Monday, August 13, 2018

Yoni Rogocolo, Makam Kanjeng Raden Tumenggung Secodiningrat (1760-1831) oleh Dwi Ony Raharjo

Nama Tionghoa pangeran Setyodiningrat adalah TAN JING SIN dan inilah sejarah hidup beliau.  Hal-ikhwal yang mencuat dalam latar belakang protagonis ceritera ini adalah semangat pembaurannya. Pergaulan luasnya dengan orang berbagai etnis, cintanya yang sama terhadap budaya berpusparagam - Kanjeng Raden Tumenggung Secodiningrat (1760-1831) merupakan yang barangkali dapat menjadi contoh layak untuk bangsa Indonesia sehubungan upayanya mengukuhkan tersusunnya persatuan di antara para warganya dalam rangka menyadarakan secara maujud cita-cita mulia reformasi ibu pertiwi kita.
Niscaya ketika masih kecil, dikenal dengan nama Tan Jin Sing, lantas menjadi wiraswastawan sukses yang sewaktu berusia 30 tahun, mencapai pangkat Chinesche Kapitein (Kapten Cina) di Kedu, Jawa Tengah. Beberapa tahun kemudian, menjabat dengan pertanggungjawaban serupa di Yogyakarta. Lantaran sudah terjun dalam kancah politik, demikianlah mempertaruhkan jiwa serta hartanya, membantu Pangeran Suroyo dan Sri Sultan Raja memperoleh kenbali singgasana kiani Ngayogyakarta Hadiningrat, lalu dinobatkan dengan gelar Khalifah Ngabdurrachman Sri Sultan Hamengkubuwono III. Sesudah itu, Kapten Tan Jin Seng dilantik sebagai pembantu utama diraja dengan gelar rudah keningratan Raden Tumenggung Secodiningrat, walaupun masih mempertahankan kedudukannya sebagai Kapten Cina Yogyakarta.


Akibatnya, K.R.T. Secodiningrat sepanjang hidupnya dianggap orang Jawa, Tionghoa maupun Eropa seorang keturunan Tionghoa, suatu praduga rancu yang hingga dewasa ini masih dianut sebahagian rakyat jelata Jawa.

Sementangpun, keunikan riwayatnya, yaitu bahwa K.R.T. Secodiningrat dilahirkan di desa Kalibeber, Wonosobo, dalam keluarga berkulasentana Jawa dan, oleh karena ayahnya wafat ketika masih menjejaki masa kanak-kanaknya, lantas diangkat anak oleh Tek Yong yang sangat akrab dengan kulawangsanya. Ibunya R.A. (Raden Ayu) Patrawijaya, salah satu putri R.M. Kunting, keturunan ke-tiga Sri Paduka Sunan Mataram Mangkurat Agung (Tegal Arum), dari ibunya belajar tata-istiadat dan kromo inggil/bagongan Kraton Jawa sentiasa tanpa mengetahui sedikitpun identitas sebenarnya wanita yang begitu menyayanginya. Dari keluarga angkat Tionghoanya, mengkaji resam-rasam serta bahasa tamaddun Cina. Bahasa Melayu dan Jawa madya/ngoko terserap melalui percakapan sehari-hari dengan kawan- kawan dan para pembantunya.

K.R.T. Secodiningrat bisa menyesuaikan diri dengan mudah ke dalam tiga dunia, yakni: Tionghoa, Jawa dan Eropa Barat, orang Barat yang mengenalnya sebagai karib atau musuh mengakui tingkat tinggi kedhyaksaan dan kepandaiannya. Orang-orang Tionghoa bergagasan K.R.T. Secodiningrat mempunyai bakat dalam hal memadukan antara kepiawaian Cina dan unggah-ungguh (sopan-santun) Jawa. Adapun mereka yang tidak senang kepadanya, acapkali menyindirkannya dengan ungkapan berlanggam senada: "Cino wurung, Jowo tanggung, Londo pun durung" atau dengan kata lain, Cina ya tidak lagi, Jawa ya tanggung, jadi Belanda pun belum. Sebagai Bupati Yogyakarta, K.R.T. Secodiningrat berusha keras agar Kesultanan ini dapat maju dan jadi makmur, namun manakala mulai menunjukkan tanda-tanda sukses, terjadinya gejolak-gejolak politis mengganggu-gugat sebagian banyak upaya rajinnya.


