Sebenarnya, telah cukup lama aku mengamati, dan mendengar
tentang aktivitas sebuah golongan yang terdiri dari sebagian kecil dari warga
di dusun ku. Namun sejauh pengamatanku, sampai dengan hari ini, tak adalah
aktivitas yang cukup mengganggu sendi sendi kehidupan kemasyarakatan, walau
hanya sedikit kadang nampak pula gesekan
gesekan kecil.
Dari sisi kemayarakatan dusun, yang cukup banyak
“permakluman”, kegiatan golongan kecil itu tidaklah menjadi persoalan. Akan
tetapi, keadaan kadang agak memanas, karena mendadak, di setiap sudut dusun,
pos ronda, terdapat tempelan tempelan selebaran yang berisi tentang “ajaran”
dari sebuah golongan tertentu. Beberapa pemuda sempat memberitahukannya padaku,
namun baru sebatas itu. Karena bukti bukti selebaran itu, tak juga sampai ke
tanganku, terbakar oleh rasa amarah dan emosi yang meluap luap beberapa pemuda
yang mengetahuinya, dan kemudian membakarnya, habis!
Dari beberapa tokoh seangkatankupun, aku dengar bahwa
kegiatan golongan itu telah masuk ke dalam “daftar pengawasan” dari pihak
berwajib sektor setempat. Dalam logika yang sangat sederhana, tak ada satu
golongan/aktivitas apapun, apabila benar, tidak membahayakan, akan masuk ke
dalam “daftar pengawasan”. Dapat diartikan, bahwa golongan kecil tersebut,
adalah cukup membahayakan, apabila terjadi pembiaran yang semakin lama akan
semakin menyuburkan baik jumlah anggota maupun aktivitas yang dilakukannya.
Pada suatu malam, saat ku berjalan pulang, waktu melewati
sebuah kedai makanan dan minum, ku dengar sesorang berteriak memanggil namaku.
Seketika aku menoleh, dan ku lihat sebuah wajah, dalam temaram sinar lampu
minyak yang bergoyang goyang tertiup angin. Sebuah wajah yang sama sekali tak
asing bagiku. Ku lihat di kedai itu dia duduk sendirian, dengan satu kaki di
angkatnya di kursi, khas banget gaya dusun. Mendadak timbul rasaku untuk
sekedar duduk menemaninya ngobrol. Telah cukup lama kami tak bertemu.
Ku pesan minuman dan makanan di kedai itu, sambil berbasa
basi dan ngobrol kesana kemari. Dia adalah terhitung seniorku. Usia kami
terpaut cukup jauh. Dia telah pensiun dari pekerjannya sekarang, sedangkan aku
masih beterbangan kesana kemari. Mungkin pada usiaku sekarang ini, dia juga
beterbangan kesana kemari.
Setelah puas ngobrol, bercanda dan ketawa ketawa, teringat
aku akan sesuatu, saat pertama kali kita bertemu dan berkenalan dahulu. Waktu
itu, walau tiada kata kata yang terucap, namun seolah kami telah sepakat untuk
mewujudkan sesuatu, di dusun tempat
tinggal kita masing masing.
“Pak, ikut ngaji yang baru baru ini diadakan tidak? Saya dengar
jamaahnya agak banyak, ayahku ikut pula.
Bapak bagaimana?” tanyaku membuka
pembicaraan.
“Aku tidak ikut Dik. Beberapa kali di undang, tapi aku tidak datang.
Pokoknya kalau aku mau datang ya datang, kalau tidak ya tidak. Gitu aja Dik.
Gampang to?” jawabnya sambil tertawa tawa.
“Kok tumben Pak, dulu kan Bapak aktif di pengajian. Kok sekarang
tidak?” aku keheranan.
“Aku udah ikut pengajian kok Dik. Di dusunnya adikku,” jawabnya.
“Kenapa Pak, kok jauh jauh sampai sana?” tanyaku.
“Ya Dik. Aku cocok dengan pengajian itu.” Jawabnya lagi.
“Yang mengadakan siapa Pak?” tanyaku.
“Dari sebuah organisasi, …………” jawabnya sambil menyebutkan sebuah nama
organisasi.
“Oh, itu to Pak. Apa yang diajarkannya?” tanyaku semakin penasaran.
“Banyak Dik.”jawabnya tegas.
“Antara lain Pak?” tanyaku semakin penasaran.
“Kita belajar dengan system manqul. Yaitu waktu belajar harus tahu
gerak lisan/badan guru, telinga hjarus mendengar, dapat menirukan amalannya
dengan tepat. Terhalang dinding atau buku, tidak sah. Murid tidak dibenarkan
mengajarkan apa saja yang tidak manqul sekalipun menguasai ilmu tersebut, kecuali telah
mendapat ijazah dari guru.” Katanya lagi.
