Wednesday, April 25, 2012

JATHILAN KROMOLEYO, SANG PENGASUH RONGGOWARSITO


Laki laki setengah baya itu berjalan tertatih tatih menuju sebuah pohon beringin yang rindang di tepi sebuah telaga. Matahari yang terik, panas yang menyengat, membuat tubuhnya penuh dengan peluh dan keringat. Sesekali tangannya meraih kain lusuh yang tergantung di pundaknya untuk mengeringkan peluh yang menets dari dahinya.

Matahari telah bergeser kea rah barat sewaktu laki laki itu terbangun oleh riuh rendah suara anak kecil dan perempuan perempuan desa sedang membersihkan diri di telaga, tepat di sebelah pohon beringin rindang tempat laki laki itu teridur pulas.

Serta merta laki laki itu bangun, dan kemudian mengambil air dari pancuran di sebelah tempat duduknya tadi, sekedar membersihkan muka dan kemudian meneruskan langkahnya, menuju pusat Kota Madiun seperti yang telah ditunjukkan oleh orang yang sangat dihormatinya, sekaligus gurunya, untuk mencari putra terkasih sekaligus terbandel dari keluarga kraton Surakarta, Bagus Burhan.

Sebenarnya, letih dan lelah yang dia rasakan selama dalam perjalana dari Surakarta ke Madiun, tidaklah menjadi beban yang berarti, hal ini karena beban tersebut terselimuti oleh rasa riang gembiranya, karena dia merasa mendapat kehormatan dari gurunya, untuk mencari bagus Burhan, yang juga merupakan anak asuhnya. Walaupun terkenal nakal dan bandel, namun Bagus Burhan sangat mengikat hatinya.

Menjelang senja, laki laki itu telah sampai di pusat kota, dan menuju sebuah pohon beringin besar di tengah alun alun. Menurut  petunjuk, laki laki itu akan bertemu dengan seorang bernama Ki Jasana, yang mempunyai maksud yang sama, namun dia merupakan utusan dari keluarga lain dari bagus Burhan. 

Dan benar. Di bawah pohon beringin itu, nampak seorang laki laki yang hampir seusia dirinya, tengah berbaring miring, sambil melihat lalu lalang orang di jalanan kota Madiun. Setelah menghaturkan salam dan bermaah tamah, maka Ki Jasana dan laki laki itu, yang mengenalkan namanya dengan nama Kramaleya, sepakat malam itu untuk menginap di masjid besar di dekat alun alun.

Malam itu mereka berunding dan mengatur siasat, karena Bagus Burhan pergi dari rumah karena di usir oleh orang tuanya. Hal itu karena sifat bagus Burhan sendiri yang memang sangat nakal dan susah untuk diatur, dan kali ini Bagus Burhan pergi bersama sahabatnya, Ki Tanujoyo. Dua orang yang seusia, sama sama muda dan mempunyai sifat dan kemampuan yang sama. Tentunya bukan hal mudah untuk dapat ditemukan, apalagi di kota Madiun, kota yang asing buat Ki Jasana dan Ki Kramaleya.

Ki Kramaleya, yang hapal betul dengan sifat dan kebiasaan anak asuhnya, bagus Burhan, lebih jeli dalam menyusun strategi. Kramaleya hapal betul dengan kebiasaan Bagus Burhan yang suka sekali akan pertunjukan, keramaian, dan kesenian. Maka, mereka kemudian sepakat untuk padi harinya, Ki Kramaleya dan Ki Jasana akan menyamar sebagai pemain jathillan (kuda lumping).

Kesenian ini dipilih, karena kesenian kuda lumping cukup mudah dilakukan, dan sangat digemari oleh masyarakat. Mereka berdua bertekad tak akan berhenti bermain kuda lumping sebelum menemukan Bagus Burhan dan Ki Tanujoyo. 

Maka, sejak hari itu, mereka berdua berkeliling dari satu desa ke desa lain, dari satu daerah ke daerah lain memainkan peran sebagai pemain jathilan. Ki Kramaleya berperan sebagai Penthul, karena tubuhnya yang jangkung, sesuai dengan tokoh Penthul, sedangkan Ki Jasana sebagai Tembem karena tubuhnya yang bulat, mirip dengan tokoh Tembem.

Begitu terkenalnya mereka di kota madiun, hingga orang orang menjulukinya dengan Jathilan Kramaleya, Lagunya Ki Jasana. Setelah berbulan bulan mereka merantau dan berkeliling, suatu saat mereka lelah dan ingin pulang ke pondokan. Jalan yang ditempuh kali ini adalah hutan belantara, walau hutan itu telah dekat sekali dengan pusat kota Madiun. 

Hutan di bibir kota itu mempunyai jalan setapak, jalan yang dilalui oleh para pedagang dari desa desa menuju ke kota. Dan di jalan setapak itu, terdapat pohon rindang dengan beberapa tempat duduk dan balai balai dari bamabu dan kayu jati yang biasa digunakan untuk beristirahat. 

Saat Ki Jasana dan Kramaleya sampai di tempat itu, Nampak dua orang telah duduk di bawah pohon, dan satu orang lagi berbaring. Kramaleya dan Ki Jasana juga turut serta duduk untuk beristirahat. Topeng Penthul dan Tembem belum juga terlepas dari wajah mereka berdua, dan kendang yang dikalungkan di leher kramaleyapun juga masih tergantung.

Dua orang laki laki yang duduk terlebih dahulu itu, memperhatikan kedatangan mereka berdua dengan seksama. Mereka tak pernah melihat orang dengan dandanan seperti itu. Dan wajah di balik topeng itu, semakin lama semakin jelas, bahwa dua orang pengamen jathilan itu adalah Kramaleya dan Ki Jasana.
Sontak, dua orang itu hampir berteriak memanggil nama mereka berdua. Yang dipanggilpun heran, karena mereka merasa tak pernah punya kenalan atau saudara di daerah ini. Setalah mereka masing  masing sadar akan siapa mereka berempat, mereka saling berpelukan, bahkan Ki Jasana dan Kramaleya hingga menangis dibuatnya. Hal ini karena dua orang itu, yang ternyata adalah Ki Tanojoyo dan Bagus Burhan, dalam keadaan yang menyedihkan. 

Pakaiannya kumal, tubuhnya kurus kering, kulitnya hitam dan wajah serta bibirnya Nampak kering dan mengeriput. Mereka kemudian saling bercerita dan menyantap bekal makanan yang dibawa Kramaleya. Kramaleya dan Ki Jasana berkali kali meyakinkan Bagus Burhan dan Tanujoyo bahwa mereka diutus oleh orang tua mereka untuk membawa pulang Tanujoyo dan bagus Burhan. Dosa dan kemarahan yang dahulu, telah dilupakan oleh orang tua mereka, baik Kanjeng Kyai Imam Besari, maupun Raden Tumenggung Sastro Nagoro.

Maka mereka berempatpun kemudian bersiap siap kembali ke pondokan untuk berkemas dan menyaipakan bekal untuk esok paginya berangkat menuju Surakarta, kampong halaman mereka, juga Bagus Burhan, yang setelah dewasa bernama RONGGOWARSITO.   

No comments:

Post a Comment