Semenjak tahun 1798, Inggris sudah terlibat perang dahsyat melawan Perancis di bawah kuasa Napoleon Bonaparte, pertempuran-pertempuran konon siap membentang ke Asia. Kerajaan Belanda telah menyerahkan diri pada Perancis, alhasil, Hindia Belanda Timur yang saat itu dipimpin Gubernur-Jenderal Willem H. Daendels, sesuai ketentuan syah wajib menyerah pada hak kedaulatan wilayah Perancis. Letnan- Jenderal koloni Permukiman Perselatan yang berpangkal di Melaka, semenanjung Melayu, Sir Thomas Stamford Raffles, langsung diberi prerogatif memprakarsai dan melaksanakan pengambilalihan lekas pulau Jawa, pusat nadi operasi militer-ekonomis Belanda, karena orang Inggris khawatir balatentara-balatentara Perancis dapat mendarat di sana terlebih dahulu. Demikianlah seluk-beluknya, suka atau tidak,kawula Yogyakarta diharuskan menentangkan petualangan bersenjata Inggris yang dinanti-nantikan, sementara itu K.R.T. Secodiningrat berikhtiar sebisa mungkin guna meraih kesepakatan berdamai antar Kesultanan Yogyakarta dan penguasa Inggris.

Percobaan ini malah tersia-sia, semenggahnya terjadi karena pencegatan pesuruh R.T. Secodiningrat kepada Sir Raffles, akibat intrik bertele-tele dalam lingkaran istana, ditopang penguasa administratif Belanda tertentu yang hendak mempertahankan kuasanya...peristiwa ini didahului dan disusul pelbagai kejadian tragis, seumpamanya asasinasi Patih Danurejo II yang dianggap telah mengkhianati Sultan Raja, meskipun kalau perbuatan hina ini tentu saja memedihkan hati Yang Mulia yang sendirinya akan menemui nasib semacam itu, di mana dima'zulkan dari singgasana kianinya, dikarenakan pertengkaran intern di lingkungan astana. Mulai kala itu, demi keselamatan Sultan Raja mengambil keputusan turun takhta dengan mengembalikan mahkota kepada Sultan Sepuh yang tidak ayal lagi, menerimanya dengan sukacita. Segenap hak luar biasa Pangeran Suroyo dilucutkan dan Sultan yang baru naik takhta menunjuk Pangeran Mangkudiningrat, putra ke-11 dari permaisurinya, Ratu Hemas, sebagai wakilnya.

K.R.T. Secodiningrat amat menghelaskan kerama ini karena anggap kezaliman Sultan Sepuh itu berkukarma,  sebagaimana terlihat jelas dari perlakuannya yang keji terhadap kaum menak baik terhadap wong cilik, berjanji kepada Pangeran Suroyo bahwa dirinya akan mengatasi masalah serba sulit ini. Isbat, ketabahan teguhnya mendapat pahala dengan penobatan kembali Sultan Raja seusai mangkat mandat Inggris atas pulau Jawa.

