Cus dari Ndalem Pawirorejan di wilayah Ambarketawang sekitar
jam 8 pagi, menuju Cankringan untuk bertemu seorang kawan. Setelah selesai
dengan urusan klenik klenikan, segera berangkat meuju Candi Merak, Karangnongko
Klaten. Titik kumpul yang telah disepakati.
Candi Merak, ingatanku kembali ke beberapa tahun lalu saat
ku mengunjunginya di sela sela waktu kerjaku. Waktu itu masih dalam pemugaran.
Masih teringat juga mengapa dinamai Candi Merak, dan mengapa candi itu berada
di tempat ini.
Konon menurut cerita yang ku dengar, candi ini berkaitan
erat dengan beberapa candi dan mungkin juga batu batu reruntuhan candi di
sepanjang jalan antara Boyolali dan Prambanan. Boyolali dan Prambanan??? Tentu
saja aku langsung mengaitkannya dengan Rara Jonggrang. Ternyata benar. Cerita
itu menuturkan tentang kaitan antara candi candi dan bebatuan candi dengan kisah
Bandung Bondowoso dan Rara Jonggrang.
Melewati Kecamatan Manisrenggo, tak sengaja ku melihat
sebuah batu dengan bentuk unik di pinggir jalan. Ku berhenti dan mendekat.
Semacam batu bahagian dari bangunan candi. Ku ambil hp dan memotretnya.
Beberapa kali mengambil gambar namun setelah ku cek, tak ada gambar tersimpan.
Hmmm.... ada apa dengan hp ku...... aku
berhenti sejenak, menyalakan rokok, dan menyeting ulang hp ku. Mudah mudahan
normal. Dan.... cling.... cekrak cekerek, cek, nah... normal. Setelah puas,
segera ku pacu sepeda motorku menuju tujuan, Candi Merak.
Tiba di Candi Merak sekitar jam 9.00. Waktu itu lokasi candi
sedang dpersiapkan untuk acara penghargaan seniman seniman. Setelah puas mengitari candi, naik turun dan
masuk ke ruang dalam candi, serta mengamati relief dan arca arca yang semuanya
sudah tidak utuh lagi, aku menuju tempat pos jupel, dan melihat beberapa arca
yag masih diamankan di ruangan. Tak lama kemudian, Mas Yoan datang. Mas Yoan
adalah salah satu penggiat dan pecinta sejarah serta peninggalan peninggalan
jaman dahulu kala. Bersama dengan Mas Harry, Kangtono dan Kaleb. Mereka sangat aktif bergerak di
wilayah Klaten, tumpah darah mereka. Dengan merekalah aku meminta petunjuk dan
bimbingan.
Sambil menunggu teman yang lain datang, kebetulan kami, saya
dan Mas Yoan bertemu dengan salah seorang penitia acara di Candi Merak
tersebut. Dari obrolan mereka, mereka sangat antusias dan semangat untuk
melestarikan peninggalan peninggalan itu dan ditempatkan dengan lebih terhormat
dan terawat seperti membuat taman edukasi desa dll. Sangat inspiratif. Namun,
kendala yang ditemui masih saja masalah klise. Masih berkutat di bidang
birokrasi dan sekitarnya.
Setelah ngobrol sana sini selesai, datanglah Kangtono dan
yang lain, Harry dan Kaleb. Lengkap sudah. Rute pertama adalah menuju sebuah
desa yang saya sendiri lupa namanya, akan tetapi disebuah halaman warga,
terdapat sebuah arca ganesha dalam keadaan tidak utuh. Bagian kepalanya telah
hilang entah kemana. Lokasi berada di bawah pohon bambu. Sangat sejuk...
Berlanjut ke sebuah makam desa tak jauh dari lokasi ganesha.
Disana terdapat cukup banyak batuan candi di sekitaran makam, bahkan hingga ke
rumah rumah, dan jalan disekitarnya.
Bebatuan itu rata rata berbentuk kotak, besar, dengan takik tertentu yang
menunjukkan bahwa bebatuan tersebut adlaah bagian dari bangunan candi.
Kami menemukan sebuah bagian arca, hanya bagian perut hingga
ke leher di semak semak. Karena kami sangat patuh, kami hanya mengambil
gambarnya dan pergi, ke rute selanjutnya yaitu Piluhwatu.
Di belakang Pasar Puluhwatu, di halaman warga kami melihat
sebuah batu segi 8, panjang 133cm. Orang menyebutnya yasti, atau gada setyaki.
