Yah, begitulah yang ku lihat saat aku iseng iseng buka google. Ada perasaan yang susah untuk diungkapkan dengan kata kata. Sebuah media nasional, memuat berita demikian. Jangankan musim liburan, atau bahkan menjelang hari raya seperti sekarang ini. Hari hari biasa saja, sudah semakin macet di mana mana.
Dan masih banyak tautan yang memuat berita tentang macetnya kota tercinta ini.
https://kubikberjalan.wordpress.com/2016/02/05/jogja-kok-kamu-macet-sih/
http://www.hipwee.com/feature/rasanya-orang-yang-tinggal-di-jogja-yang-selalu-macet-saat-libur-panjang-tiba/
http://www.cahyogya.com/2014/10/dibalik-jalanan-jogja-yang-semakin-macet_28.html
https://kusnantokarasan.com/2015/03/04/jogja-juga-macet/comment-page-1/
https://twitter.com/joeyakarta/status/609587537644929024
http://jogjakusurgaku.blogspot.co.id/2015/10/jogja-yang-kini-semakin-macet.html
Sebenarmya kita semua tahu dan tentu saja maklum dengan perkembangan jaman, kemajuan dan entah apalagi istilah yang diucapkan. Namun apakah dengan alasan kemajuan dan perkembangan jaman, kemudian mengesampingkan hal yang lain seperti ini?
Semua hanya bisa berharap pemerintah daerah dengan segala macam instansi, lembaga, staf ahli, pengkajian pengkajian, segera menemukan formula untuk mengatasi kemacetan yang semakin parah.
Semoga ada tindakan nyata secepatnya.
Wednesday, June 15, 2016
Friday, March 14, 2014
THE EXPENDABLES OF KURUSETRA
Sebuah
kemenangan dalam hal apapun juga tentu memerlukan pengorbanan. Demikian juga
dengan sebuah peperangan. Sebuah peperangan, terlepas dari besar kecilnya
peperangan itu, tentu memerlukan pengorbanan yang sepadan.
Baratayuda,
peperangan terbesar dalam sejarah, juga tak luput dari pengorbanan, yang
tentunya sepadan dengan kemenangan yang dipertaruhkan. Baratayuda, peperangan
antara dua saudara, yang di dalamnya terdapat ksatria ksatria yang luar biasa,
dengan kesaktian dan kemampuan di luar batas manusia biasa, pun memerlukan
pengorbanan.

Ternyata,
pengorbanan yang besar, kadang bukan pada tokoh yang besar pula, yang berperan
sangat besar dalam alur cerita ini. Namun tumbal dan sesaji itu, justru datang
dari orang orang yang sama sekali tak di sangka, bahkan terpikirpun tidak.

Adalah
nama nama seperti Sagotra, Janadi, dan Bambang Rawan. Ketiganya sama sekali tak
terucap dalam kisah Baratayuda, namun ternyata, dengan pengorbanan mereka
bertiga, Pandawa, mampu meraih kemenangan di kancah Baratyuda.
Siapakah
ketiga rakyat jelata yang istimewa itu???? (bersambung....)
Thursday, February 14, 2013
RAMADA
Adalah seorang
pemuda desa yang terhalir dari rahim seorang ibu sederhana di pedesaan
nun jauh di pedalaman sebuah kerajaan yang telah mulai pudar sinarnya, di
belahan timur pula Jawa Dengan tekad baja mengembara menuruti kehendak hatinya,
dengan berguru pada alam semesta, dengan mencurahkan segala budi yang
dimilikinya, dan garis darah yang diyakininya, maka adalah sangat wajar apabila
dia menjadi seorang pemuda yang luar biasa, melebihi dari kemampuan pemuda
pemuda pada masanya, bahkan untuk ukuran para guru guru yang hidup pada
masanya.
Pengembaraan yang dalam waktu lama, dengan arah
tujuan yang tak pasti, hanya berjalan untuk mengabdi pada kemanuisaan yang ia
yakini, hingga tiba langkahnya di sebuah negeri. Negeri bahagian barat dari
pulau Jawa. Karena sebuah “teja” yang menyala pada raut mukanya, dan bentuk
tubuh serta kemampuan lahiriyah yang didukung dengan laku bathin yang terjaga,
tak heran apabila banyak kaum hawa yang tersita perhatiannya, dari segala
kasta. Tak hanya rakyat jelata namun dari golongan istanapun tertarik akan
keindahannya.