Di kelak hari, pada usia lebih lanjut, sebuah pagelaran wayang kulit sedang dipentaskan di kediaman K.R.T. Secodiningrat yang menjudulkan secara tematis wiracarita tokoh pelaku utama-pahlawan Bima, terkenal untuk kejujuran dan watak ksatryanya, setelah terima wejangan dari Maharesi Durna - ustadnya, supaya mencari tirta amarta (air suci) kehirupan. Selama tamasyanya yang penuh akan mara dan rintangan, Bima terhimpit membanteraskan lawan makhluk bangsat yang terpaksa harus dibasmi. Akhirnya, Bima menyeberangi samudra dan sehabis mengadu seekor naga beringas, bertemu dengan manusia kerdil bernama Dewa Ruci yang kemudian memerintahkan Bima yang berperawakan besar masuki tubuh kecilnya lewat liang kupingnya. Dalam badan Dewa Ruci, Bima menjumpai berbagai macam gejala, warna, pola dan ujud; Satu per satu yang Dewa Ruci menerangkan.

Dari perbincangan ini, Bima akhirnya memahami apa itu makna berintisari kehidupan dan kepentingan mawas diri. Dengan rendah hati, Bima menyampaikan rasa terima kasihnya yang setulus-tulusnya kepada Dewa Ruci. Makhluk kecil ini dikagumi lantaran mengetahui semua tentang rahasia kehirupan, kebijaksanaan, ketenteraman dan teka-teki kebahagiaan langgeng, segera sesudahnya, Dewa Ruci menghilang dari layar sebeng pewayangan.

Kini, K.R.T. Secodiningrat nyampang sadar bahwa ibarat mencari tirta amarta itu dimaksud sebagai lambang perjuangan insan dalam hal mendambakan ketenteraman dan kebahagiaan abadi, apa yang pada hakekatya sesuatu yang ditemukan dalam diri batin seseorang. Namun untuk menggapai jajaran dasar guna sedemikian, mutlak perlu agar seorang mengekang dan mengendalikan indra pencium, pendengar, perasa, peraba dan pelezat. Manakala seberhana indra ini dikuasai, seseorang tidak mudah terimbit oleh alam fana loka ini yang gelap gulita. Oleh sebab itu yang jasmaniah bisa sepadan dan bergabung dengan yang rohani, selanjutnya memperbolehkan perhubungan langsung dengan yang Maha Tunggal - Tuhan.

10 mei 1831, jam menunjukkan pukul 6 dinihari, almarhum K.R.T. Secodiningrat dimakamkan di Rogocolo, Mrisi, acara penguburan itu dihadiri ribu-ribuan pelayat.
Adapun keturunan K.R.T. Secodiningrat atau Tan Jin Sing, dalam kurun waktu satu setengah abad telah membuahkan dua golongan, yakni Jawa dan Tionghoa; Raden Dadang menggantikan ayahnya baik sebagai Kapten Cina dan Bupati, kelak menyandangkan gelar R.T. Secodiningrat II; Seperti diizinkan tradisi Islam, mempunyai tiga istri: (1) wanita Tionghoa Peranakan setempat dengan sebutan Nyonya Kapitein, (2) wanita Jawa bergelar Mas Ajeng Secodiningrat (3) seorang wanita Jawa yang disapa Raden Nganten Secodiningrat. Salah satu putri Raden Dadang - B.R.A. Kumaraningrum (Putri Bhe Siu Kai) menikahi Pangeran Mangkusuno dari Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.

Sebermulanya, sehubungan bujukan residen Belanda yang mewakili administrasi Hindia Belanda Timur, terhadap diri Sri Sultan Hamengkubuwono VI, semua warasa syah K.R.T. Secodiningrat dianjurkan olehnya memindahkan tanah warisannya pada Kesultanan, lagi pula akan diberi ganti rugi finansial sebesar f 7.800 per tahun, atau f 650 per bulan. Jika jumlah ini digabungkan sama ganti-ganti kerugian atas tanah-tanah di luar keresidenan Yogyakarta yang telah diterima
K.R.T. Secodiningrat sejak tahun 1824, maka jumlah senilai f 1.500 per bulan mungkin dibagi-bagi antara segenap ahli warisnya. Persetujuan ini tertera dalam Akte Notaris no. 57 tertanggal 24 april 1861.


