Monday, December 24, 2018

Candi Kalasan atau Candi Tara, Candi Budha Tertua

 Candi Kalasan, jaman aku kecil dulu, orang menyebutnya Candi Tara, karena terdapat patung Dewi tara di sana. Siapakah Dewi Tara? Menurut cerita pewayangan, Tara adalah seorang bidadari, puteri Dewa Indra. Ia memiliki adik bernama Tari yang menjadi permaisuri Rahwana, tokoh antagonis dalam kisah Ramayana.
Dewi Tara menikah dengan Sugriwa, seorang raja wanara dari Kerajaan Kiskenda yang bersaudara dengan Subali. Atas adu domba yang dilancarkan Rahwana, Subali pun mengusir Sugriwa dan menikahi Tara. Dari perkawinan kedua itu, Tara melahirkan Anggada. Sugriwa mendapat bantuan dari Rama dan berhasil mengalahkan Subali. Ia kemudian kembali menjadikan Dewi Tara sebagai istrinya.
Adapun tentang Candi Kalasan atau Candi Kalibening, merupakan sebuah candi yang dikategorikan sebagai candi umat Buddha terdapat di desa Kalasan, kabupaten Sleman, provinsi Yogyakarta, Indonesia.
Candi ini memiliki 52 stupa dan berada di sisi jalan raya antara Yogyakarta dan Solo serta sekitar 2 km dari candi Prambanan.
Pada awalnya hanya candi Kalasan ini yang ditemukan pada kawasan situs ini, namun setelah digali lebih dalam maka ditemukan lebih banyak lagi bangunan bangunan pendukung di sekitar candi ini. Selain candi Kalasan dan bangunan - bangunan pendukung lainnya ada juga tiga buah candi kecil di luar bangunan candi utama, berbentuk stupa.
Berdasarkan prasasti Kalasan bertarikh 778 yang ditemukan tidak jauh dari candi ini menyebutkan tentang pendirian bangunan suci untuk menghormati Bodhisattva wanita, Tarabhawana dan sebuah vihara untuk para pendeta.[1][2] Penguasa yang memerintah pembangunan candi ini bernama Maharaja Tejapurnapana Panangkaran (Rakai Panangkaran) dari keluarga Syailendra. Kemudian dengan perbandingan dari manuskrip pada prasasti Kelurak tokoh ini dapat diidentifikasikan dengan Dharanindra[3] atau dengan prasasti Nalanda adalah ayah dari Samaragrawira[4]. Sehingga candi ini dapat menjadi bukti kehadiran Wangsa Syailendra, penguasa Sriwijaya di Sumatera atas Jawa.[5]
Dalam Prasasti Kalasan berhuruf Pre Nagari, berbahasa Sanksekerta ini menyebutkan para guru sang raja Tejapurnapana Panangkaran dari keluarga Syailaendra berhasil membujuk raja untuk membuat bangunan suci bagi Dewi Tara beserta biaranya bagi para pendera sebagai hadiah dari Sangha.
Profesor Dr Casparis. menafsir berdasarkan prasasti Kalasan itu, Candi Kalasan dibangun bersama antara Budha dan Hindu. Sementara itu Van Rumond, sejarahwan dari Belanda meyakini bahwa di situs yang sama pernah ada bangunan suci lain yang umurnya jauh lebih tua dibanding Candi Kalasan, sesuai hasil penelitian yang dilakukannya pada tahun 1928. Bangunan suci itu berbentu wihara yang luasnya 45 x 45 meter. Ini berarti bangunan candi mengalami tiga kali perbaikan. Sebagai bukti, menurutnya, terdapat empat sudut kaki candi dengan bagian yang menonjol.
Pada bagian selatan candi terdapat dua relief Bodhisattva, sementara pada atapnya terdiri dari 3 tingkat. Atap paling atas terdapat 8 ruang, atap tingkat dua berbentuk segi 8, sedangkan atap paling bawah sebangun dengan candi berbentuk persegi 20 yang dilengkapi kamar-kamar setiap sisinya.
Beberapa Keistimewaan dan Bentuk dari Candi Kalasan
Pada candi Kalasan ini memiliki lapisan penutup candi yang dinamakan Bajralepa, yaitu semacam plesteran di ukiran batu halus. Detil dari hiasan Bajralepa ini yang merupakan salah satu ciri Candi Kalasan, yang juga dijumpai pada Candi Sari.
Denah bangunan Candi Kalasan berbentuk persegi. Atapnya segi delapan dan puncaknya berbentuk dagoba (stupa). Keadaannya sudah sangat rusak. Hanya bagian selatan yang masih utuh. Disebut-sebut, bilik pusatnya dahulu memiliki arca perunggu setinggi 6 meter yang kini hilang. Sedangkan ketiga biliknya juga kosong.
Tubuh dan atap candi dihias dengan ukiran-ukiran yang sangat indah. Terdiri dari relung-relung, sulur-sulur, arca-arca Budha, dagoba-dagoba dan arca Gana, yaitu manusia kerdil berperut buncit yang biasanya memikul barang.
Mengenai hiasan ini, Bernet Kempers dalam bukunya, Indonesia Selama zaman Hindu, halaman 25, menyebutkan bahwa cara pembuatan hiasan yang cukup rapi dan memikat ini menunjukkan bahwa pada masa pembuatan candi ini memiliki pemahat dan ahli plester bangunan yang sangat cakap.
Ditambahkan menurut Bernet, Candi Kalasan dulunya ditutup oleh stucco seluruhnya, seperti juga candi-candi yang lain. Sedangkan penghalusan bagian-bagian candi ditambahkan batu penutup yang terbuat dari batu kapur.
Di dalam bangunan candi yang nampak sekarang, ternyata ada kontruksi yang lebih tua. Karena itu beberapa ahli mengatakan bahwa banguna yang ada sekarang itu merupakan banguan tambahan di sekitar abad ke-9. Bangunan aslinya jelas memiliki usia yang lebih tua daripada itu.
Denah kaki Candi Kalasan terletak di atas lapik berbentuk bujur sangkar. Dasar candi juga berbentuk bujur sangkar. Pada kaki candi terdapat makara. Di sekeliling kaki ada hiasan jambangan. Tubuh candi bujur sangkar dengan penampil-penampil yang menjorok ke luar di tengah sisinya. Dilengkapi sebuah singasana yang dihiasi singha berdiri di atas punggung sekeor gajah.
Bagian luar candi, terdapat relung yang dihiasi gambar dewa memegang bunga teratai. Pada setiap pintu masuk terdapat hiasan kepala kala yang dijenggernya terdapat kuncup bunga. Pohon dewata ada di atasnya dan para penghuni kahyangan memainkan bunyi-bunyian seperti rebab, gendang, kerang dan cemara.

