Wednesday, June 15, 2016

JOGJA BERHATI MACET - KOMPASIANA.com

Yah, begitulah yang ku lihat saat aku iseng iseng buka google. Ada perasaan yang susah untuk diungkapkan dengan kata kata. Sebuah media nasional, memuat berita demikian. Jangankan musim liburan, atau bahkan menjelang hari raya seperti sekarang ini. Hari hari biasa saja, sudah semakin macet di mana mana.
Dan masih banyak tautan yang memuat berita tentang macetnya kota tercinta ini.

https://kubikberjalan.wordpress.com/2016/02/05/jogja-kok-kamu-macet-sih/
http://www.hipwee.com/feature/rasanya-orang-yang-tinggal-di-jogja-yang-selalu-macet-saat-libur-panjang-tiba/
http://www.cahyogya.com/2014/10/dibalik-jalanan-jogja-yang-semakin-macet_28.html
https://kusnantokarasan.com/2015/03/04/jogja-juga-macet/comment-page-1/
https://twitter.com/joeyakarta/status/609587537644929024
http://jogjakusurgaku.blogspot.co.id/2015/10/jogja-yang-kini-semakin-macet.html

Sebenarmya kita semua tahu dan tentu saja maklum dengan perkembangan jaman, kemajuan dan entah apalagi istilah yang diucapkan. Namun apakah dengan alasan kemajuan dan perkembangan jaman, kemudian mengesampingkan hal yang lain seperti ini?

Semua hanya bisa berharap pemerintah daerah dengan segala macam instansi, lembaga, staf ahli, pengkajian pengkajian, segera menemukan formula untuk mengatasi kemacetan yang semakin parah.
Semoga ada tindakan nyata secepatnya.

Friday, March 14, 2014

THE EXPENDABLES OF KURUSETRA


Sebuah kemenangan dalam hal apapun juga tentu memerlukan pengorbanan. Demikian juga dengan sebuah peperangan. Sebuah peperangan, terlepas dari besar kecilnya peperangan itu, tentu memerlukan pengorbanan yang sepadan.

Baratayuda, peperangan terbesar dalam sejarah, juga tak luput dari pengorbanan, yang tentunya sepadan dengan kemenangan yang dipertaruhkan. Baratayuda, peperangan antara dua saudara, yang di dalamnya terdapat ksatria ksatria yang luar biasa, dengan kesaktian dan kemampuan di luar batas manusia biasa, pun memerlukan pengorbanan.

Pengorbanan siapakah yang begitu besar perannya, hingga mereka harus menjadi tumbal dan sesaji demi kemenangan? Apakah salah satu dari Pandawa Lima, tokoh utama dari sejarah ini? Ataukah salah satu dari Kurawa, pihak yang diposisikan sebagai yang jahat dalam cerita ini?

Ternyata, pengorbanan yang besar, kadang bukan pada tokoh yang besar pula, yang berperan sangat besar dalam alur cerita ini. Namun tumbal dan sesaji itu, justru datang dari orang orang yang sama sekali tak di sangka, bahkan terpikirpun tidak.

Rakyat jelata, yang hidupnya hanya cukup untuk memikirkan dirinya, dari desa yang terpencil jauh di sana, lepas dari segala hingar bingar kota dan perseteruan yang menyeruak, bisa saja pengorbanannya lebih besar artinya dibandingkan dengan para ksatria istana maupun punggawa yang gagah perkasa mengangkat senjata.
Adalah nama nama seperti Sagotra, Janadi, dan Bambang Rawan. Ketiganya sama sekali tak terucap dalam kisah Baratayuda, namun ternyata, dengan pengorbanan mereka bertiga, Pandawa, mampu meraih kemenangan di kancah Baratyuda.


Siapakah ketiga rakyat jelata yang istimewa itu???? (bersambung....)

Thursday, February 14, 2013

RAMADA


Adalah seorang  pemuda desa yang terhalir dari rahim seorang ibu sederhana di pedesaan nun jauh di pedalaman sebuah kerajaan yang telah mulai pudar sinarnya, di belahan timur pula Jawa Dengan tekad baja mengembara menuruti kehendak hatinya, dengan berguru pada alam semesta, dengan mencurahkan segala budi yang dimilikinya, dan garis darah yang diyakininya, maka adalah sangat wajar apabila dia menjadi seorang pemuda yang luar biasa, melebihi dari kemampuan pemuda pemuda pada masanya, bahkan untuk ukuran para guru guru yang hidup pada masanya.

Pengembaraan yang dalam waktu lama, dengan arah tujuan yang tak pasti, hanya berjalan untuk mengabdi pada kemanuisaan yang ia yakini, hingga tiba langkahnya di sebuah negeri. Negeri bahagian barat dari pulau Jawa. Karena sebuah “teja” yang menyala pada raut mukanya, dan bentuk tubuh serta kemampuan lahiriyah yang didukung dengan laku bathin yang terjaga, tak heran apabila banyak kaum hawa yang tersita perhatiannya, dari segala kasta. Tak hanya rakyat jelata namun dari golongan istanapun tertarik akan keindahannya.

