Tuesday, May 8, 2012

CANTRIK JANALOKA, DUNIA MEMANG TAK PERNAH ADIL......


Tak banyak orang yang tahu tentang asal usul laki laki berperawakan sedang ini. Dengan pakaian yang sederhana, terkesan apa adanya, dengan cara bicara, tingkah laku yang tanpa dibuat buat, benar benar asli khas orang dari desa.

Tanpa banyak suara dan kata kata, yang ada hanya mengabdi, teguh pada janji, seperti yang dia ucapkan dulu waktu pertama kali datang untuk mengabdi dan sekaligus mempelajari  ilmu kehidupan kepada seorang yang bijaksana.

Adalah Begawan Sidiqwacana, yang bermukim di pertapaan Andhongsekar, tempat laki laki sederhana dari dusun ini mengabdi. Sebagai seorang yang mengabdi di sebuah pertapaan, laki laki itu dipanggilnya dengan nama Cantrik, yaitu seseorang yang mengabdikan hidupnya untuk melayani sekaligus belajar dan menitipkan seluruh jiwa raganya kepada gurunya, si empunya pertapaan.
Suatu pagi, Sang Begawan memanggilnya.

“Janaloka…….” Panggil Sang Begawan.
“Hamba Kanjeng Begawan….” Laki laki yang dipanggilnya Janaloka itu datang menghadap dengan tergopoh gopoh.  Janaloka, itulah nama aslinya, sedangakan sesuai dengan pekerjaannya, maka banyak yang menyebutnya Cantrik  Janaloka. Pengabdiannya begitu besarm hingga dia sangat menjaga segala perintah dari Sang Begawan dengan sebaik baiknya, termasuk dalam hal menghadap, dia tak mau berlama lama ataupun menunda.
“Hari ini, anak asuhmu berdua, akan menyusul ayahnya ke Amarta. Tolong kamu ikuti mereka berdua, dan jagalah mereka dengan baik, seperti yang selama ini telah kamu lakukan di pertapaan ini…..” kata Sang Begawan dengan nada tegas.
“Jangan sampai terjadi hal hal yang tidak kita inginkan bersama, apalagi hingga nyawa.” Pesannya lagi
“Baik Kanjeng Begawan, akan hamba laksanakan perintah dan pesan Kanjeng Begawan. Hamba bersumpah untuk menjaga putri  berdua dengan sebaik baiknya. Bila hamba berani kurang ajar terhadap mereka, biarlah hamba menemui celaka, kehilangan tempat tinggal, lapar dan dahaga, dan mati dalam keadaan mengenaskan karena dikeroyok oleh orang banyak.” Kata Cantrik Janaloka mantap.

Dan ketika matahari terbit esok pagi, berangkatlah mereka bertiga, Cantrik Janaloka, dan kedua putri anak dari Arjuna, dan Endang Manuhara, anak cari Sang Begawan, yang bernama Pergiwa dan Pergiwati. Pagi hari itu,dimana matahari telah menghamparkan sinarnya yang hangat di pelataran Pertapaan Andhongsekar, hangatnya tak sempat dinikmati oelh Cantrik Janaloka. Hal ini karena perhatiannya begitu tertancap dan tersita oleh kedua putrid, yang pada pagi hari itu terlihat begitu segar dan cantik jelita. Tak seperti hari hari biasanya.

Dengan disaksikan Sang Begawan serta beberapa orang yemng menguni pertapaan itu,mereka bertiga berangkat, berjalan melewati jalan setapak yang ada di tengah hutan. Mengingat itulah satu satunya jalan menuju Amarta, istana dari Arjuna, ayah dari kedua putri itu.
Saat mereka telah memasuki hutan yang lebat, hari tengah beranjak siang. Janaloka yang berjalan kadang di depan dan di belakang putrid putrid itu, hingga dapat leluasa memperhatikan dan menikmati keindahan yang dimiliki kedua putri  itu.

Janaloka, betapapun dia hanya seorang cantrik, dari dusun pula, namun dia juga adalah laki laki dewasa yang normal. Beberapa kali dihempaskannya hasrat ke laki-lakiannya, memandang bahwa kedua putrid itu adalah tuannya.

Namun keadaan ditengah hutan, dimana tak ada seorangpun kecuali mereka bertiga, seorang laki laki dewasa, dan dua orang putrid nan cantik jelita, syetan sangat meraja. Saat mereka tiba di sebuah jalanan yang agak lebar, dengan sebuah “amben” yang terbuat dari papan kayu di pinggir jalan, tempat para pejalan kaki beristirahat, mereka pun juga beristirahat untuk melepas lelah dan mengambil bekal yang dibawa dari pertapaan.

