Sebuah jalan aspal yang cukup
halus, tidak begitu lebar, di sebelah barat Pabrik Gula Madukismo, jalan yang
lebih terkenal dengan jalan menuju Makam Gunung Sempu. Jalan yang tak asing
buatku, karena dulu, hampir setiap minggu kulewati jalan kecil itu. Pohon pohon
yang tumbuh di pinggir jalan cukup rapat, sehingga walaupun matahari sangat
terik, di daerah itu akan terasa tetap sejuk.
Dari sekian kali aku lewati dan
bahkan mampir ke tempat beberapa teman, tak pernah ku tau bahwa di daerah itu,
di wilayah desa Sembungan, Bangunjiwo, Bantul, terdapat rumah makan jawa, cukup
sederhana, namun lokasinya agak masuk ke dalam dari jalan utama. Mbah Cemplung
namanya. Menu yang sederhana, layaknya
orang desa, namun rasanya, luar biasa……..
Dari tempat Mbah Cemplung, ku
iseng berjalan jalan, dan tak sengaja melihat sebuah papan nama kecil yang
bertuliskan “Sendang Semanggi”. Hmmmmmm………bagai anak kecil yang menemukan
mainannya, rasa ingin tahuku mendadak sontak mencuat. Tanpa pikir panjang, aku
ikuti arah penunjuk jalan menuju sendang itu. Jalan setapak yang menanjak,
namun tak begitu berat dan cukup dekat.
Seperti layaknya sendang sendang
yang lain, sendang ini terletak di kaki bukit, dengan diapit tiga buah pohon
yang cukup besar, yaitu Pohon Beringin, Pohon Pamrih dan Pohon Sambi. Kiri
kanan masih pohon pohon yang rapat, sangat cocok untuk tempat istirahat atau
sekedar menikamti sejuknya udara dan menikmati bau daun, dahan dan pepohonan.
Sendang itu tak begitu besar,
dibawah tanah dengan di kelilingi batu batu alam. Airnya sangta jernih. Menilik
dari rempatnya, sendang ini sering digunakan untuk “mandi bersuci” dan kemudian
dilanjutkan dengan meditasi di sebelah sendang yang telah di sediakan. Ada
beberapa bekas perangkat untuk meditasi dan memuja “sesuatu” yang dianggap
keramat oleh masing masing pengunjung.
Menurut keterangan penduduk
sekitar, pengunjung biasanya dari
kalangan kejawen, menilik dari pakaian yang dikenakan dan ritual ritual yang
dilakukan. Tidak begitu jelas dari paguyuban mana mereka berasal.
Konon, Sendang Semanggi ini
ditemukan oleh Rama Martapangrasa, seorang spiritualis Yogyakarta. Pada tahun
1940-an, beliau mendapat wisik untuk menyususri Gunung Sempu. Beliau kemudian
menemukan sebuah mata air yang dirasa cocok untuk berendam dan mengasah
kepakaan ilmu kebatinannya. Kemudian mata air itu Beliau beri nama dengan nama
Sendang Titis, yang berarti kolam untuk berlatih menajamkan hati. Kemudian Beliau
bangun sebuah pondok kecil sebagai padepokan, sekaligus tempat tinggal, dan
meninggalkan rumah kediamannya di daerah Nataprajan, Yogyakarta.
Menurut kalangan kebatinan Jawa, Sendang Titis yang
kemudian berganti nama menjadi Sendang Semanggi, karena terletak disekitar sendang
ini dulunya sangat banyak tumbuh pohon pohon semanggi, adalah sebuah sendang
yang pernah mewarnai kehidupan kebatinan jawa Presiden Soeharto.
Pada tahun 1950 an, sebelum
Soeharto menjabat sebagai presiden, oleh Rama Martapangrasadia dibaptis
menjalani “ikatan persaudaraan mistikal” dan diberi nama spiritual sebagai
Rama, sedangkan Ibu Tien sebagai Shinta. Sedangkan sahabat seperguruan
Soeharto, Soedjono Hoemardhani yang
turut serta, sebagai Lesmana, sedangkan istrinya sebagai Kunti.
Dari tempat itulah kemudian
Soeharto mendapat beberapa “nasehat” sepiritual. Disamping juga terus menjalani
ritual ritual di tempat tempat lainnya yang sejenis. Maka kemudian, Sendang
Semanggi ini dikenal sebagai tempat untuk melakukan ritual tertentu yang
bertujuan untuk mendapatkan jabatan.
Percaya atau tidak, sumonggo…..
*) Majalah TEMPO, Edisi 4 - 10 Februari 2008
Apakah ada info lbh lanjut mengenai bahwono toto sekarang ini?
ReplyDeleteAgus 0818514249