Tuesday, December 4, 2018

Expedisi Klaten. Manisrenggo, Karangnongko, Jatinom


Cus dari Ndalem Pawirorejan di wilayah Ambarketawang sekitar jam 8 pagi, menuju Cankringan untuk bertemu seorang kawan. Setelah selesai dengan urusan klenik klenikan, segera berangkat meuju Candi Merak, Karangnongko Klaten. Titik kumpul yang telah disepakati.
Candi Merak, ingatanku kembali ke beberapa tahun lalu saat ku mengunjunginya di sela sela waktu kerjaku. Waktu itu masih dalam pemugaran. Masih teringat juga mengapa dinamai Candi Merak, dan mengapa candi itu berada di tempat ini.
Konon menurut cerita yang ku dengar, candi ini berkaitan erat dengan beberapa candi dan mungkin juga batu batu reruntuhan candi di sepanjang jalan antara Boyolali dan Prambanan. Boyolali dan Prambanan??? Tentu saja aku langsung mengaitkannya dengan Rara Jonggrang. Ternyata benar. Cerita itu menuturkan tentang kaitan antara candi candi dan bebatuan candi dengan kisah Bandung Bondowoso dan Rara Jonggrang.

Melewati Kecamatan Manisrenggo, tak sengaja ku melihat sebuah batu dengan bentuk unik di pinggir jalan. Ku berhenti dan mendekat. Semacam batu bahagian dari bangunan candi. Ku ambil hp dan memotretnya. Beberapa kali mengambil gambar namun setelah ku cek, tak ada gambar tersimpan. Hmmm.... ada apa dengan hp ku......  aku berhenti sejenak, menyalakan rokok, dan menyeting ulang hp ku. Mudah mudahan normal. Dan.... cling.... cekrak cekerek, cek, nah... normal. Setelah puas, segera ku pacu sepeda motorku menuju tujuan, Candi Merak.
Tiba di Candi Merak sekitar jam 9.00. Waktu itu lokasi candi sedang dpersiapkan untuk acara penghargaan seniman seniman.  Setelah puas mengitari candi, naik turun dan masuk ke ruang dalam candi, serta mengamati relief dan arca arca yang semuanya sudah tidak utuh lagi, aku menuju tempat pos jupel, dan melihat beberapa arca yag masih diamankan di ruangan. Tak lama kemudian, Mas Yoan datang. Mas Yoan adalah salah satu penggiat dan pecinta sejarah serta peninggalan peninggalan jaman dahulu kala. Bersama dengan Mas Harry, Kangtono  dan Kaleb. Mereka sangat aktif bergerak di wilayah Klaten, tumpah darah mereka. Dengan merekalah aku meminta petunjuk dan bimbingan.

Sambil menunggu teman yang lain datang, kebetulan kami, saya dan Mas Yoan bertemu dengan salah seorang penitia acara di Candi Merak tersebut. Dari obrolan mereka, mereka sangat antusias dan semangat untuk melestarikan peninggalan peninggalan itu dan ditempatkan dengan lebih terhormat dan terawat seperti membuat taman edukasi desa dll. Sangat inspiratif. Namun, kendala yang ditemui masih saja masalah klise. Masih berkutat di bidang birokrasi dan sekitarnya.

Setelah ngobrol sana sini selesai, datanglah Kangtono dan yang lain, Harry dan Kaleb. Lengkap sudah. Rute pertama adalah menuju sebuah desa yang saya sendiri lupa namanya, akan tetapi disebuah halaman warga, terdapat sebuah arca ganesha dalam keadaan tidak utuh. Bagian kepalanya telah hilang entah kemana. Lokasi berada di bawah pohon bambu. Sangat sejuk...
Berlanjut ke sebuah makam desa tak jauh dari lokasi ganesha. Disana terdapat cukup banyak batuan candi di sekitaran makam, bahkan hingga ke rumah rumah, dan  jalan disekitarnya. Bebatuan itu rata rata berbentuk kotak, besar, dengan takik tertentu yang menunjukkan bahwa bebatuan tersebut adlaah bagian dari bangunan candi.
Kami menemukan sebuah bagian arca, hanya bagian perut hingga ke leher di semak semak. Karena kami sangat patuh, kami hanya mengambil gambarnya dan pergi, ke rute selanjutnya yaitu Piluhwatu.

