Pagi hari, seperti biasa sarapan dengan Koran daerah, sambil
menikmati minuman hangat. Halaman demi
halaman ku buka, dan rasanya belum juga menarik perhatian. Tidak puas dengan Koran,
kunyalakan televise. Saluran televise yang langsung terbuka adalah diskusi
tentang permintaan maaf Afriani Susanti, “the most fast and furious” Indonesia
saat ini.
Memang sebuah kewajaran dan hal
yang logis apabila seseorang yang merasa berbuat kesalahan, akan meminta maaf. Namun
persoalannya tidaklah semudah itu. Kita semua tahu bagaimana dan sepanjang apa
daftar keselahan yang dilakukan olehnya, dan seberapa parah akibat kesalahan
yang telah dia perbuat. Nyawa. Tidak hanya satu atau dua, akan tetapi Sembilan!
Belum lagi yang luka luka, kerugian materiil seperti hancur sebuah bangunan,
rasanya, cukup sulit terhapuskan oleh sekedar kata “maaf”.
Dilihat dari sisi manapun,
nampaknya posisi Afriani sangat sulit untuk mendapatkan kata maaf, jangankan
dari keluarga korban. Mungkin dari masyarakatpun, yang hanya sekedar tahu dan
membaca beritanya, akan sangat sulit memaafkan perbutannya, walaupun tetap ada
orang orang tertentu yang mampu memaafkannya.
Segala upaya dilakukannya untuk
mendapatkan kata maaf, baik dengan lisan, tulisan, media, bahkan sang ibu pun
turut serta memintakan maaf atas kesalahan yang telah diperbuatnya. Namun
keluarga mana yang dapat memberinya maaf dengan mudah, setelah mereka
kehilangan sejumlah anggota keluarganya, karena sebuah kesalahan yang …………
(sulit aku menemukan kata yang tepat untuk menyebutkannya).
Mendadak pikiranku meloncat ,
teringat akan sebuah kisah pengajaran
oleh seorang ayah pada anaknya.
Setiap kali pulang sekolah, si
anak kadang biasa biasa saja, namun kadang pulang dengan wajah murung dan muka
tertunduk. Dan merupakan sebuah kebiasaan bagi mereka bahwa si anak akan
menceritakan apa yang telah dilakukan dalam seharian. Dan setiap kali pula,
apabila ditemukannya perbuatan si anak tersebut salah, melukai, atau menyakiti
hati teman temannya, sang ayah menyuruhnya untuk mengambil paku dan kemudian
ditancapkannya paku itu dengan palu di tembok, agar dia tahu berapa banyak dia
telah lakukan kesalahan. Sampai suatu ketika, sang ayah memanggil si anak.
“Nak, sudah berapa banyak
temanmu yang kamu sakiti?” Tanya sang ayah.
Si anak diam, dan berusaha
mengingat ingatnya. Sang ayah berdiri dan menunjukkan jumlah paku paku yang
tertancap.
“Apa yang telah kamu lakukan
pada teman temanmu itu? Sudahkan meminta maaf?” Tanya sang ayah.
Si anak diam dan menggeleng
gelengkan kepala. “Mengapa belum?” Tanya sang ayah lagi.
“Malu Ayah….” Jawabnya pendek.
“Tak perlu malu Nak. Minta maaflah
pada teman temanmu secepatnya. Katakan dengan ikhlas, dan kamu menyesali apa
yang telah kamu lakukan. Kamu juga akan sakit hati kan bila seseorang membuatmu
marah atau berbuat kesalahan padamu? Mulai
besok, mintalah maaf padanya. Setelah kamu termaafkan, cabutlah paku paku itu,
dan berikanlah ke ayah.” Pinta sang ayah.
Setelah beberapa waktu berlalu,
si anak menemui ayahnya dan bercerita bahwa semua pakunya telah dia cabut,
sebagai bukti bahwa si anak telah termaafkan oleh teman temannya. Sang ayah
tersenyum, dan sambil membelai kepala si anak, di ajaklah anaknya duduk di muka
tembokbekas paku paku itu tertancap.
“Nak, ayah bangga padamu yang
telah mampu mengalahkan rasa malu mu untuk meminta maaf. Dan sekarang lihatlah.
Tembok itu telah bersih dari paku paku yang selama ini kamu tancapkan.” Kata sang ayah.
“Tapi Yah……..” si anak berhenti
berkata dan menunjuk kea rah tembok itu.
“Ada apa Nak?” Tanya sang ayah.
“Tembok itu tak lagi bersih,
penuh luka dan lubang bekas paku paku…..” kata si anak.
“Begitulah Nak, kamu telah
berhasil meminta maaf dan membersihkan tembok dari “paku-paku” mu. Namun lihatlah,
tembok itu tetap terluka dalam. Kata maaf saja, tak kan dapat menghapus luka
luka yang telah kau benamkan.” Jawab sang ayah.
“Terus Yah?” si anak
menjadi bingung.
“Kamu harus membuktikan pada
teman temanmu bahwa kamu memang benar benar menyesal dan tulus untuk meminta
maaf dan berjanji tak kan mengulanginya lagi. Berpikir, dan berhati hatilah
dalam bertindak dan melakukan sesuatu, karena bekas paku di tembok,tak kan
mudah hilang. Dan ayah minta, jangan sekali kali kamu mengambil paku dan
menancapkannya ke tembok lagi. “
Seperti itulah kisah yang lewat
di benakku sesaat. Menyusun kemudian kata kata Sun Tzu yang lirih terdengar di
telingaku.
“Luka, walau telah dihapus, terhapus oleh perjalanan hidup, tersapu
oleh waktu, entah sekian lamanya, hanya akan menutup samar samar luka itu. Bagaiamanapun,
luka adalah luka!”
Perlu kebesaran jiwa dan
kelapangan hati untuk dapat memaafkan kesalahan yang sangat fatal, dan hanya orang orang tertentu saja yang mampu melakukannya. Semoga semuanya dapat menjadi
lebih baik.
No comments:
Post a Comment