Janaloka sebagai abdi yang menyiapkan jamuan untuk kedua putrid, menjadi semakin tak ada jarak diantara mereka. Semakin meluaplah  ke”laki-laki”an Janaloka. Semakin dekat semakin meluap dan tak terbendung. Maka bagai seekor macan yang menemukan seekor kelinci, dengan beringas Janaloka berusaha untuk bertindak kurang ajar terhadapa kedua putrid itu, dengan melanggar sumpahnya sendiri.

Dengan segala daya upaya, Pergiwa dan Pergiwati berusaha menyadarkan Janaloka dari nafsu syetannya.  Diingatkan pula padanya akan sumpah dan janji setianya kepada ayahanda mereka, Sang Begawan Sidiqwacana. Dan entah ada angina apa yang meniup hutan itu, Janaloka bisa menyadari kesalhannya, dan seketika pula duduk bersimpuh dan memohon ampun pada tuan putrid. Namun bagaimanapun, sumpah telah dilanggar.

Dan benar, sejak peristiwa itu, selama dalam perjalanan, Janaloka merasakan lapar dan dahaga yang luar biasa, semua tempat yang dilaluinya menjadi kering, tak dapat dimakan olehnya.  Selama itu pula penderitaanya harus dia rasakan, sebagai buah dari sumpahnya sendiri yang telah dia langgar.
Sementara itu, di negeri  Astina dan Amarta, sedang terjadi sebuah perlombaan, dimana masing masing pihak berusah untuk mendapatkan Dewi Siti Sendari, putrid dari Sri kresna,  yang akan dijodohkan dengan Leksamanamandrakumara dari Astina, dan Abimanyu dari Amarta, anak Arjuna.

Kedua pihak saling berebut terlebih dahulu memenuhi persyaratan yang di minta oleh Siti Sendari, yaitu dengan menghadirkan sepasang “patah kembar” sebagai  abdi untuk acara pernikahannya. Bala Kurawa, saudara saudara dari Leksamana dari Astinapura, dengan bala tentara lengkap, berusaha mendapatkan “patah kembar” tersebut, dengan mencarinya ke hamper seluruh pelosok desa. Sedangkan dari Amarta, Abimanyu sendirilah yang berusaha mendapatkannya.

Alam perjalanan pencariannya itu, Bala Kurawa bertemu dengan mereka bertiga, Janaloka, Pergiwa dan Pergiwati. Melihat dua orang putrid cantik kembar jelita, yakinlah mereka bahwa inilah syarat yang diminta oleh Siti Sendari. Maka dengan serta merta, mereka ingin membawa kedua putrid tersebut ke Astinapura, untuk kemudian diserahkan pada Leksaman, sebagai syarat untuk meminang Siti Sendari.

Pergiwa dan pergiwati, yang melihat Bala Kurawa dengan polah tingkahnya, takut tak karuan, dan melarikan diri sekuat tenaga. Janaloka, sebagai seorang laki laki, yang merasa bertanggung jawab atas keselamtan kedua putri  itu, dengan gagah perkasa mengahadapi puluhan Bala Kurawa tersebut.

Sedangakan kedua putri itu, dalam pelariannya sekuat tenaga, dengan tanpa mengenal wilayah hutan tersebut, akhirnya jatuh terperosok ke dalam jurang. Abimanyu yang kebetulan sedang berjalan di sekitar jurang tersebut, mendengar jerit dua orang wanita yang mengaduh kesakitan, sontak bagai terbang, berlari menuruni jurang tersebut, dan menemukan kedua putri itu sedang terduduk dengan mengaduh menahan sakit di sekujur tubuh. Maka kemudian ditolongnya kedua putrid tersebut dan dibawanya ke Amarta.

Janaloka, yang tinggal sendirian di tengah hutan, dengan dikepung oleh puluhan Bala Kurawa, tak mengetahui peristiwa itu. Yang di tahu adalah dia harus melindungi kedua putir tuannya itu. Maka, tak ada jalan lain, kecuali menyabung nyawa, demi  kehormatan putri, sang Begawan dan dia sendiri.

Terjadilah pertempuran yang tak seimbang. Janaloka berdiri sendirian dengan senjata yang sangat sederhana, sedangkan musuhnya adalah Bala Kurawa yang bersenjata lengkap. Dan yang lebih mengerikan adalah, Bala Kurawa terkenal dengan perang yang tak mengenal aturan. Bahkan perlakuan terhadap musuh yang tak berdayapun, sangat menyedihkan.