Di belakang Pasar Puluhwatu, di halaman warga kami melihat sebuah batu segi 8, panjang 133cm. Orang menyebutnya yasti, atau gada setyaki. Sedangkan tak jauh dari situ, terdapat batu dengan ukiran wajah raksasa yang relatih masih utuh. Konon semua batuan candi itu berasal dari halamaan rumah tua yang tak jauh dari tempat itu.

Lepas dari Puluhdadi, kami menyisir jalan desa, berkelok kelok di sepanjang pinggir desa. Sampailah kita ke sebuah tanah pertanan, cukup luas dengan tanaman ketela dan jagung yang belum lama di tanam. Dari pinggir jalan tempat kami berhenti, sudah terlihat sebuah batu kotak, dengan lekuk lekuk memanjang dan simetris mengelilinginya. Kami segera mendekat. Yoni sawah. Berada di atas gundukan reruntuhan bata merah dengan ukuran yang cukup besar. Dan di sebelah yoni itu, terdapat pematang yang tersusun dari cukup banyak bata merah yang sama. Saya tanya nama daerah tiu, dan dijawabnya ini adalah desa Nglembu.

Setelah puas dengan yoni sawah Nglembu, kami kembali melewati jalan semula, lalu berbelok kekiri melewati jembatan yang cukup tinggi dan sempit. Terlihat dari atas jembatan betapa curamnya lereng sungai, dan terdapat sebuah kolam buatan di sebelah kiri jembatan. Dari jembatan itu lalu berbelok ke kiri dan tak lama kemudian kami berhenti di jalanan tepat di pinggir desa Kroman. Kami berjalan memasuki kebun, dan hanya berjarak 100meter, terlihat sebuah gundukan tanah dengan pagar berupa ban bekas dan batang bambu berwarna warni. Di dalam pagar itu terdapat situs yang dinamai Watu Gong. Berjumlah 11 buah batu dan berbentuk mirip dengan gong. Berukuran hampir sama. Sebuah kemuncak dan jaladwara juga terdapat ditempat itu. Konon utk waktu waktu tertentu, terdengan bunyi gamelan yang berasal dari tempat ini. Dan bunyi gamelan itu terdengar hingga radius yang cukup jauh. Namun jika didekati, suara gamelan itu semakin menjauh. Entahlah...
Tenggorokan sudah mulai kering, perut sudah mulai laper. Dipimpin Mas Harry, kami segera meluncur ke arah Ngupit. Di dekat pertigaan jalan, terdapat warung angkringan. Cus...... bagai orang kelaparan, ku santap 2 bungkus nasi kucing, gorengan, sate, kepala ayam, es teh 2 gelas. Dan rokokpun terasa semakin menambah kenikmatana istirahat kami.  Ini baru setengah perjalanan Kawan.......

Kenyang, seger, marem, lanjut ke Tibayan, Jatinom. Kali ini Mas Harry yang di depan. Mas Yoan ijin, Kaleb ilang dalane. Hanya Mas Harry penunjuk jalan, saya dan Kangtono pengikut. Rupanya, kenyang tak menghalangi lupa. Sempat tengak tengok di pertigaan jalan kampung, dan harus bertanya pada salahs eorang yang “lebih tahu” tentang keberadaan candi dan yoni. Setelah mendapat pencerahan, kami segera menuju temapt yang ditunjuk.
Tepat di pertigaan jalan kampung, dekat dengan pos ronda, sebuah yoni berukuran besar, berdiri kokoh dengan kemuncak diatasnya, serta beberapa batuan candi tergeletak disekitarnya. Konon yoni ini berasal dari galian di tempat ini pula. Kurang lebih berukuran 100cm. Beberapa batuan candi terlihat tergeletak di pekarangan ini pula.