Atap candinya terdapat hiasan Gana. Atap nya berbentuk segi delapan dan bertingkat dua. Di tingkat pertama terdapat arca Budha. Pada keliling candi terdapat bangunan stupa setinggi 4,6 meter sebanyak 52 buah.
Keindahan candi Kalasan ini masih bisa dinikmati terutama pada bagian selatan candi. Terdapat Banaspati yang besar, lajur yang tegak lurus dihiasi dengan sulur-sulur dan makara-makara, yang merupakan termasuk hasil kesenian Jawa pada masa Hindu yang terbaik. Keistimewaan lain adalah Makaranya menghadap kedalam dan keluar dan di atas kepala Kala terdapat lukisan berbentuk atap candi yang menjulang tinggi. Bila candi ini dilihat dari dalam, candi ini disusun dari tumpukan batu-batuan yag saling terkait dan melebar ke bawah.
Sekalipun candi ini telah dipugar pada tahun 1927 dan pada tahun 1929, namun masyarakat tetap akan menemui kesulitan untuk melihat keindahan Candi Kalasan ini. Itu karena ada bagian-bagian yang terpaksa tidak dapat dikembalikan seperti sediakala, disebabkan karena banyak batu -batu aslinya yang hilang.


Pada masa kerajaan saat itu, umumnya seorang raja atau penguasa kerajaan lainnya membangun sebuah candi untuk beberapa tujuan, antara lain sebagai pusat kerjaan, tempat ibadah, tempat kegiatan belajar dan penyebaran agama atau pun sebagai tempat tinggal bagi para biarawan.
Sejarah pembangunan Candi Kalasan dapat kita temukan pada Prasasti Kalasan yang ditemukan tidak jauh dari ditemukannya lokasi candi tersebut. Prasasti tersebut ditulis di tahun Saka 700 atau 778 Masehi. Prasati Kalasan ditulis menggunakan bahasa Sansekerta dan huruf pranagari. Dalam prasasti ini kita dapat mengetahui bahwa awal mula pembangunan Candi Kalasan berasal dari nasehat para pemuka agama di zaman wangsa Syailendra.
Pada masa itu, para pemuka agama menasehati Maharaja Tejapurnama Panangkarana untuk membangun tempat suci sebagai sarana pemujian Dewi Tara dan biara untuk para pendeta Budha. Maharaja Tejapurnama Panangkarana yang disebutkan pada prasati ini maksudnya adalah Rakai Panangkaran, yang tidak lain adalah putra Raja Sanjaya dari Kerajaan Hindu Mataram. Hal ini ketahui dari prasasti Raja Balitung di tahun 907 Masehi. Dalam sejarah Kerajaan Mataram kuno, diketahui bahwa Rakai Panangkaran akhirnya menjadi Raja Kerajaan Mataram Hindu yang kedua. Dari prasasti Kalasan pula kita mengetahui bahwa Candi Kalasan dibangun dari tahun 778 Masehi.
Dalam periode waktu 750-850 M, di wilayah Jawa Tengah bagian utara dikuasai oleh raja raja Wangsa Sanjaya yang beragama Hindu. Sementara, di waktu bersamaam, kawasan selatan Jawa Tengah dikuasai oleh raja raja dari wangsa Syailendra yang beragama Budha. Perbedaan kekuasaan ini dapat terlihat dari corak corak candi yang terletak di Jawa Tengah bagian utara dan selatan. Meski begitu, wangsa Sanjaya dan wangsa Syailendra akhirnya bergabung melalui tali perkawinan. Pada saat itu, Rakai Pikatan, dari wangsa sanjaya menikah dengan Pramodawardhani, yang merupakan putra Maharaja Samarattungga dari wangsa Syailendra.
Rakai Panangkaran memilih Desa Kalasan untuk dijadikan lokasi pembuatan bangunan suci untuk memuja Dewi Tara. Desa Kalasan juga dijadikan tempat untuk membangun biara yang saat itu diminta oleh pendeta Buddha. Diketahui bahwa patung Dewa Tara semula berdiri di Candi Kalasan, sehingga membuat sejarahwan untuk menyimpulkan bahwa Candi Kalasan adalah candi yang digunakan sebagai tempat suci Dewi Tara. Meski begitu, patung Dewi Tara sudah tidak berada pada Candi Kalasan. Sementara tempat yang diduga sebagai biara bagi pendeta Budha adalah Candi Sari. Candi Sari ini terletak tidak jauh dari Candi Buddha.


 Dari berbagai sumber 






















No comments:

Post a Comment