Maka, betapapun kuat tenaga Janaloka, menghadapi puluhan Bala Kurawa bersenjata lengkap yang menyerang tak beraturan, lambat laun habislah tenaganya. Kejadiannya dapat diduga, Janaloka tewas dengan mengenaskan, tubuhnya hancur tercerai berai.

Cantrik Janaloka, bagamainapun telah  berlaku sebagai seorang ksatria, yang rela menyabung nyawa demi kehormatan kedua putrid yang dititipkannya, sang Begawan yang menjadi gurunya, yang dia sendir sebagai seorang laki laki sederhana.

Thursday, May 3, 2012

BRATASENA, SANG JAGAL ABILAWA....


Perjalanan panjang yang cukup berbahaya, karena sebuah perjanjian apabila dalam perjalanan sekaligus sebagai persembunyian itu dapat diketahui oleh seseorang, siapapun, maka perjalanan persembunyian itu gugur, dan harus diulang lagi dari awal.

Tak mudah memang, tapi kata telah terucap. Darah ksatria yang mengalir di kelima saudara ini itu menuntutnya untuk mematuhi apa yang telah mereka ucapkan. Walaupun kejadiannya adalh kecurangan yang terang benderang, namun kata telah terucap dan disaksikan segenap rakyat dan kerabat yang hadir pada saat itu.
Tak mungkin bagi kelima ksatria ini akan berperilaku seperti apa adanya, karena ciri ciri yang melekat pada kelimannya, tentu akan sangat mudah di kenali orang.

“Kalian sebaiknya berbaur di tengah masyarakat Adimas……” suatu senja, setelah menyantap makan malam alakadarnya, hasil masakan dari ibunda tercinta yang turut serta dalam pembuangan ini.
“Apa maksudmu Kakang……” jawab laki laki yang tadi dipanggilnya dengan kata “Adimas”.
“Bagaimanapun, perjalanan kita cukup panjang, dan persyaratannya adalah perjalanan itu tak boleh diketahui oleh seorangpun. Maka lebih baik kita berbaur dengan masyarakat, menyamar seperti mereka dan menanggalkan semua tanda tanda yang ada pada kita. Itu akan lebih mempermudah perjalanan kita.” kata laki laki yang dipanggilnya dengan “Kakang” tersebut.
“Maksud Kakang Samiaji?” laki laki berempat yang ada di depannya itu bertanya hampir bersamaan.
“Begitulah. Masing masing dari kalian pergilah ke masyarakat dan berbaur dengan mereka, menjalani hidup seperti mereka pula, dengan pekerjaan sesuai yang kalian bisa. Pikirkanlah mala mini baik baik, dan besok pagi  segera kalian turun berbaur dengan mereka.” Pintanya dengan nada asih terhadap keempat ksatria di depannya yang tak lain adalah adik adiknya. Sang ibu yang menyaksikan peristiwa itu, tak mampu mennyembunyikan rasa haru, dan tak terasa matanya telah basah oleh air mata, yang telah menetes membasahi kedua pipinya.

Fajar menyingsing, matahari masih merah di ujung timur, seorang bertubuh tinggi besar dan gagah, dengan kumis tebal melintang, telah datang menghampiri dua orang laki laki dan perempuan yang tengah berada di depan perapian. Nampak sebuah belanga tergantung di atas perapian itu. Yah, laki laki di depan perapian itu adalah Samiaji, sedangkan perempuan itu adalah ibunya, Dewi Kunti.

“Aku pamit Kakang, Ibunda…..” katanya dengan suara berat, berdiri di depan kedua orang itu.
“Akan kemana kamu Nak?” Tanya ibunya sambil bangkit dari duduknya, dengan penuh keheranan. Demikian juga dengan Samiaji.
“Aku akan turun ke dusun yang paling dekat dengan hutan ini. Disana nanti pasti akan kutemui pekerjaan yang sesuai dengan kemampuanku…..” jawabnya tegas.
“Berhati-hatilah Nak…… “ jawab ibunya sambil memegang tangan laki laki itu.
“Hati hati Dhimas, jangan sampai siapapun mengetahui siapa dirimu…” kata Samiaji sambil menepuk punggungnya.

Pagi itu pula, laki laki tinggi besar itu berangkat meninggalkan pondok di hutan tengah hutan, tempat mereka tinggal. Matahari telah mulai menampakkan sinarnya, telah mulai hangat hari itu, saat laki laki itu memasuki sebuah dusun, dimana rupanya penduduk dusun itu juga berjalan menuju sebuah tempat kerumunan.
Laki laki itu mengikuti para penduduk itu, ingin tahu apa yang terjadi di tempat kerumunan itu. Rupanya, kerumunan itu terletak di tengah sebuah tanah lapang, dengan berbagai macam orang berkumpul disitu dan berkativitas jual beli, berdagang segala macam barang.