Sedangkan tak jauh dari situ, terdapat batu dengan ukiran wajah raksasa yang
relatih masih utuh. Konon semua batuan candi itu berasal dari halamaan rumah
tua yang tak jauh dari tempat itu.
Lepas dari Puluhdadi, kami menyisir jalan desa, berkelok
kelok di sepanjang pinggir desa. Sampailah kita ke sebuah tanah pertanan, cukup
luas dengan tanaman ketela dan jagung yang belum lama di tanam. Dari pinggir
jalan tempat kami berhenti, sudah terlihat sebuah batu kotak, dengan lekuk
lekuk memanjang dan simetris mengelilinginya. Kami segera mendekat. Yoni sawah.
Berada di atas gundukan reruntuhan bata merah dengan ukuran yang cukup besar.
Dan di sebelah yoni itu, terdapat pematang yang tersusun dari cukup banyak bata
merah yang sama. Saya tanya nama daerah tiu, dan dijawabnya ini adalah desa
Nglembu.
Setelah puas dengan yoni sawah Nglembu, kami kembali
melewati jalan semula, lalu berbelok kekiri melewati jembatan yang cukup tinggi
dan sempit. Terlihat dari atas jembatan betapa curamnya lereng sungai, dan
terdapat sebuah kolam buatan di sebelah kiri jembatan. Dari jembatan itu lalu
berbelok ke kiri dan tak lama kemudian kami berhenti di jalanan tepat di
pinggir desa Kroman. Kami berjalan memasuki kebun, dan hanya berjarak 100meter,
terlihat sebuah gundukan tanah dengan pagar berupa ban bekas dan batang bambu
berwarna warni. Di dalam pagar itu terdapat situs yang dinamai Watu Gong.
Berjumlah 11 buah batu dan berbentuk mirip dengan gong. Berukuran hampir sama.
Sebuah kemuncak dan jaladwara juga terdapat ditempat itu. Konon utk waktu waktu
tertentu, terdengan bunyi gamelan yang berasal dari tempat ini. Dan bunyi
gamelan itu terdengar hingga radius yang cukup jauh. Namun jika didekati, suara
gamelan itu semakin menjauh. Entahlah...
Tenggorokan sudah mulai kering, perut sudah mulai laper.
Dipimpin Mas Harry, kami segera meluncur ke arah Ngupit. Di dekat pertigaan
jalan, terdapat warung angkringan. Cus...... bagai orang kelaparan, ku santap 2
bungkus nasi kucing, gorengan, sate, kepala ayam, es teh 2 gelas. Dan rokokpun
terasa semakin menambah kenikmatana istirahat kami. Ini baru setengah perjalanan Kawan.......
Kenyang, seger, marem, lanjut ke Tibayan, Jatinom. Kali ini
Mas Harry yang di depan. Mas Yoan ijin, Kaleb ilang dalane. Hanya Mas Harry
penunjuk jalan, saya dan Kangtono pengikut. Rupanya, kenyang tak menghalangi
lupa. Sempat tengak tengok di pertigaan jalan kampung, dan harus bertanya pada
salahs eorang yang “lebih tahu” tentang keberadaan candi dan yoni. Setelah
mendapat pencerahan, kami segera menuju temapt yang ditunjuk.
Tepat di pertigaan jalan kampung, dekat dengan pos ronda,
sebuah yoni berukuran besar, berdiri kokoh dengan kemuncak diatasnya, serta
beberapa batuan candi tergeletak disekitarnya. Konon yoni ini berasal dari
galian di tempat ini pula. Kurang lebih berukuran 100cm. Beberapa batuan candi
terlihat tergeletak di pekarangan ini pula.
Selnjutnya, kami menuju candi, yang namanya saja kami juga
belum tahu. Entahlah aku tak dapat
membayangkannya. Ku turuti saja Samingun ini. Samingun adalah sapaan akrabku
dengan Mas Harry. Kami menyusuri jalanan tengah desa, masuk ke desa Montelan,
terus hingga keluar dari desa dan memasuki kebun yang cukup luas, dengan pohon
yang agak rapat, jelan setapak yang hanya dapat dilewati sepeda motor, dengan
jurang yang cukup curam di sisi kiri. Hawa sejuk, teduh, membuat terlena hingga
beberapa kali salah belok. Jalanan semakin mencekam. Di lereng gunung, dengan
jalan setapak dan jurang yang sangat curam. Kadang aku berpikir buat apa aku
jalan jalan di tempat seperti ini.
Namun.... yah... semua demi anak cucuku. Tak pernah muluk muluk. Demi bangsa
dan negara atau kejayaan apalah. Gak. Aku hanya berpikir untuk diriku, dan anak
cucuku.
