Laki laki setengah baya itu
berjalan tertatih tatih menuju sebuah pohon beringin yang rindang di tepi
sebuah telaga. Matahari yang terik, panas yang menyengat, membuat tubuhnya
penuh dengan peluh dan keringat. Sesekali tangannya meraih kain lusuh yang
tergantung di pundaknya untuk mengeringkan peluh yang menets dari dahinya.
Matahari telah bergeser kea rah barat
sewaktu laki laki itu terbangun oleh riuh rendah suara anak kecil dan perempuan
perempuan desa sedang membersihkan diri di telaga, tepat di sebelah pohon
beringin rindang tempat laki laki itu teridur pulas.
Serta merta laki laki itu bangun,
dan kemudian mengambil air dari pancuran di sebelah tempat duduknya tadi,
sekedar membersihkan muka dan kemudian meneruskan langkahnya, menuju pusat Kota
Madiun seperti yang telah ditunjukkan oleh orang yang sangat dihormatinya,
sekaligus gurunya, untuk mencari putra terkasih sekaligus terbandel dari
keluarga kraton Surakarta, Bagus Burhan.
Sebenarnya, letih dan lelah yang
dia rasakan selama dalam perjalana dari Surakarta ke Madiun, tidaklah menjadi
beban yang berarti, hal ini karena beban tersebut terselimuti oleh rasa riang
gembiranya, karena dia merasa mendapat kehormatan dari gurunya, untuk mencari
bagus Burhan, yang juga merupakan anak asuhnya. Walaupun terkenal nakal dan
bandel, namun Bagus Burhan sangat mengikat hatinya.
Menjelang senja, laki laki itu
telah sampai di pusat kota, dan menuju sebuah pohon beringin besar di tengah
alun alun. Menurut petunjuk, laki laki
itu akan bertemu dengan seorang bernama Ki Jasana, yang mempunyai maksud yang
sama, namun dia merupakan utusan dari keluarga lain dari bagus Burhan.
Dan benar. Di bawah pohon
beringin itu, nampak seorang laki laki yang hampir seusia dirinya, tengah
berbaring miring, sambil melihat lalu lalang orang di jalanan kota Madiun. Setelah
menghaturkan salam dan bermaah tamah, maka Ki Jasana dan laki laki itu, yang
mengenalkan namanya dengan nama Kramaleya, sepakat malam itu untuk menginap di
masjid besar di dekat alun alun.
Malam itu mereka berunding dan
mengatur siasat, karena Bagus Burhan pergi dari rumah karena di usir oleh orang
tuanya. Hal itu karena sifat bagus Burhan sendiri yang memang sangat nakal dan
susah untuk diatur, dan kali ini Bagus Burhan pergi bersama sahabatnya, Ki
Tanujoyo. Dua orang yang seusia, sama sama muda dan mempunyai sifat dan
kemampuan yang sama. Tentunya bukan hal mudah untuk dapat ditemukan, apalagi di
kota Madiun, kota yang asing buat Ki Jasana dan Ki Kramaleya.
Ki Kramaleya, yang hapal betul dengan
sifat dan kebiasaan anak asuhnya, bagus Burhan, lebih jeli dalam menyusun
strategi. Kramaleya hapal betul dengan kebiasaan Bagus Burhan yang suka sekali
akan pertunjukan, keramaian, dan kesenian. Maka, mereka kemudian sepakat untuk
padi harinya, Ki Kramaleya dan Ki Jasana akan menyamar sebagai pemain jathillan
(kuda lumping).
Kesenian ini dipilih, karena
kesenian kuda lumping cukup mudah dilakukan, dan sangat digemari oleh
masyarakat. Mereka berdua bertekad tak akan berhenti bermain kuda lumping sebelum
menemukan Bagus Burhan dan Ki Tanujoyo.
Maka, sejak hari itu, mereka
berdua berkeliling dari satu desa ke desa lain, dari satu daerah ke daerah lain
memainkan peran sebagai pemain jathilan. Ki Kramaleya berperan sebagai Penthul,
karena tubuhnya yang jangkung, sesuai dengan tokoh Penthul, sedangkan Ki Jasana
sebagai Tembem karena tubuhnya yang bulat, mirip dengan tokoh Tembem.
Begitu terkenalnya mereka di kota
madiun, hingga orang orang menjulukinya dengan Jathilan Kramaleya, Lagunya Ki
Jasana. Setelah berbulan bulan mereka merantau dan berkeliling, suatu saat
mereka lelah dan ingin pulang ke pondokan. Jalan yang ditempuh kali ini adalah
hutan belantara, walau hutan itu telah dekat sekali dengan pusat kota Madiun.
Hutan di bibir kota itu mempunyai
jalan setapak, jalan yang dilalui oleh para pedagang dari desa desa menuju ke
kota. Dan di jalan setapak itu, terdapat pohon rindang dengan beberapa tempat
duduk dan balai balai dari bamabu dan kayu jati yang biasa digunakan untuk
beristirahat.
Saat Ki Jasana dan Kramaleya
sampai di tempat itu, Nampak dua orang telah duduk di bawah pohon, dan satu
orang lagi berbaring. Kramaleya dan Ki Jasana juga turut serta duduk untuk
beristirahat. Topeng Penthul dan Tembem belum juga terlepas dari wajah mereka
berdua, dan kendang yang dikalungkan di leher kramaleyapun juga masih
tergantung.
Dua orang laki laki yang duduk
terlebih dahulu itu, memperhatikan kedatangan mereka berdua dengan seksama. Mereka
tak pernah melihat orang dengan dandanan seperti itu. Dan wajah di balik topeng
itu, semakin lama semakin jelas, bahwa dua orang pengamen jathilan itu adalah
Kramaleya dan Ki Jasana.
Sontak, dua orang itu hampir
berteriak memanggil nama mereka berdua. Yang dipanggilpun heran, karena mereka
merasa tak pernah punya kenalan atau saudara di daerah ini. Setalah mereka
masing masing sadar akan siapa mereka
berempat, mereka saling berpelukan, bahkan Ki Jasana dan Kramaleya hingga
menangis dibuatnya. Hal ini karena dua orang itu, yang ternyata adalah Ki
Tanojoyo dan Bagus Burhan, dalam keadaan yang menyedihkan.
Pakaiannya kumal, tubuhnya kurus
kering, kulitnya hitam dan wajah serta bibirnya Nampak kering dan mengeriput. Mereka
kemudian saling bercerita dan menyantap bekal makanan yang dibawa Kramaleya. Kramaleya
dan Ki Jasana berkali kali meyakinkan Bagus Burhan dan Tanujoyo bahwa mereka
diutus oleh orang tua mereka untuk membawa pulang Tanujoyo dan bagus Burhan. Dosa
dan kemarahan yang dahulu, telah dilupakan oleh orang tua mereka, baik Kanjeng Kyai
Imam Besari, maupun Raden Tumenggung Sastro Nagoro.
Maka mereka berempatpun kemudian
bersiap siap kembali ke pondokan untuk berkemas dan menyaipakan bekal untuk
esok paginya berangkat menuju Surakarta, kampong halaman mereka, juga Bagus
Burhan, yang setelah dewasa bernama RONGGOWARSITO.
No comments:
Post a Comment