Dalam risalat singkat ini riwayat K.R.T. Secodiningrat (Tan Jin Sing) dikissahkan, seseorang melihat bahwa dirinya telah berhasil pada zamannya melakukan apa yang dewasa ini jadi angan-angan dan dianggap sangat genting bagi masa depan proses pembangunan wawasan kebangsaan Indonesia, yaitu pembauran yang merupakan alur berjalur ganda di mana baik mazhab integrasi dan peleburan (asimilasi) dipandang sama, tidak salah satu pun di antaranya dapat melebihi yang lain, tidak satu pemerintah pun disahkan menimbrung dalam hak azasi seorang manusia untuk hidup sesuai pilihannya asalkan serasi dengan kesusilaan baik yang tercantum dalam Undang-Undang. Sebelum pemasukan dan pemberlakuan susunan hukum semi-aparteid oleh Pemerintahan kolonial Belanda sedari akhir Perang Jawa yang sangar, seantero pulau Jawa memang masyarakat amat kosmoplitan di mana terdapat rasa kesetiakawanan kuat warga masyarakat yang berlatarbelakang, beragama dan berketurunan etnis majemuk.
Ada yang menarik di komplek makam ini. Keberadaan dua buah yoni berukuran sedang, yang diletakkan masing masing di samping kiri dan kanan menghadap pintu gerbang makam utama yang diletakkan paling tinggi tersebut. Konon, pada jaman dahulu, masyarakat sekitar memeluk agama hindu, dan yoni tersebut adalah merupakan peninggalan pada jaman itu.









Saturday, August 11, 2018

Yoni Irigasi

Tak jauh dari situs Lapik, Lingga dan Ghana Plumbon. Terletak di desa Kemiri, bersebelahan dengan desa Plumbon.Yoni Irigasi. Demikianlah aku menyebutnya. orang lain boleh menamainya sekehendak hatinya. Boleh....terserah. Sesuka suka kalianlah.
Benda ini aku temukan saat aku berjalan jalan untuk makan siang dari proyek. Aku sengaja berjalan jalan memutar agak jauh dari lokasi proyek namun masih cukup terukur jarak sehingga jika diperlukan sewaktu waktu aku bisa langsung ke proyek dalam hitungan 20 menit.
Sebenarnya, bukan benda ini tujuanku. Tapi sebuah benda yang aku duga adalah lingga karena menurut informasi yang ku dapat, bentuknya menyerupai lingga.
Saat berjalan agak kendang dengan sepeda motorku melalui persawahan, tiba tiba mataku melihat benda ini di pinggir jalan, tepat disamping saluran irigasi. Segera ku memutar balik motorku dan berhenti. Cukup menarik, karena disamping benda yang cukup bagus ini, diatsnya terdapat sebuah prasasti.
Ku dekati dan ku amati apa yang tertera dalam prasasti tersebut. Tak lupa aku ambil kamera untuk mendokumentasikannya. Disitu terdapat tulisan yang sudah samar, kabur, karena cat yang sudah memudar.
PELAKSANA
KELOMPOK TANI "NGUDI MAKMUR"
KEMIRI MARGOREJO
PENGEMBANGAN JARINGAN IRIGASI
CF-SKR DITBEN PSP KEMENTAN
TA 2012