Laki laki itu kemudian berjalan mengitari kerumunan yang di tanah lapang tersebut, yang disebut dengan pasar. Beberapa kali matanya melihat aktivitas orang orang yang ada di situ, namun dari sekian banyak, sama sekali tak menarik perhatiannya. Beberapa lama dia berputar putar ditempat itu.

Mendadak, di ujung sebelah selatan, dari jalan tempat masuk pasar itu, orang orang berlarian sambil berteriak teriak, membuat suasana pasar semakin rebut. Muka muka pucat dan nafas terngah engah Nampak dari beberapa orang yang berlarian itu. Demikina juga dengan penghuni pasar. Mereka ada juga yang ikut lari menyelamatkan diri.
Seorang laki laki yang lari terbirit birit ketakutan, semakin takut lagi saat tangannya digapit oleh seseorang yang tak dia kenal, bertubuh tinggi besar pula.

“Apa yang terjadi?” Tanya laki laki tinggi besar yang menggapit tangannya.
“Hewan Ki Jagal, lepas, menghancur apa saja yang ada di dekatnya. Bahkan rumah Ki Jagal hampir roboh dibuatnya. Hewan itu berlarian tak tentu arah, tadi hewwan itu berlari menuju kesini….” Jawabnya dengan gemetar dan wajahnya pucat pasi.

Dan benar, sebuah hewan yang berukuran sangat besar, lebih besar dari hewan biasanya, tengah berlari dan menghancur apa saja yang dilewatinya. Orang orang berhamburan menyelamatkan diri. Beberapa orang yang berusaha menghenrtikannya, justru terpental jauh dan menjadi korban.

Hewan itu semakin beringas, dan berlari hingga memasuki pasar. Maka dalam sekejap, pasar itu telah luluh lantak di terjang kemarahan hewan itu. Melihat telah tak ada seorangpun yang mampu menghentikannya, laki laki tinggi besar itu menghampiri hewan yang tengah mengamuk di tengah pasar itu.

Yang  terjadipun kemudian dapat ditebak. Terjadi perkelahian dahsyat antara hewan berukuran raksasa itu dengan laki laki tinggi besar. Debu bergulung gulung di tanah lapang itu, bekas dari pijakan pertempuran.  Keadaan pasar menjadi semakin luluh lantak. Orang orang justru seperti mendapat pertunjukan.  Semakin lama semakin sengit, karena melihat keadaan yang semakin hancur disana-sini, laki laki itu ingin segera menyudahi perlawanan hewan itu.   
Maka dengan kemampuan kanuragan yang dimilikinya saat hewan itu semakin membabi buta menyerangnya, laki laki itu berhasil meloncat dan duduk di punggung hewan itu. Maka dengan segenap kemampuannya, di pukullah punggung hewan itu dengan tangan kanannya, dengan sekuat tenaga. Dan yang terjadi adalah diluar dugaan semua orang yang menyaksikannya. Hewan itu menjerit keras dan sejenak kemudian, hewan itu jatuh tersungkur, diam dan mati.

Sedangkan laki laki itu berhasil meloncat sebelum hewan itu jatuh berguling guling di tanah. Melihat kejadian itu legalah orang orang yang menyaksikan. Belum juga reda lelahnya, belum kering keringatnya, dari ujung jalan, Nampak seorang setengah tua berlari larian mendatanagi laki laki yang berhasil membunuh hewannya. Dengan tergopoh gopoh, laki laki setengah tua itu memegang tangan laki laki tinggi besar yang masih penuh dengan peluh, dan mengucapkan terimakasih yang tak terhingga.