Jalinan kisah antara seorang pemuda desa dengan
puteri dari istana, tercipta seiring waktu dan suasana. Dan pertentanganpun
terjadi, buka antara keduanya, namun karena status kasta yang tak dapat
diterima. Sebuah kekecawaan besar yang menimpa atas sang pemuda, dimana
cita-cintanya tak dapat dia rengkuh dalam suatu masa. Dengan muka tunduk, dia
pergi meninggalkan semuanya, kembali ke pengembaraan seperti semula.
Kembara seperti semula, dengan arah ingin kembali ke
rumah bundanya, dimana dia dilahirkan dan beranjak dewasa. Namun jaman telah
berubah, tahta telah berganti, namun tekad di ahti untuk tetap mengabdi, tak
pernah padam bagai bara api. Saat tahta bergeming, dia beranikan diri untuk berpaling,
tanpa mengurangi hasrat untuk tetap mengabdi.
Sebuah janji suci terucap saat pengabdiannya
tersambut. Segala kemampuan lahir batin dicurahkan agar janjinya terwujud. Dalam waktu singkatpun, semua mata
takjub, dan duniapun tunduk. Namun dalam setiap perjalanan, selalu saja ada
rintangan, dan konflik dengan berbagai kepentingan.
Adalah cakarawala yang memerah saat dia terima
sebuah perintah, dari sang raja tempat dia curahkan segala daya upaya untuk mewujudkan sebuah Negara yang
perkasa. Perintah yang samasekali tak pernah terpikirkannya. Kali ini hatinya
bergolak, antara kepentingan Negara dan kepentingan hantinya. Stangkai bunga
telah memporakporandakan hatinya.
Demi sebuah cinta, dia relakan segala-galanya.
Bagaimanapun, dia adalah laki laki, yang punya hati dan cinta, seperti manusia
biasa.
Friday, December 21, 2012
SENJA DI KRATON BOKO

Sekian lama terbiarkan terbengkelai, ku serahkan semuanya
kepada sang waktu. Biarlah menjadi goresan goresan sesuai dengan maksudnya,
sama sekali ku tak pernah menyentuh ataupun mengaturnya. Hanya sesekali kusempatkan
untuk melihat hasil dari gurat-guratan sang waktu atas cerita cerita yang telah
terjalani dengan langkah tak tentu ujung.
Sungguh ku takut tuk
melihat hasil guratan sang waktu, karena batin ini akan terasa sangat teriris,
dengan sangat dalam, tanpa ampun, tanpa mampu bertahan, namun kubiarkan
semuanya menyiksaku sepuas puasnya, karena keindahan yang kudapatkan adalah
setimpal.
Kali ini, kejadian itu mungkin akan terjadi pula. Aku menarik
nafas dalam, sangat dalam…… tak tahu apa yang akan terjadi, apa yang akan
terucap, dan apa yang akan diperbuat. Lagi lagi, kepada sang waktu aku serahkan
semuanya. Biarlah dia mengambil penanya kembali, dan menuliskan guratan guratan
tentang cerita ini kembali sesuai dengan inginnya.
Cerahnya langit sore
hari sama sekali tak mempengaruhiku. Hanya
berjalan sesuai dengan kehendak hati, tanpa nalar dan logika. Beberapa saat ku
terdiam, sebatang rokok ku ambil dari saku dan segera menyulutnya. Hati semakin
berdebar debar. Ah…. Biarlah….yang terjadi, terjadilah…..
Sebuah senyum tersungging, senyum yang pernah ku kenal. Bahkan
sangat aku kenal. Bahkan aku sangat hafal dengan bentuk senyumnya, tipis bibirnya,
bahkan gurat gurat di bibirnya. Hamper tiap hari ku sentuh bibirnya, dengan jari
jariku, dan tiap kali tangis yang terjadi, segera ku sentuh bibir tipis itu dengan…..ah……..!!!!!!
Tangan bersambut, dan langkah langkah pelan, seperti dulu……
bertahun tahun yang lalu. Rumput hijau terhampar, batu batu besar tertata
membentuk sebuah bangunan megah. Tempat itu, beberapa tahun yang lalu, telah member
sedikit guratan bagi sang waktu untukku. Namun sangat jauh berbeda dengan saat
ini, walau sang waktu tak mampu menghapus gundah hatiku saat itu, seperti yang
ku alami saat ini, namun pena itu terus menuliskan cerita ini.
Sungguh, aku tak tahu harus berkata apa. Aku terpaku,
layaknya seorang anak kecil menyaksikan indahnya layang layang menari di
angkasa, tanpa mampu menyentuhnya. Aku terpana. Semua kata yang terdengar,
bagai sebuah cerita yang hanya dapat aku
baca, aku dengarkan, tanpa dapat berbuat apa apa.
