Friday, January 27, 2012

MASIH TENTANG TABRAKAN MAUT DI TUGU TANI (maaf bukanlah sesuatu yang mudah)


Pagi hari, seperti  biasa sarapan dengan Koran daerah, sambil menikmati  minuman hangat. Halaman demi halaman ku buka, dan rasanya belum juga menarik perhatian. Tidak puas dengan Koran, kunyalakan televise. Saluran televise yang langsung terbuka adalah diskusi tentang permintaan maaf Afriani Susanti, “the most fast and furious” Indonesia saat ini.

Memang sebuah kewajaran dan hal yang logis apabila seseorang yang merasa berbuat kesalahan, akan meminta maaf. Namun persoalannya tidaklah semudah itu. Kita semua tahu bagaimana dan sepanjang apa daftar keselahan yang dilakukan olehnya, dan seberapa parah akibat kesalahan yang telah dia perbuat. Nyawa. Tidak hanya satu atau dua, akan tetapi Sembilan! Belum lagi yang luka luka, kerugian materiil seperti hancur sebuah bangunan, rasanya, cukup sulit terhapuskan oleh sekedar kata “maaf”.

Dilihat dari sisi manapun, nampaknya posisi Afriani sangat sulit untuk mendapatkan kata maaf, jangankan dari keluarga korban. Mungkin dari masyarakatpun, yang hanya sekedar tahu dan membaca beritanya, akan sangat sulit memaafkan perbutannya, walaupun tetap ada orang orang tertentu yang mampu memaafkannya.
Segala upaya dilakukannya untuk mendapatkan kata maaf, baik dengan lisan, tulisan, media, bahkan sang ibu pun turut serta memintakan maaf atas kesalahan yang telah diperbuatnya. Namun keluarga mana yang dapat memberinya maaf dengan mudah, setelah mereka kehilangan sejumlah anggota keluarganya, karena sebuah kesalahan yang ………… (sulit aku menemukan kata yang tepat untuk menyebutkannya).

Mendadak pikiranku meloncat , teringat akan sebuah  kisah pengajaran oleh seorang ayah pada anaknya.
Setiap kali pulang sekolah, si anak kadang biasa biasa saja, namun kadang pulang dengan wajah murung dan muka tertunduk. Dan merupakan sebuah kebiasaan bagi mereka bahwa si anak akan menceritakan apa yang telah dilakukan dalam seharian. Dan setiap kali pula, apabila ditemukannya perbuatan si anak tersebut salah, melukai, atau menyakiti hati teman temannya, sang ayah menyuruhnya untuk mengambil paku dan kemudian ditancapkannya paku itu dengan palu di tembok, agar dia tahu berapa banyak dia telah lakukan kesalahan. Sampai suatu ketika, sang ayah memanggil si anak.
“Nak, sudah berapa banyak temanmu yang kamu sakiti?” Tanya sang ayah.
Si anak diam, dan berusaha mengingat ingatnya. Sang ayah berdiri dan menunjukkan jumlah paku paku yang tertancap.
“Apa yang telah kamu lakukan pada teman temanmu itu? Sudahkan meminta maaf?” Tanya sang ayah.
Si anak diam dan menggeleng gelengkan kepala. “Mengapa belum?” Tanya sang ayah lagi.
“Malu Ayah….” Jawabnya pendek.
“Tak perlu malu Nak. Minta maaflah pada teman temanmu secepatnya. Katakan dengan ikhlas, dan kamu menyesali apa yang telah kamu lakukan. Kamu juga akan sakit hati kan bila seseorang membuatmu marah atau berbuat kesalahan  padamu? Mulai besok, mintalah maaf padanya. Setelah kamu termaafkan, cabutlah paku paku itu, dan berikanlah ke ayah.” Pinta sang ayah.
Setelah beberapa waktu berlalu, si anak menemui ayahnya dan bercerita bahwa semua pakunya telah dia cabut, sebagai bukti bahwa si anak telah termaafkan oleh teman temannya. Sang ayah tersenyum, dan sambil membelai kepala si anak, di ajaklah anaknya duduk di muka tembokbekas paku paku itu tertancap.
“Nak, ayah bangga padamu yang telah mampu mengalahkan rasa malu mu untuk meminta maaf. Dan sekarang lihatlah. Tembok itu telah bersih dari paku paku yang selama ini kamu tancapkan.”  Kata sang ayah.
“Tapi Yah……..” si anak berhenti berkata dan menunjuk kea rah tembok itu.
“Ada apa Nak?”  Tanya sang ayah.
“Tembok itu tak lagi bersih, penuh luka dan lubang bekas paku paku…..” kata si anak.
“Begitulah Nak, kamu telah berhasil meminta maaf dan membersihkan tembok dari “paku-paku” mu. Namun lihatlah, tembok itu tetap terluka dalam. Kata maaf saja, tak kan dapat menghapus luka luka yang telah kau benamkan.” Jawab sang ayah.
“Terus Yah?” si anak menjadi  bingung.
“Kamu harus membuktikan pada teman temanmu bahwa kamu memang benar benar menyesal dan tulus untuk meminta maaf dan berjanji tak kan mengulanginya lagi. Berpikir, dan berhati hatilah dalam bertindak dan melakukan sesuatu, karena bekas paku di tembok,tak kan mudah hilang. Dan ayah minta, jangan sekali kali kamu mengambil paku dan menancapkannya ke tembok lagi. “

Seperti itulah kisah yang lewat di benakku sesaat. Menyusun kemudian kata kata Sun Tzu yang lirih terdengar di telingaku.

“Luka, walau telah dihapus, terhapus oleh perjalanan hidup, tersapu oleh waktu, entah sekian lamanya, hanya akan menutup samar samar luka itu. Bagaiamanapun, luka adalah luka!”

Perlu kebesaran jiwa dan kelapangan hati untuk dapat memaafkan kesalahan yang sangat fatal, dan hanya   orang orang tertentu saja yang mampu melakukannya. Semoga semuanya dapat menjadi lebih baik. 

No comments:

Post a Comment