Jalinan kisah antara seorang pemuda desa dengan puteri dari istana, tercipta seiring waktu dan suasana. Dan pertentanganpun terjadi, buka antara keduanya, namun karena status kasta yang tak dapat diterima. Sebuah kekecawaan besar yang menimpa atas sang pemuda, dimana cita-cintanya tak dapat dia rengkuh dalam suatu masa. Dengan muka tunduk, dia pergi meninggalkan semuanya, kembali ke pengembaraan seperti semula.

Kembara seperti semula, dengan arah ingin kembali ke rumah bundanya, dimana dia dilahirkan dan beranjak dewasa. Namun jaman telah berubah, tahta telah berganti, namun tekad di ahti untuk tetap mengabdi, tak pernah padam bagai bara api. Saat tahta bergeming, dia beranikan diri untuk berpaling, tanpa mengurangi hasrat untuk tetap mengabdi.

Sebuah janji suci terucap saat pengabdiannya tersambut. Segala kemampuan lahir batin dicurahkan agar janjinya  terwujud. Dalam waktu singkatpun, semua mata takjub, dan duniapun tunduk. Namun dalam setiap perjalanan, selalu saja ada rintangan, dan konflik dengan berbagai kepentingan.

Adalah cakarawala yang memerah saat dia terima sebuah perintah, dari sang raja tempat dia curahkan segala daya  upaya untuk mewujudkan sebuah Negara yang perkasa. Perintah yang samasekali tak pernah terpikirkannya. Kali ini hatinya bergolak, antara kepentingan Negara dan kepentingan hantinya. Stangkai bunga telah memporakporandakan hatinya.

Demi sebuah cinta, dia relakan segala-galanya. Bagaimanapun, dia adalah laki laki, yang punya hati dan cinta, seperti manusia biasa.

Friday, December 21, 2012

SENJA DI KRATON BOKO


Sebuah kilas balik yang tak pernah ku duga sebelumnya. Saat telah ku lepas semuanya, tiba tiba kini muncul kembali, dalam waktu yang sangat tak terduga. Hati serasa tergetar hebat, beberapa saat tercenung, dan hanya terduduk diam, sambil kembali menata hati, dari anyaman anyaman yang telah tertata seadanya, karena memang tak pernah mampu menatanya menjadi indah.

Sekian lama terbiarkan terbengkelai, ku serahkan semuanya kepada sang waktu. Biarlah menjadi goresan goresan sesuai dengan maksudnya, sama sekali ku tak pernah menyentuh ataupun mengaturnya. Hanya sesekali kusempatkan untuk melihat hasil dari gurat-guratan sang waktu atas cerita cerita yang telah terjalani dengan langkah tak tentu ujung.

Sungguh ku takut  tuk melihat hasil guratan sang waktu, karena batin ini akan terasa sangat teriris, dengan sangat dalam, tanpa ampun, tanpa mampu bertahan, namun kubiarkan semuanya menyiksaku sepuas puasnya, karena keindahan yang kudapatkan adalah setimpal.

Kali ini, kejadian itu mungkin akan terjadi pula. Aku menarik nafas dalam, sangat dalam…… tak tahu apa yang akan terjadi, apa yang akan terucap, dan apa yang akan diperbuat. Lagi lagi, kepada sang waktu aku serahkan semuanya. Biarlah dia mengambil penanya kembali, dan menuliskan guratan guratan tentang cerita ini kembali sesuai dengan inginnya.

Cerahnya  langit sore hari  sama sekali tak mempengaruhiku. Hanya berjalan sesuai dengan kehendak hati, tanpa nalar dan logika. Beberapa saat ku terdiam, sebatang rokok ku ambil dari saku dan segera menyulutnya. Hati semakin berdebar debar. Ah…. Biarlah….yang terjadi, terjadilah…..

Sebuah senyum tersungging, senyum yang pernah ku kenal. Bahkan sangat aku kenal. Bahkan aku sangat hafal  dengan bentuk senyumnya, tipis bibirnya, bahkan gurat gurat di bibirnya. Hamper tiap hari ku sentuh bibirnya, dengan jari jariku, dan tiap kali tangis yang terjadi, segera ku sentuh bibir tipis itu dengan…..ah……..!!!!!!

Tangan bersambut, dan langkah langkah pelan, seperti dulu…… bertahun tahun yang lalu. Rumput hijau terhampar, batu batu besar tertata membentuk sebuah bangunan megah. Tempat itu, beberapa tahun yang lalu, telah member sedikit guratan bagi sang waktu untukku. Namun sangat jauh berbeda dengan saat ini, walau sang waktu tak mampu menghapus gundah hatiku saat itu, seperti yang ku alami saat ini, namun pena itu terus menuliskan cerita ini.