“Terimakasih Nakmas…..terimakasih. Nakmas telah berhasil mengentikan polah tingkah hewan in. namaku Ki Jagal Welakas. Pekerjaanku adalh tukang jagal, menyembelih hewan hewan seperti yang Nakmas bunuh ini. Entah mengapa hewan ini begitu sulit diatur, bahkan untuk menyembelihnyapun, aku tak mampu…..” katanya sambil dengan masih memegang erat tangan laki laki tingi besar itu.
“Hmmmmm…….” Laki laki tinggi besar itu hanya  menarik nafas panjang seraya membasuh peluhnya dengan tangannya.
“Apa yang kamu lakukan disini Nakmas…..?” bertanya kemudian Ki Jagal.
“Aku mencari pekerjaan Ki…. “ jawabnya pendek.
Bagai melihat terangnya sinar matahari, Ki Jagal tersenyum gembira. Pucuk dicinta, ulam tiba. Katanya dalam hati.
“Ikutlah aku Nakmas……. Aku membutuhkan orang semacam Nakmas……” pintanya.
“Hmmmmm……” laki laki tinggi besar itu mengangguk pelan.
“Siapakah namamu dan dari mana Nakmas berasal?” bertanya kemudian Ki Jagal.
Laki laki itu diam sejenak. Tak mungkin baginya untuk mengatakan yang sebenarnya. Dia teringat benar akan pesan ibu dan kakak sulungnya. Sementara ki Jagal masih menunggu jawaban darinya.
“Abilawa…….” Jawabnya pelan.
“Baiklah. Mulai hari ini, Nakmas bernama Jagal Abilawa…..!” kata Ki Jagal Welakas. 

Dan sejak hari itu, Abilawa bekerja padanya, sebagai seorang jagal, tukang menyembelih hewan. Dan tentang siapakah Abilawa, hingga kembalinya laki laki tinggi besar itu ke pondokan dan melanjutkan kehidupan ksatrianya, tak seorangpun di lingkungan dan pasar itu mengetahuinya.

Tuesday, May 1, 2012

DITYA JAMBUMANGLI, CINTANYA SAMPAI MATI....


Sebuah kerajaan yang di huni oleh para raksasa yang bernama Alengkadiaraja, setelah Prabu Suksara, (kakek buyut dari Rahwana) meninggal dan digantikan oleh putranya yang bernama Ditya Sumali (kakek dari Rahwana), yang kemudian berputera Dewi Sukesi (ibu dari Rahawana) dan Ditya Prahasta, adalah sebuah kerajaan besar yang ada pada jamannya.

Berawal dari sebuah keinginan dari Dewi Sukesi yang berwujud raksasa, walaupun dia adalah puteri kerajaan, namun bagaimanapun dia adalah seorang raksasa, yang dengan semua kasih sayang yang dilimpahkan dari orang tua kepadanya, maka dia pun menginginkan sesuatu yang sangat sukar untuk diraih oleh setiap raksasa pada kerajaan itu, yaitu ingin berubah menjadi seorang wanita biasa.

Hal ini membuat ayah dan ibunya sedih. Anak mereka satu satunya mengingkan seuatu yang bukan menjadi  kodratnya. Dipangillah kemudian para resi dan pendeta yang tinggi ilmunya, untuk membicarakan masalah ini. Memang ada sebuah serat, yaitu sebuah tulisan sacral yang apabila sesorang dapat membaca, menguraikan dan mengartikan kata kata dalam serat itu, maka sesorang bisa berubah dari raksasa menjadi wujud manusia biasa. 

Maka setelah dia dewasa, maka diadakanlah sayembara, dan bersumpah, barang siapa yang dapat membaca, mengartikan, menguraikan dan menterjemahkan serat yang terkenal dengan nama ilmu Serat Harjendra Yuningrat, maka orang itu akan dijadikan suaminya.

Namun tanpa sepengetahuan Dewi Suksei, sumpah sayembara darinya itu membuat seorang pemuda terpukul  dan hancurlah hatinya. Dia adalah Ditya Jambumangli, putra dari Ditya Maliawan, pamannya sendiri. Telah sekian lama Jambumangli menaruh hati pada Sukesi, namun tak berani mengungkapkannya, karena bagaimanapun, Dewi Sukesi adalah kakaknya, puteri dari kakak ayahnya.

Muncul niatnya untuk menggagal sayembara itu, maka dengan seijin ayah dan pamannya, Jambumangli membuat syarat bahwa barang siapa yang dapat membaca ilmu serat itu, dapat mempersunting Dewi Sukesi dengan syarat harus menang dalam perang tanding melawan dirinya. Hal itu sangat disetujui oleh para tetua, karena mereke beranggapan bahwa Jambumangli adalah adik yang baik, yang berusaha melindungi kakak perempuannya, agar mendapat jodoh yang tidak hanya pandai namun juga berilmu tinggi dalam kenuragan.

Sayembara itu terdengar hingga ke luar kerajaan Alengka, bahkan hingga ke kerajaan Lokapala. Prabu Danapati, raja dari kerajaan  Lokapala, yang kebetulan belum mempunyai permaisuri, tertarik untuk mengikuti sayembara itu. Prabu Danapati sangat yakin akan kemampuannya. Hal ini karena sejak muda dia telah diajari oleh orang tuanya sendiri, yaitu Resi Wisrawa, dimana dia juga adalah cucu dari Resi  Padwa, yang konon katanya juga merupakan keturunan dari Batara Sambo, putra dari Sanghyang Manikmaya. 