Selnjutnya, kami menuju candi, yang namanya saja kami juga belum tahu.  Entahlah aku tak dapat membayangkannya. Ku turuti saja Samingun ini. Samingun adalah sapaan akrabku dengan Mas Harry. Kami menyusuri jalanan tengah desa, masuk ke desa Montelan, terus hingga keluar dari desa dan memasuki kebun yang cukup luas, dengan pohon yang agak rapat, jelan setapak yang hanya dapat dilewati sepeda motor, dengan jurang yang cukup curam di sisi kiri. Hawa sejuk, teduh, membuat terlena hingga beberapa kali salah belok. Jalanan semakin mencekam. Di lereng gunung, dengan jalan setapak dan jurang yang sangat curam. Kadang aku berpikir buat apa aku jalan jalan di tempat seperti  ini. Namun.... yah... semua demi anak cucuku. Tak pernah muluk muluk. Demi bangsa dan negara atau kejayaan apalah. Gak. Aku hanya berpikir untuk diriku, dan anak cucuku.
Setelah beberapa kali salah belok, kami berhenti di tengah perkebunan. Untuk mancapai candi itu kami harus berjalan kaki. Terlihat dari jauh sebuah yoni berdiri tegak di tempat yang  paling atas. Kami dekati, lihat sekeliling, dan terlihat bebatuan candi yang sangat banyak, dengan tata letak yang agak berserakan, namun masih membentuk sebuah kotak, dengan ketinggian yang berbeda. Sebagai tukang, saya selalu bawa meteran. Segera ku ukur dengan bantuan Kangtono dan Samingun. Bidang dimana disitu terdapat yoni, berukuran sekitar 11meter. Sedangkan undak dibawahnya, tempat gapura masuk candi tersebut, 3 meter lebih panjang, berarti total 17 meter. Sedangkan yoni tersebut berukuran sekitar 60 – 70 an cm. Setelah puas mengukur ukur, kami pergi meninggalkan tempat itu. Disitulah aku menamainya Candi Montelan. Orang lain boleh saja menamai sendiri sendiri.

Spot selanjutnya adalah Jaden. Di tengah sawah, tak jauh dari jalan antar dusun, terdapat sebuah gundukan tanah. Setelah kami dekati, terlihat sebuah batu kotak bujur sangkar yang datar. Rupanya adalah yoni yang terbalik. Melihat ukuran yang begitu besar, langsung ku ambil meteranku. 115cm. Hmmmmmm.... luar biasah! Beberapa batuan candi tergeletak disekitarnya. Kemungkinan adlaah semacam candi mirip dengan Candi Montelan, yang jaraknya jika ditarik garis lurus, hanya sekitar 3km.

Selanjutnya, Kwaon. setelah keluar masuk kampung, kami berhenti di halaman rumah warga. Setelah mohon ijin, kami masuk ke bagian belakang dari halaman ini. Disana terdapat banyak batu andesit dan batu bata bertakik, dengan ukuran yang cukup besar. Masih belum diketahui tentang bebatuan ini.
Ngupit. 
Lokasi selanjutnya. Rupanya, cukup banyak peninggalan di wilayah Ngupit ini. Ada petirtaan, bebatuan candi, yoni, dan, Prsasti Ngupit, peninggalan Rakai Kayuwangi dari Kerjaan Medang sekitar tahun 700an Masehi. Gila! Senang sekali rasanya aku menyentuhnya.... sebuah peninggalan kerajaan besar pada masanya.... Untuk Prasasti Ngupit, akan diuas dalam tulisan terpisah.



Sudah mulai lelah..... matahari sudah mulai bergeser. Kami kembali ke arah barat, mendekati Yogyakarta. Tiba tiba Samingun dan Kangtono berhenti di pinggir jalan. Aku mengikutinya, dan berjalan melewati pematang. Sebuah batu kotak besar terbenam sebagian di pinggir sawah. Terdapat ukiran yang cukup utuh. Sebuah yoni. Ukuran sekitar 110cm. Yoni Gatak. Karena terletak di desa Gatak, Mranggen, Jatinom, Klaten.
Untuk lanjut ke spot berikutnya, kami harus menjemput Tom Gembus (Mas Yoan). Rupanya, tak jauh dari rumahnya, terdapat pula batuan entahlah apa namanya. Klaten memang luar biasa....

Hari semakin sore. Kami segera berangkat ke Ngrundul. Di halaman warga, terdapat cukup banyak batuan candi, yoni kecil, dan sebuah batu tulis. Sayang sekali pemilik rumah tak ada ditempat. Kami segera meluncur ke desa terdekat, yaitu Jetak.

Jetak, aku gak tahu harus berkata apa. Di belakang rumah warga, terdapat yoni kecil dan besar, dengan puluhan watu candi yang telah tersusun dan dimanfaatkan. Dan tak jauh dari rumah itu, terdapat yoni dengan ukuran 68cm. Jaraknya hanya sekitar 30m. Dan..... sebuah yoni sedang dan arca ganesha di makam umum. Masih si wilayah itu juga. Hanya 10 meter jarak antara keduanya. Luar biasah!

Waktu sudah jam 4 sore. Aku harus pulang ke Jogja. Namun, Klaten, rasanya aku masih belum apa apa. Masih sangat banyak yang ingin ku kunjungi. Secepatnya.



No comments:

Post a Comment