Sungguh, aku tak tahu harus berkata apa. Aku terpaku, layaknya seorang anak kecil menyaksikan indahnya layang layang menari di angkasa, tanpa mampu menyentuhnya. Aku terpana. Semua kata yang terdengar, bagai sebuah cerita  yang hanya dapat aku baca, aku dengarkan, tanpa dapat berbuat apa apa.

Kubiarkan semuanya mengalir, semuanya! Agar semua tanya yang tersimpan sekian lama terjawab, walau hati dan perasaan masih juga menyangkalnya. Masih ada satu tanya yang tak terjawab, bahkan oleh si empunya. Ku biarkan…..kubiarkan……kubiarkan….! Aku ingin menikmatinya, ingin menikmatinya sekali lagi. Bahkan jika hanya sekali lagi. Walaupun anyaman anyaman hati harus terkoyak, lukisan dinding harus tercoreng, dan tinta harus tumpah di atas kain kanfas, semuanya setimpal. Sakiti aku!!!! Sakiti aku!!! Sakiti aku!!!!! Aku rela asal semua itu berasal darimu. Hanya dari dirimu.

Langit semakin temaram, matahari mulai tenggelam, seolah berpihak padaku dengan memberinya cahaya lemah di senja itu, dengan cahaya yang kuning memerah, dan segaris awan hitam diatasnya, sama persis dengan perasaanku yang temaram, dan masih juga menyimpan satu garis hitam yang belum terjawab. Namun rasa ini, tak kan hilang  hingga sekarang, hingga nanti, dan hingga akhir nanti.  

Thursday, September 13, 2012

SUMANTRI, MIKUL GENDHONG LALI (3)


Namun rupanya., setelah 500 kerajaan berhasil dia taklukan, sadarlah Sumantri bahwa kemampuanny memang tak diragukan lagi. Timbullah niat dalah hatinya untuk menaklukkan Harjunasasrabahu, raja tempat dimana ia ingin mengabdi.
“Bila aku berhasil menaklukkan lebih dari 500 kerajaan, bukankah mungkin saja aku dapat menaklukkan Mahespati, dan membawa Dewi Citrawati untuk ku jadikan permaisuriku?” katanya lirih waktu beristirahat dengan ditemani kedua abdi setianya.

“Ampun Raden, janganlah Raden terlalu menuruti hawa nafsu Raden…” kata abdinya yang bertubuh gemuk dan pendek.
“Apa katamu Togog?” tanya Sumantri setengah membentak.
“Raden memang sakti mandraguna, murid padepokan Begawan Suwandagni. Namun Baginda  Harjunasasrabahu, adalah terlalu sakti bagi Raden. Baginda telah berguru ke seluruh penjuru dunia, bahkan kepada Begawan Suwandagni pula. Konon kabarnya, Baginda adalah titisan dewa. Tak seorangpun yang mampu mengalahkannya Raden….” Kata Togog kemudian.

“Aku tak peduli Togog. Aku juga murid Begawan Suwandagni, tentu tak akan kalah dengan Baginda Harjunasasrabahu. Sekarang juga aku berangkat menantangya. Jika engkau berkebaratan, baiklah kau tak perlu menyertaiku pergi!” kata Sumantri sambil beranjak pergi.
“Ampun Raden, kemanapun Raden pergi, aku akan selalu menyertai Raden. Ini adalah perintah Begawan….” Kata Togoh sambil menyusul Sumantri, disertai dengan Mbilung, teman seperjuangan Togog.
Dan benar. Pertarungan yang diharapkan oleh Sumantri, benar benar terjadi. Harjunasasrabahu menerima tantangan Sumantri, rakyat jelata yang ingin mengabdi padanya, yang telah diberi perintah untuk melamarkan Dewi Citrawati untuknya.

Dan benar pula yang dikatakan Togog pada Sumantri sebelumnya. Harjunsasrabahu adalah titisan dewa, yang tak seorangpun mampu mengalahkannya, demikian juga dengan Sumantri. Sumantri dapat dikalahkan oleh Harjunasasrabahu. Namun Harjunasasrabahu adalah raja yang bijaksana. Walaupun Sumantri telah berani menantangnya, namun dia sama sekali tak ingin membuhunuhnya. Harjunasasrabahu masih berbaik hati padanya, karena Sumantri dapat menunaikan tugasnya dengan baik.

Sebagai hukuman dari Sumantri diperintahkan untuk memindahkan taman Sriwedari dari kahyangan, ke utara Negara Mahespati. Kali ini, Sumantri harus berpikir keras. Kesaktiannya tak cukup memadai untuk melaksanakan perintah itu. Terdorong oleh niatnya untuk tetap mengabi dan menajdi patih di Negara Mahespati, Sumatri bertekad melaksanakan perintah itu. Maka, kembalilah dia ke padepokan, untuk meminta bantuan pada ayahandanya.