Usia yang masih muda, maka semua ilmupun rasanya belumlah cukup untuk Prabu Danapati. Apalagi untuk menterjemahkan sebuah ilmu serat sastra yang tinggi. Maka, sang Prabu meminta tolong ayahnya, Resi Wisrawa untuk berangkat mengikuti sayembara tersebut, atas namanya.

Maka berangkatlah Wisrawa ke negeri Alengkadiraja. Setelah menghadap  raja dan mengutarakan maksud kedatangannya, bahwa dia datang untuk anaknya, dan itupun ternyata dapat ditermia oleh Prabu Sumali
Dan setelah kitab ilmu serat harjendra yuningrat  dibuka, dan dapat dibaca dengan fasih, diartikan dengan runtut, dirafsirkan dengan jelas, mendadak halilintar menggelegar, langit gelap dan terang beriringan, angin topan bersabung dan seiring dengan menghilangnya gejolak alam itu, wujud Dewi Sukesi yang semula adalah raksasa wanita, kini berubah wujud menjadi seorang wanita yang cantik jelita. Legalah hati para kerabat kerajaan Alengka.
 
Setelah usai, kemudian Wisrawa berniat membawa Dewi Sukesi ke Lokapala, untuk dinikahkan dengan putranya, Prabu Danapati. Hal ini ditolak mentah mentah oleh Dewi Sukesi, karena hal ini bertentang dengan sumpahnya.  Melihat kekisruhan tersebut, hal itu dimanfaatkan oleh Jambumangli, maka kemudian Wisrawa pun ditantang perang tanding. Wisarawa pun kemudian tak dapat menolak. 

Pertempuran dahsyat pun terjadi. Jambumangli yang dibakar api cemburu, kecewa, dan merasa di injak injak harga dirinya, bertarung bagai setan, dan tanpa memperhatikan etika dan sopan, bahkan main curang. Beberapa kali Wisrawa mengingatkan, namun semakin diingatkan, Jambumangli semakin kurang ajar. Maka, terbakarlah hati Wisrawa, dengan kesaktiannya, Jambumangli dihajar habis habisan, bahkan hingaa terpisah pisah bagian tubuhnya. Namun  sebelum meninggal, Jambumangli mengutuk Wisrawa bahwa kelak keturuan Wisrawa ka nada yang mati secara mengenaskan seperti layaknya dirinya.

Di Lokapala, peristiwa Dewi Sukesi tak bersedia dinikahkan dengan Prabu Danapati pun sampai juga beritanya. Dengan tanpa pikir panjang, Prabu Danapati segera menyusul ke Alengkadiraja. Dan kesalah pahaman itupun berujung pada pertempuran antara anak dan ayah yang saling memperebutkan Dewi Sukesi.
Dua orang yang mengalir darah yang sama, dengan ilmu yang sama, maka pertempuran mereka pun berlangsung cukup lama, hingga berantakan keadaan negeri Alengka, dan hawa panas dari pertempuran itupun terbawa naik oleh angin hingga Suralaya. Keadaan ini sangat mengganggu ketenangan kerajaan dewa. 

Maka, saat pertempuran tengah berlangsung sengit, turunlah Batara Narada di kancah pertempuran itu, dan menjelaskan bahwa sudah menjadi kehendak takdir bahwa Dewi Sukesi adalah berjodoh dengan Wisrawan, maka Prabu Danapati pun diminta untuk mengikhaskannya.

Dari perkawinan Wisrawa dan Dewi Sukesi, lahirlah Rahwana, Arya Kumbakarna, Dewi Sarpakenaka, dan Arya Wibisana. Dan Arya Kumbakarnalah yang menjadi korban atas kutukan dari Jambumangli terhadap Wisrawa, yaitu mati terbunuh dengan tubuh yang terpisah pisah oleh panah Guwahijaya, senjata andalan Prabu Rama.

Sunday, April 29, 2012

HUTAN WANAMARTA, BAHKAN JIN PUN BEKERJASAMA...


Jika bukan karena keutamaan, kejujuran dan kemuliaan jiwa dari lima orang bersaudar itu dengan seorang wanita  yaitu ibu dari mereka berlima, maka dapat dipastikan bahwa umur mereka tak kan lebih dari satu warsa. Karena sebuah perilaku licik dari orang orang yang sebenarnya masih sedarah dengan mereka berlima, namun karena hasutan dan nafsu angkara akan kekuasaan, mereka berlima harus menjalani hukuman sebagai terpidana.

