajaan Mdang Mataram di Mamrati.(Tribunjogja.com/xna)

Sumber : tribun































No comments:

Post a Comment