Kubiarkan semuanya mengalir, semuanya! Agar semua tanya yang
tersimpan sekian lama terjawab, walau hati dan perasaan masih juga
menyangkalnya. Masih ada satu tanya yang tak terjawab, bahkan oleh si empunya. Ku
biarkan…..kubiarkan……kubiarkan….! Aku ingin menikmatinya, ingin menikmatinya
sekali lagi. Bahkan jika hanya sekali lagi. Walaupun anyaman anyaman hati harus
terkoyak, lukisan dinding harus tercoreng, dan tinta harus tumpah di atas kain
kanfas, semuanya setimpal. Sakiti aku!!!! Sakiti aku!!! Sakiti aku!!!!! Aku rela
asal semua itu berasal darimu. Hanya dari dirimu.
Langit semakin temaram, matahari mulai tenggelam, seolah
berpihak padaku dengan memberinya cahaya lemah di senja itu, dengan cahaya yang
kuning memerah, dan segaris awan hitam diatasnya, sama persis dengan perasaanku
yang temaram, dan masih juga menyimpan satu garis hitam yang belum terjawab. Namun
rasa ini, tak kan hilang hingga
sekarang, hingga nanti, dan hingga akhir nanti.
Thursday, September 13, 2012
SUMANTRI, MIKUL GENDHONG LALI (3)
Namun rupanya., setelah 500
kerajaan berhasil dia taklukan, sadarlah Sumantri bahwa kemampuanny memang tak
diragukan lagi. Timbullah niat dalah hatinya untuk menaklukkan
Harjunasasrabahu, raja tempat dimana ia ingin mengabdi.
“Bila aku berhasil menaklukkan
lebih dari 500 kerajaan, bukankah mungkin saja aku dapat menaklukkan Mahespati,
dan membawa Dewi Citrawati untuk ku jadikan permaisuriku?” katanya lirih waktu
beristirahat dengan ditemani kedua abdi setianya.
“Ampun Raden, janganlah Raden
terlalu menuruti hawa nafsu Raden…” kata abdinya yang bertubuh gemuk dan
pendek.
“Apa katamu Togog?” tanya
Sumantri setengah membentak.
“Raden memang sakti mandraguna,
murid padepokan Begawan Suwandagni. Namun Baginda Harjunasasrabahu, adalah terlalu sakti bagi
Raden. Baginda telah berguru ke seluruh penjuru dunia, bahkan kepada Begawan
Suwandagni pula. Konon kabarnya, Baginda adalah titisan dewa. Tak seorangpun
yang mampu mengalahkannya Raden….” Kata Togog kemudian.
“Aku tak peduli Togog. Aku juga
murid Begawan Suwandagni, tentu tak akan kalah dengan Baginda Harjunasasrabahu.
Sekarang juga aku berangkat menantangya. Jika engkau berkebaratan, baiklah kau
tak perlu menyertaiku pergi!” kata Sumantri sambil beranjak pergi.
“Ampun Raden, kemanapun Raden
pergi, aku akan selalu menyertai Raden. Ini adalah perintah Begawan….” Kata
Togoh sambil menyusul Sumantri, disertai dengan Mbilung, teman seperjuangan Togog.
Dan benar. Pertarungan yang
diharapkan oleh Sumantri, benar benar terjadi. Harjunasasrabahu menerima
tantangan Sumantri, rakyat jelata yang ingin mengabdi padanya, yang telah
diberi perintah untuk melamarkan Dewi Citrawati untuknya.
Dan benar pula yang dikatakan
Togog pada Sumantri sebelumnya. Harjunsasrabahu adalah titisan dewa, yang tak
seorangpun mampu mengalahkannya, demikian juga dengan Sumantri. Sumantri dapat
dikalahkan oleh Harjunasasrabahu. Namun Harjunasasrabahu adalah raja yang
bijaksana. Walaupun Sumantri telah berani menantangnya, namun dia sama sekali
tak ingin membuhunuhnya. Harjunasasrabahu masih berbaik hati padanya, karena
Sumantri dapat menunaikan tugasnya dengan baik.
Sebagai hukuman dari Sumantri
diperintahkan untuk memindahkan taman Sriwedari dari kahyangan, ke utara Negara
Mahespati. Kali ini, Sumantri harus berpikir keras. Kesaktiannya tak cukup
memadai untuk melaksanakan perintah itu. Terdorong oleh niatnya untuk tetap
mengabi dan menajdi patih di Negara Mahespati, Sumatri bertekad melaksanakan
perintah itu. Maka, kembalilah dia ke padepokan, untuk meminta bantuan pada
ayahandanya.
Subscribe to:
Posts (Atom)