Dalam perjalanan yang penuh rahasia, dari satu hutan ke hutan yang lain, dari satu daerah ke daerah yang lain, dengan tetap sembunyi sembunyi, karena bila keberadaanya diketahui oleh pihak kerajaan, mereka berlima sah untuk dibunuh. Namun karena sifat sifat mereka yang selalu mulia, dibawah bimbingan ayahnya, seorang raja besar dari sebuah kerajaan besar pula yang bergelar Prabu Pandu Dewanata, dan istrinya yang bernama Dewi Kunti, maka perjalanan yang tersembunyi itupun dapat berjalan dengan aman. Bahkan beberapa saudara yang memeliki kemampuan luar biasa, tetap dapat berkunjung dan saling berhubungan, seperti Sri Kresna.

Saat masa pembuangan berakhir, mereka bertekad untuk tak kan kembali ke kerajaan mereka berasal,  namun ingin membangun sebuah kerajaan baru, pemerintahan baru. Maka sampailah mereka pada sebuah wilayah kerajaan, yang dipimpin oleh Prabu Matsyapati, yang masih ada hubungan kerabat dengan kakek moyang mereka berlima.

Oleh Sang Prabu, mereka diberi kuasa untuk membuka daerah baru, sebuah hutan belantara yang penuh dengan binatang buas dan dihuni oleh kerajaan jin yang sakti dan kejam. Tak mudah bagi mereka untuk membuka hutan itu, karena memang usia mereka yang masih muda, ilmu kanuragan yang dimilikinyapun belum matang benar. Maka beberapa kali mereka belima bekerja keras membuka hutan, setiap kali pula ada rintangan yang menghadang yang membahayakan keselataman mereka.

Hal ini didengar oleh Sang Parbu, maka dengan pertolongannya, dipanggillah resi yang sangat mumpuni untuk membantunya. Oleh sang resi, mereka berlima diberinya sebuah hadiah minyak yang bernama Minyak Jayengkaton. Dimana apabila minyak itu dioleskan ditubuh mereka, mereka akan dapat melihat para raksasa dan jin yang menguni hutan yang terkenal dengan nama Hutan Wanamarta itu.

Mereka berlima, yang masing masing bernama Samiaji, si sulung, Bima, Arjuna, Nakula dan Sadewa setelah menggunakan minyak itu, dapat bertatap muka dan berbicara dengan para raja jin yang ada. Karena niat mereka yang baik, dengan kejujurtan dan kemuliaan yang telah mereka tunjukan selama ini,maka sang raja jin dapat mengerti, dan bahkan kemudian ikut serta membangun kerajaan di tengah hutan tersebut.

Setelah mereka bekerjasama, pekerjaan membangun kerajaan itu terasa sangat mudah dan lancar. Waktu demi waktu, kegiatan mereka semakin besar, dan mulai terdengar di sekitar daerha hutan. Karena mereka terkenal dengan sifat sifatnya yang baik, maka tak lama kemudian banyak berdatangan orang orang untuk tinggal bermukim dan menjadi rakyat dari kerajaan baru itu.

Samiaji, putra sulung itu kemudian dinobatkan sebagai raja, atas desakan keempat saudara mereka. Hal itu di amin i oleh para raja jin, yang kebetulan berjumlah lima orang juga. Karena begitu senangnya mereka akan pemerintahan baru itu, maka para raja jin pun ingin turut serta mendiami kerajaan baru yang berdiri di wilaya mereka itu. Maka dengan suka rela, para raja jin yang bernama Yuditira, Dandunwacana, Suparta, Sapujagad, dan Sapulebu, ingin menyatu dengan tubug dari para ksatria itu. Hal itu diterima dengan baik oleh mereka berlima, bahkan ibu mereka yang turut serta selama masa pembuangan itu, Dewi Kunti, merestui niat mereka.

Maka kemudian, Sang Raja Jin, Yudistira hilang ditelan angin dan masuk ketubuh Samiaji, demikian juga dengan Dandunwacana, Suparta, Sapujagad dan Sapulebu,masing masing kemudian menyatu dengan Bima, Arjuna, Nakula dan Sadewa.

Untuk tetap menghormati para raja jin itu, terutama sang raja, yaitu Yudistira, maka Samiaji pun kemudian bergelar atau mempunyai  nama lain sebagai Yudistira. Dan kerajaan bari itu, yang berdiri di tengah hutan Wanamarta, kemudian keberi nama kerjaan Amarta, yang di kemudian hari menjadi kerajaan yang besar hingga menyamai kerajaan Hastinapura, tempat mereka berlima berasal.