Sunday, August 5, 2018

Candi Sambisari oleh Dwi Ony Raharjo

Candi Sambisari terletak di Dusun Sambisari, Desa Purwomartani, Kecamatan Kalasan, Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta. Dari pusat kota Yogyakarta, jaraknya 15 kilometer ke arah timur laut. Candi Sambisari yang merupakan candi Hindu beraliran Syiwa ini diperkirakan dibangun pada awal abad ke-9 oleh Rakai Garung, seorang Raja Mataram Hindu dari Wangsa Syailendra.
Candi Sambisari ditemukan secara tidak sengaja. Seorang petani yang sedang mencangkul di sawahnya merasakan cangkulnya menghantam sebuah benda keras yang, setelah digali dan diamati, ternyata adalah sebuah batu berhiaskan pahatan. Berdasarkan laporan penemuan tersebut, Balai Arkeologi Yogyakarta melakukan penelitian dan penggalian seperlunya. Berdasarkan hasil penelitian, pada tahun 1966 ditetapkan bahwa di lahan tersebut terdapat reruntuhan sebuah candi yang terpendam oleh timbunan pasir dan batu yang dimuntahkan oleh G. Merapi pada tahun 1906. Rekonstruksi dan pemugaran candi ini selesai pada tahun 1987.


Candi Sambisari terletak sekitar 6,5 m di bawah permukaan tanah, sehingga candi tersebut tidak tampak dari kejauhan. Menurut dugaan, dahulu permukaan tanah daerah di sekeliling candi tidak lebih tinggi dari lahan datar tempat Candi Sambisari berada, namun tanah pasir dan bebatuan yang terbawa oleh letusan G. Merapi pada tahun 1006 telah menimbun daerah itu. Akibatnya, Candi Sambisari ikut terbenam dalam timbunan, sehingga saat ini posisinya menjadi lebih rendah dari permukaan tanah di sekelilingnya. Saat ini lahan di sekeliling candi telah digali dan ditata, membentuk lapangan persegi dengan tangga di keempat sisinya.


Kompleks Candi sambisari dikelilingi oleh dua lapis pagar. Halaman luar seluas 50 x 48 m dikelilingi pagar batu rendah, sedangkan halaman dalam dikelilingi pagar batu setebal sekitar 50 cm dengan tinggi sekitar 2 m. Di masing-masing sisi terdapat pintu masuk tanpa gapura atau hiasan lain. Candi Sambisari terdiri atas satu candi utama dan tiga candi perwara. Candi utama yang menghadap ke barat kondisinya relatif utuh, sedang ketiga candi perwara yang letaknya berhadapan dengan candi utama saat ini hanya baturnya yang tersisa. Masing-masing candi perwara berdenah dasar bujur sangkar seluas 4,8 m2.
Tinggi candi utama sampai ke puncaknya mencapai 7,5 m. Tubuh candi berdiri di atas batur yang berdenah dasar bujur sangkar seluas 13,65 m2 dengan tinggi sekitar 2 m. Tubuh candi juga berdenah dasar bujur sangkar dengan luas 5 m2. Selisih luas batur dengan tubuh candi membentuk selasar yang dilengkapi langkan setinggi sekitar 1,2 m. Tingginya langkan menyebabkan tubuh candi tidak terlihat dari luar dan hanya atapnya yang menyembul ke atas, sehingga menimbulkan kesan tambun.
Kaki candi polos tanpa hiasan, namun bagian luar dinding langkan dihiasi seretan pahatan bermotif bunga dan sulur-suluran yang sangat halus pahatannya.

Tangga menuju ke selasar terletak di depan pintu, yaitu di sisi barat. Tangga ini dilengkapi dengan pipi yang dihiasi pahatan sepasang kepala naga dengan mulut menganga. Batu di bawah masing-masing kepala naga dihiasi pahatan berupa Gana dalam posisi berjongkok dengan kedua tangan diangkat ke atas, seolah-olah menyangga kepala naga di atasnya. Gana, atau sering juga disebut Syiwaduta, adalah makhluk kecil pengiring Syiwa. Pahatan Gana juga terdapat di pintu masuk candi-candi besar di kompleks Candi Prambanan.
Di puncak tangga terdapat gerbang paduraksa dengan bingkai dihiasi pahatan motif kertas tempel. Kaki bingkai dihiasi pahatan kepala naga menghadap ke luar dengan mulut menganga. Hiasan yang sama juga terdapat di pintu masuk ke ruangan dalam, namun di ambang pintu ruangan terdapat pahatan Kalamakara tanpa rahang bawah.
Pada masing-masing sisi dinding luar tubuh candi terdapat relung berisi arca. Dalam relung di dinding selatan terdapat Arca Agastya atau Syiwa Mahaguru, di dinding timur terdapat Arca Ganesha, dan di dinding utara terdapat Arca Durga Mahisasuramardini.


