Kali ini, bangun pagi, seperti aktivitas rutin, sebelum berangkat untuk “terbang” mengelilingi kota, warta
daerah yang jadi langganan kami, tak luput dari perhatian. Bermula sebuah
harian yang tergeletak di meja, sedangkan ayahku yang biasa menjadi nomer satu
dalam membacanya sedang berada di dapur, terlihat sebuah tulisan besar di
halaman muka, “Titik Api Di Puncak
Merapi”. Seketika langkahku terhenti, dan segera ku raih harian daerah itu.
“Ah, berita….” Kataku dalam hati, dan aku segera berangkat pergi.
Saat ngopi di sebuah kedai,
sambil menunggu saat yang tepat untuk berdialog, kulihat harian lainnya yang
ada di kedai itu. Dan ternyata, halaman mukanya, sama dengan yang di rumah. Titik
Api. Aku masih diam saja, tidak begitu menarik.
Setelah berdialog, dan aku
berkeliling keliling mengunjungi beberapa kolega. Disetiap tempat yang ku
kunjungi, dengan beberapa harian yang berebeda beda, ternyata yang tertulis halaman muka, semuanya sama. Tergerak aku
untuk mengikutinya.
Dari sekian banyak warta,
diberitakan bahwa muncul titik api diam di puncak Gunung Merapi, sejak tanggal
30 Desember 2011. Api itu diam, dan hal itu berdasar pada pantauan CCTV. Titik api
itu terbentuk dari asap sulfatara yang ada dari perut Gunung Merapi. Hal ini
menurut BPPTK, tidak membahayakan. Selama tidak ada sumbatan di celah celah bebatuan. Dan
status Gunung Merapi pun,tidak berubah.
Sejenak aku terdiam. Ingatanku berlari kebelakang,
pada kejadian tahun lalu, dimana kejadian erupsi Gunung Merapi tahun 2010. Masih
sangat jelas hiruk pikuk teman temanku yang memiliki perangkat memadai
untuk memantau aktivitas Merapi, dan mengabarkannya padaku hampir setiap jam. Hal
ini karena keberadaanku waktu itu sedang melakukan kewajiban di luar kota. Belum
lagi keluarga yang aku tinggalkan, sangat menyita perhatianku saat itu. Susah payah
aku pulang, keluargaku harus tinggal di barak pengungsian, sedangkan hampir semua
akses jalan, tertutup oleh abu yang sangat tebal.
Muncul beragam versi tentang
erupsi Merapi 2010 itu. Namun dari sekian banyak versi yang beredar di
masyarakat, kesimpulan yang dapat ditarik adalah “Sang Merapi Murka”. Kepada siapa?
- Kepada Negara Republik Indonesia, dimana sampai sekarang pun, para pemimpin Negara tak memperhatikan rakyatnya. Semua berburu kepuasan nafsu dunia, dan menginjak injak perasaan rakyat. Bahkan akan mengapuskan status “istimewa” pada Yogyakarta.
- Keraton Yogyakarta, dimana setelah meninggalnya Sri Sultan Hamengkubuwono IX, kerajaan di Yogyakarta itu tak memenuhi beberapa upacara adat yang konon katanya, merupakan warisan dari para pendahulunya, sebagai bagian dari “perjanjian” dengan Sang Merapi, yang dalam istilahnya adalah kearifan lokal.
- Kearifan lokal ini, tak hanya di Yogyakarta, namun hampir disetiap daerah, hal ini kian lama kian menyusut.
- Siklus 5 tahunan, Merapi akan melakukan “ aktivitas” nya.
- Tradisi nenek moyang yang telah diacuhkan oleh generasi sekarang, termasuk memelihara kelestarian alam.
Namun dari beberapa versi
tersebut diatas, diakui maupun tidak,
setidaknya hal tersebut dapat dijadikan cermin untuk refleksi diri
tentang apa yang telah kita perbuat, dan bagaiamanapun yang sangat nyata
adalah, rakyat, akar rumputlah yang menjadi korban. Alam akan bersahabat dengan kita apabila kita
berusaha menjaga mereka.
“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah)
memperbaikinya dan berdoalah kepadaNya dengan rasa takut dan harapan(akan
dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat dengan orang yang berbuat
baik.” (QS. Al-A`raf:56)
Bahkan Abu Bakar dan Umar, dalam
setiap pertempuran selalu menyerukan :
“Jangan tebang pohon atau rambah tanaman, kecuali jika akan
dipergunakan atau dimakan, dan janganlah membunuh binatang kecuali untuk
dimakan, hormati dan lindungi semua rumah ibadah manapun, serta jangan sekali
sekali mengusik mereka yang sedang beribadah menurut agaman mereka masing
masing. Janganlah membunuh orang orang yang tak bersenjata (yang tidak terlibat
langsung dalam peperangan)”
Subhanallah…..