Saturday, April 28, 2012

SENDANG SEMANGGI, SOEHARTO PUN PERNAH KESINI... oleh Dwi Ony Raharjo

Sebuah jalan aspal yang cukup halus, tidak begitu lebar, di sebelah barat Pabrik Gula Madukismo, jalan yang lebih terkenal dengan jalan menuju Makam Gunung Sempu. Jalan yang tak asing buatku, karena dulu, hampir setiap minggu kulewati jalan kecil itu. Pohon pohon yang tumbuh di pinggir jalan cukup rapat, sehingga walaupun matahari sangat terik, di daerah itu akan terasa tetap sejuk.

Dari sekian kali aku lewati dan bahkan mampir ke tempat beberapa teman, tak pernah ku tau bahwa di daerah itu, di wilayah desa Sembungan, Bangunjiwo, Bantul, terdapat rumah makan jawa, cukup sederhana, namun lokasinya agak masuk ke dalam dari jalan utama. Mbah Cemplung namanya.  Menu yang sederhana, layaknya orang desa, namun rasanya, luar biasa……..

Dari tempat Mbah Cemplung, ku iseng berjalan jalan, dan tak sengaja melihat sebuah papan nama kecil yang bertuliskan “Sendang Semanggi”. Hmmmmmm………bagai anak kecil yang menemukan mainannya, rasa ingin tahuku mendadak sontak mencuat. Tanpa pikir panjang, aku ikuti arah penunjuk jalan menuju sendang itu. Jalan setapak yang menanjak, namun tak begitu berat dan cukup dekat.

Seperti layaknya sendang sendang yang lain, sendang ini terletak di kaki bukit, dengan diapit tiga buah pohon yang cukup besar, yaitu Pohon Beringin, Pohon Pamrih dan Pohon Sambi. Kiri kanan masih pohon pohon yang rapat, sangat cocok untuk tempat istirahat atau sekedar menikamti sejuknya udara dan menikmati bau daun, dahan dan pepohonan. 

Sendang itu tak begitu besar, dibawah tanah dengan di kelilingi batu batu alam. Airnya sangta jernih. Menilik dari rempatnya, sendang ini sering digunakan untuk “mandi bersuci” dan kemudian dilanjutkan dengan meditasi di sebelah sendang yang telah di sediakan. Ada beberapa bekas perangkat untuk meditasi dan memuja “sesuatu” yang dianggap keramat oleh masing masing pengunjung.

Menurut keterangan penduduk sekitar, pengunjung biasanya  dari kalangan kejawen, menilik dari pakaian yang dikenakan dan ritual ritual yang dilakukan. Tidak begitu jelas dari paguyuban mana mereka berasal. 

Konon, Sendang Semanggi ini ditemukan oleh Rama Martapangrasa, seorang spiritualis Yogyakarta. Pada tahun 1940-an, beliau mendapat wisik untuk menyususri Gunung Sempu. Beliau kemudian menemukan sebuah mata air yang dirasa cocok untuk berendam dan mengasah kepakaan ilmu kebatinannya. Kemudian mata air itu Beliau beri nama dengan nama Sendang Titis, yang berarti kolam untuk berlatih menajamkan hati. Kemudian Beliau bangun sebuah pondok kecil sebagai padepokan, sekaligus tempat tinggal, dan meninggalkan rumah kediamannya di daerah Nataprajan, Yogyakarta.

Menurut  kalangan kebatinan Jawa, Sendang Titis yang kemudian berganti nama menjadi Sendang Semanggi, karena terletak disekitar sendang ini dulunya sangat banyak tumbuh pohon pohon semanggi, adalah sebuah sendang yang pernah mewarnai kehidupan kebatinan jawa Presiden Soeharto.

Pada tahun 1950 an, sebelum Soeharto menjabat sebagai presiden, oleh Rama Martapangrasadia dibaptis menjalani “ikatan persaudaraan mistikal” dan diberi nama spiritual sebagai Rama, sedangkan Ibu Tien sebagai Shinta. Sedangkan sahabat seperguruan Soeharto, Soedjono Hoemardhani  yang turut serta, sebagai Lesmana, sedangkan istrinya sebagai Kunti. 

Dari tempat itulah kemudian Soeharto mendapat beberapa “nasehat” sepiritual. Disamping juga terus menjalani ritual ritual di tempat tempat lainnya yang sejenis. Maka kemudian, Sendang Semanggi ini dikenal sebagai tempat untuk melakukan ritual tertentu yang bertujuan untuk mendapatkan jabatan. 

Percaya atau tidak, sumonggo…..


*) Majalah TEMPO, Edisi 4 - 10 Februari 2008