(Hal ini bertentangan dengan ajaran Nabi Muhammad
yang memerintahkan agar siapa saja yang mendengar ucapannya hendaklah
memeliharanya, kemudian disampaikan kepada orang lain, dan Nabi tidak pernah
memberikan ijazah kepada para sahabat. Padahal Allah menghargai hamba hambaNya
yang mau mendengar ucapan, lalu menyeleksinya mana yang baik untuk diikutinya.
“Berilah kabar gembira kepada hamba hambaKU yang mendengar perkataan
lalu mengikuti apa yang diberi Allah petunjuk, dan mereka itulah orang yang
mempunyai akal.” Al-Zumar:1718)
“Ada iuran atau infak juga Pak?” tanyaku kemudian.
“Ada. 10% dari penghasilan perbulan, sedekah dan zakat kepada imam.
Haram membayarkannya pada pihak lain.” Jawabnya lagi.
“Terus, masjid Bapak yang di dusun, bagaimana?” tanyaku.
“Wah, Dik, bukan kelasnya. Aku kalau jumatan, berangkat ke masjid
masjid organisasi ku. Cermahnya beda.” Jawabnya dengan tertawa.
“Terus, jamaah yang ada di dusun, bagaimana?” tanyaku selanjutnya.
“Orang yang bukan anggota dari organisasiku Dik, berarti orang yang
tidak mendapatkan petunjuk. Orang yang sesat.” Jawabnya.
“Waduh Pak, sesat? Seperti saya?” mataku terbelalak.
“Bila Adik mendapat petunjuk dan mau ikut bergabung dengan
organisasiku, berarti Adik mendapatlkan pentunjuk. Tidak menjadi orang yang
sesat.” Kata katanya semakin tegas.
“Pun demikian dengan hal yang lain. Hari Raya Qurban misalnya, kita hanya
membagikan daging pada anggota kita. Haram kalau diebrikan pada yang lain.”
Katanya melanjutkan.
“Haaahh????” aku heran.
“Shalat, imamnya yang harus dari kelompokku. Kalau imamnya oranhg lain,
shalatnya haram Dik!”
“Haaahhhhhhh???” aku semakin heran, lagi.
“Ya seperti itu. Ada aturannya kok Dik.” Katanya lagi.
“Pak, misalnya saya mau ikut gabung, tapi di kemudian hari saya tak
bias hadir karena ada pekerjaan lain, bagaimana?” tanyaku penasaran.
“Tidak hadir tidak apa apa, tapi harus ijin. Memberitahu apabila
berhalangan hadir.” Jawabnya.
“Kalau kemudian saya mau berhenti, tidak ikut lagi, bagaimana?” aku
pengin kejelasan.
“Kalau 3 kali tidak hadir, nanti dari organisasi ada yang mencari Dik,
ke rumah atau kemana, dan akan ditanya macam macam mengapa tak hadir sekian
kali.”
“Berarti, setidak tidaknya, mereka keberatan ya Pak, kalau saya
kemudian keluar dari kelompoknya?” tanyaku.
“Yah, bisa dikatakan seperti itu.” Jawabnya.
“Aduh Pak, kok kita kelihatannya semakin jauh ya, dalam hal seperti
ini. Termasuk dalam hal berpakaian.” Kataku pelan.
“Ya bagaimana ya Dik. Aku yang penting, ikuti ajarannya, orang lain mau
bilang apa, ya terserahlah.” Katanya masih dengan tegas.
Sekilas anganku kembali ke belakang, ke masa beberapa tahun lalu, saat
kita sama sama berjuang untuk membangun jamaah, mendirikan mimbar, membangun
masjid dan memakmurkannya, dari golongan yang minoritas, sekarang telah
berkembang menjadi warga yang seimbang dengan yang lain.
Selamat jalan kawanku, sahabatku, saudaraku, aku tak dapat mengikuti
langkahmu. Mudah mudahan sekotak keyakinanmu itu tak membuat kita berhadapan
sebagai lawan di kemudian hari. Bagaimanapun kita adalah saudara.
Teringat aku akan sebuah kidung yang pernah dinyanyikan oleh seorang
nenek nenek renta, di dusun terpencil, dekat dengan sebatang sungai besar, dan sebuah masjid peninggalan seorang ulama yang sangat dihormatinya, dimana dia dan suaminya (alm) bertekad mengabdikan dirinya
untuk masjid. Kidung itu pada intinya menyampaikan sebuah berita bahwa akan datang
masanya dimana “agama” akan semakin banyak macamnya, dan semakin banyak pula
yang menyebut dirinya sebagai “utusan”. Maka, tanda tanda akhir jaman pun kian
hari semakin jelas. Dan minumanku yang semula manis, mendadak menjadi terasa getir. Haruskah terjadi aku berhadapan dengan saudara saudaraku sebagai lawan, hanya karena sebuah "sekotak"?
Subhanallah...
No comments:
Post a Comment