Syiwa yang digambarkan sebagai sosok pria bertangan dua dan berjenggot sedang berdiri di atas padma. Di sebelah kanannya terdapat sebuah trisula, tombak bermata tiga yang merupakan senjata Syiwa. Arca ini mirip dengan Arca Syiwa Mahaguru yang terdapat di relung selatan Candi Syiwa di Kompleks Candi Prambanan, hanya saja tubuhnya lebih ramping.
Arca Ganesha yang terdapat dalam relung timur juga mirip dengan Arca Ganesha yang terdapat di relung timur Candi Syiwa. Ganesha digambarkan dalam posisi bersila di atas padmasana (singgasana bunga teratai) dengan kedua telapak kaki saling bertemu. Perbedaannya ialah telapak tangan kanan arca ini menumpang di lutut dalam posisi tengadah, sementara telapak tangan kiri menyangga sebuah mangkok. Ujung belalai seolah menghisap sesuatu dari dalam mangkok.


Dalam ruang utara terdapat Arca Durga Mahisasuramardini, yaitu Durga sebagai dewi kematian. Seperti yang terdapat di Candi Syiwa di Prambanan, Durga juga digambarkan sebagai dewi bertangan delapan dalam posisi berdiri di atas Lembu Nandi. Satu tangan kanannya dalam posisi bertelekan pada sebuah gada, sedangkan ketiga tangan lainnya masing-masing memegang anak panah, pedang dan cakram. Satu tangan kirinya memegang kepala Asura, sedangkan ketiga tangan lainnya memegang busur, perisai dan bunga. Berbeda dengan yang terdapat di Candi Syiwa, Asura, raksasa kerdil pengiring Durga, di Candi Sambisari digambarkan dalam posisi berlutut. Durga di Candi Sambisari juga digambarkan lebih sensual, dilihat dari posisi berdirinya, kain penutup pinggul yang pendek sehingga memperlihatkan pahanya, payudara yang lebih menonjol, serta senyum yang menghiasi bibirnya.



Di tengah ruangan berukuran sekitar 4,8 m2 dalam tubuh candi terdapat sebuah Lingga lengkap dengan yoninya. Lingga terbuat dari batu berwarna putih, sedangkan yoni di tengah lingga terbuat dari batu berwarna hitam yang sangat keras dan mengkilap. Di sepanjang tepi lingga terdapat alur untuk menampung air persembahan yang dialirkan ke cucuran berhiaskan kepala ular.














Thursday, August 2, 2018

Situs Karangbajang oleh Dwi Ony Raharjo

Pernah dilakukan penggalian di situs ini dan temuan temuan yang dianggap penting sudah diamankan petugas. Kini hanya menyisakan bongkahan bongkahan batu candi yang digunakan untuk hiaan di depan rumah.



ba











Bakal Candi Kebonsari Purworejo

Di belakang masjid dan di dekat makam umum, tepat di pinggir Sungai Boghowonto. Saat penggalian unuk proyek, ditemukan batu batu berukuran besar dengan bentuk bentuk tertentu yang ditengarai sebagai bebatuan bakal candi, karena bentuknya yang belum begitu sempurna.
Demi sesuatu hal, dengan pertimbangan tertentu beebatuan tersebut, yang belum terangkat ke permukaan dengan sempurna, kemudian di timbun lagi dengan tanah di tempatnya semula. menyisakan 2 buah batu yang berhasil di dokumentasikan tersebut.