Setelah beberapa kali salah belok, kami berhenti di tengah
perkebunan. Untuk mancapai candi itu kami harus berjalan kaki. Terlihat dari
jauh sebuah yoni berdiri tegak di tempat yang
paling atas. Kami dekati, lihat sekeliling, dan terlihat bebatuan candi
yang sangat banyak, dengan tata letak yang agak berserakan, namun masih
membentuk sebuah kotak, dengan ketinggian yang berbeda. Sebagai tukang, saya
selalu bawa meteran. Segera ku ukur dengan bantuan Kangtono dan Samingun.
Bidang dimana disitu terdapat yoni, berukuran sekitar 11meter. Sedangkan undak
dibawahnya, tempat gapura masuk candi tersebut, 3 meter lebih panjang, berarti
total 17 meter. Sedangkan yoni tersebut berukuran sekitar 60 – 70 an cm.
Setelah puas mengukur ukur, kami pergi meninggalkan tempat itu. Disitulah aku
menamainya Candi Montelan. Orang lain boleh saja menamai sendiri sendiri.
Spot selanjutnya adalah Jaden. Di tengah sawah, tak jauh
dari jalan antar dusun, terdapat sebuah gundukan tanah. Setelah kami dekati,
terlihat sebuah batu kotak bujur sangkar yang datar. Rupanya adalah yoni yang
terbalik. Melihat ukuran yang begitu besar, langsung ku ambil meteranku. 115cm.
Hmmmmmm.... luar biasah! Beberapa batuan candi tergeletak disekitarnya. Kemungkinan
adlaah semacam candi mirip dengan Candi Montelan, yang jaraknya jika ditarik
garis lurus, hanya sekitar 3km.
Selanjutnya, Kwaon. setelah keluar masuk kampung, kami berhenti di
halaman rumah warga. Setelah mohon ijin, kami masuk ke bagian belakang dari
halaman ini. Disana terdapat banyak batu andesit dan batu bata bertakik, dengan
ukuran yang cukup besar. Masih belum diketahui tentang bebatuan ini.
Ngupit.
Lokasi selanjutnya. Rupanya, cukup banyak
peninggalan di wilayah Ngupit ini. Ada petirtaan, bebatuan candi, yoni, dan,
Prsasti Ngupit, peninggalan Rakai Kayuwangi dari Kerjaan Medang sekitar tahun
700an Masehi. Gila! Senang sekali rasanya aku menyentuhnya.... sebuah
peninggalan kerajaan besar pada masanya.... Untuk Prasasti Ngupit, akan diuas
dalam tulisan terpisah.
Sudah mulai lelah..... matahari sudah mulai bergeser. Kami kembali
ke arah barat, mendekati Yogyakarta. Tiba tiba Samingun dan Kangtono berhenti
di pinggir jalan. Aku mengikutinya, dan berjalan melewati pematang. Sebuah batu
kotak besar terbenam sebagian di pinggir sawah. Terdapat ukiran yang cukup
utuh. Sebuah yoni. Ukuran sekitar 110cm. Yoni Gatak. Karena terletak di desa
Gatak, Mranggen, Jatinom, Klaten.
Untuk lanjut ke spot berikutnya, kami harus menjemput Tom
Gembus (Mas Yoan). Rupanya, tak jauh dari rumahnya, terdapat pula batuan
entahlah apa namanya. Klaten memang luar biasa....
Hari semakin sore. Kami segera berangkat ke Ngrundul. Di halaman
warga, terdapat cukup banyak batuan candi, yoni kecil, dan sebuah batu tulis. Sayang
sekali pemilik rumah tak ada ditempat. Kami segera meluncur ke desa terdekat,
yaitu Jetak.
Jetak, aku gak tahu harus berkata apa. Di belakang rumah
warga, terdapat yoni kecil dan besar, dengan puluhan watu candi yang telah
tersusun dan dimanfaatkan. Dan tak jauh dari rumah itu, terdapat yoni dengan
ukuran 68cm. Jaraknya hanya sekitar 30m. Dan..... sebuah yoni sedang dan arca
ganesha di makam umum. Masih si wilayah itu juga. Hanya 10 meter jarak antara
keduanya. Luar biasah!
Waktu sudah jam 4 sore. Aku harus pulang ke Jogja. Namun,
Klaten, rasanya aku masih belum apa apa. Masih sangat banyak yang ingin ku
kunjungi. Secepatnya.
No comments:
Post a Comment